Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Agama islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum
sempurna untuk di pergunakan dalam menyelengarakan tata cara kehidupan manusia. Islam
hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ‘ariidhah), yakni makan-
makan tekstual yang umum, yang mampu memecahkan problematika kehidupan manusia
baik aspek ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah).
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita
sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), dan
penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk
dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan) dalam bahasa fiqihnya Al-Wadi’ah.
Disini penulis akan memfokuskan untuk membahas ‘Ariyah dan Wadi’ah.

2. Rumusan Masalah
a. Apa defisini Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya?
b. Apakah syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah?
c. Bagaimana hukum menerima wadiah?
d. Bagaimana meminjam pinjaman?
e. Bagaimanakah pembayaran pinjaman?
f. Bagaimnanakah tatakrama berhutang?

3. Tujuan Panulisan
a. Mengetahui definisi Ariyah, Wadiah dan Dasar Hukumnya.
b. Mengetahui syarat dan rukun Ariyah dan Wadiah.
c. Mengetahui hukum menerima waduah.
d. Mengetahui pinjam meminjam.
e. Mengetahui pembayaran pinjaman.
f. Mengetahui tatakrama berhutang.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Ariyah (Peminjaman)
a. Pengertian ‘ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah secara istilah ialah
memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya
dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.[1] sedangkan
menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat :
1) Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat secara cuma-cuma”
2) Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan”
3) Menurut Syafi’iyah ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat dari seseorang
yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4) Menurut Hambaliyah ‘ariyah ialah :[2] “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang
tanpa imbalan dari peminjan atau yang lainnya”
5) Ibnu rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat
dikembalikan”
6) Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah : “memberi manfaat-
manfaat”
Secara operasional, Al-jazairi mengemukakan bahwa al-‘ariyah ialah sesuatu yang
diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian
dikembalikan kepada pemilik.[3]
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang
kepada orang lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam
waktu yang telah disepakati barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang
meminjamkan.

b. Dasar Hukum ‘ariyah


Pinjaman (Al-‘ariyah) itu disyariatkan berdasarkan pada dalil-dalil berikut
‫َٰٓل‬
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا اَل ُتِح ُّلوْا َش َٰٓع ِئَر ٱِهَّلل َو اَل ٱلَّش ۡه َر ٱۡل َح َر اَم َو اَل ٱۡل َهۡد َي َو اَل ٱۡل َق ِئَد َو ٓاَل‬
‫َء ٓاِّم يَن ٱۡل َبۡي َت ٱۡل َح َر اَم َيۡب َتُغ وَن َفۡض اٗل ِّم ن َّرِّبِهۡم َو ِرۡض َٰو ٗن ۚا َو ِإَذ ا َح َلۡل ُتۡم َفٱۡص َطاُد وْۚا َو اَل‬
‫ْۘا‬
‫َيۡج ِرَم َّنُك ۡم َش َٔ‍َناُن َقۡو ٍم َأن َص ُّد وُك ۡم َع ِن ٱۡل َم ۡس ِج ِد ٱۡل َح َر اِم َأن َتۡع َتُد و َو َتَع اَو ُنوْا َع َلى‬
٢ ‫ٱۡل ِبِّر َو ٱلَّتۡق َو ٰۖى َو اَل َتَع اَو ُنوْا َع َلى ٱِإۡل ۡث ِم َو ٱۡل ُع ۡد َٰو ِۚن َو ٱَّتُقوْا ٱَۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱۡل ِع َقاِب‬
2
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-
Maidah {5}: 2)
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah.[4] Sedangkan menurut
al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib
ketika awal Islam.[5] Adapun landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah.

