Anda di halaman 1dari 13

GADAI (AL-RAHN)

A. Pengertian Gadai (rahn)


Rahin : pihak yg menggadaikan -penerima uang-.
Murtahin : pemegang brg jaminan
Marhun : barang jaminan
al-rahn dari ‫ رهنا‬-‫ يرهن‬-‫ رهن‬yg berarti menetapkan sesuatu.
Scr bahasa, rahn adalah al-tsubut wa al-dawam yg berarti tetap dan kekal.
Menurut Taqiy al-Din Abu Bakar al-Husaini, al-rahn adalah al-tsubut, yakni sesuatu yg tetap
dan al-ihtibas, yaitu menahan sesuatu. Ada juga berpendapat gadai( al-rahn ) menurut bahasa berarti al-
tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.
Dapat disimpulkan, kata al-rahn mempunyai makna tetap, kekal, menahan sesuatu,
menetapkan sesuatu, sesuatu yg tetap, penetapan, penahanan, terkurung atau terjerat, dan bukti atau
sesuatu yg berlaku karena perjanjian.
Menurut al-Qurthubi adalah sebagai berikut:
‫معنى الرهان ان يكون الشيء وثيقه من دين صا حب الدين يعود بدينه فيه ان لم يكن الراهن يقد به‬
“Barang yang ditahan oleh pihak yang memberi utang sebagai bentuk jaminan dari orang yang
berutang , sampai pihak yg berutang melunasi utang tersebut.”
Menurut ulama Syafi’iyah rahn adalah sebagai berikut:
‫ عند تعذر وفاءه‬L‫والرهن لغة الثبوت وشرعا جعل عين مال وثيقة يدين يستوفى منها‬
“Menjadikan suatu barang yang dapat dijual sebagai bentuk jaminan utang dipenuhi dari harganya,
apabila yang berhutang tidak mampu membayar utangnya
‫جعل عين ما لية وثبفة يدين‬
“Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan utang”.1
Ulama Hanabilah: ar-rahn adalah harta yg dijadikan sbg watsiiqah utang yg ktk pihak yg
menanggung utang tdk bisa melunasinya, maka utang tsb dibayar dg menggunakan harga hasil
penjualan harta yg dijadikan watsiiqah tsb.
Dapat disimpulkan, al-rahn adalah suatu barang yg dijadikan jaminan utang oleh pihak
pengutang yg dapat dijadikan pembayar ktk berhalangan dlm membayar utang.
B. Dalil Gadai
Diantara dalil tentang al-rahn terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283 sebagai berikut.
‫وان كنتم على سفر و لم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة‬
Artinya: Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah
dengan rungguhan yang diterima ketika itu. ( Al-Baqarah: 283 ).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a. ia berkata:
‫رهن رسول هللا ص م درعا عند يهودى للمدينة و اخذ‬
"Rasulullah Saw. merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau
mengutangkan gandum dari seorang Yahudi." .2
‫كل امرءى بما كسب رهين‬
C. Hukum Rahn
Mayoritas ulama sepakat mengenai kebolehan hukum rahn.
1
Hendi Suhendi, op.cit., hal. 106
2
Hendi Suhendi, op.cit.,, hal. 107
1
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya
jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Sebagaimana firman Allah:
‫ فرهان مقبوضة‬pada ayat QS. Al-Baqarah : 283 adalah Irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman
sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan:
‫فان امن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن اما نته‬
Artinya: Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya
itu menunaikan amanatnya (utangnya). (QS. Al-Baqarah : 283).3
D. Cara Pelaksanaan Rahn-Gadai
Rukun dan Syarat Rahn/Gadai
1. Rukun Rahn:
Rukun rahn adalah rahin (orang yg memberikan jaminan), al-murtahin (orang yg menerima
jaminan), al-marhun (jaminan) dan al-marhun bih (utang).
2. Syarat Rahn
Rahan atau pinjaman dg jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun dg syarat :
a. Syarat Shighat-Akad ijab dan kabul,
- Hanafiyah shigat dlm rahn tdk boleh memakai syarat (dikaitkan dg sesuatu, sebab rahn jual
beli, jk memakai syarat tertentu, syarat tsb batal dan rahn tetap sah.
- Selain Hanafiyah: Syarat dlm rahn ada yg sahih ada yg rusak:
- Syafi’iyah: Syarat dlm rah nada tiga:
1) Syarat sahih: spt mensyaratkan cepat mbayar, shg jaminan tdk disita
2) Syarat batal tp akad sah: mensyaratkan sesuatu yg tdk bermanfaat. Spt. Jaminan hewan
diberi makanan tertentu.
3) Syarat yg merusak akad. Spt. Mensyaratkan sesuatu yg akan merugikan murtahin.
- Malikiyah & Hanabilah: syarat rahn terbagi dua: Rahn Sahih dan Rahn Fasid, :
1) Rahn Sahih: yg mengandung unsur kemashlahatan & sesuai kebutuhan
2) Rahn fasid: yg mengandung syarat yg tdk sesuai dg kebutuhan atau dipalingkan pd
sesuatu yg haram. Spt mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung j rahin
b. Aqid: yg menggadaikan (rahin) dan yg menerima gadai (murtahin). Syarat bagi yg berakad
adalah ahli tasharuf yaitu mampu membelanjakan harta yaitu memahami berkaitan dg gadai.
- Ahliyah: org yg telah sah utk jual beli, yakni berakal & mumayyiz, tdk disyaratkan hrs balig.
Jd anak kecil mumayyiz & org bodoh atas izin walinya boleh melak rahn.
- Jumhur: balig, berakal.
- Hanafiyah : berakal sehat sj < Mumayyiz
-
c. Syarat Marhun (Borg)
-Marhun : barang yg dijadikan jaminan oleh rahin.
-Fuqaha sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dlm jual beli, brg tsb
dpt dijual utk memenuhi hak murtahin.
-Barang yg dijadikan jaminan (borg), syarat benda jaminan ialah keadaan barang itu tdk rusak
sebelum janji utang harus dibayar.
-Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
1) dpt diperjualbelikan
2) bermanfaat
3) jelas
4) milik rahin
5) bisa diserahkan
6) tdk Bersatu dg harta lain
7) dipegang/dikuasai oleh rahin
8) harta yg tetap atau dapat dipindahkan

d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

-syarat para pihak yg berakad, adalah para pihak harus berakal, sudah baligh, dan tidak dalam
paksaan.

