Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSAQAH


Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah

Oleh : Kelompok 6

1. Syahril Toonawu (20141058)


2. Putri Dewi Alfiyah (20141051)

Dosen Pengampu : Dr. Yusno Abdullah Otta, M.Ag

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH (20ES-B)


FAKU LTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
2022 M/1443
PEMBAHASAN

A. Pengertian muzaraáh,mukhabarah, dan musaqah


1. Makna muzara’ah

Muzara'ah secara bahasa berasal dari kata Zara'a yang berarti bercocok tanam. Sedangkan
makna yang kedua muzara'ah dari kata Tharhu al-zur'ah yang berarti melemparkan benih dan jika
dimaknai secara hakiki adalah pengelolaan atau penanaman. Secara istilah muzara'ah adalah
perjanjian untuk pengelolaan lahan pertanian dari pemilik lahan dan penggarap dengan bagian
imbalan tertentu dari hasil panen.
Sedangkan berdasarkan pendapat Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, pengertian
muzara’ah ialah petani penggarap mengelola tanah dengan modal dari pemilik lahan dan
pembagian hasil panen dengan apa yang dihasilkan.
Dapat disimpulkan muzara'ah adalah kesepakatan antara pemilik lahan dengan petani
penggarap untuk pengelolaan lahan yang apabila hasil panen telah tiba maka akan berlaku sistem
bagi hasil dengan upah atau imbalan tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Benih
yang akan ditanam oleh penggarap harus disediakan oleh pemilik lahan, sedangkan pengelolaan
sampai masa panen ditujukan kepada penggarap.

Rukun Muzara'ah
Adapun rukun muzara’ah yang sah menurut kesepakatan ulama yang memperbolehkannya adalah:
a. Sighat (ijab dan qabul)
b. 'Aqidain (orang yang berakad)
c. Objek akad muzara’ah, yakni tanah yang akan dikelola dan bibit (buah/tanaman), usaha
(pengelolaan tanah), dan laba (hasil buah/tanaman)

Syarat Muzara'ah
Sedangkan syarat muzara’ah menurut jumhur ulama’ antara lain :
a. Berhubungan dengan orang yang berakad; harus mumayyiz dan mampu bertindak atas nama hukum.
Sedangkan ulama madzhab Hanafiyah berpendapat adanya penambahan syarat berupa bukan orang yang

2
murtad. Karena orang murtad dihukumi mauquf, yaitu tidak terkait hukum. Berbeda dengan pendapat
Muhammad Hasan asySyaibani dan Abu Yusuf, keduanya tidak memperbolehkan tambahan tersebut
dikarenakan akad ini tidak selalu dipraktikkan oleh orang Islam saja tetapi diperbolehkan pula dilakukan
oleh non Islam.
b. Berhubungan dengan benih yang disediakan pemilik lahan; harus jelas dan dapat ditanam
c. Berhubungan dengan tanah yang dikelola :
1) Tanah bisa ditanami untuk dipanen sesuai akad serta cocok pada daerah tersebut
2) Batas-batas tanah harus jelas
3) Pemilik tanah tidak boleh ikut serta dalam pengelolaan tanah
d. Berhubungan dengan hasil panen:
1) Pembagian hasil pengelolaan tanah harus sesuai akad
2) Hasil panen harus milik orang yang bersepakat/berakad
3) Pembagian hasil panen sudah diketahui
4) Tidak boleh ada tambahan
e. Berhubungan dengan waktu kerjasama harus jelas sehingga tidak ada pihak yang dirugikan
f. Berhubungan dengan alat, disarankan untuk disediakan oleh pemilik lahan.

