Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Secara umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-
barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan
barang yang akan dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian
antara nasabah dengan lembaga gadai. Ketika seorang membutuhkan dana
sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang
ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi karena prosedurnya yang
rumit dan memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian persyaratan yang
lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus legkap. Begitu pula
dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak
semua barang dapat dijadikan jaminan di bank, maka jasa gadai menjadi
alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan dana.

Tugas pokok dari pegadaian itu sendiri adalah memberikan pinjaman


kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan
oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan
kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.

Gadai diperbolehkan dalam Islam karena agama Islam


merupakanagama yang lengkap dan sempurna karena di dalamnya terdapat
kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik
dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk).

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu
barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si

1
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.(Pasal 1150 KUHPerdata).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan


diajukan oleh penulis adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan utang piutang (rahn) dan penyelesaian


hutang (kafalah dan hiwalah) ?
2. Apa saja landasan hokum dari rahn,kafalah dan hiwalah ?
3. Apasaja rukun dan syarat dari rahn,kafalah dan hiwalah ?

C. Tujuan masalah

Mengetahui dan memahami pengertian utang piutang rahn dan penyelesaian


hutang kafalah dan hiwalah kemudian untuk memahami landasan hukum dari
utang piutang rahn dan penyelesaian hutang kafalah dan hiwalayah serta
memahami rukun dan syaratnya.

2
BAB II

PEMBAHASA

1.1 Definisi Akad Rahn

Secara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama, sedangkan al-habs


berarti menahan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut. Makna gadai (rahn) dalam bahasa
hokum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan
rungguhan.

Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang


jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling
tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.

Sedangkan menurut istilah syara‟, yang dimaksud dengan rahn adalah


menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟
sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau
sebagian utang dari barang tersebut.

Selain Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga


pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli yaitu sebagai berikut:

a. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn) adalah


menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.

b. Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu (barang) sebagai


jaminan terhadap ha (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak
(piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.

3
c. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikat) atau menjadi tetap.

d. Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn) menurut istilah ialah menjadikan
sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai tanggungan hutang;
dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian
hutang dapat diterima.

e. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio ar-rahn adalah menahan salah satu


harta salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun)
atas pinjaman yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis.
Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutang.

Berdasarkan pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa


ahli diatas, dapat diketahui bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang jaminan
yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman
yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga
pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambi
kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak
yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan.

Sifat rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma,
sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin)
tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah
utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan.

Jadi pada intinya pelaksannaan gadai adalah suatu kegiatan hutang


piutang antara kedua belah pihak, dengan menjadikan suatu barang yang
berharga atau bernilai sebagai jaminannya.

4
1.2. Dasar Hukum ar-Rahn

A. Al Qur‟an

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam


islam berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat
283 Allah berfirman :

َ‫ض ُكم َبعضًا فَلي َُؤ ِد ٱلَّذِى ٱؤت ُ ِمن‬ ُ ‫ضة ۖ فَإِن أ َ ِمنَ َبع‬ َ ‫سفَر َولَم ت َِجد ُوا كَا ِتبًا فَ ِر َهن َّمقبُو‬ َ ‫۞ َو ِإن ُكنتُم َعلَى‬
‫ٱّللُ بِ َما ت َع َملُونَ َع ِليم‬
َّ ‫ش َهدَة َ ۖ َو َمن يَكتُم َها فَإِنَّ ۥهُ َءاثِم قَلبُ ۥهُ ۖ َو‬
َّ ‫ٱّللَ َربَّ ۥهُ ۖ َو َل ت َكت ُ ُموا ٱل‬
َّ ‫ق‬ِ َّ‫ۖ أ َ َمنَت َ ۥهُ َوليَت‬

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya
mempercayai.” (QS. Al-Baqarah : 283)

Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam


perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa
langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena
tidak semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang
secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat
menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang).
Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang
dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.

5
B.Hadist

Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa :

‫عن عائشة بنت‬

‫ ورهنه دِرعًا من حديد‬،‫صلى هللا عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما‬- ‫ أبي بكر رضي هللا عنهما أن رسول هللا‬.

]‫ [متفق عليه‬- ]‫[صحيح‬

Artinya : “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai
dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Bukhari)

Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW. Me-rahn-kan baju


besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh
Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang
terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.

C. Ijma

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan


ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan.
Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia
ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002,
tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat
bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.

6
1.3. Rukun dan Syarat Akad Rahn

a. Rukun Rahn

Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan marhun bih. Rahin
adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah orang yang menerima gadai.
Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang. Marhun bih
adalah utang. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu: ‘aqid, shighat,
marhun, dan marhun bih. Ada beberapa syarat yang terkair dengan gadai.

