Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HADIST-HADIST EKONOMI

‘Ariyah dan Qardh

Oleh :

Seprijal Hamdi 1830401133

Senia Yunita 1930401118

Utari 1930401139

Yola Oktavia Anggraini 1930401150

Dosen Pembimbing :

Dewi Putri,Lc.,M.Ag

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN )

BATUSANGKAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subanallaahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan


rahmat dan ridha-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“ ‘Ariyah dan Qardh”

Tak lupa, kami mengucapkan terimakasiah kepada Ibuk selaku ddosen pengampu
kami dalam pembelajaran mata kuliah Ilmu ekonomi mikro Islam di semester tiga ini, juga
teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelsaikan makalah
ini.

Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna
kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang
kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar
besarnya. Semoga bermanfaat. Amiin.

Batusangkar, 11 Oktober 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA
PENGHANTAR……………………………………………………………………………………. i

DAFTAR
ISI…………………….……………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar
Belakang …………………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan
Masalah ………………………………………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Riba Merupakan Dosa Besar ……………………….……………………………………. 2


B. Ketentuan Riba ……………………………………………………………………………. 4
C. Riba Nasi`ah …………………………………...………………………………………….. 4
D. Riba Fadhal……………………...…………………………………………………………. 5

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ………………………………………………………………………………………. 7

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan muamalah dalam bidang perekonomian salah Satunya adalah peminjaman, yang
merupakan suatu hal yang sangat Diperlukan dalam kehidupan sehari-hari bahkan untuk menunjang
Kelangsungan hidup manusia karena manusia memang tidak dapat Lepas dari transaksi tersebut.
Pada dasarnya peminjaman adalah Pembolehan sesuatu kepada seseorang untuk dimanfaatkan
dengan Tanpa ganti (imbalan). Menurut istilah syari’at Islam, pinjam meminjam adalah akad atau
perjanjian yang berupa pemberian manfaat dari suatu benda yang halal dari seseorang kepada orang
lain tanpa adanya imbalan dengan tidak mengurangi ataupun merubah barang tersebut dan nantinya
akan dikembalikan lagi setelah diambil manfaatnya.
Adapun yang lainnya adalah Qardh. Secara istilah, menurut Hanafiyah qardh adalah harta
yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain,
suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada
orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu. Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan
qardh sebagai bentuk pemberian harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan
ganti harta sepadan yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil,
dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang yang diberi saja. Qardh berarti pemilikan sesuatu pada
yang lain, yang dalam penggatiannya tidak ada tambahan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ‘Ariyah
2. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
3. Kewajiban Mengembalikan ‘Ariyah Dan Mempercepat Pembayarannya
4. Pengertian Qardh
5. Dasar Hukum Qardh
6. Syarat-Syarat Qardh
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Ariyah

Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu
yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan setelah
diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusak zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik
dengan cara mutlak artinya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi oleh waktu.

Pinjam meminjam menurut ahli fiqih adalah transaksi antara dua pihak. Misalnya orang
menyerahkan uang (barang) kepada orang lain secara sukarela, dan uang (barang) itu
dikembalikan lagi kepada pihak pertama dalam waktu yang berbeda, dengan hal yang serupa.

Perlu kita ketahui bahwa pinjam meminjam dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan
‘ariyah yang artinya adalah pinjam. Sedangkan pengertian menurut istilah syari’at Islam, pinjam
meminjam adalah akad atau perjanjian yang berupa pemberian manfaat dari suatu benda yang
halal dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan dengan tidak mengurangi ataupun
merubah barang tersebut dan nantinya akan dikembalikan lagi setelah diambil manfaatnya.

Dari pengertian di atas, maka esensi yang dapat di ambil dari pengertian pinjam
meminjam adalah bertujuan untuk tolong menolong di antara sesama manusia. Dalam hal pinjam
meminjam adalah tolong menolong melalui dan dengan cara meminjamkan suatu benda yang
halal untuk diambil manfaatnya.

B. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Menurut Ulama‟ Hanafiyah, rukun ‟ariyah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab Qabul tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam,
namun demikian juga boleh ijab qobul tersebut disampaikan.

Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun),
sebagai berikut:

1. Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman), dengan syarat:


a. Inisiatif sendiri bukan paksaan
b. Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, budak
mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang mengalokasikannya terbatasi
dengan sebab bangkrut atau tidak ada kecakapan dalam mengelola harta.
c. Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada
barang semisal dengan menyewanya bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain
karena manfaat barang yang dipinjam bukan menjadi haknya melainkan
diperkenankan untuk memanfaatkannya.
2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman), dengan syarat :
a. Telah ditentukan, maka tidak sah akad „ariyah pada salah satu dari dua musta‟ir yang
tidak ditentukan.
b. Bebas dalam megalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila
atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan
dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalam
mengelola harta kecuali melalui wali masing-masing.
3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan) dengan syarat:
a. Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad
„ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan,
karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan untuk hiasan.
b. Musta‟ir dapat mengambil kemanfaatan mu‟ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya
seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam pohon
untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad „ariyah pada barang yang tidak dapat
dimanfaatkan seperti keledai yang lumpuh.
c. Manfaat mu‟ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tidak sah akad „ariyah pada
barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti manfaat alat musik.
d. Mu‟ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh. Maka tidak
sah akad „ariyah pada makanan untuk dikonsumsi

Atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang
yang dipinjamkan.

Adapun syarat-syarat „ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan di atas,
yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat.

1. Syarat-syarat orang yang meminjamkan

Orang yang meminjmamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan


tabarru‟ (pemberian tanpa imbalan), meliputi:

a. Baligh. „Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetpi ulama‟
Hanafiyah tidak memasukkan baligh sebagi syarat „ariyah, melainkan cukup
mumayyiz.
b. Berakal. „Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
c. Tidak mahjur „alaih karena boros atau pailit. Maka tidak sah „ariyah yang
dilakukan oleh orang yang mahjur „alaih, yakni orang yang dihalangi tasarruf-nya.
d. Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan.
Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya karen objek „ariyah adalah manfaat,
bukan benda.
2. Syarat-syarat orang yang meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas (majhul), maka
„ariyah hukumnya tidak sah.
b. Orang yang meminjam harus memiiki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada‟.
Dengan demikian, meminjamkan barang kepada anak di bawah umur, dan gila
hukumnya tidak sah. Akan tetapi, apabila peminjam boros, maka menurut qaul
yang rajih dalam madzab syafi‟I, ia dibolehkan menerima sendiri „ariyah tanpa
persetujuan wali.
3. Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarag maupun nanti.
Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang
mogok , tidak boleh dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua
macam, yaitu
1) Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah, mengendarai
mobil, dan semacamnya.
2) Manfaat yang diambil dari benda yng dipinjam, seperti susu kambing, buah
dari pohon, dan semacamnya. Apabila seseorang meminjam seekor
kambinguntuk diambil susunya, atau menam pohon durian untuk diambil
buhnya, maka dalam hal ini „ariyah hukumnya sah menurut pendapat yang
mu‟tamad.
b. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang
dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara‟. Apabila barang tersebut
diharamkan maka „ariyah hukumnya tidak sah.
c. Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan
demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.
4. Shighat, dengan syarat:

Suatu ungkapan yang dapat menunjukkan adanya izin untuk memanfaatkan


barang yang dipinjamkan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan
yang dapat menunjukkan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti
ungkapan “pinjamkan kepadaku“ dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan
bicaranya.

C. Kewajiban Mengembalikan ‘Ariyah Dan Mempercepat Pembayarannya


1. Kewajiban Mengembalikan ‘Ariyah

Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫ِإن َللاه يهأْ ُم ُركُ ْم أهن ت ُ هؤدُّوا ْاْل ه همانها‬


‫ت ِإلهى أه ْه ِل هها‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya…” (An-Nisaa’: 58)

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang


tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan
maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah,
Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:

“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.

Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam


tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang
berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:

Hadits No. 914

‫سلِي فهأهعْطِ ِه ْم ثه هَلثِينه دِرْ عا ه‬


ُ ‫َللا صلى للا عليه وسلم (إِذها أهته ْتكه ُر‬ ِ ‫قها هل هرسُو ُل ه‬: ‫ع ْن يه ْعلهى ب ِْن أ ُ هميةه رضي للا عنه قها هل‬
‫ هو ه‬,
‫ي‬ ‫ه‬ ‫ه‬
ُّ ِ‫ هوالن هسائ‬, ‫ هوأبُو د ُهاوده‬, ُ‫اريهة ُم هؤداة ) هر هواهُ أحْ همد‬ ‫بهلْ ه‬: ‫اريهة ُم هؤداة ?قها هل‬
ِ ‫ع‬ ِ ‫ع‬ ‫ه‬
‫ض ُمونهة أ ْو ه‬ْ ‫اريهة هم‬
ِ ‫ع‬ ‫ه‬ ِ ‫يها هرسُو هل ه‬: ُ‫قُ ْلت‬,
‫َللا !أ ه‬
‫صح هحهُ اِبْنُ حِ بانه‬ ‫هو ه‬

“Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa


Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada
mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang
ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang
dikembalikan."Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban”.