2. Makna mukhabarah

Al-Mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.
Pada Al-Muzara’ah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah. Imam Asy-Syafi’i
mendefenisikan Al-Mukhabarah dengan: pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil
pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah. Dalam Al-Mukhabarah, bibit
yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah.
Al-Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Seperti yang telah disebutkan bahwa
munculnya pengertian Al-Muzaraah dan Al-Mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut
karena adanya ulama yang membedakan antara arti Al-Muzaraah dan Al-Mukhabarah, yaitu Imam
Rafi’i berdasarkan dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif

3
AlMuzaraah dan Al-Mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Tyayyib, Imam Jauhari, Al
Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan usaha mengerjarkan tanah (orang lain)
yang hasilnya dibagi.
Rukun mukhabarah
Sementara itu, adapun rukun-rukun dari mukhabarah adalah sebagai berikut.
a. Adanya pemilik tanah yang sah.
b. Adanya petani atau penggarap tanah.
c.Tanah yang akan digarap.
d. Proses ijab dan qabul membuat kesepakatan dilakukan secara lisan.

Syarat mukhabarah
a. Pemilik tanah dan penggarap harus orang yang sudah baligh dan berakal.
b. Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
c. Lahan harus bisa menghasilkan, jelas batas-batasnya, dan diserahkan sepenuhnya
kepada penggarap.
d. Pembagian hasil harus jelas penentuannya.
e. Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan masa tanam dan masa panen.
f. Peralatan dibebankan kepada petani penggarap lahan.

3. Makna musaqah

Secara bahasa musaqah berasal dari kata Saqa, arti kata tersebut adalah as-Saqy yang
dimaknai dengan penyiraman atau pengairan untuk mendapatkan kemaslahatan dan memperoleh
imbalan tertentu dari hasil lahan yang dikelola.
Dalam literasi lain, musaqah diartikan dengan memberikan hasil dari pepohonan kepada
orang yang merawat pohon tersebut dari bagian buahnya.
Menurut syara' musaqah adalah menyerahkan pada orang yang merawat, menyiram dan
menjanjikan bila pohon yang diserahkan untuk dirawat telah siap panen dan diambil manfaatnya
sebagai sebagian dari imbalan pengelolaan.
Berdasarkan hukum musaqah, petani bertanggungjawab pada lahan dan tanaman dengan

4
menyiram dan memeliharanya. Petani penggarap diberi imbalan atas kerja kerasnya dengan
mendapatkan persentase tertentu dari hasil panennya.

Menurut Mazhab Malikiyah, musaqah dikategorikan dalam 5 macam, yakni :


a. Pohon yang ditanam harus kuat akarnya, dapat berbuah, dapat dipanen, dan pohon bertahan
dalam jangka waktu yang cukup lama, contohnya anggur dan zaitun.
b. Pohon yang ditanam memiliki akar tetap namun tidak dapat berbuah, contohnya kayu jati,
kayu mahoni, dll
c. Pohon yang ditanam tidak memiliki akar yang kuat namun memiliki buah untuk dipanen.
d. Pohon yang ditanam tidak memiliki akar yang kuat dan tidak memiliki buah untuk dipanen
namun mempunyai bunga yang dapat dimanfaatkan, contohnya bunga melati, mawar,
anggrek dan lain lain.
e. Pohon yang hanya diambil kehijauan dan keindahannya untuk dimanfaatkan sebagai
tanaman hias.

Segala bentuk hasil dari petani penggarap adalah hak untuk kedua belah pihak yang dibagi
sesuai kesepakatan. Akad musaqah tidak sama dengan pekerja kebun yang digaji uang dari
merawat tanaman, tetapi imbalan yang diterimanya dari hasil pengelolaan tanaman dari akad
musaqah yang ukurannya sudah pasti.

Rukun Musaqah
Jumhur ulama berpendapat bahwa sebelum mengawali musaqah maka diharuskan memenuhi 5
rukunnya, antara lain :
a. Akad atau ijab qabul
b. Pihak yang saling bertransaksi
c. Lahan perkebunan dan tanaman sebagai objek musaqah
d. Kegiatan usaha yang akan dipraktikkan oleh pengelola lahan
e. Kesepakatan tentang persentasi bagian yang didapat dari hasil musaqah

Syarat Musaqah
Syarat-syarat sah atau tidaknya musaqah dapat ditinjau dari beberapa indikator sebagai berikut :

5
a. Sighat ( ijab kabul kedua belah pihak )
b. Harus terpenuhi syarat orang yang bekerjasama dalam akad musaqah adalah orang yang dapat bertindak
sesuai hukum, yaitu telah baligh dan berakal
c. Objek dari akad musaqah harus berupa pohon yang dapat berbuah, namun juga diperbolehkan apabila
pohon tidak berbuah namun dicari dan dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat.
d. Ketika panen tiba maka hasil panen tersebut adalah milik kedua belah pihak dan harus dibagi sesuai
perjanjian.

