Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RERANGKA BERFIKIR SYAR’I


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Digital Teknologi Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Bapak Mahbub, SE, Ak, ME

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Tita Akromu Islamiyah (1908204028)
Vivi Luthfiyyah (1908204030)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH / KELAS 5A


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Rerangka Berfikir
Syar’i” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mahbub, SE, Ak, ME selaku Dosen
Pengampu Mata Kuliah Digital Teknologi Keuangan Syariah yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Cirebon, 12 Oktober 2021


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1.................................................................................................................................. Lata
r Belakang................................................................................................................4
1.2.................................................................................................................................. Ru
musan Masalah........................................................................................................4
1.3.................................................................................................................................. Tuju
an Penulisan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................5
2.1. Pengertian Syariat islam..........................................................................................5
2.2. Cakupan Syariat Islam.............................................................................................6
2.3. Syariat Islam Merupakan Kewajiban.......................................................................7
2.4. Hukum Asal Perbuatan dan Benda..........................................................................9
2.5. Dalil Syara’..............................................................................................................12
BAB III PENUTUP.............................................................................................................16
3.1. KESIMPULAN........................................................................................................16
3.2. SARAN....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemahaman atas apa itu syariat dan seperti apa syariat islam itu dan
konsekuensinya merupakan pilar penting dari beragam hukum fikih. Syariat islam tidak
hanya merupakan suatu bentuk petunjuk dan arahan dalam berislam, tetapi juga
merupakan suatu peradigma pemikiran sebagian seorang muslim. Muslim yang hanya
sekedar bersyahadat bahwa ia mengaku islam tetapi tidak mengerti, mempelajari dan
mengamalkan syariatnya akan jatuh pada kubangan dosa akibat banyak larangan yang
dikerjakan dan perintah yang ditinggalkan. Untuk itu, penting mempelajari dan
memahami syariat islam, segera setelah mengakui dan memposisikan diri sebagai
seorang muslim.

Syariat Islam yakni berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat manusia, baik muslim maupun non- muslim. Selain berisi hukum dan
aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Syariat
Islam merupakan panduan integral/ menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan
hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sebagaimana tersebut dalam Al Quran Surat Al
Ahzab ayat 36, bahwa sekiranya Allah dan Rasul- Nya sudah memutuskan suatu perkara,
maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara
implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul- Nya
belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri
ketetapannya itu.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud hukum syara’ ?
2. Apa saja cakupan syariat islam ?
3. Apa itu syarat islam merupakan kewajiban ?
4. Bagaimana hukum asal perbuatan dan benda ?
5. Apa itu dalil syara’ ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Hukum Syara
2. Untuk Mengetahui Cakupan Syariat islam
3. Untuk Mengetahui Syarat islam merupakan kewajiban
4. Untuk Mengetahui Hukum asal perbuatan dan benda
5. Untuk Mengetahui Dalil Syara’
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Syara’


