Anda di halaman 1dari 12

MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH

MUSAQQAH
adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dan petani penggarap dg tujuan agar kebun
(lahan beserta tanamannya) itu dipelihara dan dirawat shg memberikan hasil yg maksimal.
Kemudian, segala sesuatu yg dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama
antara pemilik dan penggarap dg pembagian sesuai dg kesepakatan yg mereka buat.
MUZARA’AH
yaitu kerja sama pemilik lahan dan petani/penggarap lahan yg benih (bibit) tanaman berasal dari
pemilik lahn dg perjanjian bagi hasil yg jumlahnya menurut kesepakatan bersama.
MUKHABARAH
Yaitu bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap yg biaya dan benihnya dari
penggarap/petani dg perjanjian bhw hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan Bersama.
ZAKAT-nya: ……menurut asal bibit…..

MUSAQQAH     

A.    Pengertian dan Hukum Musaqah

- Scr etimologi, musaqah : transaksi dlm pengairan,


- Penduduk Madinah disebut al- mu’amalah.
- Scr terminology :
Menurut Ibn ‘Abidin, musaqah adalah:
“Penyerahan sebidang kebun kpd petani utk digarap n dirawat dg ketentuan bhw petani
mendapat bagian dari hasil kebun itu”.
- Akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dan petani penggarap dg
tujuan agar kebun (lahan beserta tanamannya) itu dipelihara dan dirawat shg memberikan
hasil yg maksimal. Kemudian, segala sesuatu yg dihasilkan pihak kedua berupa buah
merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap dg pembagian sesuai dg
kesepakatan yg mereka buat.

DALIL MUSAQAH
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:
ْ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َعا َم َل َأهْ َل َخ ْي َب َر َع َلى َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َها ِمن‬ ِ ‫َأنَّ َرسُو َل‬
َ ‫هللا‬
‫ َث َم ٍر َأ ْو َزرْ ٍع‬.
“Bhw Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar utk menggarap
lahan di Khaibar dg imbalan separuh dr tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tsb.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:


‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْقسِ ْم َب ْي َن َنا َو َبي َْن ِإ ْخ َوا ِن َنا ال َّنخِي َل‬ َ ‫ت َ ْاَأل ْن‬
َ : ِّ‫صا ُر لِل َّن ِبي‬ ِ ‫َقا َل‬
‫ َس ِمعْ َنا َوَأ َطعْ َنا‬:‫الث َم َر ِة َقالُوا‬ َّ ‫ َقا َل الَ َف َقالُوا َت ْكفُو َنا ْال َمُئو َن َة َو َن ْش َر ْك ُك ْم فِي‬.
“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma

1
antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata,
‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab,
‘Kami mendengar dan kami taat.’”
B.     Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Akad Musaqah
1. Rukun Musaqah
- Hanafiyah: rukun musaqah :
a. ijab dari pemilik tanah,
b. kabul dari petani penggarap,
c. pekerjaan dari pihak penggarap
-Jumhur ulama: Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yaitu:
a.       Dua orang/ pihak yg melakukan transaksi.
b.      Tanah yg dijadikan objek musaqah.
c.       Jenis usaha yg akan dilakukan petani penggarap.
d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.
e.       Shighat (ungkapan) ijab dan kabul

Rukun Musaqah adalah


1. Shigat,
2. Dua orang yang akad (al-aqidain),
3. Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah),
4. Baik pemilik kebun atau tukang kebun (yang mengerjakan) keduanya hendaklah
orang yang sama-sama berhak bertasarruf (membelanjakan) harta keduanya
5. Kebun, yaitu semua pohon yg berbuah, boleh diparokan, demikian juga hasil
pertahun (palawija) boleh pula diparokan. Yg dimaksud dg hasil pertahun (palawija)
adalah semua tanaman yang hanya berbuah satu kali, dan sesudah berbuah satu
kali pohonnya itu lalu mati, misalnya padi, jagung dan sbg. Tanaman ini kita bedakan
dg buah-buahan yg lain krn hukumnya sering berbeda