B. Dasar hukum muzaraáh, mukhabarah, dan musaqah

1. Landasan Hukum Muzara'ah


a. Al-Qur'an
Surah az-Zukhruf ayat 32 :

َ َ‫ت َر ِب َۗ َك ن َْح ُن ق‬
‫س ْمنَا َب ْينَ ُه ْم َّم ِع ْي َشتَ ُه ْم فِى‬ َ ‫ا َ ُه ْم يَ ْق ِس ُم ْونَ َر ْح َم‬
َ‫ت ِل َيتَّ ِخذ‬
ٍ ٰ‫ض دَ َرج‬ ٍ ‫ض ُه ْم فَ ْوقَ َب ْع‬ َ ‫ْال َح ٰيوةِ الدُّ ْن َي ۙا َو َرفَ ْعنَا َب ْع‬
ُ ‫س ْخ ِريًّا ََۗو َر ْح َم‬
َ‫ت َر ِب َك َخي ٌْر ِم َّما َي ْج َمعُ ْون‬ ُ ‫ضا‬
ً ‫ض ُه ْم َب ْع‬
ُ ‫َب ْع‬

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan


penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.

Kandungan ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT. memberi keleluasaan dan membebaskan
hamba-Nya dalam berkehidupan sosial dan senantiasa taat kepada-Nya dengan berbagai cara yang
diperbolehkan. Cara tersebut diharuskan berpedoman pada alQur'an dan Hadits contohnya dalam
memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan kerjasama bagin hasil dalam pertanian yakni muzara'ah.

6
b. Hadits
"dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah pernah menyerahkan pohon kurma Khaibar
dan tanah beliau kepada orang-orang Yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya
dari harta mereka dan Rasulullah memperoleh setengah dari bagian buahnya" (HR
Bukhari).
Dari hadits di atas telah dijelaskan bahwa akad bagi hasil dalam pertanian dengan
muzara’ah diperbolehkan dalam Islam dan memiliki dasar hukum yang jelas untuk dipraktikkan
dalam kerjasama muzara’ah serta memperoleh keridhoan Allah SWT.

2. Landasan Hukum mukhabarah


Dasar Hukum Mukhabarah Dasar hukum mukhabarah yang mengenai diperbolehkannya
melakukan mukhabarah dalam hadis. Mengenai kebolehannya dalam melakukan kerjasama
mukhabarah terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, yang berbunyi:
“ Sesungguhnya Thawus ra. bermukhabarah, Umar ra. berkata dan aku berkata kepadanya,
ya Abdurrahaman, kalau engkau tinggalkan, mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan
bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: Telah menceritakan kepdaku orang
yang sungguh-sungguh mengertahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. Tidak
melarang mukhabarah, hanya beliau yang berkata, bila seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya, hal itu lebih baik daripad mengambil manfaat dari saudaranya dengan telah
dimaklumi.”(HR. Muslim) (Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, 2011: 216).

Hadits di atas menjelaskan mengenai adanya praktik mukhabarah yang dilakukan oleh
sahabat Rasulullah. Berdasarkan apa yang mereka lakukan tersebut, dapat kita lihat bahwa
Rasulullah sama sekali tidak melarang dilakukannya mukhabarah, karena sebagaimana yang kita
ketahui, bahwasanya semua jenis muamalah itu diperbolehkan, hingga ada dalil yang
melarangnya. oleh karena itu, hukum melakukan mukhabarah sendiri adalah boleh (mubah),
dengan cacatan apa yang dilakukan tersebut dapat memberikan manfaat yang baik kepada sesama
atau berlandaskan keinginan untuk menolong tanpa adanya tujuan lain dengan maksud menipu
atau merugikan.