Hukum syara’ adalah seruan (khithab) Syar’i yang berkaitan dengan aktivitas
hamba (manusia) berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i) dan pemberian
pilihan (at-takhyir). Berbagai seruan (khitab) ini dapat terwujud dalam beragam bentuk
yang secara teknis dalam fikih terbagi menjadi lima kategori hukum yaitu larangan
(haram), perintah (wajib), kebolehan (mubah), anjuran pelaksanaan (sunnah), dan
anjuran ditinggalkan (makruh). Adapun dalam pengertian hukum syara’ diatas, secara
konseptual dirumuskan dalam bentuk tuntutatn (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i) dan
pemberian pilihan (at-takhyir). Rumusan konsepsi tersebut digunakan sebagai arahan
bagi para perumus konsepsi tersebut digunakan sebagai arahan bagi para perumus hukum
syara’, terutama di bidang ushul fiqh, untuk menyusun suatu mekanisme dasar dalam
menentukan hukum syara’ selayaknya rerangka konsep (conceptual framework).
Dalam islam. As-Syari’ tidak hanya Allah SWT saja selaku Tuhan Seru Sekalian
Alam (al Khaliq) tetapi juga Sunnah dan ijma’. Pengertian cakupan dan identifikasi siapa
yang disebut as-Syari’ atau siapa yang membuat hukum ini penting sebagai dasar dalam
penentuan sumber otoritatif dan valid sebagai rujukan dalam perumusan hukum syara’.
Apabila as-Syari’ hanya dibatasi pada Allah SWT semata maka sumber atau dalil syara’
nantinya akan terbatas pada Al-Qur’an Karena merupakan kalimat (Kalam) dari Allah
SWT. Padahal penjelasan dari Rasulullah SAW Dan kesepakatan Sahabat Nabi (Ijma’
Shahabat) juga termasuk dalam lingkup as-Syari’ karena mendapat legitimasi dari Allah
SWT sebagai sumber hukum. Fungsinya selain sebagai penjelas, juga berperan dalam
memberikan batasan, perluasan, penegasan dan aspek rincian.
Dalam islam hukum syara’ terbagi dua yaitu (Khalil, A. 1990 Taysir al-Wushul il
al-Ushul)
1. Khithab taklifi yaitu seruan berupa tuntutan baik pasti (jazm) maupun pilihan
(ghair jazm). Dalam hukum syariah, terdapat serangkaian hukum berupa
tuntutan (thalab) dan pemberian pilihan (takhyir). Hukum taklifi ini terbagi ke
dalam lima macam yaitu tuntutan keharusan (fardhu), tuntutan larangan
(haram), anjuran tindakan (sunnah), anjuran pelepasan (makruh), dan
kebolehan (mubah).
2. Khithab wadl’i yaitu penjelasan perkara yang dituntut oleh hukum atas
perbuatan manusia. Dalam hukum ini ditetapkan pada perbuatan manusia.
Dalam hukum ini ditetapkan pada perbuatan hamba yang berdasarkan pada
keadaan nya (al-wadh’u). Aspek yang diatur dalam hukum wadh’i dibagi
menjadi lima bagian yaitu (Triono, 2019)
a. Sebab yaitu tanda akan adanya suatu hukum syara’
b. Syarat, yaitu perkara yang kepadanya bergantung hukum
c. Mani’, yaitu sesuatu yang keberadaan nya memastikan tiadanya hukum
atau memastikan batalnya sebab,
d. Azimah yaitu hukum yang disyariatkan secara umum dan manusia terikat
untuk mengamalkannya, dan rukhshah yaitu bentuk hukum yang
disyariatkan sebagai keringanan karena adanya uzur.
e. Sah, batal dan fasad. Sah berarti amal yang sesuai dengan perintah as-
Syari’. Batal yaitu amal yang tidak sesuai dengan perintah dari as-Syari’.
Adapun fasad yaitu kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai Syara’,
tetapi ada sifat dari perbuatan itu (diluar rukun dan syarat) yang membuat
cacat perbuatan asal tersebut yaitu menyimpang dari perintah as-Syara.

2.2. Cakupan Syariat Islam


Syariat islam mencakup beragam aspek dimensi hubungan manusia, baik dengan
Allah SWT, dengan sesama manusia, dan juga dengan dirinya sendiri. Hubungan dengan
Allah SWT sebagai pencipta (al-khaliq) meliputi aspek aqidah dan ibadah. Hubungan
dengan sesama manusia mencakup aspek mu’amalah dan uqubat. Hubungan manusia
dengan dirinya sendiri mencakup makanan, minuman, pakaian dan akhlaq.
Adapun jika ditinjau dari aspek subyek pelaku dari pelaksanaan syariat islam
terbagi menjadi 3 pihak yaitu individu, kelompok dan negara. Setiap subyek pelaku
mendapatkan mandat atau amanah untuk menjalankan syariat islam secara terpisah
sesuai dengan ketentuan syariat atas cakupan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya.
Ditataran individual, setiap muslim wajib menjalankan ketentuan syariat islam yang
mencakup aspek biadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, muamalah dan dakwah.
Untuk subyek kelompok atau jamaah, wajib menjalankan ketentuan syariat yang
mencakup aspek muamalah dan dakwah. Adapun subyek pelaku syariat negara, wajib
menjalankan ketentuatn syariat islam yang mencakup muamalah, dakwah dan uqubat.
Berikut adalah ilustrasi
1. Ibadah
2. Makanan, minuman,
INDIVIDU
pakaian, akhlaq
3. Muamalah
4. Dakwah