1) Syarat ‘Aqid

Syarat yang harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin adalah
ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk
melakukan jual beli.

Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.

2) Syarat Shighat

Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak
disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai
akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan
dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid
seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat
jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.

3) Syarat Marhun

Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli.
Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci
Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut :

7
a) Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu
akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada maka akad gadai
tidak sah.

b) Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak sah
hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.

c) Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh diambil
manfaatnya menurut syara‟, sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk
melunasi utangnya.

d) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual beli.

e) Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik orang
lain tanpa ijin pemiliknya.

f) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak sah
menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu.

g) Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya


(lainnya). Tidak sah menggadaikan buahbuahan saja tanpa disertai dengan
pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai
pohonnya.

h) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bukan
milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, barang
milik bersama boleh digadaikan.

Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)MUI No. 25/ DSN-
MUI/III/2002, tanggal 22 Juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima sebagai
agunan pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian syariah di Pekalongan mempunyai
pengkhususan pada barang-barang yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu :

8
a) Barang milik pemerintah.

b) Mudah membusuk.

c) Berbahaya dan mudah terbakar.

d) Barang yang dilarang peredarannya oleh peraturan yang berlaku dan atau hukum
Islam.

e) Cara memperoleh barang tersebut dilarang oleh hukum Islam.

f) Serta ketentuan khusus sebagai berikut :

(1) Barang yang disewa-belikan.

(2) Barang tersebut masih berupa hutang dan belum lunas.

(3) Barang tersebut dalam masalah.

(4) Berupa pakaian jadi.

(5) Pemakaiannya sangat terbatas.

(6) Hewan ternak.

(7) Barang yang kurang nilai rahn-nya dibawah biaya invest gadai.

Ketentuan-ketentuan tersebut diberlakukan mengingat keterbatasan tempat,


sumber daya, fasilitas. Chatamarrasid menambahkan barang yang tidak dapat
digadaikan yaitu

barangbarang karya seni yang nilainya relative sukar ditaksir dan kendaraan
bermotor tahun keluaran 1996 keatas.

9
4) Syarat Marhun Bih

Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan
sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

a) Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya,
yaitu rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang
dijaminnya.

b) Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila


tidak memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukumnya
tidak sah.

c) Hak marhun bih harus jelas (ma‟lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).

10
2.1. Definisi Akad Kafalah

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan


za’mah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah
atau al-dhamam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagi berikut.

a. Menurut Sayyid Sabiq, al-kafalah adalah proses penggabungan tanggungan


kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi) yang sama,
baik utang, barang, maupun pekerjaan.

b. Menurut Imam Taqiy, al-kafalah adalah mengumpulkan satu beban kepada


beban lain.

c. Menurut Hasbi Ash-Shidiqie, al-kafalah adalah menggabungkan dzimmah


kepada dzimmah lain dalam penagihan.

Dari beberapa pengertian al-kafalah menurut para ulama di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman ialah
menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam permintaan dan utang.[1]

Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada


pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam
pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang
dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[2]

11
2. 2. Dasar Hukum al-Kafalah

Kafalah disyaratkan oleh Allah Swt, terbukti dengan firman-Nya:

)66 : ‫قل لن آرسلہ معکم حتی تؤتون مو ثقا من الل لتلتننی بہ (يو سف‬

Artinya: “ Aku tidak membiarkannya pergi bersamamu, sebelum kau memberikan janji
yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti membawanya kembali kepadaku”.
(Yusuf: 66).

Dasar hukum al-kafalah yang kedua yaitu As-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah
Saw, bersabda:

)‫العاريۃ مؤذة والزعيم غا رم (رواہ ابو داود‬

Artinya: “pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah


membayar”. (Riwayat Abu Dawud).[3]

2.3. Rukun dan Syarat

Rukun kafalah terdiri atas sighat kafalah (ijab qabul), makful bih (objek
tanggungan), kafil (penjamin), makful ‘anhu (tertanggung) dan makful lahu (penerima
hak tanggungan).

a. Sighat kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya


kesanggupan untuk menaggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “ aku akan menjadi penjaminmu
“ atau “saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu terhadap seseorang”
atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama’ tidak mensyaratkan kalimat verbal
yang harus diucapkan dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan kepada adat
kebiasaan. Intinya ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk
menjamin sebuah kwajiban.

