Anda di halaman 1dari 12

Nama : Erisa Delima Putri

NIM : 4022020035
Unit : EK2U 1
Prodi : Ekonomi Syariah
MK : Fiqh Muamalah
Dosen Pembimbing : Dr. Iskandar, MCL

Gadai (Rahn)

Kata ar-rahn secara etimilogi berarti tetap, kekal dan jaminan, dinamai juga dengan
al-habsu, artinya penahanan.

Al-Bahuti dan Ibnu Qudamah mendefinisikan rahn secara etimologi yaitu:

“Rahn secara bahasa berarti tetap dan abadi; dikatakan ma’un rahinun, artinya air yang
menggenang; na’matun rahinatun artinya yang abadi. Dikatakan juga bahwa rahn adalah
penahanan, berdasarkan firman Allah adalah ‘Tiap-tiap bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya’, maksudnya tertahan. Rahn lebih condong dengan arti yang pertama,
karena tertahan berarti tetap tidak berpindah sedikitpun”.

Pengertia rahn (barang jaminan) secara terminilogi, ada beberapa defefenisi yang
dikemukakan para ulama fikih diantaranya yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah
mendefinisi ar-rahn yaitu:

“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebahagian”

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan rahn yaitu:

“menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang berutang tidak bisa membayar utangnya”

Dan ulama Malikiyah, mendefinisikan rahn yaitu:

“harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (angunan) bukan saja harta yang
bersifat materi, tetapi juga juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yag dijadikan
barang jaminan (angunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh penyerahannya
secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan sebagai
surat jaminannya adalah sertifikat sawah.

Ulama Hanafiyah mendefinisi rahn adalah

“menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar piutang, baik seluruhnya maupun sebagian”
Sedangakn definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hambaliah mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama
Malikiyah. Walaupun sebenarnya manfaat itu menurut Syafi’iyah dan Hambaliah termasuk
dalam pengertian harta.

Al-Qurtubi mendefinisikan rahn sebagai berikut:


“Barang yang ditahan oleh pihak yang memberi utang sebagai jaminan dari orang
yang berutang, sampai pihak pengutang melunasi utang tersebut”
Sementara Ibnu Qudamah mendefinisikan rahn sebagai berikut:
“Barang yang dijadikan jaminan untuk utang, agar pemberi utang dapat menjual
barang tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya”
Menurut pandangan lain, gadai (rahn) adalah menjadikan suatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Secara terminologi syara’, rahn berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Rahn dapat juga
didefinisikan sebagai penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial dalam
pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana seluruh atau sebagian utang tersebut
dapat dibayar dengannya.

A. Dasar Hukum Rahn


Dasar hukum Rahn antara lain:
A. Al-Qur’an
1. Al Qur’an, Surat Al Baqarah 282

‫ فَ>ا ِ ْن لَ ْم يَ ُكوْ نَ>>ا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج> ٌل‬, ‫ َوا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َش> ِه َدي ِ>ْن ِم ْن ِر َج> ا لِ ُك ْم‬....ُ‫يَاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوا ِ َذا تَدَا يَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِلَى اَ َج ٍل ُم َس َّمى فَا ْكتُبُوْ ه‬
ِ ‫واَ ْم َراَت‬...
‫َان‬ َ
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendak-lah kamu menuliskannya. .. dan per-saksikanlah
dengan orang lelaki saksi diantaramu. Jika tiada 2 lelaki maka boleh seorang lelaki dan
2 orang perempuan ......... ”
2. Al Qur’an, Surah Al Baqarah 283
َ ْ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ‫ضة‬ ٌ ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-mu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)”
B. Hadits
1. Hadits riwayat ‘Aisyah

َ‫ َوارْ تَهَن‬,‫ي طَ َعا ًما إِلَى أَ َج> ٍل َم ْعلُ>>وْ ٍم‬


ِّ ‫صلَى هللاُ ع َْل ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْشت ََرى ِم ْن يَهُوْ ِد‬ َّ ِ‫ض َى هللاُ َع ْنهَا أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن عَا ِء َشةَ َر‬
‫ِم ْنهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬
“Dari ‘Aisyah ra sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan berutang dengan tempo tertentu, Beliau menjaadikan baju
perangnya menjadi jaminan utang tersebut”