۞‫ِإَّن ٱَهَّلل َيۡأ ُم ُر ُك ۡم َأن ُتَؤ ُّد وْا ٱَأۡلَٰم َٰن ِت ِإَلٰٓى َأۡه ِلَها‬
Artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang
kedua ialah al-Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:

َ‫ َقاَل َر ُس وُل ِهَّللَا صلى هللا عليه‬: ‫َو َعْن َأِبي ُهَر ْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل‬
‫ َو اَل َتُخ ْن َم ْن َخ اَنَك ) َر َو اُه َأُبو‬, ‫وسلم ( َأِّد َاَأْلَم اَنَة ِإَلى َم ْن ِاْئَتَم َنَك‬
‫ َو اْس َتْنَك َرُه َأُبو َح اِتٍم َالَّر اِزُّي‬, ‫ َو َصَّح َح ُه َاْلَح اِكُم‬,‫ َو َالِّتْر ِمِذُّي َو َح َّس َنُه‬, ‫َد اُو َد‬
Artinya:”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan
janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah.
‘Ariyah disunnahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.[6]
Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah
boleh, asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan, tidak keburukan.

c. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab qabul dengan ucapan.[7]
Menurut Syafi’iyah.[8] Rukun ‘ariyah dalah sebagai berikut:

3
1) Kalimat menguntangkan (Lafadz), seperti seorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepadamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku menghutang benda ini
kepadamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2) Mu’ir yaitu orang yang menguntangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilikyang berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
 Baligh
 Berakal
 Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curratelle), maka tidak sah apabila
dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pembiros.
3) Benda yang diutangkan. Pada rukun ini disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan.
 Pemanfaatan itu dibolehkan.
Menurut mayoritas ulama (Jumhur), rukun ‘ariyah sebagaimana yang dikemukakan
Zuhaily terdiri atas pihak-pihak sebagai berikut[9]:
a) Yang meminjamkan (mu’ir)
b) Peminjam (musta’ir)
c) Ucapan serah terima (Ijab qabul)
Ulama fiqih menetapkan bahwa akad ‘ariyah diperbolehkan atas barang-barang biasa
yang dimanfaatkan tanpa harus merusak zatnya (barang istimal’i) atau barang yang
dugunakan, seperti rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.

d. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarati peminjam berarti
peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar
sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu
berbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda.
“orang kaya yang melalaikan kewajiban utang adalah aniaya” (HR. Bukhori dan
Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berpiutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi
yang membayar hutang. Rasulullah SAW berdabda: “sesungguhnya diantara orang yang
terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar hutang” (HR.
Mutafaqun ‘alih).
Rasulullah SAW pernah berhutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan
yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.

4
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berhutang atau telah menjadi
perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal untuk mengambilnya.
Rasullah SAW bersabda: “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah
salah satu cara dari sekian cara riba” (HR. Baihaqi).

e. Meminjam pinjaman dan Menyewakannya


Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda
pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum menginzinkannya jika
penggunaan untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan statusnya selama peminjam berlangsung, kecuali barang tersebut
disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa
seizin pemilik barang.[10]
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah
seorang di antara keduanya. Dalam kedaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta
jaminankepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.[11]

f. Tanggung Jawab Peminjam


Jika peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut
rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun
karena yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Pemegang berkewajiban menjaga apa
yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang
berlebihan, karena Rasulullah SAW bersabda: “Peminjam yang tidak berkhianat tidak
berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak
berkewajiban mengganti kerusakan” (HR. Al-Daruquthni).

g. Tatakrama Berhutang
1) Sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan
dari pihak berhutang dan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang
saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.
2) Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai
niat dalam hati akan membayarkannya.
3) Pihak berhutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berhutang. bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang
hendaknya memberikannya.