Hadits lainnya yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk diperbolehkannya melakukan

7
mukhabarah adalah sebagai berikut:
Dari Anas r.a berkata: “Suatu ketika Rasulullah saw. Lewat pada semua kaum yang
melakukan penyerbukan bakal kurma. Rasulullah saw. bersabda: Andaikan engkau biarkan
saja, niscaya akan menjadi kurma yang bagus.” Anas berkata: “Setelah mereka mengikuti
perintah Rasulullah saw. untuk tidak melakukan penyerbukan, ternyata menjadi buah
kurma yang bongkeng.” Kemudian Rasulullah saw. lewat dan menanyakan: “Ada apa
dengan kurma kamu?” Mereka mengatakan: “Hal ini terjadi karena kami mengikuti
perintah engkau.” Rasulullah saw. bersabda: “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan
dunia kalian.”(HR. Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)(Misbahul, 2007:41)

Hadits di atas menceritakan mengenai orang-orang yang menjalankan profesinya sebagai


petani kurma. Dalam hal tersebut, di mana para petani itu mendengarkan saran Rasulullah agar
tidak menyerbukkan benih kurmanya, namun ternyata apa yang mereka lakukan malah
mendapatkan hasil panen yang buruk. Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa masalah
mengenai penyerbukan benih kurma merupakan masalah dunia mereka yang bersangkutan, dan
orang-orang itu tentu saja lebih memahaminya.
Dari kisah singkat tersebut, kita mendapatkan apa yang menjadi latar belakang lahirnya
hadits di atas. Hadits di atas membahas urusan duniawi, tepatnya adalah mengenai ilmu pertanian
dan perkebunan. Dari kisah tersebut kita juga dapat melihat bahwa apa yang dianjurkan Rasulullah
ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya, di mana apa yang disarankan Rasulullah ternyata
malah berdampak tidak baik pada hasil perkebunan kurma kaum tersebut, tidak seperti hasil yang
biasa didapat oleh mereka dengan menggunakan cara yang biasa. Artinya, pendapat Rasulullah
dalam masalah ini bisa saja benar atau salah, sehingga tidak ada tuntutan terhadap umatnya untuk
mengharuskan mengikuti anjuran tersebut.
Penjelasan yang dipaparkan dalam hadits ini dapat dijadikan acuan bagi umat Muslim
dalam bermuamalah. Lebih jelasnya, hadits di atas dapat dijadikan landasan diperbolehkannya
kebebasan berekonomi dalam lingkup yang sesuai ajaran dan tidak menyalahi aturan.

3. Landasan Hukum musaqah


a. Al-Qur'an
Surah AlMaidah ayat 2, :

8
َ ‫شن َٰا ُن قَ ْو ٍم اَ ْن‬
‫صد ُّْو ُك ْم‬ َ ‫طاد ُْوا ََۗو ََل َي ْج ِر َم َّن ُك ْم‬ َ ‫ص‬ ْ ‫َواِذَا َحلَ ْلت ُ ْم فَا‬
‫َع ِن ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام ا َ ْن تَ ْعتَد ْۘ ُْوا َوتَ َع َاونُ ْوا َع َلى ْال ِب ِر َوالتَّ ْق ٰو ۖى‬
ُ‫ش ِد ْيد‬ ‫ّٰللاَ َۗا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ِ ‫اَلثْ ِم َو ْالعُدْ َو‬
‫ان َۖواتَّقُوا ه‬ ِ ْ ‫َو ََل ت َ َع َاونُ ْوا َعلَى‬
ِ ‫ْال ِعقَا‬
‫ب‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.