B. Rukun Rahn
Rukun rahn ada 5, yaitu:

1. Yang menggadaikan (ar-Rahin)


Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
akan digadaikan.
2. Penerima gadai (al-murtahin)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Barang Jaminan (al-marhun)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan
utang.
4. Utang (marhun bihi)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiran marhun.
5. Sighat, ijab, dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

C. Syarat-syarat Rahn
Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn,
syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat tersebut
adalah :

1. Para pihak harus berakal


2. Sudah baligh
3. Tidak dalam paksaan atau terpaksa
Syarat yang terkait dengan utang adalah:

1. Utang merupakan hak yang harus dibayar;


2. Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau jumlah utang
tidak boleh melebihi dari nilai barang yang menjadi jaminan;
3. Hak utang harus jelas.
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual beli adalah:

1. Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap barang
yang belum atau tidak ada berarti tidak sah, begitu juga barang yang belum pasti
adanya, seperti binatang yang masih dikandungan ibunya;
2. Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat disimpan dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan;
3. Barang yang dijadaikan transaksi merupakan hak mlik secara sah dan kepemilikan
sempurna. Berdasarkan ayat ini maka tidak sah menggadaikan pasir ditengah padang
atau air laut yang masih dilaut atau menggadaikan panas matahari, karena tidak
adanya kepemilikan yang sempurna;
4. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi, berdasarkan.berdasarkan syarat ini maka
tidak sah menggadaikan binatar liar, ikan dilautan atau burung yang berada di awang,
karena tidak bisa diserahkan kembali kepada pembeli;
5. Selain syarat diatas,ada satu syarat lagi yang mutlakhrus trpenuhi, yaitu barang yang
digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak, logam
mulia,jendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menjadikan
makananyang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan utang, karena tidak
tahan lama.
Pengertian Akad Ijarah

Akad Ijarah secara bahasa bermakna jual-beli manfaat. Ulama Hanafiyah


mendefinisikan akad ijarah sebagai sebuah akad kemanfaatan dengan adanya kompensasi.
Ketentuan ijarah sama dalam ketentuan dalam jual beli.

Kemudian Ulama Syafi’iyah mendefinisikan akad ijarah sebagai akad atas


kemanfaatan yang tertuju pada sesuatu yang mubah dan dapat dipertukarkan dengan
kompensasi yang umum diterapkan.

Lalu Ulama Malikiyah menjelaskan lebih lanjut bahwa akad ijarah adalah


pemindahan kepemilikan atas manfaat sesuatu yang mubah dengan durasi waktu diketahui
dan kompensasi yang sesuai. Definisi ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ulama
Hanabilah.

Dari beberapa definisi tersebut secara garis besar akad ijarah  adalah menjual manfaat
dari barang. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menggunakan akad ijarah pada suatu benda.
Contohnya pohon atau anggur untuk menggunakan buahnya atau ijarah kambing untuk
diambil susunya, hal ini dilarang karena buah dan susu merupakan bentuk fisik yang dapat
dijual belikan.

Landasan Hukum Akad Ijarah

Akad Ijarah dilandasi pada dalil Al-Qur’an yang terdapat pada QS. Ath-Thalaq ayat
6 yang artinya, “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”

Kemudian terdapat pula pada QS. Al-Qasas ayat 26 yang artinya, “Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”

Hadist Nabi SAW dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata “Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan yang
mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi”

Lalu hadist yang sudah umum diketahui yaitu dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu


anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah upah
kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya”

Bila melihat sejarah, ternyata sejak zaman sahabat ijma muslimin telah membolehkan
praktik Ijarah. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan manfaat sama pentingnya dengan
kebutuhan akan suatu barang.

Adapun di Indonesia, akad ijarah diakomodir dengan dikeluarkannya fatwa Dewan


Syariah Nasional MUI yaitu fatwa no: 09/DSN-MUI/VI/2000 tentang pembiayaan ijarah.