3
Rachmat Syafe'i, op.cit., hal.161
2
-Hanafiyah mensyaratkan akad tdk terikat dg syarat-syarat misalnya, penerima mau melaksanakan akad
dg syarat pemberi jaminan mau membeli barang tertentu miliknya. Sementara akad yg digantungkan dg
suatu kejadian di masa mendatang misalnya akad rahn berlangsung selama tdk turun hujan, apabila
turun hujan, mk akad tdk jadi. Adanya persyaratan dan penggantungan akad dg sesuatu yg lain di luar
akad maka akan membuat akad tsb rusak.
- Jumhur: balig, berakal.
- Hanafiyah : berakal sehat sj
-Syarat utang ada tiga. Pertama, utang adalah hak yang harus dibayar. Kedua, jumlah melebihi dari
nilai barang yg menjadi jaminan. Ketiga, hak utang harus jelas.
-Kalangan Syafiiyah dan Hambaliyah mensyaratkan: 1) utang merupakan utang yang tetap dan wajib
dibayar oleh raahin; 2) utang harus mengikat kedua belah pihak; 3) jumlah, ukuran, dan sifat utang
harus jelas di antara para pihak yg berakad.
Berdasarkan kesepakatan ulama, syarat barang yang digadaikan atau yang menjadi jaminan
utang adalah sama halnya dengan syarat barang yang menjadi objek jual-beli. Hal itu karena barang
jaminan tersebut harus dapat dijual oleh penerima jaminan atau (murtahin) di saat orang yang
menggadaikan tidak mampu membayar utangnya.
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual-beli adalah:
1) Barang yang digadai harus benar-benar ada dan nyata.
2) Objek transaksi berupa barang yang dinilai, halal, dapat dimiliki, dapat disimpan dan dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, serta tidak menimbulkan kerusakan.
3) Barang yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan kepemilikan sempurna.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menggadaikan pasir di tengah padang atau air laut yang masih
di laut atau menggadaikan panas matahari karena tidak adanya kepemilikan yang sempurna.
4) Objek harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah menggadaikan
binatang liar, ikan di lautan atau burung yang ada di awan karena tidak dapat diserahkan kepada
pembeli.
5) Selain syarat tersebut, ada satu syarat lagi yang mutlak harus terpenuhi, yaitu barang yang digadaikan
harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak, logam mulia, kendaraan, dan seterusnya.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menjadikan makanan yang mudah busuk, seperti kue basah
sebagai jaminan utang karena tidak bertahan lama.

Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang digadaikan harus barang yang berharga, jelas,
dan diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah dari barang lainnya, baik benda bergerak
maupun tidak. Secara lebih rinci, syarat-syarat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan, harus pada waktu akad dan dapat
diserahterimakan;
2) Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai;
3) Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan, sekiranya barang tersebut dapat
untuk melunasi utang;
4) Barang harus jelas, spesifikasi, ukuran, jenis jumlah, kualitas, dan seterusnya;
5) Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna;
6) Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah pisah;
7) Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan;
8) Barang yang digadaikan harus utuh; tidak sah menggadaikan mobil hanya seperempat atau separuh.
Rahn dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah dijelaskan. Apabila
salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn tidak sah .
Ada tiga hal yang paling esensial untuk rahn yang sah:
a. Adanya orang yang mengagunkan dan yang menerima agunan.
b. Barang yang diagunkan dan utang yang diberikan, merupakan ganti jaminan.
c. Pertimbangan penerimaan seperti orang yang mengagunkan berkata: Saya memberi sejumlah
barang sebagai utang dalam jaminan agunan tertentu dan untuk barang tertentu, dalam waktu
tertentu". Orang yang mengagunkan harus menerima syarat-syarat ini.
Agunan yang sah harus meliputi syarat-syarat. berikut:
a. Kedua belah pihak, baik orang yang mengagunkan maupun orang yang diberi agunan, harus
mempunyai kapasitas legal utk memiliki dan menentukan harta kekayaan. Oleh karena itu,
rahn dari orang yang tidak sehat akalnya atau anak kecil, tidak sah.

3
b. Kesepakatan itu ketika dilakukan, maka kesepakatan dalam rahn itu harus diucapkan.
Misalnya: "Saya meminjamkan kpd kamu jumlah tertentu dlm waktu tertentu sesuai dg
agunan ini".
c. Utang dan juga agunan, tidak boleh berbentuk barang-barang yg diharamkan, dg cara
transaksi yang haram menurut hukum Sya- ri'ah, spt minuman keras, daging babi, dan
sebagainya.4

Dapat disimpulkan, unsur rahn terdiri dari empat unsur, yaitu rahin (orang yang
memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan) dan al-
marhun bih (utang).

E. Hukum Memanfaatkan Barang Gadai


1. Pemanfaatan Barang Gadai
Pd hakikatnya, marhun tdk boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin pun murtahin, kec izin ybs..
krn marhun bkn hak milik sempurna rahin. Hak murtahin atas marhun terbatas pd sifat kebendaan tsb
yg memiliki nilai, bkn pd pemanfaatan hasilnya.
Jumhur fuqaha berpendapat bhw murtahin tdk boleh mengambil suatu manfaat barang
gadaian. sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kpd utang yg dpt menarik manfaat,
shg bila dimanfaatkan termasuk riba.
Terjadi ikhtilaf ulama mengenai kebolehan memanfaatkan barang jaminan.
1) pendapat yg membolehkan memanfaatkan barang jaminan;
2) pendapat yg melarang memanfaatkan barang jaminan; jumhur selain hanabilah
3) pendapat yg membolehkan disertai adanya persyaratan tersebut. 5

Kebolehan memanfaatkan barang jaminan.


Pd hakikatnya, marhun tdk boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin pun murtahin, kec izin ybs.. krn
marhun bkn hak milik sempurna rahin. Hak murtahin atas marhun terbatas pd sifat kebendaan tsb yg
memiliki nilai, bkn pd pemanfaatan hasilnya.
- Jumhur kec Hanabilah : murtahin tdk boleh menerima manfaat marhun, krn bkn milik scr penuh.
Jamn
Jk tdk terbayar, boleh menjual menanfaatakan marhun
Malikiyah Syafi’iyah : meski ada izin rahin, murtahin tdk boleh, krn izin tsb hanya terpaksa khawatir
Tdk mendpt pinjaman uang tsb.
Jk dimanfaatkan, hasilnya hak rahin.
- Seb.Hanafiyah : boleh atas izin rahin.

