Anda di halaman 1dari 10

FENOMENA SUMBER DAYA INSANI

(SDI) SYARIAH KONTEMPORER

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

ANJELITA NANDA AGUSTINA PUTRI


TIARA CAHYANI ABDUL LATIF
DINARTI
MOH. FAOZAN
AGUNG WAHYUDI
DIRMAN
A. Fenomena SDM Syariah Kontemporer

• Perkembangan ekonomi Syariah yang semakin hari semakin tampak memunculkan fenomena baru
khususnya pada sisi para praktisinya. Jika pada awal kemunculannya ekonomi Islam diusung oleh
insan-insan yang konsisten dengan ajaran Islam, mereka mendasarkan aktifitas ekonominya
karena ideology yang muncul dari kekuatan iman maka fenomena terkini menunjukan adanya
penurunan kualitas tersebut. Penurunan kualitas yang dimaksud adalah munculnya praktisi
ekonomi syariah yang bukan berasal dari rahim lembaga pendidikan Islami atau bukan dari Islam
itu sendiri. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi ketika ekonomi Islam semakin berkembang dan
menggiurkan bagi seluruh pelaku ekonomi maka siapa saja akan tertarik untuk mencicipi
kelezatannya. Demikian juga orang-orang di luar Islam yang menginginkan mendapatkan
“keberkahan” dari booming ekonomi Syariah ini
• Jika penurunan kualitas adalah karena masuknya praktisi non-muslim yang terjun dalam ceruk
bisnis ini tentu tidak menjadi masalah. Mudah-mudahan mereka akan tertarik tidak hanya kepada
ekonomi syariah namun juga Islam sebagai agama yang komprehensif dan sempurna. Namun
fenomena yang terjadi dan sangat memprihatinkan adalah para praktisi ekonomi syariah yang
notabene adalah muslim namun mereka terjuan ke bisnis berbasis syariah ini hanya sekadar
mencari keuntungan keduniaan yang terkadang tidak mempedulikan apa yang sebenarnya sedang
mereka kerjakan.
• Fenomena para praktisi ekonomi syariah yang saat ini tampak seiring dengan perkembangan
ekonomi syariah adalah munculnya para pelaku ekonomi ini yang bukan didasarkan kepada
ideology atau keimanan, namun hanya didasarkan pada kebutuhan akan pekerjaan,
mendapatkan keuangan yang mapan atau hanya mengikuti trend pasar. Di antara fenomena
yang merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi syariah adalah:
1. Lemahnya Tauhid
2. Missing link
3. Inkonsistensi dengan Fatwa DSN
4. Murtad Profesi
5. Jilbab hanya seragam
6. Kebiasaan merokok
7. Budaya tidak Islami dalam kehidupan sehari-hari
• 1. Lemahnya Tauhid
• Tauhid adalah pondasi dasar keimanan seseorang, ia menjadi basis bagi pemahaman
keagamaan bagi seluruh umat Islam. Tauhid yang dimaksud adalah keyakinan hanya
Allah saja yang berhak untuk diibadahi, disembah, ditakuti, diharapkan dan segala hal
harus dikembalikan kepada takdirNya. Seorang prkatisi ekonomi syariah yang
memahami tauhid dengan benar akan berusaha untuk semaksimal mungkin setiap
aktifitas dan tindakannya adalah ditujukan hanya untuk Allah ta’ala saja, dalam bahasa
lainnya yaitu “lillah”. Khususnya dalam masalah aktiftas pekerjaannya sebagai seorang
praktisi ekonomi syariah, ia akan menyadari bahwa pekerjaannya bukan saja untuk
memperoleh materi namun lebih dari itu adalah melaksanakan hukum-hukum Allah
ta’ala dalam bentuk bisnis dan ekonomi. Seseorang yang memiliki tauhid yang kokoh
akan percaya bahwa setiap tindakannya akan senantiasa diawasi oleh Allah ta’ala
sehingga tidak ada waktu sedetikpun untuk berusaha melanggar syariahNya.
• 2. Missing link
Ada hal yang sangat menarik dalam perkembangan ekonomi syariah khususnya para praktisinya.
Dari data yang ada menunjukan bahwa sebagian besar dari mereka adalah hasil “karbitan” dalam arti
mereka mengkikuti training, workshop atau pelatihan tentang ekonomi Islam kemudian setelah selesai
mereka langsung terjun sebagai pelaku ekonomi syariah. Bukannya tidak bagus, namun dalam proses
tarbiyah maka ada sesuatu yang terputus dalam metode ini. Missing link yang dimaksud adalah loncatan