KELOMPOK NEGARA

1. Mu’amalah
2. Dakwah
3. Uqubat
1. Mu’amalah
2. Dakwah
Ilustrasi Subyek Pelaku Syariat

2.3. Syariat Islam Merupakan Kewajiban


Setiap muslim wajib menerapkan syariat islam secara menyeluruh (kaffah) dengan
beberapa alasan berikut ini yaitu:
1. Karena konsekuensi iman kepada Allah SWT
Konsekuensi keimanan kepada Allah SWT mengharukan setiap muslim wajib
menjalankan syariat islam.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat an Nisa ayat 65 :

َ‫يْت‬H‫ض‬ َ ْ‫ِّك اَل ي ُْؤ ِمنُوْ نَ َح ٰتّى ي َُح ِّك ُمو‬


َ َ‫ا ِّم َّما ق‬HH‫ ِه ْم َح َر ًج‬H‫ فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس‬H‫ ُدوْ ا‬H‫ َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِج‬H‫ك فِ ْي َما َش‬ Hَ ‫فَاَل َو َرب‬
‫َويُ َسلِّ ُموْ ا تَ ْسلِ ْي ًما‬

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga)
kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An Nisa :65)

Dalam hadis disebutkan dengan jelas bahwa setiap muslim wajib menjalankan
syariat islam sebagai konsekuensi keimanan, tidak hanya kehidupan pribadi tetapi
masyarakat dan negara. Bahkan Allah SWT bersumpah dengan dirinya sendiri untuk
menunjukan ketegasan dan keseriusan urusan menjadikan hukumNya sebagai panduan
dalam kehidupan manusia sebagaimana telah disebutkan dalam hadis berikut ini :
“Allah bersumpah dengan diriNya yang mulia dan suci, bahwa tidak beriman siapapun
hingga dia berhukum kepada Rasulullah SAW dalam segala perkara, maka apa yang
diputuskannya adalah haq yang wajib ditaati lahir batin (Tafsir Ibnu Katsir, 2/349)”
2. Karena menjadi mu’alajat li masyakil al-insan (solusi persoalan manusia)
Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran islam tidak untuk kaum
muslim saja, mengatur urusan peribadatan saja, bahkan untuk perkara sosial
kemasyarakatan dan juga urusan bernegara. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
kehadiran islam bukanlah untuk mengikat, membebani, dan memberikan paksaan,
tetapi justru hadir dengan membawa solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh
setiap manusia dan aturan bagi segenap alam semesta. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an surat An Nahl ayat 89 sebagai berikut :

َ ‫كَ ْال ِك ٰت‬HH‫ا َعلَ ْي‬HHَ‫ك َش ِه ْيدًا ع َٰلى ٰهٓؤُاَل ۤ ۗ ِء َونَ َّز ْلن‬
‫ب‬ َ ِ‫ث فِ ْي ُك ِّل اُ َّم ٍة َش ِه ْيدًا َعلَ ْي ِه ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِج ْئنَا ب‬
ُ ‫َويَوْ َم نَ ْب َع‬
ࣖ َ‫ لِ ْل ُم ْسلِ ِم ْين‬H‫تِ ْبيَانًا لِّ ُك ِّل َش ْي ٍء َّوهُدًى َّو َرحْ َمةً َّوبُ ْش ٰرى‬

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad)
menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang yang berserah diri (Muslim). (QS. An Nahl : 89)”

Selain itu, didalam hadis juga disebutkan bahwa kehadiran islam dan
syariatnya diperuntukkan menjadi solusi dalam setiap permasalahan kaum muslimin
sebagai tampak dalam hadis berikut ini :

“Tidaklah terjadi pada seorang penganut agama Allah suatu persoalan, kecuali di
dalam kitabullah terdapat dalil yang menunjukkan jalan-jalan hidayah dalam
persoalan itu” (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur’an, hlm.21)”