- barang jaminan adakalanya berbentuk hewan yg dapat ditunggangi dan diambil/diperah susunya, serta
adakalanya bukan berbentuk hewan.
- jaminan hewan yg dpt ditunggangi, murtahin dpt mengambil manfaat brg (menungganginya dan
memerah susunya tanpa seizin rahin. Namun bila barang yg dijaminkan berupa hewan yg tdk dpt
dikendarai dan diambil manfaat susunya, maka hewan tsb dapat dimanfaatkan oleh murtahin dg syarat
adanya izin rahin.
1) pendapat yg membolehkan memanfaatkan barang jaminan;
2) pendapat yg melarang memanfaatkan barang jaminan; jumhur selain hanabilah
3) pendapat yg membolehkan disertai adanya persyaratan
a. Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan untuk pemanfaatan barang jaminan: Abd al-Rahman al-Jaziri, Imam
Syafi'i, Imam Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Qudamah (pengikut mazhab Hambali), Imam al-Nawawi
(pengikut mazhab Syafi'i), Ibn Qayyim al-Jauziyah (pengikut mazhab Hambali), dan Dr. Wahbah al-
Zuhaili (ulama kontemporer).
Abd al-Rahman al-Jaziri berpendapat, bahwa apabila barang jaminan adalah hewan yang
dapat dimanfaatkan spt dpt ditunggangi dan diambil susunya, maka diperbolehkan walaupun tanda
adanya izin rahin (pihak yg menggadaikan) dg syarat mengganti dan menanggung dg biaya
pengurusan. Pendapat yg dikemukakan oleh ulama Hanabilah ini menafsirkan bhw barang jaminan
adakalanya berbentuk hewan yg dapat ditunggangi dan diambil/diperah susunya, serta adakalanya
bukan berbentuk hewan. Apabila yg dijaminkan berupa hewan yg dapat ditunggangi, maka pihak
murtahin (yang menerima gadai) dapat mengambil manfaat barang dapat mengambil manfaat barang

4
Rahman, op.cit., hal. 493
5
Panji Adam, op.cit., hal. 260
4
jaminan tsb dg menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin rahin (pihak yg menggadaikan).
Namun apabila barang yg dijaminkan adalah berupa hewan yg tdk dapat dikendarai dan diambil
manfaat susunya, maka hewan tsb dapat dimanfaatkan oleh murtahin (penerima gadai) dg syarat
adanya izin rahin (pihak yang menggadaikan).
Menurut Abd al-Rahman al-Jaziri, pemaknaan jaminan (marhun) tdk sebatas berfungsi
sebagai jaminan utang, tetapi menjadikannya segala variasi pemanfaatan barang yang berharga dari
sudut pandang hukum Islam. Pandangan tersebut, memastikan adanya transformasi dalam
pengembangan konsep gadai di masa yang akan datang karena barang jaminan akan dapat lebih
berperan dalam proses penentuan pembiayaan. Lebih lanjut al-Jaziri mengatakan, bahwa pemanfaatan
barang jaminan dan output yang dihasilkannya telah menjadi hak rahin. Dengan demikian, pandangan
tersebut telah menjelaskan bahwa tanggung jawab terhadap barang jaminan melekat pada rahin.
Imam Syafi'i berpendapat, bahwa manfaat dari barang jaminan ah hak rahin, tidak ada sesuatu
pun dari barang jaminan itu bagi murtahin. Pendapat Imam Syafi'i tersebut menegaskan, bahwa yang
berhak mengambil manfaat barang jaminan adalah rahin bukan murtahin, walaupun barang jaminan
tersebut berada di bawah kekuasaan murtahin. Pendapat Imam Syafi'i ini didasarkan atas hadits berikut:
Abu Hurairah ra ia berkata, "Rasulullah Saw. telah bersabda, "Barang jaminan gadai itu tidak dimiliki
oleh penerima gadai, baginya keuntungan atas kerugian." (HR. Hakim).6
Menurut hadits tersebut, bahwa pihak rahim berhak mengambil manfaat dari barang yang
telah dijaminkannya selaku pihak rahin menanggung segala risikonya. Ulama Syafi'iyah berpendapat,
bahwa rahin memiliki hak sepenuhnya atas barang jaminan selama tidak mengurangi nilai dari barang
tersebut, misalnya barang yang dapat ditunggangi digunakan dan ditempati karena memanfaatkan dan
mengembangkan barang jaminan tersebut tidak berkaitan dengan utang. Namun, apabila barang
jaminan yang nilainya berkurang, seperti membangun atau menanam sesuatu pada tanah garapan, pada
prinsipnya tidak diperkenankan kecuali adanya izin dari murtahin demi menjadi haknya.
Dalam hal ini, Imam Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa boleh mengambil manfaat barang
hanya pada hewan yang dapat ditunggangi dan diambil atau diperah susunya. Namun bagi selainnya,
kemanfaatannya tetap ada pada rahin. Argumentasi Imam Ahmad atas pendapatnya tersebut dijelaskan
dalam dua pandangan berikut: 1) kebolehan murtahin mengambil manfaat barang jaminan yang dapat
ditunggangi berdasarkan hadits berikut:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. bersabda: "Barang jaminan itu dapat diperah
susunya dan ditunggangi." (HR. Hakim)
Berdasarkan hadits tersebut, maka dibolehkan murtahin untuk memanfaatkan barang jaminan
atas seizin dari rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan biaya yang telah
dikeluarkannya untuk barang jaminan tersebut; 2) tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang
selain barang yang dapat ditunggangi dan diperah susunya. Hal ini sebagaimana keterangan hadits
berikut: "Dari Abu Hurairah ra ia berkata, "Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga
boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan
meminum susunya wajib membayar." (HR. Bukhari).7
Ibnu Qudamah al-Maqdisi salah seorang pengikut mazhab Hambali berpendapat, bahwa
Imam Bukhari dalam memahami hak menunggangi dan memerah susu binatang ada pada murtahin.
Hal ini dikarenakan alasan, bahwa barang jaminan berada di tangan dan di bawah kekuasaan murtahin
sehingga pihak murtahinlah yang berhak mengambil manfaatnya.
Penjelasan yang disampaikan tersebut, tidak dijumpai keterangan secara langsung mengenai
masalah gadai-menggadai tanah ataupun kebun, baik dalam Al-Qur'an maupun dan Sunnah. Imam
Nawawi salah seorang pengikut mazhab Syafi'i berpendapat, bahwa gadai-menggadai tanah garapan
atau kebun tidak dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) kepada benda tidak bergerak (mål ghair manqûl).
Ibnu Qayyim al-Jauziyah salah seorang tokoh bermazhab Hambali berpendapat, bahwa hadits
tersebut hanya dapat diterapkan sebatas hewan yang ditunggangi dan diperah susunya. Namun, apabila
yang lainnya dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) dengan jaminan hewan. Hal ini dikarenakan barang
jaminan tidak lain sebagai kepercayaan (amanah) bukan kepemilikan.
Terakhir, pendapat yang membolehkan adalah Dr. Wahbah al-Zuhaili, rahin memberikan izin
kepada murtahin untuk memanfaatkan barang jaminan dikarenakan dua pandangan di antaranya: 1)
sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya; dan 2) sebagian yang lainnya melarangnya secara mutlak
dikarenakan adanya unsur riba atau syubhat riba.8
Kelompok yang Melarang

