Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial di mana dalam kehidupannya sehari-hari

manusia saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lain, dalam kesehariannya

pun manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam kehidupan sehari-hari kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer atau pokok dalam

hal ini meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut, selain dengan dilakukannya suatu

transaksi yang disebut dengan jual beli cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan

dilakukannya suatu proses pinjam meminjam atau yang dalam istilah muamalah lebih

dikenal dengan istilah ’Ariyah, proses peminjaman ini biasanya dilakukan oleh

seseorang dengan keadaan ekonomi menengah kebawah hal ini karena proses pinjam

meminjam dapat dianggap sebagai suatu alternatif ketika seseorang tidak mampu

memenuhi kebutuhan pokok secara kontan.

Dalam Suhendi (2010) ‘ariyah adalah meminjamkan suatu benda kepada orang

lain untuk diambil manfaat atas benda tersebut, dengan ketentuan dikembalikan

setelah selesai digunakan kepada pemiliknya dan pada saat pengembaliannya, benda

tersebut harus dalam keadaan utuh sesuai dengan awal peminjaman.

Tujuan utama adanya suatu proses pinjam meminjam adalah untuk menolong

sesama, sehingga ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dengan

tujuan untuk menolong atau membantu sesama maka itu akan bernilai ibadah,
2

namun jika pemberian pinjaman tersebut bukan didasari dengan adanya keinginan

untuk menolong sesama maka hukumnya akan berbeda. Adapun hadis riwayat

Bukari yang terkait tentang ‘ariyah:

“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka

Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya,

maka Allah akan melenyapkan hartanya.”

Para Imam Madzhab sepakat peminjaman barang (‘ariyah) merupakan ibadah

yang disunahkan serta diberi pahala.

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa hukum dari memberikan pinjaman

adalah sunah dan bernilai pahalam selama hal itu bertujuan untuk menolong sesama,

bahkan bisa saja akan menjadi wajib jika dalam keadaan darurat dan kepada orang

yang benar-benar mebutuhkan, seperti meminjamkan pisau untuk menyembelih

binatang yang hampir mati. Namun meminjam atau memberikan pinjaman juga bisa

menjadi haram jika barang tersebut diketahui akan dipergunakan untuk hal yang tidak

baik, mencelakakan orang lain, atau meminjam tanpa ijin pemiliknya.

Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama islam

harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak

menyepelekan peraturan-peraturan agama.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian ‘Ariyah?

2. Apakah dasar hukum ‘Ariyah?

3. Apa saja rukun dan syarat ‘Ariyah?

4. Bagaimana pembayaran pinjaman?


3

5. Bagaimana meminjam pinjaman dan menyewakannya?

6. Bagaimana tanggung jawab peminjam?

7. Apa saja tata krama berhutang?

C. Tujuan

Adapun tujuan yang ingin diperoleh dalam pembahasan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian ‘Ariyah.

2. Untuk mengetahui dasar hukum ‘Ariyah.

3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ‘Ariyah.

4. Untuk mengetahui pembayaran pinjaman.

5. Untuk mengetahui meminjam pinjaman dan menyewakannya.

6. Untuk mengetahui tanggung jawab peminjam.

7. Untuk mengetahui tata krama berhutang.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian ‘Ariyah

Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah

mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka

waktu tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya

(Al Aziz, 2005:390). Definisi ‘ariyah yang dikemukaan oleh para ulama adalah

sebagai berikut:

1. Ulama Hanafiah

Secara syara’, ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai

dengan imbalan.

2. Ulama Malikiyah

Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang

bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.

3. Ulama Syafi’iyah

Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya mengambil

manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan

cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih

tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang

memberikannya.

4. Ulama Hanbaliyah

I’jarah adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan

dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya (Muslich, 2010: 467).
5

B. Dasar Hukum ‘Ariyah

Dasar hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:

1. Q.S. Al Madinah (5): 2

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah

kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

2. Hadits Anas bin Malik

Dari Anas bin Malik ia berkata, “Telah terjadi rasa ketakutan (atas

serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam seekor kuda dari

Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau mengendarainya.

Setelah beliau kembali beliau bersabda, Kami tidak melihat apa-apa, dan yang

kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq ‘alaih).

Dari ayat Al Qur’an dan hadits tersebut, membuktikan bahwa ‘ariyah

diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam.

C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah ijab dan qobul. Sedangkan

menurut jumhur ulama termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah:

1. Orang yang meminjamkan.

2. Orang yang meminjam.

3. Barang yang dipinjamkan.

4. Shighat.

Syarat-syarat dalam ‘ariyah berkaitan dengan rukun-rukunnya. Berikut

syarat-syarat ‘ariyah:
6

1. Syarat-syarat orang yang meminjamkan

Orang-orang yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan

tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi:

a) Baligh. Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak dimasukkan dalam

syarat ‘ariyah melainkan cukup mumayyiz.

b) Berakal.

c) Bukan orang yang boros atau pailit.

d) Orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat

akan dipinjamkan.

2. Syarat-syarat orang yang meminjam

Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat berikut

a) Orang yang meminjam harus jelas.

b) Orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali

yang memiliki sumber nafkah.