Dari kandungan ayat di atas menerangkan tentang Allah SWT memerintahkan saling
tolong-menolong dalam kebaikan dan meninggalkan perilaku buruk yang berakibat kemudharatan
bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Atas dasar kesamaan makhluk ciptaan Allah SWT, seorang
muslim yang beriman hendaknya mengamalkan kandungan ayat ini dengan saling membantu
apabila ada kesulitan pada orang lain.
b. Hadits
“Diriwayatkan darinya (Abu Hurairah) r.a: Kaum Anshar berkata kepada Nabi
Saw., “Bagikanlah pohon-pohon kurma milik kami kepada saudara-saudara kami
(kaum Muhajirin).” Nabi Saw menjawab, “Tidak”. Kaum Anshar berkata (kepada
kaum Muhajirin), “Uruslah pohon-pohon kami dan bagilah hasilnya dengan kami.”
Kaum Muhajirin berkata, “Sami’na wa atha’na (kami dengar dan taat).” (HR. Bukhari)

C. contoh kasus muzara’ah.mukhabarah, dan musaqah

Muzara’ah
Pak deni belum mempunyai pekerjaan, tetapi dia ahli dalam bidang pertanian, karna
pak deni tahu bahwa pak anton mempunyai tanah yang luas, maka pak deni datang kerumah
pak anton untuk menawarkan kerjasama.
Pak anton menanyakan apa keuntungan kerja sama itu baginya.

9
Pak deni menjawab, ‘’ saya ingin menyewa sebagian tanah yang Anda miliki, saya akan
menanam benih pada tanah tersebut dan merawatnya hingga masa panen.
Jika waktu panen tiba, 1/3 dari hasil panennya akan diberikan pada Anda (pak deni),
sedangkan saya (Pak anton) mendapatkan 2/3 hasil panen. Jadi Pak anton menyetujui
perjanjian tersebut
.
Mukhabarah
Pak Ahmad adalah saudagar kaya, dia memiliki banyak tanah diberbagai desa.
Tanah-tanah tersebut tidak ada yang merawat, karna pak Ahmad sering keluar kota untuk
urusan bisnisnya.
Istrinya memberi saran agar pak Ahmad menitipkan tanah-tanah itu agar dirawat oleh
orang lain.
Akhirnya, pak Ahmad meminta tolong kepada pak badrun, yang dmn dia salah satu saudara
jauhnya agar mau membantu pak Ahmad merawat tanah-tanah itu.
Pak badrun hanya perlu menanam bibit-bibit yang telah dibeli oleh pak Ahmad dan
merawatnya hingga panen. Jika waktu panen sudah tiba sebagian hasilnya akan diberikan
kepada pak badrun

Musaqah
Pak iman adalah orang yang sangat kaya dan memiliki banyak tanah/ladang
dimana-mana dan pak haris adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan
pekerjaan, karna pak haris orang yang jujur dan dapat dipercaya maka pak iman
menyerahkan sebagian kebunnya kepada pak haris dengan ketentuan-ketentuan tertentu
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut
maka pak haris harus merawat kebun pak iman dengan sebaik-baiknya sampai waktu panen
telah tiba.

10
PENUTUP
Dari pembahasan makalah ini dapat di simpulkan bahwa, muzara'ah adalah
perjanjian untuk pengelolaan lahan pertanian dari pemilik lahan dan penggarap dengan
bagian imbalan tertentu dari hasil panen. mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang
lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau
seperempat). sedangkan musaqah adalah menyerahkan pada orang yang merawat,
menyiram dan menjanjikan bila pohon yang diserahkan untuk dirawat telah siap panen dan
diambil manfaatnya sebagai sebagian dari imbalan pengelolaan.

Dengan adanya tiga pembahasan yang membahas tentang muzara'ah, mukhabarah


dan musaqah yang dimana menjelaskan tentang bagaimana seseorang melalukan akad
dalam pengelolahan lahan dan hasil panen, semoga pembahasan ini dapat membantu
pembaca untuk lebih memahami konsep dalam bertani dan juga bisa bermanfaat bagi
orang-orang yang akan melakukan transaksi dibagian pengelolaan dari lahan pertanian. dan
kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman kami
sekaligus para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki diri dan menambah
wawasan pembaca menjadi lebih luas lagi. karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman dalam penyusunan makalah, kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca agar nantinya penyusunan makalah dikesempatan berikutnya dapat kami
sempurnakan.

11

Anda mungkin juga menyukai