Pekerjaan (masa kerja), hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih,
sekurangnya menurut kebiasaan masa itu kebun sudah mungkin berbuah. pekerjaan yg dilakukan
oleh tukang kebun ialah semua pekerjaan ybs dg penjagaan kerusakn & pekerjaan (perawatan yg
berfaedah) utk buah, spt menyirami, merumput dan mengawinkannya.
 Buah, hendak ditentukan bagian masing-masing (yg punya kebun dan tukang kebun),
missal. seperdua, sepertiga, atau berapa sj berdasar kesepakatan para pihak pd waktu akad

2.  Syarat Musaqah
Adapun syarat-syarat yg harus dipenuhi oleh masing-masing rukun :
a.       Kedua belah pihak harus cakap bertindak hkm, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.
b.      Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang  mempunyai buah.
- Hanafiyah: objek musaqah mesti pepohonan yg berbuah spt kurma, anggur, terong.
- tp, Hanafiyah mutaakhirin: boleh jg pepohonan yg tdk berbuah, jk hal itu dibutuhkan masy.
- Malikiyah: objek musaqah tanaman keras & palawija (hasil per th), spt kurma, terong, apel
dan anggur dg syarat bhw:
1)  Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.
2)  Tenggang waktu yg ditentukan jelas.
3)  Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4)  Pemilik perkebunan tdk mampu utk mengolah dan memelihara tanaman itu.

- Hanabilah: objek musaqah mesti tanaman yg berbuah & yg boleh dikonsumsi.


- Syafi’i: yg boleh dijadikan objek musaqah hanya kurma dan anggur saja, sbgmn sabda
Rasulullah saw:

2
“Rasulullah saw.menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kpd orang Yahudi dg ketentuan
sebagian dr hasilnya, baik buah-buahan maupun dr biji-bijian menjadi milik org Yahudi itu”.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kpd petani penggarap setelah akad berlangsung utk digarap,
tanpa campur tangan pemilik tanah.
d. Hasil (buah) yg dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dg kesepakatan
yg mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya.
Syafi’i (yg terkuat), sah melakukan perjanjian musaqah pd kebun yg telah mulai berbuah, tetapi
buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).
e. Lamanya perjanjian harus jelas, krn transaksi ini sama dg transaksi sewa-menyewa agar terhindar
dr ketidak pastian.
+ Jkt pohon tdk menghasilkan sesuatu, keduanya tdk mendptkn apa-apa
3.  Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh,akad musaqah berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yg disepakati dalam akad telah habis.
b.      Salah satu pihak meninggal dunia.
c.       Ada uzur yg membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

            Uzur yg mrk maksud dlm hal ini diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai
seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yg tdk memungkinkan utk bekerja.

            Jika petani wafat, mk AW-nya boleh melanjutkan akad jk tanaman itu belum dipanen. Jk
pemilik kebun yg wafat, mk pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jk kedua belah pihak meninggal,
kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya.

- Malikiyah: akad musaqah boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh
dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani.

- Syafi’iyah: akad musaqah tidak boleh dibatalkan krn adanya uzur. Jk petani penggarap yg uzur, mk
harus ditunjuk salah seorang yg bertanggung jawab utk melanjutkan.

-Hanabilah, akad musaqah sama dg akad muzara’ah, yaitu akad yg tidak mengikat bg kedua belah
pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jk pembatalan akad itu
dilakukan setelah pohon berbuah, mk buah itu dibg dua antara pemilik kebun dan petani penggarap,
sesuai dg kesepakatan yg telah ada.
HUKUM Musaqah
Hukum terkait dg Akad al-musaqah, menurut ulama fiqh adakalanya sahih, jika memenuhi rukun dan
syaratnya, dan adakalanya juga fasid, yaitu ktk salah satu syarat dr akad al-musaqah tdk terpenuhi.
Adapun hukum-hukum terkait dg akad al-musaqah yang sahih adalah:
a. Seluruh pekerjaan yg berkaitan dg pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dan segala yg
dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (pemilik dan petani).

c. Jika kebun itu tdk menghasilkan (gagal panen), mk masing-m pihak tdk mendapatkan apa-apa.
d. Akad al-musaqah yg telah disepakati mengikat kedua belah pihak, shg masing-m pihak tdk boleh
membatalkn akad, kecuali ada uzur yg membuat tdk mungkin utk melanjutkn akad yg telah disetujui.
Atas dasar itu, pemilik kebun berhak memaksa petani utk bekerja, kecuali ada uzur pd diri petani itu.

