NIM : 4022020035
Unit : EK2U 1
Prodi : Ekonomi Syariah
MK : Fiqh Muamalah
Dosen Pembimbing : Dr. Iskandar, MCL
Gadai (Rahn)
Kata ar-rahn secara etimilogi berarti tetap, kekal dan jaminan, dinamai juga dengan
al-habsu, artinya penahanan.
“Rahn secara bahasa berarti tetap dan abadi; dikatakan ma’un rahinun, artinya air yang
menggenang; na’matun rahinatun artinya yang abadi. Dikatakan juga bahwa rahn adalah
penahanan, berdasarkan firman Allah adalah ‘Tiap-tiap bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya’, maksudnya tertahan. Rahn lebih condong dengan arti yang pertama,
karena tertahan berarti tetap tidak berpindah sedikitpun”.
Pengertia rahn (barang jaminan) secara terminilogi, ada beberapa defefenisi yang
dikemukakan para ulama fikih diantaranya yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah
mendefinisi ar-rahn yaitu:
“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebahagian”
“menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang berutang tidak bisa membayar utangnya”
“harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (angunan) bukan saja harta yang
bersifat materi, tetapi juga juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yag dijadikan
barang jaminan (angunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh penyerahannya
secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan sebagai
surat jaminannya adalah sertifikat sawah.
“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebagian”
Sedangakn definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hambaliah mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama
Malikiyah. Walaupun sebenarnya manfaat itu menurut Syafi’iyah dan Hambaliah termasuk
dalam pengertian harta.
فَ>ا ِ ْن لَ ْم يَ ُكوْ نَ>>ا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج> ٌل, َوا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َش> ِه َدي ِ>ْن ِم ْن ِر َج> ا لِ ُك ْم....ُيَاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوا ِ َذا تَدَا يَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِلَى اَ َج ٍل ُم َس َّمى فَا ْكتُبُوْ ه
ِ واَ ْم َراَت...
َان َ
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendak-lah kamu menuliskannya. .. dan per-saksikanlah
dengan orang lelaki saksi diantaramu. Jika tiada 2 lelaki maka boleh seorang lelaki dan
2 orang perempuan ......... ”
2. Al Qur’an, Surah Al Baqarah 283
َ َْان َم ْقبُو
ٌضة ٌ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره
“Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-mu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”
B. Hadits
1. Hadits riwayat ‘Aisyah
B. Rukun Rahn
Rukun rahn ada 5, yaitu:
C. Syarat-syarat Rahn
Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn,
syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat tersebut
adalah :
1. Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap barang
yang belum atau tidak ada berarti tidak sah, begitu juga barang yang belum pasti
adanya, seperti binatang yang masih dikandungan ibunya;
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat disimpan dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan;
3. Barang yang dijadaikan transaksi merupakan hak mlik secara sah dan kepemilikan
sempurna. Berdasarkan ayat ini maka tidak sah menggadaikan pasir ditengah padang
atau air laut yang masih dilaut atau menggadaikan panas matahari, karena tidak
adanya kepemilikan yang sempurna;
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi, berdasarkan.berdasarkan syarat ini maka
tidak sah menggadaikan binatar liar, ikan dilautan atau burung yang berada di awang,
karena tidak bisa diserahkan kembali kepada pembeli;
5. Selain syarat diatas,ada satu syarat lagi yang mutlakhrus trpenuhi, yaitu barang yang
digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak, logam
mulia,jendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menjadikan
makananyang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan utang, karena tidak
tahan lama.
Pengertian Akad Ijarah
Dari beberapa definisi tersebut secara garis besar akad ijarah adalah menjual manfaat
dari barang. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menggunakan akad ijarah pada suatu benda.
Contohnya pohon atau anggur untuk menggunakan buahnya atau ijarah kambing untuk
diambil susunya, hal ini dilarang karena buah dan susu merupakan bentuk fisik yang dapat
dijual belikan.
Akad Ijarah dilandasi pada dalil Al-Qur’an yang terdapat pada QS. Ath-Thalaq ayat
6 yang artinya, “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Kemudian terdapat pula pada QS. Al-Qasas ayat 26 yang artinya, “Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
Bila melihat sejarah, ternyata sejak zaman sahabat ijma muslimin telah membolehkan
praktik Ijarah. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan manfaat sama pentingnya dengan
kebutuhan akan suatu barang.
Dikarenakan sebuah akad memiliki sifat yang sangat fundamental, maka rukun akan
menyertai akad tersebut agar sebuah akad menjadi sah dan tidak rusak. Apa saja rukun
tersebut?
Terkait dengan akad ijarah ini Jumhur Ulama sepakat bahwa akad ijarah memiliki 4
rukun:
1. Muta’aqidain,
2. Shighah (Ijab-Qabul),
3. Upah (bayaran terhadap barang),
4. Manfaat.
Selain rukun yang harus dipenuhi, syarat-syarat akan akad ijarah juga tak boleh lepas
untuk dipenuhi. Apa saja syarat tersebut?
Secara umum, syarat dalan Ijarah sama halnya dalam jual beli yaitu ada empat syarat:
1. Wujud (Al-in’iqad),
2. Berlaku/Eksekusi (Nafadz),
3. Validitas (Shahihah) dan
4. Pengikatan (luzum)
Wakalah
Wakalah adalah suatu tindakan menyerahkan atau mewakilkan kuasa dirinya (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) untuk melaksanakan sesuatu atau melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan haknya dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-
naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan
tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.
Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang yang
disebut sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam melakukan
sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, akan tetapi
apabila kuasa itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan atau yang telah di tentukan
maka semua risiko dan tanggung jawab atas perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak
pertama atau pemberi kuasa.
Menurut Karim (2002), wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis
pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh
pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi
kuasa masih hidup.
Menurut Ayub (2009), wakalah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian
atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti
menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan
tugas apapun ke orang lain.
Menurut Anshori (2009), wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang
tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika
dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
Menurut Muhammad (1995), wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang
mampu dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada orang
lain, agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya.
Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang di
syariatkan dengan dasar hukum ibadah (diperbolehkan), al-wakalah bisa menjadi sunah,
makruh, haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di
kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya.
a. Al-Qur'an
Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:
Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).
Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:
Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).
b. Al-Hadis
Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba
yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu
menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di
Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab al-
Muaththa').
c. Ijma Ulama
Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis
ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.
Rukun dan Syarat Wakalah
Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang memberi kuasa (al-
Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-
Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul). Adapun penjelasan ke-empat rukun
wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi, 2002).
1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat
bagi pihak yang diwakilkan.
2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan
amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan
menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas kesengajaannya.
1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa.
2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah
seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan
itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang akan
diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.
1. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dari
mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur
berakhirnya akad Wakalah ini.
2. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa.
3. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi
kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena
itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan
membaca alquran.
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak
sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang
masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah
satu anakku".
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang diiringi
kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada
kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat
qabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul
tetap dianggap sah.