5
4) Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat
pembayarannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat dzalim.

h. Contoh Ariyah
Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan
barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B berhak
menempati rumah tersebut hingga waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar,
diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada
waktu yang telah disepakati. Mu’ir (orang yang meminjamkan) dan musta’ir
menerimanya dengan penerimaan yang syar’i kemudian rumah tersebut berada dalam
pemanfaatannya. Dan masing-masing dari dua belah pihak menerima kesepakatan ini dari
pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian
(disebutkan tanggalnya).
1) Al-Wadi’ah (Barang Titipan)
2) Pengertian al–Wadi’ah
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al–wadi’ah, menurut bahasa al–
wadi’ah berartikan titipan (amanah). Kata Al-Wadiah berasal dari kata wada’a (wada’a
– yada’u – wad’an) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[12]
Menurut istilah al–wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1) Menurut Malikiyah bahwa al–wadi’ah memiliki dua arti, arti yang pertama ialah:
“ibadah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”
Arti yang kedua ialah: “ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara
mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”
2) Menurut Hanafiyah bahwa al–wadi’ah ialah berarti al-ida’ yaitu: “ibarah seseorang
menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”
Makna yang kedua al–wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan (al-Syai’i al-
Maudi’), “sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”
3) Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “akad yang
dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
4) Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “titipan perwakilan
dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)”
5) Menurut Hasbi Ash-shidiqie al–wadi’ah ialah: “akad yang intinya minta pertolongan
kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”
6) Menurut Syaikh al-din al-Qalyubi wa syaikh ‘Umairah al–wadi’ah ialah: “benda
yang diletakan pada orang lain untuk dipeliharanya”
7) Syeikh ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al–wadi’ah ialah: “akad
yang dilakukan untuk penjagaan”

6
8) Menurut idris ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamannahkan)
kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Setelah diketahui definisi-definisi al–wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka
kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al–wadi’ah adalah penitipan, yaitu
akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara
layak (sebagaimana halnya kebiasaan).

2. Dasar hukum al–wadi’ah


Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikan
pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah SWT.

۞‫ة َفِإۡن َأِم َن َبۡع ُض ُك م َبۡع ٗض ا‬ٞۖ ‫ن َّم ۡق ُبوَض‬ٞ ‫َو ِإن ُك نُتۡم َع َلٰى َس َفٖر َو َلۡم َتِج ُد وْا َك اِتٗب ا َفِرَٰه‬
‫م َقۡل ۗۥ‬ٞ‫َّبُه َو اَل َتۡك ُتُم وْا ٱلَّش َٰه َد َۚة َو َم ن َيۡك ُتۡم َها َفِإَّن ٓۥُه َء اِث‬
‫ُبُه‬ ‫َفۡل ُيَؤ ِّد ٱَّلِذ ي ٱۡؤ ُتِم َن َأَٰم َنَت ۥُه َو ۡل َيَّتِق ٱَهَّلل َر ۗۥ‬
٢٨٣ ‫م‬ٞ‫َو ٱُهَّلل ِبَم ا َتۡع َم ُلوَن َع ِلي‬
Artinya:” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-
Baqarah: 283)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak
melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang
titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dar al-Quthni dan riwayat
Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda:

ََ‫ َع ِن الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم‬, ‫ َعْن َج ِّد ِه‬, ‫ َعْن َأِبيِه‬, ‫َعْن َع ْمِرو ْبِن ُش َعْيٍب‬
‫ َو ِإْس َناُد ُه‬, ‫ َفَلْيَس َع َلْيِه َض َم اٌن ) َأْخ َرَج ُه ِاْبُن َم اَج ْه‬, ‫ ( َم ْن ُأوِد َع َو ِد يَعًة‬: ‫َقاَل‬
‫َض ِع يٌف‬
Artinya:“siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni).

3. Rukun dan syarat al–wadi’ah


Menurut syafi’iyah al–wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
a. Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.

7
b. Orang yang menitipkan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan sudah baligh, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat
berwakil.
c. Shigt ijab dan kabul al-wadhi’ah di syaratkan pada ijab kabul ini dimengertikan oleh
kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.
Menurut Hanafiyah rukun al–wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya
termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap
sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan
perkataan semaran (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk kabul, disyaratkan bagi yang
menitipkan dan yang dititip barang dengan mukalaf. Tidak sah apabila yang mrnitipkan dan
yang menerima benda titipan adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).