3
e. Penggarap tdk boleh melakukan akad musaqah lain pihak ketiga, kecuali izin pemilik kebun pihak I
Akad musaqah bisa fasid apabila:
a. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna
serikat tidak ada dalam akad itu.
b. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen bagi salah satu pihak, misalnya seperdua dan
sebagainya, atau bagian petani, misalnya, dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai
serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
c. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja di kebun itu, bukan petani penggarap saja.
d. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap, karena dalam akad al-
musaqah pekerjaan sejenis itu bukan menjadi pekerjaan petani.
e. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani atau pemilik.
f. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara dlm tenggang waktu yg disepakati
tanaman belum boleh dipanen, menurut adat setempat dan adat kebiasaan tanaman yg dipilih.
Jika akad al-musaqah fasid, maka akibat hukumnya:
a. Petani penggarap tidak boleh dipaksa untuk bekerja di kebun itu
b. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkn petani penggarap tdk menerima
apapun dr hasil kebun itu, tp ia hanya berhak upah yang wajar yg berlaku didaerah itu (ajru al-mitsil).

C.    Hikmah Musaqah
         Ada orang kaya memiliki tanah yg ditanami pohon, tp tdk mampu menyirami (memelihara) krn
ada halangan. Maka Allah membolehkan u mengadakan suatu perjanjian dg orang yg dapat
menyiraminya, yg masing-m mendapat bagian dari buah yg dihasilkan. Dlm hal ini ada dua hikmah:
1.  Menghilangkan kemiskinan, sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
2. Saling tukar manfaat di antara manusia.
3. Terjalin ikatan cinta kasih sayang, sesama, mk jadilah umat yg bersatu n bekerja utk kemaslahatan

MUZARA’AH
A.   Pengertian dan Hukum Muzara’ah
            Scr etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan
petani penggarap.
Scr terminologi, terdapat beberapa defenisi muzara’ah yg dikemukakan ulama fiqh.
- Malikiyah :   “Perserikatan dalam pertanian”
- Hanabilah: “Penyerahan tanah pertanian kpd seorang petani utk digarap n hasilnya dibg berdua”
- Kebiasaan Indonesia disebut “paruhan sawah”. Penduduk Irak menyebutnya “ al- mukhabarah”.
Tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yg ditanam berasal dari pemilik tanah.
- Imam Syafi’i mendefenisikan:
“pengolahan tanah oleh petani dg imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan
penggarap tanah”.
            Dalam mukkarabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, dlm muzara’ah,
bibit yg akan ditanam boleh dari pemilik.
            Jd, “muzara’ah yaitu kerja sama pemilik tanah dan penggarap tanah dg perjanjian bagi hasil yg
jumlahnya menurut kesepakatan Bersama. Benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dlm
kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka scr khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.
-  Muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah.
DASAR
- Dasar kebolehan muazara’ah, dipahami keumuman QS al-Maidah:2 yg menyuruh saling menolong
- ِ ‫َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬
‫ان‬
- juga scr khusus hadis Nabi dr Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yg mengatakan:
-
‫هللا صَ لَّى هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم عَ ا َم َل َأهْ َل َخ ْيبَرَ عَ لَى مَا ي َْخ ُر ُج ِم ْنهَا مِنْ َثم ٍَر َأ ْو َزرْ ٍع‬
ِ ‫َأنَّ رَ سُو َل‬.

4
“Bhw Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar utk menggarap
lahan di Khaibar dg imbalan separuh dr tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan
tsbt”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).
- Muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan.
- Persamaan: duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil.
- Perbedaannya:
- musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja utk memeliharanya.
- muzara’ah, tanaman belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh penggarapny.