6
Ibid. hal.261
7
Ibid. hal. 262
8
Ibid. hal. 263
5
Ulama yang melarang memanfaatkan barang jaminan adalah Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik. Imam Abu Hanifah menyatakan, bahwa mayoritas ulama membolehkan pemanfaatan barang
jaminan karena didasarkan pada hadits berikut: "Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. bersabda:
"Barang jaminan itu dapat diperah susunya dan ditunggangi." (HR. Hakim)
Menurut Imam Abu Hanafiyah rawi hadits tersebut laisa bi tsiqat (kurang kuat) sehingga ia
tidak menggunakannya sebagai dasar hukum atau hujjah. Kemudian lebih lanjut, ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak dapat memanfaatkan barang jaminan yang dapat
digunakan, dikendarai, ataupun ditempati, kecuali adanya izin dari pinak rahin karena murtahin sebatas
memiliki hak menahan barang bukan memanfaatkannya. Kemudian, apabila barang jaminan itu
dimanfaatkan hingga rusak, maka murtahin harus mengganti nilai barang tersebut karena dianggap
sebagai perbuatan ghasab (menggunakan barang milik orang lain).
Alasan pelarangan mengambil manfaat barang jaminan oleh murtahin didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra. tersebut. Argumen Imam Abu Hanifah ini adalah
sama dengan argumen- argumen yang dikemukakan oleh Imam Malik dan ulama lainnya. Akan tetapi,
Malikiyah berpendapat bahwa jika rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan barang jaminan, maka
hal itu diperbolehkan sebagai utang akibat dari jual-beli. Akan tetapi, dalam permasalahan ini harus
ditentukan waktu pemanfaatan agar terhindar dari praktik penyalahgunaan hukum akibat ketidaktahuan
yang dapat merusak transaksi sewa menyewa. Transaksi jenis ini dikenal sebagai bai' wa al-ijârah
(sewa-beli) yang hukumnya diperbolehkan. Pandangan ini menunjukkan, bahwa segala sesuatu yang
dihasilkannya dari barang jaminan adalah termasuk hak rahin. 9
Sebagian ulama berpendapat, bahwa menolak hak rahin memanfaatkan barang jaminan.
Larangan pemanfaatan barang jaminan oleh rahin bersifat mutlak, kecuali adanya lisensi dari murtahin.
Demikian juga sebaliknya, murtahin tidak dapat memanfaatkan barang jaminan kecuali ada lisensi dari
rahin. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama Hanafiyah. Alasan mereka menahan barang jaminan
itu diperlukan, apabila dalam suatu perjanjian gadai tersebut tidak memakai batas waktu. Selain itu,
jika rahin memanfaatkan barang jaminan tanpa adanya lisensi.
Para ulama Hanabilah berpandangan, bahwa tidak diperbolehkan rahin untuk memanfaatkan
barang jaminan tanpa adanya kerelaan/ keridhaan murtahin. Rahin tidak memiliki legalitas atas
pemanfaatan barang jaminan tersebut. Dengan demikian, tidak sah memanfaatkan barang jaminan jika
tidak ada kesepakatan antara rahin dan murtahin karena barang jaminan tidak lain sebatas jaminan
utang sehingga pemilik barang tidak boleh memanfaatkannya.
Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa ketika barang jaminan sudah dimanfaatkan oleh pihak
rahin, maka transaksi gadai tersebut hukumnya menjadi batal. Hal ini disebabkan izin memanfaatkan
barang jaminan yang diberikan murtahin kepada rahin telah menyebabkan transaksi gadai menjadi
batal, meskipun barang jaminan tersebut belum sempat dimanfaatkan.
Kelompok yang Memberi Syarat
Menurut Ade Sofwan Mulazid, ulama yang memberi syarat tertentu atas manfaat dari barang
jaminan adalah pendapat Imam al-Jaziri, Imam Syafi'i, Imam Ahmad Ibn Hanbal, dan Ibn Rusyd.
Adapun uraian pendapat para ulama tersebut adalah sebagai berikut.
Menurut Imam Abd al-Rahman al-Jaziri, mengenai permasalahan pemanfaatan barang
jaminan terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi. Ulama Malikiyah menyatakan, bahwa barang
jaminan dan derivasinya merupakan hak rahin selama tidak ada syarat dari murtahin. Jika murtahin
mensyaratkan, bahwa barang jaminan itu untuknya, hal ini dimungkinkan dengan beberapa syarat
Syarat sah bagi murtahin utk memanfaatkan barang jaminan :
1. utang yg disebabkan jual-beli bukan karena qardh, sebagai contoh jika seseorang menjual rumah
kepada orang lain secara kredit kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang
sesuai dengan utangnya, maka hal ini diperbolehkan;
2. murtahin mensyaratkan manfaat barang jaminan untuknya, maka jika rahin melakukan hal tersebut
menjadi tidak sah pemanfaatannya;
3. jangka waktu mengambil manfaat yg telah disyaratkan harus ditentukan. Apabila tdk ditentukan
dan tidak diketahui batas waktunya, maka akad rahn menjadi tdk sah.
Imam Ahmad Ibn Hanbal berpendapat, bhw murtahin tdk dpt mengambil manfaat dr barang
jaminan kecuali hanya pada hewan yg dpt ditunggangi dan dpt diperah susunya krn atas pertimbangan
biaya yg dikeluarkan. Hal ini sesuai dg hadits: "Dari Abu Hurairah ra ia berkata, "Bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan
pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu,
dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib membayar." (HR. Bukhari)

