Anda di halaman 1dari 11

HADIS TENTANG GADAI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hadis Ekonomi”

Dosen Pengampu:
Hj.Nur Afiyah,S.Th.I,M.Ag.

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Oktavianti Rahmadhani (22403052)


Fredi Yogi Wardana (22403103)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2023
HADIS TENTANG GADAI

A. Latar Belakang
Gadai merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
manusia dan sudah diatur oleh Allah SWT. Gadai memiliki tujuan saling
membantu antara sesama manusia dengan cara memberikan pinjaman dengan
menggunakan jaminan. Jaminan atau rungguhan adalah suatu barang yang
dijadikan penenggah atau penguat kepercayaan dalam hutang piutang. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menjadikan suatu benda
sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayaran ketika berhalangan
dalam membayar hutang.1
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian hutang-piutang.
Praktik ini sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, dan Rasulullah sendiri pernah
melakukannya.2 Gadai (rahn) dalam Hukum Ekonomi Syariah dilakukan secara
sukarela. Adapun rukun akad rahn terdiri dari murtahin (orang yang
menerima gadai), rahin (orang yang memberikan gadai) dan marhun (barang yang
dijadikan gadai). Akad rahn harus dinyatakan oleh para pihak dengan jelas
menggunakan lisan, tulisan maupun isyarat. Para pihak yang melalukan akad rahn
harus memiliki kecakapan hukum dan akad Rahn dapat dianggap sempurna
apabila marhun telah diterima oleh murtahin.3
Jasa gadai masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat
menggadaikan suatu barang karena terdesak kebutuhan dana, sementara barang
yang digadaikan tersebut masih sayang untuk dijual. Beberapa barang berharga
yang dapat digadaikan di antaranya adalah emas,dimana masyarakat pada
umumnya telah lazim menjadikan emas sebagai barang berharga yang disimpan
dan menjadikannya objek rahn sebagai jaminan utang untuk mendapatkan
pinjaman uang. Prospek investasi emas yang kian menguntungkan karena harga
selalu naik.
Gadai diperbolehkan dalam Islam karena agama Islam merupakanagama
yang lengkap dan sempurna karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah dasar dan

1
Maman Surahman dan Panji Adam. “Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn di Lembaga
Pegadaian Syariah”, Jurnal Law And Justice, No. 02, Vol. 02, (Oktober, 2017), 45.
2
Imam Musthofa, “Fiqih Muamalah Kontemporer”, Pt Raja Grafindo Persada, 2019, 64.
3
Muhamad Syahrullah, “Formalisasi Akad Rahn Dalam Komlikasi Hukum Ekonomi”.
aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi
dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka. Keuniversalan Islam, mengajarkan kepada umatnya supaya
hidup saling tolong-menolong yang kaya harus menolong yang miskin, yang
mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa
berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.
B. Pengertian Gadai
Dalam Islam dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut
Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn
menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan penahanan.
Dan ada pula yang menjelaskan bahwa Rahn adalah terkurung atau terjerat, di
samping itu juga Rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan
jaminan.4
Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang
sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.5
Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda
yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat
dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.6
Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn
sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai
kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang
yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.7
Disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan
menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
Pimjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Cet.1 PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002), 105.
5
A.A. Basyir, Hukum Tentang Riba, Hutang Piutang Gadai, (Penerbit Al-Ma`arif, Bandung:
1983), 50.
6
Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Ansari, Problematika Hukum Islam kontemporer, (Edisi 3,
LSIK, Jakarta : 1997), 60.
7
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Penerbit Alfabeta, Bandung : 2011), 20.
dalam hal ini gadai syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua
marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang
pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin
tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan
dan perawatannya.8
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali
lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli
hukum Islam sebagai berikut:9
1. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan Rahn adalah menjadikan suatu barang
yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhidari harganya, bila yang
berutang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Ulama Hanabilah mengungkapkan Rahn adalah suatu benda yang
dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila
yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
3. Ulama Malikiyah mendefinisikan Rahn adalah sesuatu yang bernilai
harta (Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4. Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan Rahn adalah perjanjian menahan
sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih,
sehingga dengan adanyatanggungan utang seluruh atau sebagian utang
dapat diterima.
5. Muhammad Syafi'i Antonio mendefinisikan Rahn adalah menahan salah
satu yaitu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum)
atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau
penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Melalui pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam di
atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang

8
Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2012 tentang Rahn.
9
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Praktik, (Bulan Gema insani Press,
Jakarta : 2001), 41.
bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak
yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh
atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang
untuk menyerahkan harta benda berupa emas /perhiasan/kendaraan dan/atau harta
benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau
lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.
C. Dasar Hukum Gadai
1. Gadai/rahn ialah perjanjian (akad) pinjam meminjam barang dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.perjanjian gadai itu di
benarkan oleh islam,berdasarkan sebuah riwayat hadis A’ Isyah ra. dikatakan
bahwa :
‫ِإ ِه‬ ‫ِع‬
‫َح َّد َثَنا ُيوُس ُف ْبُن يَس ى َح َّد َثَنا َأُبو ُمَعاِو َيَة َح َّد َثَنا اَأْلْع َم ُس َعْن ْبَر ا يَم َعْن‬
‫ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِئ ِض‬ ‫ِد‬
‫اَأْلْس َو َعْن َعا َش َة َر َي الَّلُه َعْنَه ا َقاَلْت اْش َتَر ى َرُس وُل الَّل َص َّلى الَّلُه َعَلْيهَو َس َّلَم ْن‬
‫وِدي َط ا ا ِبَنِس ي ٍة َن ِد ُِه‬
‫َئ َو َر َه ُه ْر َع‬ ‫َع ًم‬ ‫َيُه‬
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari
Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanandari orang Yahudi secara angsuran
dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau". (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas,jelaslah bahwa gadai hukumnya boleh,baik baik bagi
orang yang perjalanan atau tinggal di rumah.10
2. Hadis dari Anas bin Malik ra. yang berbunyi:

,‫ َلَقْد َر َه َن َرُس وُل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َلْم ِدْر َعُه ِعْنَد َيُه وِدّي ِبْلَم ِديَنِة‬: ‫َعْن َأَنٍس ؛ َقاَل‬
‫ِلِه ِم ِع‬
‫ٍ َفَأَخ َذ ُأِلْه ْنُه َش ْيٌر‬
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: “Rasulullah saw. Pernah
10
Elimartati, “Perbedaan Ar-Rahn dan Bay’ Al-Wafa”, dalam Jurnal Innovatio (Sumatera Barat:
STAIN Batusangkar), Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012, 308.
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya
beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah).
3. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari, yang
berbunyi:
‫ِض‬
‫َح ّد ثنا أبو نعيم حَّدَ ثَنا زكرياُء عن عامر عن أيب هريرَة َر َي الَّلُه‬
‫ الَّر ه ير َك بنقفتِه‬:‫ْنه عن الن َّلى الَّل َل ِه َّل أنه كان يقول‬
‫ُن ُب‬ ‫ِّيب َص ُه َع ْي َو َس َم‬ ‫َع‬
‫َلُنَب الَّد ِّر إذا كان مرهوًنا‬
‫ويْش َر ُب‬
Hadis Abu Nuaimi hadis Zakaria dari Amir dari Abu Hurairah
Radhiyallahu „Anhu, dia berkata; Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Salam
bersabda; “Hewan yang digadai boleh ditungggangi sesuai biayanya, dan susu
hewan boleh diminum apabila digadaikan.” (HR. Bukhari).
4. Hadis riwayat Ibu Wajah yang berbunyi:

‫ َعْن ِإْسَح اَق ْبِن‬. ‫ َح َّدَ ثَنا ِإْبَر اِه يُم ْبُن اْلُم ْخَتاِر‬.‫حد ثنا َحُمَّم ُد ْبُن َمُحْيٍد‬
‫ِع ِد‬ ‫ِش ٍد‬
‫ َأَّن َرُس وَل الَّله َص َّلى الَّلُه‬,‫ َعْن َأيِب ُه َر ْيَر َة‬, ‫ َعْن َس ي ْبِن اْلُم َس َّيِب‬, ‫ َعِن الُّز ْه ِر ِّي‬, ‫َر ا‬
‫ِه‬
‫ اَل َيْغَلُق الَّر ْه ُن‬: ‫ِ َعَلْي َو َس َلْم َقاَل‬

Hadis dari Muhammad bin Humait, hadis dari Ibrahim bin Muhtar dari
Ishaq bin Rasyid, dari Zuhri, dari Sa’id bin Musayab dari Abi Hurairah;
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh menyembunyikan barang
gadai.”
Peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn
pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat
dan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar- rahn itu
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam
rangka hubungan antar sesama manusia
Para ulama telah menyepakati bahwa al-rahn boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan kebutuhan umatnya.

Selain Al-Qur’andan Hadits, gadai syariah juga merujuk pada Fatwa DSN-
MUINo.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai syariah (Ar-rhan) yang menyatakan
bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:11
1. Ketentuan Umum:
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin
Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Mahrun dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murta hin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
d. Besarnya biaya administrasi dan penyimpanan Marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan Marhun
1) Apabila jatuh tempo, Murtahin Harus memperingatkan Rahin
untuk segera melunasi utangnya.
2) Apabila Rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka Marhun
dijual paksa/dieksekusi.
3) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