B.  Rukun dan Syarat Muzara’ah


            Jumhur ulama : Rukun Muzara’ah :
1.      Pemilik tanah.
2.      Petani penggarap.
3.      Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4.      Ijab dan kabul.
Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian ini kpd engkau utk digarap dan hasilnya kt
bagi berdua”. Petani penggarap menjawab: “ Saya terima tanah pertanian ini utk digarap dg imbalan
hasilnya dibagi dua”.
Hanabilah: penerimaan (kabul) akad muzara’ah tdk perlu dg ungkapan, tetapi boleh juga dg tindakan,
yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

Syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama: < Ijarah : upah-sewa


1. Syarat orang yg berakad: keduanya harus sudah muayyiz / baliq dan berakal < sm dg ijarah
- Hanafiyah : mumayyiz.
- Syafi’iyah, Hanabilah : Balig
2. Syarat benih harus jelas jelas dan akan menghasilkan.
3. Syarat tanah pertanian:
a.  Menurut adat, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan. tanah tandus tdk sah.
b.  Batas-batas tanah itu jelas.
c.  Tanah itu diserahkan sepenuhnya kpd petani u digarap. Ktk pemilik tanah ikut
mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tdk sah.

4. Syarat hasil panen:


a.   Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.  Hasil itu benar-benar milik bersama orang yg berakad, tanpa ada pengkhususan.
c.  Pembagian hasil panen itu ditentukan kadarnya: setengah, sepertiga, sejak awal akad. Dan
penentuannya tdk boleh berdasarkan jumlah tertentu scr mutlak, spt saru kwintal utk pekerja,
atau satu karung, krn kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah/melampaui jumlah itu.
5.  Syarat jangka waktu juga harus dijelaskan dlm akad sejak semula, krn akad muzara’ah
mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah mengupah) dg imbalan  sebagian
hasil panen. Oleh sebeb itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini
biasanya disesuaikan dg adat setempat.
 6. objek akad, jumhur ulama yg membolehkan al-muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik
berupa jasa petani, sehingga benih yg ditanam datangnya dari pemilik lahan (berarti pemilik lahan
mempekerjakan pihak penggarap), maupun pemanfaatan lahan,dan benihnya dari petani (phak
penggarap menyewa lahan atau dg kt lain, pihak pemilik lahan menyewakan lahannya). 
Jk yg terjadi kedua-duanya (spt jk yg dimaksudkan sbg objek akad adalah hal yg pertama, namun
benihnya juga dr piahk penggarap, atau sebaliknya, mk tdk sah)

Kewajiban:

5
- Pemilik lahan: 1. Menyerahkn lahan pd penggarap (+hak-diatasx) 2. Meperbaiki fasilitas pertanian
- Penggarap : 1. Melak penanaman dg baik dan pekerjaan penanaman sesuai adat. Spt. Membajak,
mencangkuli.., mengairi, dll. 2. Menjaga lahan & tanaman yg ada.
Catatan :
- Muzaraah Sah-Gagal Panen = para pihak tdk memiliki tanggung kewajiban apa-apa terhdp pihak lain
- ktk pemodal benih pemilik lahan = hasilnya pemilik lahan = me-upah penggarap
Ktk pemodal benih penggarap = pengeluaran + sewa = me-sewa lahan

MUKHABARAH

A. Pengertian dan Hukum Mukhabarah


Pengertian:
- Mukhabarah: bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dg perjanjian bhw
hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, biaya dan
benihnya dari penggarap tanah.
- Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pd benih tanaman.
Dlm muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih
tanaman berasal dari pihak penggarap.
- Umumnya mukhabarah dilak pd perkebunan yg benihnya relatif murah, spt padi, jangung n kacang.
Hukum:            
- Hukum mukhabarah sama dg muzara’ah, yaitu mubah. Landasan hukum,
sabda Nabi SAW :

“Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakana kepadanya: Ya Abu
Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mrk mengatakan bhw Nabi SAW telah
melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kpdku org yg sungguh-
sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibn Abbas bhw Nabi SAW tdk melarang mukhabarah itu,
hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kpd saudaranya lebih baik dari pada ia mengambil
manfaat itu dg upah tertentu”. (Hr. Muslim) .