9
Ibid. hal. 264
6
Hadits tersebut menunjukkan bahwa murtahin dapat mengambil daat atas barang jaminan
karena seimbang dengan nafkah yang telah dikeluarkan, meskipun tanpa ada izin dari pemiliknya.
Namun, hadits tersebut secara khusus mensyaratkan bagi binatang yang dapat ditunggangi diperah. Hal
ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum atas pihak yang berhak mengambil manfaat dari barang
jaminan adalah pihak rahin, walaupun demikian, pihak murtahin bisa mengambil manfaat dari barang
jaminan tersebut dengan syarat-syarat yang telah disebutkan.
Ibn Rusyd berpendapat, bahwa murtahin boleh memeras dan menanggung barang jaminan
berupa hewan tersebut. Begitu pula sebaliknya, rahin dibolehkan memeras dan menanggungi barang
jaminan berupa hewan karena rahin adalah pemilik atas hewan tersebut. Hal ini didasarkan pada hadits:
“Dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw. bersabda: "Barang jaminan itu dapat diperah
susunya dan ditunggangi." (HR. Hakim).
Dengan demikian, dibolehkannya pemanfaatan barang jaminan karena didasarkan pada
istihsan. la menambahkan, bahwa syarat-syarat bagi murtahin untuk mengambil manfaat barang
jaminan berupa hewan yang dapat diperah dan ditunggangi adalah sebagai berikut: a) adanya izin dari
rahin; b) adanya barang jaminan, bukan sebab untuk mengambil keuntungan. Namun apabila barang
jaminan itu tidak dapat diperah dan ditunggangi, misalnya rumah, kebun, sawah, dan sebagainya maka
tidak boleh diambil manfaatnya.10

Dapat diambil kesimpulan, pemanfaatan barang gadai hanya dapat diterapkan sebatas hewan
yg ditunggangi dan diperah susunya. Namun, apabila barang jaminan itu tdk dpt diperah dan
ditunggangi, maka tdk boleh diambil manfaatnya.
Ketentuan-Ketentuan Khusus
Hak penerima gadai
Hak penerima gadai adalah menahan barang gadai sampai orang yg menggadaikan melunasi
kewajibannya. Jika penggadai tidak melaksanakan kewajiban tersebut ketika jatuh tempo, maka
penerima gadai bisa melaporkan kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang gadai
kepadanya. Jika ia tidak menanggapi penerimaan gadai untuk dijual, maka penguasa menasihatinya.
Demikian pula jika penggadai bepergian.
Jika orang yang menggadaikan itu menguasakan kepada penerima gadai untuk menjual
barang gadaian pada saat jatuh tempo, maka hal itu dibolehkan. Tetapi Imam Malik memakruhkan,
kecuali jika perkaranya diajukan kepada penguasa.11
Hak dalam Gadai Bersifat Menyeluruh
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan hak pada barang
yang digadaikan itu dan dengan sebagiannya. Yakni, jika seseorang menggadaikan sejumlah barang
tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di
tangan penerima gadai hingga ia menerima haknya keseluruhan.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai
hanya sebagiannya saja. Yakni sebesar hak yang belum dilunasi.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak, karena itu setiap
bagian dari hak tersebut harus tertahan juga. Ini serupa dengan tertahannya harta warisan (tirkah) pada
ahli waris, hingga mereka melunasi utang si mayit.
Sedang golongan kedua mengemukakan alasan bahwa keseluruhan barang gadai itu tertahan
oleh keseluruhan hak, karena itu sebagian barang tersebut tertahan oleh sebagian hak itu. Dan ini
serupa dengan tanggungan (kafalah).
Tambahan pada Barang Gadai
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa tambahan yang terpisah dari barang gadai sama sekali
tidak termasuk dalam barang gadai. Yakni tambahan yang terjadi di tangan penerima gadai. Syafi'i
adalah salah seorang di antara fuqaha yang memegangi pendapat ini.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa seluruh tambahan masuk dalam barang gadai.
Di antara fuqaha yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah dan ats-Tsauri.
Dalam hal ini Malik mengadakan pemisahan. Ia berpendapat bahwa tambahan yang terpisah
bagi barang gadai yang memiliki bentuk dan rupa seperti barang tersebut, termasuk dalam barang gadai
itu, seperti anak dari budak perempuan. Sedang tambahan yang tidak mengikuti bentuk dan rupa
barang gadai, tidak termasuk dalam barang gadai, baik yang secara konkret keluar darinya, seperti buah

10
Ibid. hal. 266
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta : PUSTAKA AMANI, 2007), hal.
200
7
kurma dari pohon kurma, maupun yang keluar secara tidak konkret darinya, seperti hasil penyewaan
rumah atau penghasilan budak.12
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari
barang gadai.
Fuqaha lain berpendapat, apabila barang gadai itu berupa hewan, maka penerima gadai boleh
mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang
diberikan kepadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad dan Ishaq, Pegangan mereka adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi Saw.
"Sesungguhnya Nabi Suw bersabda, Barang gadai itu diambil air Susunya dan ditunggangi." (HR.
Bukhari dan Ibnu Majah)
Menjual atau Menghibahkan Barang Gadai
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau
menghibahkan barang gadai. Jika ia menjualnya, maka penerima bisa mengizinkan gadai atau
membatalkan.
Menurut Malik, jika penerima gadai menyatakan bahwa dirinya mengizinkan barang itu
dijual, itu dimaksudkan untuk mempercepat pelunasan kewajibannya, maka ia harus bersumpah untuk
maksud tersebut, dan ia punya hak untuk berbuat demikian.
Segolongan fuqaha berpendapat bahwa barang gadai itu bisa dijual.
Jika barang gadai berupa budak lelaki atau perempuan kemudian dimerdekakan oleh orang
yang menggadaikan, Malik berpendapat, jika orang yang menggadaikan itu kaya, maka
pemerdekaannya itu dapat diluluskan, dan pelunasan hak penerima gadai dapat dipercepat. Sedang jika
ia orang yang tidak mampu, maka budak tersebut dijual, dan kewajibannya untuk melunasi utang
dibayarkan dari harga penjualan tersebut.
Dari Syafi'i ada tiga pendapat: ditolak, diluluskan, dan yang ketiga sependapat dengan
Malik.13