2. Mempercepatan Pembayarannya

Pembayaran Pinjaman Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain
berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib
dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu
perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:

“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”

(Riwayat Bukhari dan Muaslim).

Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan


itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi
yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:

“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya
dalam membayar utang”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan
yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu
bersabda:

“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya
dengan yang lebih baik”. (Riwayat Ahmad)

Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi
perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang
untuk mengambilnya.

Rasul bersabda:

“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian
cara riba”( Dikeluarkan oleh Baihaqi)

D. Pengertian Qardh

Qardh secara bahasa berarti qath‟ (potongan), di mana harta diletakkan kepada peminjam
sebagai pinjaman, karena muqridh (pemberi pinjaman) memotong sebagian harta. Sedangkan
secara istilah, menurut Hanafiyah, qardh berarti sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli
untuk memenuhi kebutuhannya. Qardh juga berarti akad tertentu dengan membayarkan harta
mitsli kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya (Yadi Janwari, Fikih
Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2015),h.144)

Secara istilah, menurut Hanafiyah qardh adalah harta yang memiliki kesepadanan yang
anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan
untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang
sepadan dengan itu. Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan qardh sebagai bentuk pemberian
harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta sepadan yang
menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil, dimaksudkan sebagai
bantuan kepada orang yang diberi saja. Qardh berarti pemilikan sesuatu pada yang lain, yang
dalam penggatiannya tidak ada tambahan.

Secara umum makna qardh mirip dengan jual beli (bay‟) karena ia merupakan bentuk
pengalihan hak milik harta dengan harta. Ia pun termasuk jenis akad salaf (tukar-menukar uang).
Para ulama mengatakan bahwa qardh adalah jual beli itu sendiri. Lain halnya dengan Imam al-
Qurfi yang membedakan qardh dari jual beli dalam 3 prinsip syariah.
1. Prinsip riba, yaitu apabila transaksi qardh berlangsung dalam komoditi ribawi, yaitu
barang-barangnya ditakar dan ditimbang menurut Hanafiyah dan Hanabilah (dalam
salah satu pendapatnya yang paling shahih), atau naqdain (emas dan perak) dan
makanan pokok menurut Malikiyah atau nilai dan makanan menurut Syafi‟iyah.
2. Prinsip muzabanah, yaitu jual beli barang yang sudah jelas dari barang sejenis. Hal itu
apabila qardh terjadi pada komoditi bukan mitsliyat seperti hewan dan sebagainya.
3. Prinsip jual beli barang yang tidak ada di tangan seseorang, yaitu apabila qardh
berlangsung pada komoditi mitsliyat.
E. Dasar Hukum

Adapun dasar hukum Qardh adalah:

1. Al-Qur-an
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫صدقُ ْوا هخيْر لـكُ ْم ا ِْن كُ ْنت ُ ْم ته ْعله ُم ْونه‬ ُ ‫هواِ ْن كها نه ذُ ْو‬
‫عس هْرة فهنهظِ هرة اِلى هم ْي هس هرة ۗ هواه ْن ته ه‬

“dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah:280)7

Menurut ayat di atas jika orang yang berhutang masih belum mampu membayarnya
maka berilah tambahan waktu sampai orang itu mampu membayarnya.
Ketentuan qardh dalam al-Qur‟an dapat dijumpai dalam Surat al-Hadiid ayat (11)

‫َللا قهرْ ضا هح هسنا فهيُض ِعفهه لهه هولهه اهجْ ر ك ِهريْم‬


‫ض ٰه‬ ُ ‫ِي يُ ْق ِر‬
ْ ‫هم ْن ذها الذ‬

“Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan
mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia.”

Dalam ayat ini manusia disuruh untuk meminjamkan kepada Allah dalam artian
membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah berupa menunaikan untuk zakat, infak, dan
shadaqah. Namun manusia sebagai makhluk sosial juga harus saling menolong sesama
manusia.(Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2009), h.148)

2. Hadist
Ketentuan qardh dapat di jumpai dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

“Hadits riwayat Ibnu Mas‟ud. Ia berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Tidaklah seorang
muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman
itu (berkedudukan) seperti sedekah sekali.”
“Hadits riwayat Anas ibn Malik. Ia berkata, Nabi SAW. bersabda, “Tatkala malam isra‟
mi‟raj, aku melihat di pintu surga tertulis, „Sedekah dilipatgandakan sepuluh kali, dan
qardh (pinjaman) dilipatgandakan delapan belas kali‟. Aku bertanya pada Jibril, „Wahai
Jibril, kenapa qardh lebih utama daripada sedekah?‟ Jibril menjawab, „karena ( dalam
sedekah ) pengemis meminta sedang dia punya, sedangkan orang yang meminjam
tidaklah ia meminjam kecuali karena ada kebutuhan.”