3. Dasar Hukum Mukhabarah


Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yg menjadi dasar hukum diperbolehkannya
melakukan mukhabarah, yaitu:

Artinya: "Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: lalu aku katakan
kepadanya ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka
mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: hai Amr,
telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu
Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata:
seseorang 10 memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil
manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu". (HR. Muslim)"

6
Hadits di atas menjelaskan mengenai adanya praktik mukhabarah yang dilakukan
oleh sahabat Rasulullah. Berdasarkan apa yang mereka lakukan tersebut, dapat kita lihat
bahwa Rasulullah sama sekali tidak melarang dilakukannya mukhabarah, karena
sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya semua jenis muamalah itu diperbolehkan,
hingga ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, hukum melakukan mukhabarah sendiri
adalah boleh (mubah), dengan cacatan apa yang dilakukan tersebut dapat memberikan
manfaat yang baik kepada sesama atau berlandaskan keinginan untuk menolong tanpa
adanya tujuan lain dengan maksud menipu atau merugikan. Hadits lainnya yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukum untuk diperbolehkannya melakukan mukhabarah adalah
sebagai berikut:

Artinya: Dari Anas ra berkata: "Suatu ketika Rasulullah saw. Lewat pada semua kaum yang
melakukan penyerbukan bakal kurma. Rasulullah saw. bersabda: Andaikan engkau biarkan
saja, niscaya akan menjadi kurma yang bagus." Anas berkata: "Setelah mereka mengikuti
perintah Rasulullah saw. untuk tidak melakukan penyerbukan, ternyata menjadi buah kurma
yang bongkeng." Kemudian Rasulullah saw. lewat dan menanyakan: "Ada apa dengan kurma
kamu?" Mereka mengatakan: "Hal ini terjadi karena kami mengikuti perintah engkau."
Rasulullah saw bersabda: "Kalian lebih mengetahui terhadap urusan dunia kalian” (HR.
Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)
Hadits di atas menceritakan mengenai orang-orang yang menjalankan profesinya
sebagai petani kurma. Dalam hal tersebut, di mana para petani itu mendengarkan saran
Rasulullah agar tidak menyerbukkan benih kurmanya, namun ternyata apa yang mereka
lakukan malah mendapatkan hasil panen yang buruk. Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan
bahwa masalah mengenai penyerbukan benih kurma merupakan masalah dunia mereka
yang bersangkutan, dan orang-orang itu tentu saja lebih memahaminya.
Dari kisah singkat tersebut, kita mendapatkan apa yang menjadi latar belakang
(asbab al-wurud) lahirnya hadits di atas. Hadits di atas membahas urusan duniawi, tepatnya
adalah mengenai ilmu pertanian dan perkebunan. Dari kisah tersebut kita juga dapat
melihat bahwa apa yang dianjurkan Rasulullah ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya,
di mana apa yang disarankan Rasulullah ternyata malah berdampak tidak baik pada hasil
perkebunan kurma kaum tersebut, tidak seperti hasil yang biasa didapat oleh mereka
dengan menggunakan cara yang biasa. Artinya, pendapat Rasulullah dalam masalah ini bisa
saja benar atau salah, sehingga tidak ada tuntutan terhadap umatnya untuk mengharuskan
mengikuti anjuran tersebut.
Penjelasan yang dipaparkan dalam hadits ini dapat dijadikan acuan bagi umat
Muslim dalam bermuamalah. Lebih jelasnya, hadits di atas dapat dijadikan landasan
diperbolehkannya kebebasan berekonomi dalam lingkup yang sesuai ajaran dan tidak
menyalahi aturan.

B. Rukun dan Syarat Mukhabarah


1. Rukun Mukhabarah
Rukun akad berdasarkan pendapat jumhur fuqaha, antara lain adalah:
1) Aqid, yaitu orang yg melakukan kesepakatan dg jumlah yg terdiri dua orang atau lebih.
2) Ma'qud 'alaih, merupakan benda-benda (objek) yang diakadkan.
3) Maudhu' al-'aqd, adalah tujuan pokok dari diadakannya akad.
4) Shighat al-'aqd yang terdiri dari ijab dan qabul.

