PENDAHULUAN
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
1
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.(Pasal 1150 KUHPerdata).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan masalah
2
BAB II
PEMBAHASA
3
c. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikat) atau menjadi tetap.
d. Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn) menurut istilah ialah menjadikan
sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai tanggungan hutang;
dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian
hutang dapat diterima.
Sifat rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma,
sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin)
tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah
utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan.
4
1.2. Dasar Hukum ar-Rahn
A. Al Qur‟an
َض ُكم َبعضًا فَلي َُؤ ِد ٱلَّذِى ٱؤت ُ ِمن ُ ضة ۖ فَإِن أ َ ِمنَ َبع َ سفَر َولَم ت َِجد ُوا كَا ِتبًا فَ ِر َهن َّمقبُو َ ۞ َو ِإن ُكنتُم َعلَى
ٱّللُ بِ َما ت َع َملُونَ َع ِليم
َّ ش َهدَة َ ۖ َو َمن يَكتُم َها فَإِنَّ ۥهُ َءاثِم قَلبُ ۥهُ ۖ َو
َّ ٱّللَ َربَّ ۥهُ ۖ َو َل ت َكت ُ ُموا ٱل
َّ قِ َّۖ أ َ َمنَت َ ۥهُ َوليَت
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya
mempercayai.” (QS. Al-Baqarah : 283)
5
B.Hadist
ورهنه دِرعًا من حديد،صلى هللا عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما- أبي بكر رضي هللا عنهما أن رسول هللا.
Artinya : “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai
dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Bukhari)
C. Ijma
6
1.3. Rukun dan Syarat Akad Rahn
a. Rukun Rahn
Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan marhun bih. Rahin
adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah orang yang menerima gadai.
Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang. Marhun bih
adalah utang. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu: ‘aqid, shighat,
marhun, dan marhun bih. Ada beberapa syarat yang terkair dengan gadai.
1) Syarat ‘Aqid
Syarat yang harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin adalah
ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk
melakukan jual beli.
2) Syarat Shighat
Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak
disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai
akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan
dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid
seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat
jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.
3) Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli.
Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci
Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut :
7
a) Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu
akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada maka akad gadai
tidak sah.
b) Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak sah
hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.
c) Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh diambil
manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk
melunasi utangnya.
d) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual beli.
e) Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik orang
lain tanpa ijin pemiliknya.
f) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak sah
menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu.
h) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bukan
milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, barang
milik bersama boleh digadaikan.
Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)MUI No. 25/ DSN-
MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima sebagai
agunan pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian syariah di Pekalongan mempunyai
pengkhususan pada barang-barang yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu :
8
a) Barang milik pemerintah.
b) Mudah membusuk.
d) Barang yang dilarang peredarannya oleh peraturan yang berlaku dan atau hukum
Islam.
(7) Barang yang kurang nilai rahn-nya dibawah biaya invest gadai.
barangbarang karya seni yang nilainya relative sukar ditaksir dan kendaraan
bermotor tahun keluaran 1996 keatas.
9
4) Syarat Marhun Bih
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan
sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya,
yaitu rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang
dijaminnya.
c) Hak marhun bih harus jelas (ma‟lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).
10
2.1. Definisi Akad Kafalah
Dari beberapa pengertian al-kafalah menurut para ulama di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman ialah
menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam permintaan dan utang.[1]
11
2. 2. Dasar Hukum al-Kafalah
)66 : قل لن آرسلہ معکم حتی تؤتون مو ثقا من الل لتلتننی بہ (يو سف
Artinya: “ Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji
yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali kepadaku”.
(Yusuf: 66).
Dasar hukum al-kafalah yang kedua yaitu As-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah
Saw, bersabda:
Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab qabul), makful bih (objek
tanggungan), kafil (penjamin), makful ‘anhu (tertanggung) dan makful lahu (penerima
hak tanggungan).
12
b. Makful bihi. Objek pertanggungan harus mengikat terhadap diri tertanggung,
dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. selain itu, objek tersebut
harus merupakan tanggung jawab penuh oleh pihak tertanggung. Seperti
menjamin harga atas transaksi barang sebelum serah terima, menanggung
beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu,
nominal objek pertanggungan harus jelas. Tidak diperbolehkan menanggung
sesuatu yang tidak jelas ( majhul ). Namun demikian, sebagian ulama’ fiqih
membolehkan menanggung objek pertanggungan yang bersifat majhul. Hal ini
disandarkan pada hadits Rasulullah,” Barang siapa dari orang-orang mukmin
yang meninggalkan tanggungan hutang, maka pembayarannya menjadi
kwajibanku”. Berdasarkan hadits ini, nilai objek pertanggungan yang dijamin
oleh Rasulullah bersifat majhul, dengan demikian hal tersebut diperbolehkan.
c. Kafil. Ulama’ fiqh mensyaratkan, seorang kafil haruslah orang yang berjiwa
filantropi, yaitu orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu, ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh
dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang
untuk melakukan transaksi ( mahjur ‘alaih ).
