Anda di halaman 1dari 30

Al-muzara’ah &

Al-musaqah

FARIDAH OKTALIA
DEWI NUR APRILIANINGSIH
SELA DWI WIJAYANTI
Al-Muzara’ah

Al-muzaraah adalah kerjasama pengolahan


pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (persentase)
dari hasil panen.
Al-muzara’ah Mukhabarah

Muzara’ah : benih dari pemilik lahan


Mukhabarah : benih dari penggarap
Perbedaan Al-Muzara’ah
dan Mukhabarah
Muzara’ah adalah suatu akad Mukhabarah adalah suatu
sewa pekerja untuk mengelola transaksi pengolahan bumi
atau menggarap tanah dengan dengan (upah) sebagian
upah sebagian dari hasil yang hasil yang keluar dari
keluar dari padanya. padanya. Dalam hal ini
Disini pekerja (pengelola) hanya pengelolaan atau
bertanggung jawab terhadap penggarap tidak hanya
pengelolaan atau penggarapan bertanggung jawab untuk
dan tidak bertanggung jawab mengelola atau menggarap
untuk mengeluarkan benih atau sawah, akan tetapi juga
bibit tanaman. Dalam hal ini yang bertanggung jawab untuk
bertanggung jawab mengeluarkan mengeluarkan benih atau
benih atau bibit tanaman adalah bibit tanaman.
pemilik modal atau pemilik tanah.
Landasan Syariah

Al- Hadits

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa


Rasulullah SAW pernah memberikan
tanah Khaibar kepada penduduknya
(waktu itu mereka masih yahudi) untuk
digarap dengan imbalan pembagian
hasil buah-buahan dan tanaman.
Landasan Syariah

Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang


mengatakan bahwa bangsa arab
senantiasa mengolah tanahnya secara
muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1 / 3:2 /
3 , 1 / 4:3 / 4 , 1 / 2:1 / 2, maka rosulullah
pun bersabda
“ hendaklah menanami atau
menyerahkannya untuk digarap. Barang
siapa tidak melakukan salah satu dari
keduanya, tahanlah tanahnya.”
Landasan Syariah

Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata abu
jafar, “ tidak ada satu rumah pun di madinh
kecuali penghuninya mengolah tanah secara
muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan
¼.
Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali,
Sa’at Bin Abi Waqosh, Ibnu Mas’ud, Umar
Bin Abdul Aziz, Qosim, Urwah, Keluarga
Abu Bakar Dan Keluarga Ali.”
Rukun dan Syarat
Muzara’ah

Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah


Jumhur ulama’ yang membolehkan
akad Muzara’ah menetapkan rukun
yang harus dipenuhi, agar akad itu
menjadi sah.
Ijab qabul (akad)
Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul,
baik dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk
pernyataan yang menunjukkan adanya persetujuan
kedua belah pihak dalam melakukan akad
tersebut.
Penggarap dan pemilik tanah (akid) Akid adalah
seorang yamg mengadakan akad disini berperan
sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak
yang mengadakan akid.

Adanya obyek (ma’qud ilaih) Ma’qud ilaih adalah


benda yang berlaku pada hukum akad atau barang
yang dijadikan obyek pada akad.

Harus ada ketentuan bagi hasil. Dalam akad


Muzara’ah perlu diperhatikanketentuan bagi hasil
seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih
banyak atau lebih sedikit dari itu
Syarat-syarat dalam
Akad Muzara’ah

Adapun syarat-syarat dalam akad


Muzara’ah menurut Jumhur ulama’
ada yang berkaitan dengan orang
yang berakad, benih yang akan
ditanam, lahan yang akan dikerjakan,
hasil yang akan dipanen, dari jangka
waktu berlaku akad.
Orang yang melakukan akad harus baligh dan
berakal. Akan tetapi dalam pasal 1433 KUHPI
disebitkan bahwa mereka tidak perlu harus sudah
mencapai umur dewasa.

Benih yang akan ditanam harus jelas dan


menghasilkan, sehingga penggarap mengetahui
dan dapat melaksanakan apa yang diinginkan oleh
pemilik lahan pertanian itu.

Lahan pertanian yang dikerjakan :


1. Menurut adat kebiasaan dikalangan petani,
lahan itu bisa diolah dan menghasilkan.
2. Batas-batas lahan itu jelas
3. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada
petani untuk di olah dan pemilik lahan tidak
boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya.
Hasil yang akan dipanen 1. Pembagian hasil
panen harus jelas (prosentasenya) 2. Hasil panen
itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,
tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih
dahulu sekian persen.

Jangka waktu harus jelas dalam akad,


sehingga pengelola tidak di rugikan, seperti
membatalkan akad itu sewaktu-waktu.
Obyek akad harus jelas pemanfaatan
benihnya, pupuk dan obatnya, seperti yang
berlaku pada daerah setempat.
Berakhirnya akad
Muzara’ah

Suatu akad Muzara’ah berakhir apabila:


1. Meninggalnya salah satu pihak,
namun dapat diteruskan oleh ahli
warisnya.

2. Jangka waktu yang disepakati


berakhir. Jika dalam menyewa tanah
berada dalam tahun (waktu dalam
tahun tersebut) yang dimungkinkan
adanya panen maka diperbolehkan.
Berakhirnya akad
Muzara’ah

3. Jika banjir merusak dan melanda


tanah sewa sehingga kondisi tanah
dan tanaman rusak maka perjanjian
berakhir.