7
Adapun yang menjadi rukun dari mukhabarah, ulama Hanabilah mengemukakan
pendapat bahwa mukhabarah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup dengan
mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
Menurut ulama Hanafiah, rukun mukhabarah adalah akad, yaitu adanya ijab dan
qabul antara pemilik lahan dan pengelola. Adapun secara rinci, ulama Hanafiah
mengklasifikasikan rukun mukhabarah menjadi 4, antara lain: 1) tanah: 2) perbuatan
pekerja: 3) modal: 4) alat-alat untuk menanam.
Menurut ulama Malikiah, muzara'ah diharuskan menaburkan benih di atas lahan
yang telah disediakan. Namun apabila itu mukhabarah, maka benih yang akan ditaburkan
tersebut berasal dari pengelola.
Menurut pendapat paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara'ah ini harus
menggunakan shighat. Berikut adalah rukun mukhabarah yang dikemukakan oleh jumhur
ulama, yaitu: 1) pemilik lahan; 2) petani penggarap (pengelola); 3) objek muzara'ah/
mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja petani; 4) ijab (ungkapan
penyerahan mencari lahan untuk diolah dari petani).
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi rukun dari mukhabarah antara lain adalah: 1) pemilik lahan: 2) petani
penggarap/pengelola: 3) objek mukhabarah (lahan/tanah yang hendak dikelola); 4) adanya
manfaat/hasil kerja pengelola; 5) shighat.
2. Syarat-syarat Mukhabarah
Setiap pembentukan akad, terdapat beberapa syarat yang harus ditentukan dan
disempurnakan, yaitu:
a. Syarat yg bersifat umum, maksudnya adalah syarat-syarat tsb harus sempurna
wujudnya dalam setiap akad.
b. Syarat yg bersifat khusus, yaitu syarat yang tidak diwajibkan dalam setiap akad.
Maksudnya, wujud syarat tersebut hanya ada pada sebagian akad. Syarat khusus ini
disebut juga syarat tambahan (idhafi) yg harus berdampingan dg syarat-syarat umum,
seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Berikut adalah syarat yg harus dipenuhi dalam rukun mukhabarah, antara lain:
a. Syarat pihak yang melakukan akad
1) Berakal, yaitu akad tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak kecil
yang belum mumayyiz. Sebab akal ini merupakan syarat kelayakan dalam melakukan
tindakan nantinya.
Menurut ulama Hanafiah, mumaayyiz atau baligh bukanlah termasuk syarat
bolehnya muzara'ah atau mukhabarah. Sebab, anak yg belum baligh namun telah diberi izin
maka boleh melakukan akad tsb, karena muzara'ah atau mukhabarah ini dianggap sama
dengan memperkerjakan atau mengupah orang lain dari sebagian hasil panen.
Ulama Syafi'iyah dan ulama Hanabilah menetapkan baligh sebagai syarat sahnya
muzaraa'ah atau mukhabarah, sama seperti akad lainnya.
2) Bukan orang murtad. Hal ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, sebab
menurutnya tindakan orang murtad adalah ditangguhkan (mauquuf), sehingga tidak bisa
langsung sah seketika itu juga. Namun, tidak semua rekan Imam Abu Hanifah setuju dengan
pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa akad muzaraa 'ah atau mukhabarah yang
dilakukan orang murtad statusnya adalah berlaku efektif (naafidz) seketika.
b. Syarat penanaman