11
Ira Ikasa Putri, “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah (Rahn) Pada PT. Bank
Syariah Mandiri, Tbk. Cabang Pontianak”, dalam Jurnal Audit dan Akuntansi, (Pontianak:
Universitas Tanjungpura), Vol.2, No. 2, Desember 2013, 4-5.
2. Ketentuan Penutup
a. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui B adan Arbriterase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagai mana mestinya.
D. Syarat dan Rukun Gadai
Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan oleh pihak yang
berpiutang/murtahin (bank syariah/lembaga pegadaian) kepada pihak yang
berhutang/rahin (nasabah) ada sejumlah rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur
ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:
1. Akad ijab dan qabul (sighat)
2. Pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang menerima gadai
(murtahin). Adapun bagi yang berakad adalah mampu bertasharruf, yaitu
mampu membelanjakan harta dengan memahami persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang digadaikan dengan syarat memenuhi ketentuan yang
ditetapkan, misalnya keadaan barang itu tidak rusak,Ada utang, disyaratkan
keadaan utang itu tetap. Ulama Hanafiyah berpendapat rukun rahn itu hanya
ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan
qabul (pernyataan kesediaan memberi hutang dan menerima barang jaminan
itu.
4. Murtahin (orang yang menerima gadai)
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah agar lebih sempurna dan mengikat
akad rahn, maka diperlukan qabadh (penguasaan barang) oleh pemberi
hutang. Adapaun rahin, murtahin, marhun dan marhun bih itu termasuk
syarat-syarat rahn bukan rukunnya.12
Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat gadai sesuai dengan rukun

12
Ibid, 125
gadai itu sendiri.
Dengan demikian, syarat-syarat gadai meliputi:13
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak
hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang
yang balig dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah
pihak yang berakad harus berakal dan mumayyiz, tidak disyaratkan balig
tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang
mumayyiz boleh melakukan akad rahn (gadai) dengan syarat akad gadai
yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan
dari walinya.
2. Syarat Shigat (lafal). Menurut ulama hanafiyah akad rahn (gadai) itu tidak
boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang karena akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu
dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan
datang maka syaratnya batal tetapi akadnya tetap sah. Misalnya orang yang
berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan
hutang belum terbayar maka gadai itu diperpanjang satu bulan atau pemberi
hutang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sementara
ulama malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila
syarat itu mendukung kelancaran akad itu, maka syarat tersebut dibolehkan.
Namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabi‟at akad gadai maka
syaratnya batal, sebagai contoh, orang yang berhutang mensyaratkan apabila
ia tidak dapat membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka
barang jaminan tidak boleh dijual. Syarat yang demikian itu tidak saja
membatalkan syarat rahn, tetapi sekaligus membatalkan akad.
3. Syarat marhun bih (hutang) adalah merupakan hak wajib yang harus
dikembalikan kepada orang tempat berhutang, hutang itu FIKIH
MUAMALAH Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer 165 boleh
13 Az-Zuhaili, “Fikih Islam Wa Adillatuhu. 9 (dapat) dilunasi dengan
barang jaminan tersebut; dan hutang itu jelas dan tertentu.
4. Syarat marhun (barang yang dijadikan jaminan), menurut para pakar fiqih

13
Az-Zuhaili, “Fikih Islam Wa Adillatuhu”.
barang jaminan itu adalah barang yang dapat diperjualbelikan, Barang
jaminan adalah barang yang memiliki nilai ekonomis (mempunyai nilai
harta secara hukum syara‟), serta dibolehkan oleh syara‟ mengambil
manfaatnya.

E. Kesimpulan
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang
disebut Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-
rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan
penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa Rahn adalah terkurung atau
terjerat, di samping itu juga Rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap,
kekal, dan jaminan.
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan baju
besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh
Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad ar- rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan
yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Para ulama telah menyepakati bahwa al-rahn boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan kebutuhan umatnya.
Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu: 1) Akad dan
ijab kobul, 2) Pihak yang menggadaikan dan pihak yang menerima gadai, 3)
Barang yang digadaikan memenuhi syarat ketentuan, 4) Ada hutang, 5) Murtahin.
Demikian pula syarat-syarat gadai meliputi: 1) Baligh dan berakal, 2) Syarat
shigat (lafal), 3) Marhun bih (hutang), 4) Marhun (barang yang dijadikan
jaminan).
DAFTAR PUSTAKA

Maman Surahman dan Panji Adam. “Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn
di Lembaga Pegadaian Syariah”, Jurnal Law And Justice, No. 02, Vol.
02, (Oktober, 2017).
Imam Musthofa, “Fiqih Muamalah Kontemporer”, Pt Raja Grafindo Persada,
2019.
Muhamad Syahrullah, “Formalisasi Akad Rahn Dalam Komlikasi Hukum
Ekonomi”.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Cet.1 PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002).
A.A. Basyir, Hukum Tentang Riba, Hutang Piutang Gadai, (Penerbit Al-Ma`arif,
Bandung: 1983).
Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Ansari, Problematika Hukum Islam
kontemporer, (Edisi 3, LSIK, Jakarta : 1997).
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Penerbit Alfabeta, Bandung : 2011).
Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2012 tentang Rahn.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Praktik, (Bulan Gema
insani Press, Jakarta : 2001), h. 41.
Elimartati, “Perbedaan Ar-Rahn dan Bay’ Al-Wafa”, dalam Jurnal Innovatio
(Sumatera Barat: STAIN Batusangkar), Vol. XI, No. 2, Juli-Desember
2012.
Ira Ikasa Putri, “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah (Rahn)
Pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk. Cabang Pontianak”, dalam Jurnal
Audit dan Akuntansi, (Pontianak: Universitas Tanjungpura), Vol.2, No. 2,
Desember 2013.
Az-Zuhaili, “Fikih Islam Wa Adillatuhu”.

Anda mungkin juga menyukai