4. Ketika waktu berakhir maka pemilik


dilarang mencabut tanaman sampai
pembayaran diberikan dan hasil
panen dihitung.
Aplikasi
Muzara’ah
dalam
Muamalah
Modern
Dalam perbankan Islam, prinsip
yang paling banyak dipakai adalah
musyawarah dan mudharabah,
sedangkan muzara’ah dan musaqah
dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau
pembiayaan pertanian oleh
beberapa bank Islam.
Bahkan dalam bank-bank Islam
sekarang khususnya di Indonesia
sama sekali belum mengeluarkan
produknya baik muzara’ah maupun
musaqah.
Akan tetapi dalam perkembangannya,
praktek muzara’ah lebih cenderung
kepada mudharabah (kerjasama dengan
sistem profit sharing).
Secara teknis mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (shahib al maal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya disebut mudharib sebagai
pengelola usaha Keuntungan dalam
mudharabah akan dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak. Sedangkan kerugiannya akan
ditanggung oleh pihak yang membuat
kelalaian.
Secara umum, aplikasi muzara’ah dalam
bank Islam dapat digambarkan dalam skema
berikut ini :

Perjanjian
Bagi Hasil

Pemilik
Penggarap
Lahan
Lahan Lahan
Benih Pertanian Keahlian
Pupuk Tenaga
dsb waktu

Hasil
Panen
AL-MUSAQAH
Al-musaqah adalah bentuk yang lebih
sederhana dari muzara’ah, dimana si
penggarap hanya bertanggungjawab
atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak
atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Landasan Syariah

Al- Hadits

Ibnu umar berkata bahwa Rosulullah


saw pernah memberikan tanah dan
tanaman kurma di khaibar kepada
yahudi khaibr untuk dipelihara dengan
mempergunakan perlatan dan dana
mereka. Sebagai imbalan, mereka
memperoleh presentase tertentu dari
hasil panen.
Ijma

Telah berkata Abu ja’far Muhammad bin Ali


bin Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a bahwa
Rosulullah saw telah menjadikan penduduk
khaibar sebagai penggarap dan pemelihara
atas dasar bagi hasil.
Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar,
Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai
hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua
telah dilakukan oleh khulafaurrasyidin pada
zaman pemerintahannya dan semua pihak
telah mengetahuinya, tetapi tak ada
seorangpun yang menyanggahnya.
Macam-macam Musaqoh

Menurut Malikiyah, al-musaqah ialah


Sesuatu yang tumbuh ditanah. Yaitu
dibagi menjadi lima macam:
1. Pohon-pohon tersebut berakar kuat
(tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik
serta pohon tersebut tetap ada
dengan waktu yang lama, misalnya
pohon anggur dan zaitun.
2. Pohon-pohon tersebut berakar tetap,
tetapi tidak berbuah seperti pohon
kayu keras, karet, dan jati.
3. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat,
tetapi berbuah dan dapat dipetik.
4. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat
dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik,
tetapi memilikiki kembang yang
bermanfaat, seperti bunga mawar.
5. Pohon-pohon yang diambil hijau dan
basahnya sebagai suatu manfaat, bukan
buahnya, seperti tanaman hias yang
ditanam di halaman rumah dan di tempat
lainnya
Dengan demikian musāqāh adalah
sebuah bentuk kerjasama petani
pemilik kebun dengan petani
penggarap dengan tujuan agar
kebun itu dipelihara dan dirawat
sehingga memberikan hasil yang
maksimal. Kemudian segala sesuatu
yang dihasilkan pihak kedua adalah
merupakan hak bersama antara
pemilik dan penggarap sesuai
dengan kesepakatan yang mereka
buat.
Rukun dan syarat-
syarat musāqāh

Jumhur ulama yang terdiri atas ulama


Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
berpendiriran bahwa transaksi musāqāh harus
memenuhi lima rukun, yaitu:
Sighāt (ungkapan) ijāb dan qābūl.

Dua orang/pihak yang melakukan


transaksi;

Tanah yang dijadikan objek musāqāh;


Jenis usaha yang akan dilakukan petani
penggarap;

Ketentuan mengenai pembagian hasil


musāqāh;
Macam- macam
Musāqāh,
dan Berakhirnya
Akad Musāqāh
Macam- macam Musāqāh

Musāqāh yang bertitik Musāqāh yang bertitik


pada manfaatnya, yaitu tolak pada asalnya,
pada hasilnya berarti yaitu untuk mengairi
pemilik tanah (tanaman) saja, tanpa ada tanggung
sudah menyerahkan jawab untuk mencari air.
kepada yang Maka pemiliknyalah
mengerjakan segala yang berkewajiban
upaya agar tanah mencarikan jalan air,
(tanaman) itu membawa baik yang menggali
hasil yang baik. sumur, membuat parit
atau usaha-usaha yang
lain.
Berakhirnya akad musāqāh
Menurut ulama fiqh, akad
musāqāh berakhir apabila:

a) Tenggang waktu yang disepakati dalam


akad telah habis.

b) Salah satu pihak meninggal dunia.


c) Dan uzur yang membuat salah satu pihak
tidak boleh melanjutkan akad.
Questions

Anda mungkin juga menyukai