8
Salah satu yang harus jelas dalam syarat penanam adalah jenis benih yang hendak
ditanam. Benih yang ditanam tersebut harus sesuatu yang aktivitas pengolahan dan
penggarapannya dapat berkembang. yaitu mengalami pertambahan dan pertumbuhan.
c. Syarat lahan yang akan ditanami
1) Harus dipahami apakah lahan layak untuk ditanami dan dijadikan lahan pertanian
atau tidak. Seandainya lahan tersebut tidak layak untuk ditanami, misal lahan mengandung
garam atau berlumpur sehingga sulit ditanami, maka akad menjadi tidak sah.
2) Lahan harus diketahui dengan jelas dan pasti, yaitu milik siapa dan bagaimana
status hukumnya. Karena apabila tidak diketahui dengan jelas, akad tidak sah karena
berpotensi menyebabkan terjadinya perselisihan.
3) Lahan yang hendak ditanami diserahkan sepenuhn kepada pengelola
(attakhliyah). Apabila disyaratkan sesuatu yang masih mengandung campur tangan pemilik
lahan, maka akad diangap tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat attakhliyah.
d. Syarat masa mukhabarah
Masa atau jangka waktu dalam muzara'ah atau mukhabarah harus jelas dan pasti.
Patokan dari masa disesuaikan dengan masa yang sewajarnya. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan apabila masanya tidak wajar, seperti masa yang tidak memungkinkan bagi
pengelola untuk menggarap lahan, atau jangka waktu di mana kemungkinan besar umur
salah satu pihak tidak menjangkau masa tersebut.
Adapun syarat-syarat mukhabarah menurut jumhur ulama, yaitu :
1) Para pihak yang berakad (pemilik tanah dan penggarap), syarat bagi keduanya
harus cakap melakuan perbuatan hukum (baligh dan berakal sehat);
2) Objek yang dijadikan tujuan akad (lahan pertanian), disyaratkan agar tempat
tersebut layak untuk ditanami dan dapat menghasilkan sesuai kebiasaan serta tempat
tersebut sudah ditetapkan secara pasti;
3) Hasil atau sewa yg ditetapkan harus jelas dan pembagianya ditentukan saat akad;
4) Shighat (ijab kabul), yaitu ungkapan khusus yang menunjukkan adanya akad.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, dapat kita pahami bahwa yang menjadi
syarat dari mukhabarah antara lain:
1) Adanya orang yang berakad, yaitu terdiri atas pemilik lahan dan penggarap.
Kedua pihak ini disyaratkan haruslah orang yang baligh dan memiliki akal:
2) Objek akad, yaitu berupa lahan/tanah yang hendak ditanami. Lahan ini harus
memiliki kriteria tertentu, di mana tanah tersebut memang dapat ditanami dan jelas status
hukumnya;
3) Harus memiliki hasil, yang mana pembagiannya telah ditentukan lebih dulu saat
pembuatan akad dan telah disetujui oleh kedua belah pihak:
4) Adanya shighat (ijab dan qabul).
Beberapa hal yg harus terpenuhi dlm mekanisme dari pelaksanaan mukhabarah yg
disandarkan kepada ketentuan muzara'ah, antara lain yaitu:
1. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yg akan digarap kepada pihak pengelola:
2. Pengelola harus memiliki kemampuan/keahlian dalam berkebun dan bersedia
untuk menggarap lahan yang diserahkan kepadanya;
3. Jenis benih yang akan ditanam dalam kerja sama perkebunan berdasarkan akad
mukhabarah terbatas, harus dinyatakan scr pasti dlm akad, & diketahui oleh pemilik lahan;
4. Pengelola berhak memilih jenis benih tanaman untuk ditanam;
5. Pengelola wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan:

9
6. Pengelola dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian
hasil yang akan diterima oleh masing-masing pihak;
7. Penyimpangan yang dilakukan pengelola maupun pemilik lahan saat kerja sama
sedang berlangsung dapat mengkibatkan batalnya akad;
8. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh pengelola yang melakukan pelanggaran
(penyimpangan), menjadi milik pemilik lahan;
9. Dalam hal pengelola melakukan pelanggaran, pemilik lahan dianjurkan untuk
memberikan imbalan atas kerja yang telah dilakukan pengelola;
10. Pengelola berhak melanjutkan akad jika tanamannya belum layak dipanen,
meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia;
11. Ahli waris pemilik lahan harus melanjutkan kerja sama yang dilakukan pihak
yang meninggal sebelum tanaman bisa dipanen;
12. Hak pengelola lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila pengelola
meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen;
13. Ahli waris pengelola berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad yang
dilakukan oleh pihak yang meninggal dunia.

G.    Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah

            Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yg wajib zakat adalah
pemilik tanah, karena dialah yg menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam
mukhabarah, yg wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yg menanam.
Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya,
maka zakat diwajibkan kpd keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

            Yusuf Qardawi: jika pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kpd orang lain dg
imbalan seperempat, sepertiga atau setengah hasil sesuai dg perjanjian, maka zakat dikenakan atas
kedua bagian masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan
yg seorang lagi tidak, maka zakat wajib bagi atas yang memiliki bagian yg cukukp senisab, sedangkan
yg tidak cukup senisab tdk wajib zakat.