3. Ijma
Umat Islam telah sepakat tentang bolehnya qardh. Dari pemaparan hadits di atas, dapat
disimpulkan bahwa qardh hukumnya sunnah (dianjurkan) bagi orang yang
meminjamnkan dan boleh bagi orang yang meminjam. Para ulama telah menyepakati
bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang
tidak bisa hidup tanpa dilandasi oleh sikap saling membantu atau tolong-menolong.13
Oleh karena itu , pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia
ini. Islam adalah agama yang sangat memerhatikan segenap kebutuhan umatnya.

Hukum dan tujuan Qardh ialah:

a. Hukum orang yang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang
memberikan hutang hukumnya sunnah, sebab ia termasuk orang yang menolong
sesamanya. Tujuannya yaitu untuk membantu sesame ummat manusia dan
membelanjakannya di jalan Allah SWT.
b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunnah dan hukum orang yang
menghutangi menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan
terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk
biaya pengobatan dan lain-lain. Tujuan bagi orang yang berhutang ini adalah
untuk mencukupi kebutuhannya
F. Syarat-Syarat Qardh
Qardh dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Muqarrid itu layak untuk melakukan tabarru‟, karena qardh itu pemilikan harta yang
merupakan bagian dari akad tabarru' tanpa ada penggantian.
2. Harta muqtarid berasal dari harta mitsli, yaitu harta yang dapat ditakar, ditimbang, diukur
atau dihitung satuan.
3. Ada serah terima barang, karena qardh merupakan bagian dari tabarru, sementara tabarru‟
hanya sempurna dengan adanya serah terima barang (qardh).
d. Qardh itu memberikan manfaat kepada muqtarid, sehingga tidak diperbolehkan dalam
qardh itu muqarrid mensyaratkan adanya tambahan (ziyadah) kepada muqtarid pada saat
pengembalian.
Qardh tidak boleh dalam dua keadaan:
1. Dalam qardh itu tidak ada khiyar atau ajal, karena qardh pada asalnya adalah akad yang
tidak tetap yang membolehkan pada setiap aqid memfasakhkannya, sehingga tidak ada
khiyar. Jumhur fuhaqa kecuali Malikiyyah berpendapat bahwa tidak boleh dalam qardh
itu mensyaratkan ajal. Hal ini disebabkan jual beli mata uang dengan mata uang itu tidak
boleh ditangguhkan dalam rangka untuk menghindarkan diri dari riba nasi'ah.
2. Qardh itu tidak boleh digabungkan dengan akad lain, seperti jual beli dan yang lainnya.
Hal ini ditetapkan dalam rangka menolak dari unsur riba atau menyerupai riba. Jumhur
fuqaha kecuali Malikiyyah berpendapat bahwa muqtarid diperbolehkan memberikan
tambahan saat pembayaran jika tidak disyaratkan dalam akad
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Ariyah adalah pinjam meminjam bertujuan untuk tolong
menolong di antara sesama manusia tanpa adanya imbalan. Dalam hal
pinjam meminjam adalah tolong menolong melalui dan dengan cara
meminjamkan suatu benda yang halal untuk diambil manfaatnya.
Qardh sebagai bentuk pemberian harta dari seseorang (kreditur)
kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta sepadan yang menjadi
tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil,
dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang yang diberi saja. Qardh berarti
pemilikan sesuatu pada yang lain, yang dalam penggatiannya tidak ada
tambahan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Hadist

Ghofur Anshori Abdul. 2009. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Janwari Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset

Rifa‟I Moh.2009. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. karya Toha Putra

Zainudin, Muhammad jamhari. 1999. Al-Islam 2(Muamalah dan Akhlak)Cet.1. Bandung: CV.
Pustaka Ceria

Sura‟I Abdul Hadi Abu.1993.Bunga Bank dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas

http://islamiwiki.blogspot.co.id/2014/06/pinjam-meminjam-yang-sesuai-aturan-islam.html

Anda mungkin juga menyukai