Perselisihan antara Orang yang Menggadaikan dengan Penerima Gadai


Fuqaha berselisih pendapat tentang perselisihan antara orang yang menggadaikan dengan
penerima gadai berkenaan dengan nilai utang yang menjadi dasar terjadinya akad gadai.
Menurut Malik, yang dipegang ialah kata-kata penerima gadai, yang terkait dengan nilai hak
(utang) yang disebutkan selama harga barang gadai tidak kurang dari kadar utang yang disebutkan itu
(atau selama kadar kewajiban utang yang disebutkan itu tidak melebihi harga barang gadai). Jika
melebihi harga barang gadai, maka yang dipegangi ialah kata kata orang yang menggadaikan.
Syafi'i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan kebanyakan fuqaha Amshar berpendapat bahwa yang
dipegangi, berkenaan dengan kadar kewajiban utang yang harus dipenuhi, adalah kata-kata orang yang
menggadaikan.
Jumhur fuqaha berpegangan, bahwa orang yang menggadaikan merupakan pihak tergugat,
sedang penerima gadai merupakan pihak penggugat. Karena itu, orang yang menggadaikan.
menggadaikan harus bersumpah sejalan dengan lahiriah hadis yang terkenal.
Pegangan Malik, bahwa penerima gadai – meski ia menjadi pihak penggugat- mempunyai
bukti dengan berpindahnya sumpah kepada dirinya, yakni adanya barang gadai merupakan saksi
baginya. Di antara aturan pokoknya mengatakan bahwa pihak yang paling kuat alasannya (dalam
gugatan) harus bersumpah. Tetapi jumhur fuqaha menolak hal ini karena sering kali orang yang
menggadaikan sesuatu, tetapi harga barang gadainya lebih besar dibanding uang gadai yang
diterimanya.
Akan halnya bila barang gadai itu musnah kemudian diperselisihkan tentang keadaannya,
Malik berpendapat bahwa yang dipegangi ialah kata-kata penerima gadai, karena ia menjadi pihak
tergugat, sedang ia pun mengakui sebagian barang yang digugat. Pendapat ini didasarkan kepada aturan
pokoknya, karena penerima gadai juga menjadi pihak yang menanggung barang "tidak jelas".
Tapi, menurut aturan-aturan pokok Syafi'i, suatu sumpa tidak mungkin keluar dari pihak
penerima gadai kecuali jika orang yang menggadaikan mengingkari kerusakan barang gadai tersebut.
Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dipegangi ialah kata kata penerima gadai, berkenaan
dengan harga barang gadai, tanpa diperlukan suatu sifat. Demikian itu karena menurut Malik penerima
gadai harus bersumpah atas sifat barang gadai, sekaligus menilai sifat tersebut.

12
Ibid. hal. 201
13
Ibid. hal. 207
8
Jika terjadi persengketaan tentang dua persoalan sekaligus -yakni tentang sifat dan nilai
barang gadai maka yang dipegangi ialah kata-kata penerima gadai berkenaan dengan sifat barang
tersebut.14
Produk Hukum Rahn
Dalam konteks hukum di Indonesia telah ditemukan beberapa produk hukum berkaitan
dengan akad rahn, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Pasal 1 ayat 26
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan bahwa rahn
(agunan) adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang
diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan atau UUS,guna menjamin pelunasan
kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.
Produk lain yang berbicara mengenai akad rahn adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia. Ada tiga fatwa yang terkait dengan rahn di dalam fatwa, yakni fatwa DSN-
MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn Emas, dan Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.15
Rahn Tasjily
1. Ketentuan dan Dasar Hukum Rahn Tasjily
Dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily, dijelaskan
tentang hukum rahn tasjily sebagaimana dalam fatwa tersebut:
a. Rahn Tasjily disebut juga dengan rahn ta'mini, rahn rasmi, atau rahn hukmi adalah jaminan
dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima
jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut
(marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).
b. Penyerahan barang jaminan dalam bentuk sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak
memindahkan kepemilikan barang ke marhun.
Pada dasarnya, dengan akad rahn, maka marhun itu dikuasai oleh murtahin sebagai jaminan
atas utang agar mudah dicairkan (dieksekusi) sesuai dengan firman Allah Swt.:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksikan. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

Ketentuan ini memiliki tujuan, yaitu agar marhun dapat dieksekusi oleh murtahin. Hal yang
sama tidak dapat dilakukan jika marhun tidak diserahkan ke murtahin dan masih di tangan rahin. Akan
tetapi, hadits Rasulullah Saw. tidak me16njelaskan mengenai teknis farihanun maqbudhah, maka standar
yang berlaku adalah menurut kebiasaan sesuai dengan kaidah fikih:
“Setiap ketentuan syariah yang bersifat mutlak (tidak terikat) maka yang menjadi
rujukan adalah berdasarkan kebiasaan."

Berdasarkan keterangan kaidah tersebut, maka bukan marhun yang harus ada di tangan
murtahin, melainkan bagaimana marhun itu dapat dijadikan sebagai jaminan dan dapat dieksekusi.
Menurut tradisi, bukti kepemilikan seperti STNK dan SK itu dapat dijadikan jaminan. Namun
aset yang tidak ada bukti kepemilikannya seperti emas itu yang dapat dijadikan jaminan adalah emas
itu sendiri karena surat emas tidak menunjukkan pemiliknya.17
Pendapatan Murtahin/Ujrah Penyimpanan
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily, dijelaskan bahwa
murtahin berhak mendapatkan ujrah atas biaya penyimpanan marhun sebagaimana dijelaskan dalam
fatwa sebagai berikut:
"Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun
(berupa bukti sah kepemilikan atas sertifikat) yang ditanggung oleh rahin,
berdasarkan akad ijarah."

14
Ibid. hal. 207
15
Ibid. hal. 267-268
16
Ibid. hal. 268
17
Ibid. hal. 269
9
Besaran biaya tidak boleh dikaitkan dengan jumlah utang rahin kepada murtahin. Selain biaya
pemeliharaan, murtahin dapat pula mengenakan biaya lain yang diperlukan pada pengeluaran yang riil.
Dalam hadits dijelaskan bahwa:
“Tidak boleh (digabungkan) akad pinjaman dengan akad jual-beli, tidak boleh ada
dua syarat dalam jual-beli, tidak boleh ada keuntungan yang tidak dijamin, tidak
boleh menjual barang yang tidak dimiliki." (HR. Ahmad)
Maksud hadits tersebut adalah tidak boleh pinjaman dan jual-beli digabung dalam satu
transaksi. Maksudnya, yang dilarang dalam hadits ini adalah menggabungkan dua transaksi, yakni
transaksi pinjaman dan transaksi jual-beli, misalnya:
a. Pihak A meminjamkan uang 1 juta kepada pihak B dengan syarat pihak B membeli piutang
kepada pihak A seharga 1 juta 100 ribu.
b. Pihak A meminjamkan uang 1 juta kepada pihak B dengan syarat pihak B membeli barang
milik pihak A seharga 1 juta 100 ribu.
c. Pihak A meminjamkan uang 1 juta kepada pihak B, ketika tidak mampu membayar, maka
pihak B membeli barang milik pihak A seharga 1 juta 100 ribu.