Imam Syafi’i: keduanya dipandang satu orang, yg oleh karena itu wajib scr bersama-sama
menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari
bagiannya.

H.    Hikmah Muzara’ah dan Mukharabah

            Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan
dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah yang
subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau
dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain
menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing-masing,

10
maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yg merupakan
sumber kekayaan terbesar.

Ringkasan

1. Secara etimologi, Musaqah berarti transaksi dlm pengairan. Scr


terminologi fiqh, musaqqah yaitu akad untuk pemeliharaan pohom kurma, tanaman
(pertanian), dan lainnya dg syarat tertentu. Atau penyerahan sebidang kebun pada petani
utk digarap dan dirawat dg ketentuan bhw petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqqah yaitu boleh atau mubah.
2.  Jumhur ulama fiqh berpendirian bahwa rukun musaqqah ada lima, yaitu:
a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.
b.      Tanah yang dijadikan objek musaqqah.
c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqqah.
e.       Sighat (ungkapan) ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat yg harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:
a.  Kedua belah pihak harus cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.
b.  Objek musaqqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
c.  Lamanya perjanjian harus jelas.
Akad musaqqah berakhir apabila:
a.   Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.  Salah satu pihak meninggal dunia.
c.  Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjudkan akad.
3.    Hikmah Musaqqah, antara lain:
a. Menghilangkan kemiskinan, sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
b. Saling tukar manfaat diantara manusia.
4.    Scr etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian pihak pemilik tanah dan petani
penggarap. Scr terminologi, muzara’ah ialah pengolahan tanah oleh petani dg imbalan hasil
pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah. Dlm mukharabah, bibit yg akan
ditanam disediakan o penggarap tanah, dlm al-muza’raah, bibit yg akan ditanam boleh dr pemilik.
-Antara muzara’ah dan musaqqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-
duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam musaqqah
tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya.
-Dalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh
penggarapnya.
-Kerja sama dlm btk muzaraah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh).

11
-Rukun muzara’ah sebagai berikut:
a.       Pemilik tanah.
b.      Petani penggarap.
c.       Objek al-muza’raah, yaitu anytara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
d.      Ijab dan Kabul.
-Syarat-syarat muzaraah :
a.  Syarat orang yang berakad: keduanya harus telah balig dan berakal.
b. Syarat benih harus jelas, dan akan menghasilkan.
c.  Syarat tanah pertanian:
1)      Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
2)      Batas-batas tanah itu jelas.
3)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
d.  Syarat-syarat hasil panen:
1)  Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
2)  Hasil itu benar-benar milik bersama orang yg berakad. Tanpa boleh ada pengkhususan

5.  Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dg perjanjian
bhw hasilnya akan dibagi pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan
biaya dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman.
Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih
tanaman berasal dari pihak penggarap.
Hukum mukharabah sama dengan muzara’ah. Yaitu mubah (boleh) .

6. Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah
pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang
menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari
keduanya, maka zakat diwajibkan kpd keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

7. Hikmah: Sebagian orang ada yg mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah
dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah yang
subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya.
Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan
yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian
masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian
yang merupakan sumber kekayaan terbesar.

 [1]  Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arba’ah, (Beirut: Dar al- Taqwa, 2003), juz III, hlm. 20.

[2]  Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm. 275.
[3]  Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana. 2003), cet. Ke-1, hlm. 243.
[4]  Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 284.
[9]  Syeikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah, dan Hikmah Hukum Islam, penerjemah: Hadi Muljo dan
Shobahussurur, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), cet. Ke-1, hlm. 398.
[10]  Lihat Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 275.
[16]  Abdul Mujieb, Op. cit., hlm. 221.
[17] Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat (Hukum Zakat) , penerjemah: Salman Harun (et al) , (Bogor: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa,, 1993) , cet. Ke- 3, hlm. 375.
[18] Lihat Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Op. cit., hlm. 397

12

Anda mungkin juga menyukai