3. Syarat-syarat barang yang dipinjam

Barang yang memiliki syarat sebagai berikut:

a) Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang

maupun nanti.

b) Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah, yakni

barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’

bukan barang yang diharamkan.

c) Barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh.


7

4. Syarat-syarat shighat

Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin

kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh orang yang

meminjamkan.

D. Pembayaran Pinjaman

Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam

memiliki hutang kepada yan berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar

sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan

pembayaran utang juga termasuk aniaya. Rasulullah saw bersabda:

“orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”

(HR. Bukhori dan Muslim).

E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya

Abu hanifa dan malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan

benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum

mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlaianan dengan

tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab hambali, peminjam boleh

memanfaatkan barang peminjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya

selama peminjamannya berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan.

Haram hukumnya menurut Hambaliah menyewakan barang pinjaman tanpa

seizing pemilik barang.

Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada

orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta

jaminan salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan hal ini, lebih baik
8

pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang

memegang ketika barang itu rusak.

Perubahan Status

Status amanah pada ‘ariyah dapat berubah menjadi status tanggungan

disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut:

1. Ditelantarkan. Misalnya menempatkan barang di tempat yang tidak

aman.

2. Tidak dijaga dengan baik ketika menggunakan.

3. Menggunakan barang pinjaman secara berlebihan tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku menurut kebiasaan.

4. Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati. Tidak sesuai pesan

dari orang yang meminjamkan barang tersebut.

F. Tatakrama Berhutang

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau

utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah

sebagai berikut :

1. Pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang

meminjam dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang

saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi perempuan.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di

antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan

dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika

seorang lupa” (Q.S. Al-Baqarah : 282).


9

2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak

disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.

3. Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan

kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu

mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.

4. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya

dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran

pinjaman berarti berbuat zalim.

G. Adab Pinjam Meminjam

Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir dan mu’ir :

1. Untuk Musta’ir

a) Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat.

b) Berniat melunasinya.

c) Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih.

d) Meminjam sesuai dengan kebutuhan.

e) Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya.

f) Membayar dengan cara yang baik.

2. Untuk Mu’ir

a) Niat yang benar dalam memberi pinjaman.

b) Bersikap baik dalam menagih pinjaman.

c) Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu

membayar pada waktunya.

d) Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya.


10

H. Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang

tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang

berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah,

Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah,

Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima,

hingga ia mengambilkannya”.

Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa,

peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena

tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda: “Pinjaman yang

tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan al-

Daruquthin).

Kewajiban peminjam

1. Mengembalikan barang itu kepada pemiliknya jika telah selesai.

Rasulullah SAW bersabda: “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan

yang meminjam sesuatu harus membayar” (HR. Abu Dawud).

2. Merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW bersabda:

“Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia

kembalikan barang itu” (HR. Ahmad).


11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut bahasa ‘ariyah berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah

mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu

tertentu untuk dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian

untuk terciptanya proses ‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada

didalamnya, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, shighat, serta

barang yang dipinjamkan. Tidak sampai kepada rukun saja, ada beberapa syarat yang

harus disanggupi demi terwujudnya proses ‘ariyah yang benar, yaitu orang-orang

yang meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa

imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan orang yang boros atau pailit, dan

orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang manfaat akan dipinjamkan.

Selanjutnya yaitu orang yang meminjam harus jelas dan orang yang meminjam

harus memiliki hak nafkah atau memiliki wali yang memiliki sumber nafkah. Tak

kalah penting, barang yang dipinjamkan memiliki kriteria syarat yaitu barang tersebut

bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti, barang yang

dipinjamkan apabila diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang dipinjamkan harus

berupa barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil

manfaatnya menurut syara’ bukan barang yang diharamkan.

B. Saran

Demikian hasil pembahasan mengenai ‘ariyah, apabila ada kesalahan dalam

penulisan ataupun kekurangan dalam segi pembahasan mohon di maklumi. Dengan


12

segala kerendahan hati, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari

teman-taman, dosen pengajar, dan pembaca lainnya agar menjadi motivasi untuk

kami kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Diah Qurniasari. “ Skripsi Tinjauan Etika Bisnis Islam Mengenai Sistem Jual Beli
Tengkulak (Studi Kasus di Desa Sribasuki Kecamatan Batang Hari
Kabupaten Lampung Timur Tahun 2013)”. Metro: STAIN Jurai Siwo
Metro.
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima MadzhabI. Jakarta: Lentera, 2013.
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Sri Prurwaningsih. “ Skripsi Praktik Jual Beli Cegat Dalan Tinjauan Sosiologi
Hukum Islam (Studi di Desa Mertelu dan Desa Tegalrejo Kabupaten
Gunung Kidul)”. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Sayyid Sabiq, dalam; Fikh al-sunnah, hlm. 68.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad. Fiqih Empat Madzhab, diterjemahkan oleh
‘Abdurrahman li ath-Thiba’ah, dari judul asli Rahmah al-Ummah
Muhammad. Bandung: Hasyimi, 2012.
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2012).
Yudha Kurniawan. “ Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli
Hasil Pertanian Secara Tebasan di Kecamatan Galur Kabupaten Kulon
Progo”. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Zainuddin Ali. Hukum Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Anda mungkin juga menyukai