Transaksi two in one ini diharamkan jika kedua akad tersebut saling bergantungan, transaksi
kedua ada bergantung transaksi pertama. Transaksi ini diharamkan karena termasuk hilah ribawiyah,
maksudnya untuk melakukan praktik ribawi.
Hadits tersebut menjelaskan akad qardh yang menjadi akad inti (akad pertama) tidak bisa
digabungkan dengan akad-akad mu'awadhah yang lain karena itu menjadi modus (rekayasa) untuk
melakukan praktik ribawi. Sebaliknya, jika akad qardh bukan akad dominan, maka boleh digabung
dengan akad-akad lain.
Oleh karena itu, dalam akad gadai tidak diperbolehkan menggunakan akad qardh, rahn, dan
ijârah karena qardh menjadi akad inti. Oleh karena itu, sebagai alternatifnya adalah akad ijarah diganti
dengan nafaqatul marhun (biaya pemeliharaan barang jaminan) karena marhun itu milik rahin, maka
rahin yang bertanggung jawab atas biaya-biaya yang dikeluarkan supaya marhun itu terjaga dengan
baik.
Dalam konteks fikih, pemeliharaan marhun itu seperti sewa, ujratu ra'i, dan lain-lain karena
kewajiban rahin itu dilakukan oleh murtahin dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya, maka rahin
harus mengganti biava-biaya tersebut. Besaran nafaqatul marhun sebesar marhun dan bukan sebesar
pokok pinjaman.18

Implementasi Rahn di Lembaga Keuangan Syariah


Implementasi Akad Rahn secara Umum
Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian, terutama untuk membantu
nasabah dalam memenuhi kebutuhan insidentilnya yang mendesak. Terkait dengan rahn dalam praktik
lembaga keuangan syariah/bank syariah, bank tidak menarik manfaat apa pun, kecuali biaya
pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan. Akad rahn dapat pula diaplikasikan untuk
memenuhi permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan kepada
nasabah.
Kontrak rahn dipakai oleh perbankan dalam dua hal berikut: rahn dipakai sebagai produk
pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam
pembiayaan bai al-murâbahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
Alur praktik rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah umumnya adalah sebagai berikut:
1) Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank syariah (murtahin). Jaminan ini berupa
barang bergerak.
2) Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank syariah).
3) Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan diterima oleh bank syariah, maka
bank syariah mencairkan pembiayaan.
4) Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan fee yang telah disepakati. Fee
berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan agunan.19
Implementasi Gadai Emas Syariah
Pada masa sekarang lazimnya masyarakat menjadikan emas sebagai objek rahn untuk jaminan
utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Dewan