3. Karena membawa rahmat (mashlahat) baik bagi muslim maupun non muslim
Islam hadir untuk menyelesaikan permasalahan bagi seluruh alam, termasuk non
muslim. Hal ini tampak jelas pada Qs. Al Anbiya ayat 107 :

َ‫ك اِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين‬


َ ‫َو َمٓا اَرْ َس ْل ٰن‬

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)


rahmat bagi seluruh alam.( Qs. Al Anbiya ayat 107)”

Pada dasarnya sejatinya tidak ada opsi lain bagi seorang muslim untuk
mengingkari atau meninggalkan perintah dari Allah SWT selaku Tuhan Seru Alam.
Perlu ditegaskan konsekuensi dari tidak dijalankannya syariat islam ini yaitu
diantaranya adalah :
1. Keimanan kepada Allah SWT terancam hilang atau cacat
Allah SWT dengan tegas dalam Al-Qur’an menyampaikan bahwa tidak ada
pilihan untuk menggunakan aturan selain syariat islam dalam kehidupan seorang
muslim. Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan perihal ini
diantaranya adalah
ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬
َ‫ك هُ ُم ْال ٰكفِرُوْ ن‬
َ Hِ‫ول ِٕٕى‬ ‫َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َمٓا اَ ْنزَ َل ُ فَا‬
“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)
ٰ ‫كَ هُم‬H‫ولٕى‬ۤ ‫هّٰللا‬
َ‫الظّلِ ُموْ ن‬ ُ ِِٕ ٰ ُ ‫َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َمٓا اَ ْن َز َل ُ فَا‬
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al Maidah : 45)
ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬
َ‫كَ هُ ُم ْال ٰف ِسقُوْ ن‬Hِ‫ول ِٕٕى‬ ‫َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َمٓا اَ ْنزَ َل ُ فَا‬
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)

2. Persoalan manusia tidak terselesaikan dengan benar

“Jika persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya (orang bodoh & tidak
berilmu), maka tunggulah kehancuran / kiamat.” (HR. Bukhari)

3. Rahmat (mashlahat) akan hilang/kurang, malah menimbulkan mafsadar


(kerusakan)
‫وْ ا‬HHُ‫ْض الَّ ِذيْ َع ِمل‬ ْ َ‫ب‬H‫ظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك َس‬
ِ َّ‫ ِدى الن‬H‫ت اَ ْي‬
َ ‫ ِذ ْيقَهُ ْم بَع‬Hُ‫اس لِي‬
َ‫لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ِجعُوْ ن‬
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar Ruum: 41)

2.4. Hukum Asal Perbuatan dan Benda

Terdapat perbedaan antara hukum asal untuk perbuatan manusia dengan hukum
asal benda. Keduanya berbeda ditinjau dari aspek pembahasan, dalam perbuatan ada
suatu bentuk tindakan, niatan, tata cara atau urutan, esensi atau tujuan dilakukannya
suatu perbuatan dan aspek lain terkait prakondisi, selama pelaksanaan dan setelah
kegiatan. Adapun cakupan obyek untuk benda lebih berfokus pada aspek materi.
Pemahaman keduanya (kesamaan dan perbedaan) berdampak penting dalam
mengidentifikasi cakupan hukum dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Pada benda,
fokus materi dan kebendaan lebih medominasi dan mudah untuk diamati. Penelusuran
hukum syara’ atas benda dapat dilakukan melalui mekanisme penginderaan dan
penelusuran aspek fisik dan materi. Lain halnya dengan perbuatan, didalamnya
terdapat unsur niat, tujuan, tata cara, prasyarat dan aspek lain termasuk keterlibatan
benda dalam perbuatan tersebut. Untuk penelusuran dan identifikasi jenis dan kategori
perbuatan tentunya mengharuskan bentuk metode tertentu yang tidak dapat
mengandalkan pengamatan fisik.
Menurut khalil (2003) hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan
hukum syara’. Hal ini didasarkan pada berbagai dalil syara’ yang mengindikasikan
pentingnya seorang muslim mengetahui hukum setiap tindakan sebelum dikerjakan.
Diantara dalil adanya kewajiban untuk mengetahui hukum setiap perbuatan sehingga
seorang muslim dapat memutuskan apakah akan melakukan atau meninggalkannya
adalah sebagai berikut:

‫ُكنَّا َعلَ ْي ُك ْم ُشهُوْ دًا اِ ْذ تُفِ ْيضُوْ نَ فِ ْي ۗ ِه‬ ‫َو َما تَ ُكوْ نُ فِ ْي َشأْ ٍن َّو َما تَ ْتلُوْ ا ِم ْنهُ ِم ْن قُرْ ٰا ٍن َّواَل تَ ْع َملُوْ نَ ِم ْن َع َم ٍل اِاَّل‬
‫اَصْ غ ََر ِم ْن ٰذلِكَ َوٓاَل اَ ْكبَ َر اِاَّل فِ ْي‬ ‫ض َواَل فِى ال َّس َم ۤا ِء َوٓاَل‬ ِ ْ‫ال َذ َّر ٍة فِى ااْل َر‬ ِ َ‫ك ِم ْن ِّم ْثق‬ َ ِّ‫َو َما يَ ْع ُزبُ ع َْن َّرب‬
ٍ ‫ِك ٰت‬
‫ب ُّمبِي ٍْن‬

“Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca
suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan
Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak
ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua
tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Yunus: 61)

Allah SWT berfirman dalam QS Yunus ayat 61 tentang keterikatan tindakan


seorang muslim atas pengetahuan dan hukum Allah SWT, misalkan membaca al
Qur’an. Tidak ada suatu perbuatan apa pun yang luput dari pengamatan dan
pengetahuan Allah SWT, dan setiap perbuatan itu akan dimintakan
pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT kelak nantinya. Selain itu terdapat banyak
hadis yang menerangkan atas kondisi dan keadaan suatu perbuatan akan terikat
dengan kebolehan atau larangan yang diturunkan Allah SWT terhadapnya. Salah
satunya adalah hadis berikut ini :

Dari hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyalahu ‘anhu beliau berkata: “Dahulu


manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya
kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku” Aku
bertanya: “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan
kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (islam) ini, apakah setelah kebaikan ini
akan datang kejelekan?” Beliau bekata: “Ya” aku bertanya: “Dan apakah setelah
kejelekan ini akan datang kebaikan?” Beliau Menjawab: “Ya, tetapi didalamnya ada
asap”. Aku bertanya: “Apa asapnya itu?” Beliau menjawab: “Suatu kaum yang
membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukannya (manusia) kepada selain
petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya” Aku
bertanya: “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi?” Beliau
menjawab, “Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam.
Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan
ke dalam neraka” Aku bertanya: “Ya Rasulullah sebutkan ciri-ciri mereka kepada
kami?” Beliau menjawab: “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara
dengan bahas kita” Aku bertanya: “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku
temui keadaan seperti ini” Beliau menjawab: “Pegang erat-erat jama’ah kaum
muslimin dan imam mereka” Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak imam dan
jama’ah kaum muslimin?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua kelompok-
kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal
mendatangimu”
Dari kedua dalil tersebut (sebagaimana cukup banyak dalil lain serupa) tampak
bahwa setiap perbuatan muslim harus didasarkan pada suatu kondisi tertentu dari
hukum syara’, apakah diperbolehkan atau dilarang. Tidak ada dalam satu dalil syara’
yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan atau suatu kondisi tertentu yang dinyatakan
bahwa suatu perbuatan atau suatu kondisi tertentu yang dinyatakan boleh secara
mutlak.

Hal ini berbeda dengan hukum asal benda. Terdapat beberapa dalil yang dapat
dijadikan rujukan terkait bagaimana penentuan hukum asal benda. Diantaranya
berasal dari Al Qur’an surat Al Maidah ayat 3 serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah. Keduanya memberikan keterangan adanya larangan dengan tegas (haram)
terhadap beberapa jenis makanan tertentu yang berasal dari jenis hewan. Sebaliknya,
tidak ada dalil yang menunjukkan harusnya memakai jenis hewan tertentu atau
menggunakan bahan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya
larangan untuk suatu benda baik untuk digunakan maupun dikonsumsi menunjukkan
bahwa hukum asal dari benda adalah boleh. Dalil yang ada menunjukkan bentuk
larangan untuk benda tertentu sehingga dapat diartikan yang tidak dilarang merupakan
posisi yang dibolehkan.
‫هّٰللا‬
ٍ َ‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْرهّٰللا َو َمٓا اُ ِه َّل لِ َغي ِْر ِ بِ ٖ ۚه فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
‫اغ َّواَل عَا ٍد فَاِ َّن‬
‫َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,


dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi
barangsiapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. An Nahl ayat 115)