Rukun Akad Ijarah

Dikarenakan sebuah akad memiliki sifat yang sangat fundamental, maka rukun akan
menyertai akad tersebut agar sebuah akad menjadi sah dan tidak rusak. Apa saja rukun
tersebut?
Terkait dengan akad ijarah ini Jumhur Ulama sepakat bahwa akad ijarah memiliki 4
rukun:

1. Muta’aqidain,
2. Shighah (Ijab-Qabul),
3. Upah (bayaran terhadap barang),
4. Manfaat.

Syarat Akad Ijarah

Selain rukun yang harus dipenuhi, syarat-syarat akan akad ijarah juga tak boleh lepas
untuk dipenuhi. Apa saja syarat tersebut?

Secara umum, syarat dalan Ijarah sama halnya dalam jual beli yaitu ada empat syarat:

1. Wujud (Al-in’iqad),
2. Berlaku/Eksekusi (Nafadz),
3. Validitas (Shahihah) dan
4. Pengikatan (luzum)
Wakalah

Wakalah adalah suatu tindakan menyerahkan atau mewakilkan kuasa dirinya (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) untuk melaksanakan sesuatu atau melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan haknya dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-
naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan
tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.

Istilah wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan


atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga berarti
perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau
pendelegasian (al-tafwidh) sehingga definisi wakalah adalah akad perwakilan antara dua
pihak, dimana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak
atas nama pihak pertama (Antonio, 2008).

Al-wakalah dalam pengertian lain yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang yang
disebut sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak ke dua dalam melakukan
sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, akan tetapi
apabila kuasa itu telah di laksanakan sesuai yang di syaratkan atau yang telah di tentukan
maka semua risiko dan tanggung jawab atas perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak
pertama atau pemberi kuasa.

Berikut definisi dan pengertian wakalah dari beberapa sumber buku: 

 Menurut Karim (2002), wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis
pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh
pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi
kuasa masih hidup. 
 Menurut Ayub (2009), wakalah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian
atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti
menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan
tugas apapun ke orang lain. 
 Menurut Anshori (2009), wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang
tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika
dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat. 
 Menurut Muhammad (1995), wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang
mampu dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada orang
lain, agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya.

Landasan Hukum Wakalah 

Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap


orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri.
Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain
untuk mewakili dirinya.

Dasar hukum dari wakalah adalah boleh dilakukan dalam ikatan kontrak yang di
syariatkan dengan dasar hukum ibadah (diperbolehkan), al-wakalah bisa menjadi sunah,
makruh, haram, atau bahkan wajib sesuai dengan niat pemberi kuasa, pekerjaan yang di
kuasakan atau faktor lain yang mendasarinya dan mengikutinya.

Adapun landasan hukum wakalah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an 

Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 19, yaitu:

Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).

Selain itu terdapat juga dalam Q.S. An-Nisa ayat 35, yaitu:
Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).

Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan


perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia mengalami
kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak-sanggupan melakukan segala sesuatu secara
mandiri, baik melalui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong,
dengan demikian seseorang dapat mengakses atau melakukan transaksi melalui jalan
Wakalah.

b. Al-Hadis 

Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya, di


antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya,
mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian dapat
dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu Hadis yang menjadi landasan wakalah
yaitu:

Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’, hamba
yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu
menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi SAW) di
Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki No.678, Kitab al-
Muaththa').

c. Ijma Ulama 

Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis
ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.
Rukun dan Syarat Wakalah 

Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu 1) Orang yang memberi kuasa (al-
Muwakkil), 2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil), 3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-
Taukil), dan 4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul). Adapun penjelasan ke-empat rukun
wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi, 2002).

a. Orang yang memberi kuasa (Al-Muwakkil) 

1. Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk


tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan
sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya. 
2. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga
dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh
seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak
boleh seorang yang gila.

b. Orang yang diberi kuasa (al-Wakil) 

1. Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat
bagi pihak yang diwakilkan. 
2. Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan
amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan
menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas kesengajaannya.

c. Objek/perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil) 

1. Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa. 
2. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah
seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan
itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan. 
3. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang akan
diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.

d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul) 

1. Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dari
mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur
berakhirnya akad Wakalah ini.
2. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa. 
3. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi
kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Adapun syarat-syarat wakalah adalah sebagai berikut: 

1. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena
itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan
membaca alquran. 
2. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak
sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya. 
3. Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang
masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah
satu anakku". 
4. Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang diiringi
kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada
kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat
qabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul
tetap dianggap sah.

Anda mungkin juga menyukai