18
Ibid. hal. 269-271
19
Ibid. hal. 271-272
10
Syariah Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Rahn emas dibolehkan
berdasarkan prinsip Rahn yang diatur pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN- MUI/III/2002 tentang Rahn.
Kemudian, ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) pada gadai emas ditanggung oleh pegadai
(rahin) yang besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata.
Gadai Emas di perbankan syariah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa
emas dalam bentuk lantakan ataupun perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai
dengan cepat, aman, dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana pinjaman tanpa
prosedur yang panjang dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya. Aman dari pihak bank,
karena bank memiliki barang jaminan, yaitu emas yang bernilai tinggi dan relatif stabil bahkan nilainya
cenderung bertambah. Mudah berarti pihak nasabah dapat kembali memiliki emas yang digadaikannya
dengan mengembalikan sejumlah uang pinjaman dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank, yaitu
ketika nasabah tidak mampu mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank dengan mudah dapat
menjualnya dengan harga yang bersaing karena nilai emas yang stabil bahkan bertambah.
Prinsip yang digunakan dalam gadai emas syariah, baik di bank syariah maupun di pegadaian
syariah tidak berbeda dengan prinsip gadai pada umumnya. Mulai dari persyaratan, biaya (ongkos)
administrasi, biaya pemeliharaan/penyimpanan, hingga mekanisme penjualan barang gadaian ketika
pihak yang menggadaikan tidak dapat melunasi utangnya.
Gadai emas memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan barang gadaian lainnya.
Emas merupakan logam mulia yang bernilai tinggi dan harganya relatif stabil bahkan selalu
menunjukkan tren yang positif setiap tahunnya. Emas juga merupakan barang atau harta yang dapat
dengan mudah dimiliki oleh setiap orang, khususnya emas dalam bentuk perhiasan. Ketika seseorang
membutuhkan uang tunai, maka ia dapat dengan mudah menggadaikan perhiasannya kepada lembaga
penggadaian atau bank syariah. Setelah ia dapat melunasi utangnya, ia dapat memiliki kembali
perhiasannya. Artinya, seseorang dengan mudah mendapatkan uang tunai tanpa harus menjual emas
atau perhiasan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam gadai emas syariah, baik di bank syariah
maupun di lembaga yang menawarkan produk gadai emas syariah. Hal yang dimaksud adalah biaya
administrasi dan biaya pemeliharaan. 20
1. Biaya Administrasi
Biaya administrasi ongkos atau pengorbanan materi yang dikeluarkan oleh bank dalam hal
pelaksanaan akad gadai dengan penggadai (rahin). Para ulama sepakat, bahwa segala biaya yang
bersumber dari barang yang digadaikan adalah menjadi tanggungan penggadai. Oleh karena itu, biaya
administrasi gadai dibebankan kepada penggadai.
Karena biaya administrasi merupakan ongkos yang dikeluarkan bank, maka pihak bank yang
lebih mengetahui dalam menghitung rincian biaya administrasi. Setelah bank menghitung total biaya
administrasi, kemudian nasabah atau penggadai mengganti biaya administrasi tersebut.
Namun, tidak banyak atau bahkan sangat jarang nasabah yang mengetahui rincian biaya
administrasi tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus ditanggung
oleh nasabah atau penggadai tanpa menyebutkan rinciannya. Keterbukaan dalam menginformasikan
rincian biaya administrasi tersebut sangat penting dalam rangka keterbukaan yang kaitannya dengan
ridha bi ridha karena biaya administrasi tersebut dibebankan kepada nasabah atau penggadai.
Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa No. 26/ DSN-MUI/ III/2002 menyebutkan, bahwa
biaya atau ongkos yang ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-
nyata diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan pengeluaran apa saja yang
dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti biaya materai, jasa penaksiran, formulir
akad, fotocopy, print out, dan lain-lain. Hal tersebut juga menyebabkan biaya administrasi harus
dibayar di depan.21
2. Biaya Pemeliharaan
Biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawat
barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama,
biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin). Karena pada dasarnya
penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut sehingga dia bertanggung jawab
atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai miliknya.
Akad yang digunakan untuk penerapan biaya pemeliharaan atau penyimpanan adalah akad
ijàrah (sewa). Artinya, penggadai (rahin) menyewa tempat di bank untuk menyimpan atau menitipkan
barang gadainya, kemudian bank menetapkan biaya sewa tempat. Dalam pengertian lainnya, penggadai
20
Ibid. hal. 272-273
21
Ibid. hal. 273
11
(rahin) menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka
waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan
oleh para ulama dengan merujuk pada diperbolehkannya akad ijârah.
Biaya pemeliharaan/penyimpanan/sewa dapat berupa biaya sewa tempat SDB (Save Deposit
Box), biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan untuk memelihara atau
menyimpan barang gadai tersebut.
Dengan akad ijârah, dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang gadaian bank dapat
memperoleh pendapatan yang sah dan halal. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa yang
diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa yang diberikan kepada penggadai. Oleh karena
itu, gadai emas syariah sangat bermanfaat bagi penggadai yang membutuhkan dana tunai dengan cepat
dan bagi pihak bank yang menyediakan jasa gadai emas syariah karena bank akan mendapatkan
pemasukan atau keuntungan dari jasa penitipan barang gadaian dan bukan dari kegiatan gadai itu
sendiri.
Secara sederhana, mekanisme gadai emas syariah adalah calon nasabah pembiayaan emas
dengan akad rahn mendatangi kantor penggadaian syariah dengan membawa emas yang akan dijadikan
barang jaminan dan fotocopy KTP yang masih berlaku. Untuk emas yang berupa lantakan harus
disertai dengan sertifikat kepemilikan. Kemudian, juru taksir menaksir barang jaminan yang dibawa
nasabah supaya dapat diketahui maksimal pembiayaan yang didapat oleh nasabah. Setelah tahap
penaksiran selesai, kemudian tahap pelaksanaan akad perjanjian pembiayaan emas. Pihak LKS akan
memproses dan melengkapi semua persyaratan nasabah dan menentukan besar nilai pembiayaan yang
dibutuhkan oleh nasabah.22
Berakhirnya Akad Rahn
Akad rahn dapat berakhir atau batal disebabkan hal-hal sebagai berikut:
a. Diserahkannya marhun kepada rahin. Karena marhun merupakan kepercayaan atau jaminan
disebabkan adanya utang, maka apabila marhun diserahkan kepada rahin (pemiliknya), berarti
tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang berakhir akad, jika murtahin meminjamkan
marhun, baik kepada rahin sendiri maupun kepada orang lain atas seizin rahin. Pendapat
tersebut dikemukakan mayoritas ulama selain Syafi'iyah.23
b. Rahin melunasi semua utangnya.
c. Rahin dipaksa harus menjual marhun atas perintah hakim atau hakim terpaksa menjualnya jika
rahin menolak. Menurut Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah, akad rahn batal apabila rahin
menjual marhun dan rahin tidak berkewajiban
d. Terbebasnya utang dengan cara apa pun, misalnya dengan cara akad pemindahan utang
kepada orang lain (hawalah).
e. Murtahin membatalkan akad, sekalipun tanpa izin rahin. Karena hal tersebut merupakan hak
prerogatifnya. Selain itu, akad rahn bagi murtahin bersifat tidak mengikat (ghair lâzim). Hal
ini berbeda dengan rahin yang bersifat lâzim.
f. Meninggalnya atau pailitnya rahin sebelum marhun dikuasai oleh murtahin, atau rahin ditagih
dengan utang oleh pihak lain, atau dia terhalang untuk melaksanakan akad seperti karena
dipenjara, atau sakit parah yang menyebabkan tidak bisa melanjutkan akad. Pendapat tersebut
dikemukakan Malikiyah. Juga menurut Hanafiyah, akad gadai berakhir atau batal disebabkan
meninggalnya rahin atau murtahin sebelum dikuasainya barang jaminan (marhun) oleh
murtahin, tetapi tidak batal karena pailitnya rahin. Sedangkan Syafi'iyah dan Hanabilah
berpendapat, hal tersebut tidak batal. Akan tetapi, rahin mempunyai hak khiya, yaitu memilih
apakah marhun tersebut mau diserahkan kemudian dikuasai tidaknya oleh ahli waris murtahin.
Adapun apabila meninggalnya rahin atau murtahin setelah marhun dikuasai oleh murtahin
atau karena pailitnya rahin, dalam hal ini para ulama sepakat tidak menyebabkan batalnya
akad rahn.
g. Rusaknya marhun, Karena marhun merupakan amanat di tangan murtahin, kecuali karena
disengaja atau karena ketidakhati-hatiannya yang menyebabkan rusaknya marhun. Pendapat
tersebut disepakati oleh para ulama.
h. Rahin menjual, menghibahkan, atau menyedekahkannya marhun kepada orang lain atas seizin
murtahin.24
Dapat disimpulkan berakhirnya akad rahn ketika diserahkannya marhun kepada
rahin/ rahin melunasi semua hutangnya/ rahin dipaksa harus menjual marhun atas perintah
hakim atau hakim terpaksa menjualnya jika rahin menolak/ terbebasnya utang dengan cara apa

22
Ibid. hal. 274-275
23
Ibid. hal. 274
24
Ibid. hal. 275-276
12
pun/ murtahin membatalkan akad, sekalipun tanpa izin rahin/ meninggalnya atau pailitnya
rahin sebelum marhun dikuasai oleh murtahin, atau rahin ditagih dengan utang oleh pihak lain,
atau dia terhalang untuk melaksanakan akad seperti karena dipenjara, atau sakit parah yang
menyebabkan tidak bisa melanjutkan akad/ rusaknya marhun, dan atau rahin menjual,
menghibahkan, atau menyedekahkannya marhun kepada orang lain atas seizin murtahin.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Panji.2017. FIKIH MUAMALAH MALIYAH, Bandung : PT Refika Aditama.
Suhendi, Hendi. 2013. FIQIH MUAMALAH, Jakarta : Rajawali Pers.
Rahman, 2002. PENJELASAN LENGKAP HUKUM-HUKUM ALLAH ( SYARIAH ), Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU, Jakarta: Gema Insani.
Syafe’i, Rachmat. 2001. FIQIH MUAMALAH, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta : PUSTAKA AMANI.

13

Anda mungkin juga menyukai