ُ‫ْر َو َمٓا اُ ِه َّل لِ َغي ِْر هّٰللا ِ بِ ٖه َو ْال ُم ْنخَ نِقَةُ َو ْال َموْ قُوْ َذةُ َو ْال ُمت ََر ِّديَة‬Hِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي‬ ْ ‫حُرِّ َم‬
ۗ‫ق‬ ٰ
ٌ ‫ِم ذلِ ُك ْم فِ ْس‬Hۗ ‫ب َواَ ْن تَ ْستَ ْق ِس ُموْ ا بِااْل َ ْزاَل‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫َوالنَّ ِط ْي َحةُ َو َمٓا اَ َك َل ال َّسبُ ُع اِاَّل َما َذ َّك ْيتُ ۗ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
‫ت َعلَ ْي ُك ْم‬ ُ ‫اخ َشوْ ۗ ِن اَ ْليَوْ َم اَ ْك َم ْل‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َواَ ْت َم ْم‬ ْ ‫م َو‬Hُْ‫س الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا ِم ْن ِد ْينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َشوْ ه‬ َ Hِ‫اَ ْليَوْ َم يَ ِٕٕى‬
‫هّٰللا‬
‫ف اِّل ِ ْث ۙ ٍم فَاِ َّن َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ۗ
ٍ ِ‫ص ٍة َغي َْر ُمت ََجان‬ َ ‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِ ْساَل َم ِد ْينًا فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِ ْي َم ْخ َم‬ Hُ ‫ضي‬ ِ ‫نِ ْع َمتِ ْي َو َر‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan
pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan
fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-
Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi
barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah:3)
Terdapat hadis dari Rasulullah Muhammad SAW yang melarang untuk
mengkonsumsi jenis makanan tertentu dan berimbas pada amal dan tidak
dikabulkannya doa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut :

“wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan
menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada
para Rasul. Firman-Nya: “Wahai para Rasul! Makanlah rezeki yang baik-baik
(halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” Dan Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman!
Makanlah rezeki yang baik-baik yang Telah menceritakan kepada kami telah kami
rezekikan kepadamu.” “Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam menceritakan
tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang
ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengankat
tangan nya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,” Padahal,
makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaian nya
dari yang haram dan diberi makan dengan makananyang haram, maka
bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?.” (HR. Muslim No. 1015)

2.5. Dalil Syara’

Dalil syara menurut bahasa adalah yang menunjukan terhadap sesuatu. Dalil
menurut fuqaha adalah perkara yang didalamnya terdapat petunjuk. Dalil menurut
ulama ushul adalah perkara yang dengan penelaahan yang shahih bisa mengantarkan
kepada pengetahuan terhadap mathlub khabari (hukum suatu perkara yang sedang
dicari status hukumnya) ringkasnya, dalil berarti perkara yang bisa dijadikan sebagai
hujjah bahwa sesuatu yang dibahas adalah hukum syara’.
Terdapat 4 dalil syara’ yang disepakati oleh para ulama fikih dan ushul fikih
yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Suatu bentuk keterangan ini pada
hakikatnya berasal dari keterangan yang ditunjuk oleh Allah SWT dalam wahyu.
Berikut ini adalah penjelasan ringkas dalil syara tersebut.

1. Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat
jibril kepada Rasulullah SAW dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran
agar dijadikan hujah (argumentasi) dalam hal pengakuan nya sebagai rasul dan agar
dijadikan pedoman hukum bagi seluruh umat manusia, disamping merupakan amal
ibadah bagi pembacanya.
Tidak ada perselishan pendapat diantara kaum muslim tentang Al Qur’an
sebagai hujjah yang kuat bagi mereka dan merupakan mu’jizat yang mampu
menundukkan manusia dan tidak mungkin ditiru (dipalsukan). Sebagai bukti bahwa
Al Qur’an itu datang dari sisi Allah SWT adalah keindahan dan ketinggian
bahasanya yang tidak bisa ditandingi oleh ahli syair manapun hingga saat ini. Allah
SWT berfirman :

ُ ‫ت ااْل ِ ْنسُ َو ْال ِج ُّن ع َٰلٓى اَ ْن يَّأْتُوْ ا بِ ِم ْث ِل ٰه َذا ْالقُرْ ٰا ِن اَل يَأْتُوْ نَ بِ ِم ْثلِ ٖه َولَوْ َكانَ بَ ْع‬
‫ضهُ ْم‬ ِ ‫ ِن اجْ تَ َم َع‬Hِ‫قُلْ لَّ ِٕٕى‬
H‫ْض ظَ ِه ْي ًرا‬ٍ ‫لِبَع‬
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al Isra: 88)

‫ب ِّم َّما نَ َّز ْلنَا ع َٰلى َع ْب ِدنَا فَأْتُوْ ا بِسُوْ َر ٍة ِّم ْن ِّم ْثلِ ٖه ۖ َوا ْد ُعوْ ا ُشهَد َۤا َء ُك ْم ِّم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ اِ ْن‬
ٍ ‫َواِ ْن ُك ْنتُ ْم فِ ْي َر ْي‬
ٰ ‫ُك ْنتُ ْم‬
َ‫ص ِدقِ ْين‬

“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah: 23)

Selain tantangan yang datang dari Allah dalam Al Qur’an tersebut diatas,
sejarah pun membuktikan bahwa salah seorang ahli syair Quraisy yang tak tertandingi
pada masa Rasulullah SAW, Walid bin Mughirah, menyatakan:

“Sesungguhnya didalam Al Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat dan pula
keindahan, apabila di bawah menyuburkan dan apabila diatas menghasilkan buah.
Dan manusia tidak mungkin mampu berucap seperti Al Qur’an.”

2. As Sunnah
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan / persetujuan /
diamnya) Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal / perbuatan seorang shahabat yang
diketahuinya (TIM LDK IPB,2004). Sunnah merupakan sumber Syariat islam yang
nilai keberadaan nya sama dengan Al Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal
dari wahyu, sebagaimana firman Allah SWT.

ٌ ْ‫ق َع ِن ْالهَ ٰوى اِ ْن هُ َو اِاَّل َوح‬


ۙ‫ي يُّوْ ٰحى‬ ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain
(Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS An Najm: 3-4)

 ‫اِ ْن اَتَّبِ ُع اِاَّل َما يُوْ ٰ ٓحى اِلَ ۗ َّي‬


“(Katakanlah Muhammad) aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku.”(QS Al An’am:50)

Kedua ayat diatas menegaskan kepada kita bahwa apa yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW (berupan Al Qur’an dan As Sunnah) merupakan wahyu yang
berasal dari Allah SWT semata bukan berasal dari dirinya maupun hawa nafsunya.
Setiap tindakan yang beliau kerjakan juga murni berasal dari Wahyu Allah SWT dan
setiap manusia di perintahkan untuk mengikuti apa yang beliau sampaikan.
Rasulullah SAW disamping menerima wahyu berupa Al Qur’an juga
menerima wahyu dalam bentuk ‘Al Hikmah’ yang pengertian nya sama dengan As
Sunnah (baik perkataan, perbuatan maupun taqrir) seperti yang ditunjukkan dalam Al
Qur’an surat Ali imran:164
َ ‫لَقَ ْد َم َّن هّٰللا ُ َعلَى ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ اِ ْذ بَ َع‬
َ ‫م ْال ِك ٰت‬Hُ ُ‫ث فِ ْي ِه ْم َرسُوْ اًل ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ِه ْم يَ ْتلُوْ ا َعلَ ْي ِه ْم ٰا ٰيتِ ٖه َويُزَ ِّك ْي ِه ْم َويُ َعلِّ ُمه‬
‫ب‬
‫ض ٰل ٍل ُّمبِي ٍْن‬َ ‫َو ْال ِح ْك َم ۚةَ َواِ ْن َكانُوْ ا ِم ْن قَ ْب ُل لَفِ ْي‬