4. Hukum Menerima Wadi’ah


Terdapat empat hukum wadi’ah, yaitu sunnah, makruh, wajib dan
haram. Hal ini berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Penjelasan masing-masing hukum adalah
sebagai berikut.
a. Sunnah
Dihukumkan sebagai sunnat, karena wadi’ah sebagai salah satu akad dalam rangka
tolong-menolong sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam
Dari alasan tersebut di atas, wadi’ah (barang titipan) adalah amanat dan disunnahkan
menerimanya bagi orang yang bisa memenuhi kewajiban terhadap titipan tersebut, yaitu
memelihara dan mengembalikan titipan apabila pemiliknya meminta kembali barangnya.
Akan tetapi hokum sunnat tersebut akan berubah menjadi wajib terutama dalam hal-hal
penitipan barang yang disebabkan karena keadaan terpaksa, misalnya: banjir, kebakaran,
perampokan, kecelakaan lalu lintas dan peristiwaperistiwa lainnya yang tidak diduga
sebelumnya.

b. Makruh
Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalam hal si penerima titipan mempunyai keyakinan
bahwa sebenarnya dia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya, akan
tetapi dia sangsi dengan adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan
mengakibatkan dia tidak berlaku amanah atau khianat.

c. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya
sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada
seorangpun yang dapa dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut

8
d. Haram
Dihukumkan menjadi haram, apabila orang yang menerima barang titipan tidak mampu
memeliharanya.46 Sebagian ulama’ ada yang berpendapat tentang wajibnya menerima
barang titipan jika pemilik barang itu tidak mendapatkan orang yang bisa dititipi. Ulama’
tersebut juga berpendapat bahwa orang yang dititipi itu tidak menerima upah atas
pemeliharaannya, sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan barang seperti
tempat tinggal atau biaya, menjadi tanggungan pemiliknya. Sedangkan dalam
menanggung resiko barang titipan, orang yang menerimanya tidak wajib
menanggungnya, kecuali karena kelengahan.

5. Contoh Wadiah
Amir seorang yang tinggal di Jakarta ingin pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta
api. Untuk menuju stasiun Gambir Jakarta ia menggunakan sepeda motor. Sesampainya di
stasiun Gambir Amir kemudian menitipkan sepeda motor pada tukang parker dan atas
penitipan sepeda motor pada tukang parkir dan atas penitipan tersebut Amir membayar biaya
parkir. Tukang perkir harus menjaga amanah dan tidak diperkenankan untuk menggunakan
sepeda motor Amir.

9
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang kepada
orang lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam waktu yang
telah disepakati barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang meminjamkan. Dasar
hukumnya adalah al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 dan hadis. Syarat dan
Hukum ‘Ariyah adalah Peminjam, orang yang akan meminjam, barang yang dipinjamkan
dan ijab qabul. Pembayaran pinjaman diwajibkan bagi orang yang sudah mempunyai barang
yang akan dipinjamkan.
Sedangkan Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Dasar
hukum wadiah terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:283 dan juga terdapat di hadis
yang diriwayatkan Daruqunthi. Syarat dan rukun wadiah adalah ada barang yang dititipkan,
ada orang yang mentipkan, yang menerima titipan, dan sighot ijab qabul.
[1]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensido, 2003), hlm. 322.
[2]Hendi suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 91-92
[3]Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer, (Anggota IKAPI: Ghalia
Indonesia: 2002), hlm.177
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 93.
[5]Ibid.,
[6]Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam
Pandangan 4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014) hlm. 343.
[7]Ibid., hlm. 94.
[8]Ibid.,
[9]Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer opo.cit., hlm. 176.
[10]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah opo. cit., hlm. 97.
[11]Ibid.,
[12]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) hlm. 495.

10

Anda mungkin juga menyukai