Karena bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil
dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh
guna menjalankan pertanggungan. Karena, dalam akad ini, kafil tidak memiliki
hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
d. Makful ‘anhu. Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful
‘anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik
dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu,
makful ‘anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.
13
e. Makful lahu. Ulama’ mensyaratkan, makful lahu harus dikenal oleh kafil, guna
meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia
adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil
yang belum berakal.
Dengan demikian, hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman
kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal’alaih).
Begitu pihak B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban
hutang tersebut kepada pihak C. dengan demikian, pihak C yang harus membayar
hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
14
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang
mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, hak dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat
(ijma’) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang
yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang,
bukan pemindahan barang/benda.
Menurut Hanafiyah, rukun hawalah hanya terdiri dari Ijab dari pihak muhil,
yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan Qabul dari pihak muhal atau
muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad
hawalah harus didasakran pada kerelaan dan keridlaan pihak muhal’alaih, yakni orang
yang berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, karena ia
merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang ada.
Menurut mayoritas ulama’, rukun hawalah terdiri atas muhil (orang yang
berhutang dan sekaligus berpiutang), muhal atau muhtal (orang yang berpiutang
kepada muhil), muhal’alaih (orang yang berhutang pada muhil dan wajib membayar
hutang kepada muhtal), muhal bih (hutang muhil kepada muhtal) dan sighat (ijab
qabul).
Ulama’ fiqh menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah, yaitu:
a. Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu,
akad hawalah harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil,
karena di sini berlaku konsep ibra’ (pembebasan) hutang yang bermakna
pemindahan kepemilikan.
b. Muhal, haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan
dan juga kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.
15
c. Muhal’alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada
diri muhal’alaih.
d. Muhal bih harus berupa hutang dan bersifat mengikat. Artinya adanya
hutang dari pihak muhil kepada muhal, dan hutang tersebut bersifat
mengikat. Malikiyah menambahkan, hutang yang ada sudah jatuh tempo
dan nominal hutang harus sama dengan hutang yang dimiliki oleh
muhal’alaih.
Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan hutang
(bara’ah) dari pihak muhal. Penagihan hutang akan berpindah dari pihak muhil kepada
muhal’alaih, artinya ketika muhal ingin menagih hutang, maka ia harus datang kepada
muhal’alaih, bukan kepada muhil. Ulama berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak
penagihan dan pembayaran hutang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih kepada
pihak muhal‘alaih,. Akan tetapi, pembayaran hutang itu akan kembali lagi kepada
muhil, ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia.
Akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki
hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah, ketika
muhal’alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak
penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah, Syafi’iyah dan Malikiyah, ketika
16
akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban hutang tidak
bisa dialihkan kembali kepada muhil.
a. Kafalah bin-Nafs
b. Kafalah bit-Taslim
c. Kafalah al-Munjazah
17
d. Bank Garansi
e. Syariah Card
18
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu bank membayar
piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
19
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
2. Hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang
(muhil) kepada orang lain yang wajib menanggungnya (muhal’alaih).
3. Rahn (gadai) adalah menahan jaminan yang bersifat materi milik si peminjam
sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya biasanya dalam bentuk barang Kaitan
Kafalah Dalam Perbankan Syariah :
a. Kafalah bin-Nafs
b. Kafalah bit-Taslim
c. Kafalah al-Munjazah
d. Bank Garansi
e. Syariah Card
20
Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah :
b. Post-dated check
c. Bill discounting
a. gadai emas
4.2. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga pada pembaca pada
umumnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
http://updatemapel.blogspot.com/2016/12/makalah-kafalah-dan-hawalah.html?m=1
di akses pada kamis,16 november 2023 (16.05)
https://id.scribd.com/document/512357546/MAKALAH-KAFALAH-DAN-
HIWALAH di akses pada kamis, 16 november 2023 (17.12)
https://www.hukumonline.com/klinik/a/jaminan-utang-menurut-hukum-islam-
lt611268f5d4e37 di akses pada kamis,16 november 2023 (19.35)
http://updatemapel.blogspot.com/2016/12/makalah-kafalah-dan-hawalah.html?m=1
di akses pada jumat,17 november 2023 (15.40)
https://id.scribd.com/document/512357546/MAKALAH-KAFALAH-DAN-
HIWALAH di akses pada jumat,17 november 2023 (16.37)
https://www.hukumonline.com/klinik/a/jaminan-utang-menurut-hukum-islam-
lt611268f5d4e37 di akses pada jumat,17 november 2023 (19.09)
22