yang terlalu jauh dari praktisi ekonomi ribawi yang berdasarkan riba harus langsung menuju ekonomi
syariah yang bebas dari riba. Hal ini hanya diperoleh dari pelatihan beberapa hari atau beberapa pekan.
Tentu saja hal ini berakibat kepada pemahaman yang tidak komprehensif bagi para praktisi ekonomi
syariah. Akibatnya mereka cenderung melaksanakan apa yang menjadi materi dari pelatihan yang
diikutinya tanpa lebih tahu secara mendalam mengenai ekonomi syariah dari mulai dasar hukumnya,
hikmah-hikmahnya hingga tauhid yang menjadi pondasinya. Fenomena ini jika terus dibiarkan akan
mengakibatkan bangunan ekonomi syariah akan goyah, keropos dan bisa jadi akn tumbang karenda
pondasi dasarnya kurang kuat. Oleh karena itu maka pelatihan bagi para praktis ekonomi syariah
haruslah diawali dengan pemberian materi yang menjadi penopang dari ekonomi syariah.
• 3. Inkonsistensi dengan Fatwa DSN
Fenomena lainnya yang terjadi pada para praktisi ekonomi syariah adalah usaha untuk mendapatkan
keuntungan tanpa melihat lagi status hukum yang telah diputuskan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN). Pada beberapa kejadian praktisi ekonomi syariah tidak menggunakan fatwa tersebut karena
dianggap tidak menguntungkan secara bisnis, sementara sebagian lainnya memanipulasi dan
menafsirkan secara sepihak fatwa tersebut maksudnya adalah fatwa yang telah dikeuarkan oleh
DSN tidak dilaksanakan secara sempurna sehingga pada beberapa produk yang mereka tawarkan ke
nasabah sering sekali menyimpang dari fata yang ada. Kondisi yang lebih parah adalah tidak
menggunakan fatwa DSN sebagai acuan pridu-produknya. Padahal ciri utama ekonomi Islam adalah
adanya fatwa DSN yang akan memberikan pedoman hukum apakah sebuah akad transaksi itu sesuai
dengan hukum Islam atau tidak. Bisa jadi pelanggaran terhadap fatwa ini dikarenakan
ketidakpahaman mereka terhadap ekonomi syariah sehingga mereka menganggap tidak ada bedanya
antara ekonomi ribawi dan ekonomi syariah. Solusi yang bisa dilakukan adalah melakukan kembali
sosialisasi dari tugas dan wewenang DSN sehingga seluruh praktisi ekonomi syariah akan
memahaminya dan bisa melaksanakan setiap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
• 3. Inkonsistensi dengan Fatwa DSN
Fenomena lainnya yang terjadi pada para praktisi ekonomi syariah adalah usaha untuk
mendapatkan keuntungan tanpa melihat lagi status hukum yang telah diputuskan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN). Pada beberapa kejadian praktisi ekonomi syariah tidak menggunakan fatwa
tersebut karena dianggap tidak menguntungkan secara bisnis, sementara sebagian lainnya
memanipulasi dan menafsirkan secara sepihak fatwa tersebut maksudnya adalah fatwa yang telah
dikeuarkan oleh DSN tidak dilaksanakan secara sempurna sehingga pada beberapa produk yang
mereka tawarkan ke nasabah sering sekali menyimpang dari fata yang ada. Kondisi yang lebih parah
adalah tidak menggunakan fatwa DSN sebagai acuan pridu-produknya. Padahal ciri utama ekonomi
Islam adalah adanya fatwa DSN yang akan memberikan pedoman hukum apakah sebuah akad
transaksi itu sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Bisa jadi pelanggaran terhadap fatwa ini
dikarenakan ketidakpahaman mereka terhadap ekonomi syariah sehingga mereka menganggap
tidak ada bedanya antara ekonomi ribawi dan ekonomi syariah. Solusi yang bisa dilakukan adalah
melakukan kembali sosialisasi dari tugas dan wewenang DSN sehingga seluruh praktisi ekonomi
syariah akan memahaminya dan bisa melaksanakan setiap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
• 4. Murtad Profesi
Beberapa praktisi ekonomi syariah masih menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara
ekonomi syariah dengan ekonomi ribawi, sehingga fenomena murtad profesi dianggap sesuatu yang