12
b. Makful bihi. Objek pertanggungan harus mengikat terhadap diri tertanggung,
dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. selain itu, objek tersebut
harus merupakan tanggung jawab penuh oleh pihak tertanggung. Seperti
menjamin harga atas transaksi barang sebelum serah terima, menanggung
beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang. Selain itu,
nominal objek pertanggungan harus jelas. Tidak diperbolehkan menanggung
sesuatu yang tidak jelas ( majhul ). Namun demikian, sebagian ulama’ fiqih
membolehkan menanggung objek pertanggungan yang bersifat majhul. Hal ini
disandarkan pada hadits Rasulullah,” Barang siapa dari orang-orang mukmin
yang meninggalkan tanggungan hutang, maka pembayarannya menjadi
kwajibanku”. Berdasarkan hadits ini, nilai objek pertanggungan yang dijamin
oleh Rasulullah bersifat majhul, dengan demikian hal tersebut diperbolehkan.
c. Kafil. Ulama’ fiqh mensyaratkan, seorang kafil haruslah orang yang berjiwa
filantropi, yaitu orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu, ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh
dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang
untuk melakukan transaksi ( mahjur ‘alaih ).

Karena bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil
dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki kebebasan penuh
guna menjalankan pertanggungan. Karena, dalam akad ini, kafil tidak memiliki
hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

d. Makful ‘anhu. Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful
‘anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik
dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu,
makful ‘anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.

13
e. Makful lahu. Ulama’ mensyaratkan, makful lahu harus dikenal oleh kafil, guna
meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia
adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil
yang belum berakal.

Sedangkan syarat-syarat dari akad kafalah, yaitu:

a. Objek akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan

b. Tidak bertentangan dengan syariat islam.

3.1. Definisi Akad Hawalah

Secara linguistik, hawalah bermakna perpindahan. Menurut istilah Hanafiyah,


hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah ulama’ fiqh, hawalah merupakan
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan
muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.

Dengan demikian, hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman
kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal’alaih).
Begitu pihak B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban
hutang tersebut kepada pihak C. dengan demikian, pihak C yang harus membayar
hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai.

3.2 Dasar hokum hiwalah

Akad hawalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dari ijma’ ulama’.


Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda; “Menunda-
nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman.
Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagih piutangnya (di-hawalah-
kan) kepada pihak yang mampu, maka terimalah”.

14
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang
mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, hak dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat
(ijma’) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang
yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang,
bukan pemindahan barang/benda.

3.3. Rukun dan Syarat

Menurut Hanafiyah, rukun hawalah hanya terdiri dari Ijab dari pihak muhil,
yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan Qabul dari pihak muhal atau
muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka menambahkan, akad
hawalah harus didasakran pada kerelaan dan keridlaan pihak muhal’alaih, yakni orang
yang berhutang pada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, karena ia
merupakan pihak yang harus menanggung beban hutang yang ada.

Menurut mayoritas ulama’, rukun hawalah terdiri atas muhil (orang yang
berhutang dan sekaligus berpiutang), muhal atau muhtal (orang yang berpiutang
kepada muhil), muhal’alaih (orang yang berhutang pada muhil dan wajib membayar
hutang kepada muhtal), muhal bih (hutang muhil kepada muhtal) dan sighat (ijab
qabul).

Ulama’ fiqh menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah, yaitu:

a. Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah tidak sah
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu,
akad hawalah harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakatan muhil,
karena di sini berlaku konsep ibra’ (pembebasan) hutang yang bermakna
pemindahan kepemilikan.
b. Muhal, haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuan
dan juga kerelaannya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.

15
c. Muhal’alaih, syarat yang ada atas diri muhal atau muhtal, juga berlaku pada
diri muhal’alaih.
d. Muhal bih harus berupa hutang dan bersifat mengikat. Artinya adanya
hutang dari pihak muhil kepada muhal, dan hutang tersebut bersifat
mengikat. Malikiyah menambahkan, hutang yang ada sudah jatuh tempo
dan nominal hutang harus sama dengan hutang yang dimiliki oleh
muhal’alaih.

Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan hutang
(bara’ah) dari pihak muhal. Penagihan hutang akan berpindah dari pihak muhil kepada
muhal’alaih, artinya ketika muhal ingin menagih hutang, maka ia harus datang kepada
muhal’alaih, bukan kepada muhil. Ulama berbeda pendapat tentang peralihan hak ini.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak
penagihan dan pembayaran hutang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih kepada
pihak muhal‘alaih,. Akan tetapi, pembayaran hutang itu akan kembali lagi kepada
muhil, ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia.

Menurut Imam Muhammad, yang berpindah hanyalah hak penagihan saja,


bukan hak pembayaran nominal hutang yang ada. Beban pembayaran hutang tetap
melekat pada diri muhil. Menurut Zafar, hak penagihan dan pembayaran hutang tidak
bisa berpindah kepada muhal’alaih, muhal’alaih hanyalah sebagai penanggung (kafil)
bagi muhil ketika ia tidak mampu membayar. Menurut pendapat yang rajih, muhal
memilki hak untuk melakukan penagihan dan pembayaran nominal hutang dari
muhal’alaih.

Akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki
hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut Hanafiyah, ketika
muhal’alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak
penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah, Syafi’iyah dan Malikiyah, ketika

16
akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban hutang tidak
bisa dialihkan kembali kepada muhil.

Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh


muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia
diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung
unsur gharar (ketidakpastian).[8]

C. Kaitan Kafalah dan Hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah

1. Kaitan Kafalah Dalam Perbankan Syariah

a. Kafalah bin-Nafs

Misalkan seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan


jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun , tetapi bank
berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang
di biayai mengalami kesulitan.

b. Kafalah bit-Taslim

Jenis pemberian jaminan ini dapat di laksanakan oleh bank untuk


kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan
penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa
deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada
nasabah itu.

c. Kafalah al-Munjazah

Pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds “jaminan


prestasi”, suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan
bentuk akad.[9]

17
d. Bank Garansi

Bank Garansi merupakan jaminan pembayaran yang di berikan oleh


bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau lembaga
keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan.

e. Syariah Card

Kafalah dapat di aplikasikan dalam syariah card di samping


menggunakan akad qard, ariyah atau ijarah. Kafalah dalam hal penerbit kartu
adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap Merchant atas semua
kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transkasi antara pemegang kartu
dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank
penerbit kartu.

f. Asuransi Syariah (takaful)

Perusahaan asuransi merupakan pihak penanggung atau penjamin,


sedangkan peserta asuransi adalah pihak tertanggung atau yang di jamin.
dimana pihak yang terjamin di wajibkan membayar premi asuransi dalam masa
tertentu, lalu pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu
pada diri si terjamin.

2. Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah

Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan. Fikih kontemporer, khususnya


dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk,
antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita contohkan seorang penulis
buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar
royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan
antara penerbit dan bank. Adapun hal-hal yang diterapkan dalam perbankan syariah,
yaitu:

18
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu bank membayar
piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.

b. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa


membayarkan dulu piutang tersebut.

c. Bill discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah.hanya


saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan dalam
hiwalah tidak terdapat pembahasan fee.[10]

19
BAB III

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa:

1. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.

2. Hawalah adalah akad perpindahan penagihan hutang dari orang yang berhutang
(muhil) kepada orang lain yang wajib menanggungnya (muhal’alaih).

3. Rahn (gadai) adalah menahan jaminan yang bersifat materi milik si peminjam
sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya biasanya dalam bentuk barang Kaitan
Kafalah Dalam Perbankan Syariah :

a. Kafalah bin-Nafs

b. Kafalah bit-Taslim

c. Kafalah al-Munjazah

d. Bank Garansi

e. Syariah Card

f. Asuransi Syariah (takaful)

20
Kaitan Hawalah Dalam Perbankan Syariah :

a. Factoring atau anjak piutang

b. Post-dated check

c. Bill discounting

Kaitan rahn dalam perbankan syariah :

a. gadai emas

4.2. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami susun mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga pada pembaca pada
umumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://updatemapel.blogspot.com/2016/12/makalah-kafalah-dan-hawalah.html?m=1
di akses pada kamis,16 november 2023 (16.05)

https://id.scribd.com/document/512357546/MAKALAH-KAFALAH-DAN-
HIWALAH di akses pada kamis, 16 november 2023 (17.12)

http://digilib.uinsa.ac.id/13342/57/Bab%202.pdf di akses pada kamis, 16 november


2023 (18.20)

https://www.hukumonline.com/klinik/a/jaminan-utang-menurut-hukum-islam-
lt611268f5d4e37 di akses pada kamis,16 november 2023 (19.35)

https://www.academia.edu/36779656/Makalah_Utang_Piutang di akses pada


kamis,16 november 2023 (20.04)

http://updatemapel.blogspot.com/2016/12/makalah-kafalah-dan-hawalah.html?m=1
di akses pada jumat,17 november 2023 (15.40)

https://id.scribd.com/document/512357546/MAKALAH-KAFALAH-DAN-
HIWALAH di akses pada jumat,17 november 2023 (16.37)

http://digilib.uinsa.ac.id/13342/57/Bab%202.pdf di akses pada jumat,17 november


2023 (18.10)

https://www.hukumonline.com/klinik/a/jaminan-utang-menurut-hukum-islam-
lt611268f5d4e37 di akses pada jumat,17 november 2023 (19.09)

https://www.academia.edu/36779656/Makalah_Utang_Piutang di akses pada


jumat,17 november 2023 (20.40)

22

Anda mungkin juga menyukai