lumrah dan bisa. Murtad profesi yang dimaksud adalah setelah beberapa lama menjadi praktisi
ekonomi syariah kemudian karena berbagai hal akhirnya ia keluar dari perusahaan syariah tersebut
dan menjadi pejabat pada sebuah lembaga keungan ribawi. Hal ini tentu sangat disayangkan, apalagi
kalau dilakukan oleh pejabat setingkat manager atau kepala cabang. Kisah ini terjadi belum lama ini
di Jakarta di mana seorang manager lembaga keuangan syariah kemudian berpindah menjadi pejabat
sebuah lembaga keuangan ribawi. Bisa jadi hal ini karena dalam benaknya tidak ada bedanya antara
ekonomi syariah dengan ekonomi ribawi, padahal sudah sangat jelas disebutkan dalam berbagai
buku dan literature bahwa keduanya berbeda antara hitam dengan putih atau bagaikan surga dan
neraka. Beberapa praktisi juga beralasan kepindahannya ke lembaga keuangan ribawi adalah karena
hukumnya darurat, tentu saja alasan ini tidak diterima perkembangan ekonomi syariah sudah sangat
memungkinkan bagi praktisi ekonomi syariah untuk mencari pekerjaan pada bidang ini.
5. Jilbab hanya seragam
Fenomena ini terjadi pada beberapa praktisi ekonomi syariah khususnya yang perempuan, di mana mereka
mengenakan jilbab hanya ketika di kantor atau pada aktifitas yang dilakukan pada lembaga keuangan syariah.
Setelah selesai dari bekerja mereka akan membuka jilbabnya karena menganggap itu adalah sebuah seragam
kerja. Padahal ekonomi syariah bukan hanya terletak pada jilbab atau pakaian yang dikenakan oleh para
praktisinya, lebih dari itu ia adalah system ekonomi rabbani yang ditetapkan oleh ta’ala bagi seluruh umat
manusia. Sehingga sangat salah sekali ketika ada praktisi ekonomi syariah yang mengenakan jilbab ketika
berada di kantornya saja. Penyebab dari fenomena ini tentu saja ketidakpahaman mereka terhadap Islam
sehingga upaya untuk terus mentarbiyah mereka haru selalu dilakukan secara berkesinambungan.
6. Kebiasaan merokok
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai haramnya rokok bagi umat Islam, sementara
seluruh elemen ekonomi syariah telah bersepakat untuk tidak memberikan pembiayaan kepada perusahaan
rokok. Oleh karena itu jika masih banyak praktisi ekonomi syariah yang merokok maka hal ini harus segera
diperbaiki. Walaupun ada beberapa ulama yang menyatakan hukum rokok adalah makruh namun untuk
kehati-hatian maka sudah selayaknya para praktisi ekonomi syariah untuk meninggalkannnya.
• 7. Budaya tidak Islami dalam kehidupan sehari-hari
Banyak sekali ketimpangan yang terjadi pada para praktisi ekonomi syariah, masih banyak di antara
mereka yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan seorang mujahid ekonomi syariah.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya pesta pernikahan mereka masih suka dengan gaya pernikahan
ala barat atau eropa yang notabene bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal seperti ini pernah terjadi
pada salah satu kepala cabang lembaga keungan syariah terkemuka, ketika ia mengadakan pernikahan
keluargnya pesta pernikahannya dilaksanakan dengan gaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Padahal sebagai seorang kepala cabang lembaga keuangan syariah sangat tidak pantas ketika
melaksanakan pesta pernikahan justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Fenomena-fenomena tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan, ia harus mulai diperbaiki sejak saat
ini jika tidak maka ekonomi syariah hanya sekadar kulit atau cangkang, sementara isinya yang sama
saja dengan ekonomi ribawi. Salah satu caranya adalah kembali memperbaiki SDM ekonomi syariah
yang ada saat ini dengan meningkatkan pengetahuan tentang agama secara intensif dan dlanjutkan
dengan hukum bisnis syariah. --

Anda mungkin juga menyukai