“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah)
mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah),
meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al
Imran: 164)

3. Ijma’ Shahabat
Pengertian ijma’ secara bahasa berarti tekad yang konsisten terhadap sesuatu
atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Adapun pengertian ijma’
menurut ulama ushul fiqh adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu
merupakan hukum syara’. Ijma’ shahabat merupakan salah satu dalil syara’ yang
disepakati oleh para ulama dengan beberapa dalil sebelumnya yaitu dari Al Qur’an
dan Sunnah. Seperti tercantum dalam QS. Al Fath: 29, QS. At Taubah: 100. QS. Al
Hasyr: 8

ُ‫ َع ْنه‬H‫َّض َي هّٰللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرضُوْ ا‬


ِ ‫ان ر‬ ٍ ۙ ‫م بِاِحْ َس‬Hُْ‫ار َوالَّ ِذ ْينَ اتَّبَعُوْ ه‬ Hِ ‫ص‬َ ‫َوال ٰ ّسبِقُوْ نَ ااْل َ َّولُوْ نَ ِمنَ ْال ُم ٰه ِج ِر ْينَ َوااْل َ ْن‬
‫ت تَجْ ِريْ تَحْ تَهَا ااْل َ ْن ٰه ُر ٰخلِ ِد ْينَ فِ ْيهَٓا اَبَدًا ٰۗذلِكَ ْالفَوْ ُز ْال َع ِظ ْي ُم‬ ٍ ّ‫َواَ َع َّد لَهُ ْم َج ٰن‬

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS At
Taubah: 100)

Terdapat sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa shahabat


merupakan generasi yang memiliki kemuliaan dan keutamaan.

“Sesungguhnya aku telah memilih para shahabatku atau segenap makhluk,


selain para nabi.” (HR At Thabari, Al Baihaqi, dll)

“Para shahabatku itu ibarat bintang; siapapun (diantara mereka) kalian


turuti, maka akan mendapat petunjuk.” (HR. Ibnu Abdil Barr)

Petunjuk Allah dan RasulNya terhadap para shahabat menunjukkan suatu


kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jamaah, bukan
secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka
hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para
sahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat
dapat digunakan sebagai dalil syara’.
4. Qiyas
Pengertian Qiyas adalah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash
atau tekstual dalam sumber primer, dengan suatu kejadian yang sudah ada
nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam sebab
(‘illat) hukumnya. Qiyas dapat digunakan sebagai dalil syara’ karena dalm qiyas
yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syara’ yang memiliki
kesamaan ‘illat. Yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah ‘illatnya, bila
terdapat kesamaan ‘illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada
hukumnya, maka hukum masalah tersebut menjadi sama.
Yahya dan Rahman (1986:69) menjelaskan kebolehan penggunaan qiyas
sebagai dalil syara’ adalah misalnya:

‫ل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى‬Hَ ْ‫ هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُو‬H‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا‬
ࣖ ‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل‬ َ ِ‫هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa: 59)

Didalam ayat diatas jelas diterangkan bahwa apabila terjadi perselisihan


pendapat perihal hukum sesuatu peristiwa didalam Al Qur’an, As Sunnah ataupun
pemimpin (‘ulil amri) maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.
Bentuk upaya pengembalian kepada Allah dan RasulNya apabila tidak didapati nash
atau tekstual hukum suatu peristiwa dengan mendasarkan persamaan illat adalah
merupakan qiyas. Sebab yang demikian itu berarti mengikuti kepada hukum Allah
dan RasulNya.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seruan (khithab) Syar’i yang berkaitan dengan aktivitas
hamba (manusia) berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i) dan pemberian
pilihan (at-takhyir). Syariat islam mencakup beragam aspek dimensi hubungan
manusia, baik dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, dan juga dengan dirinya
sendiri. Hubungan dengan Allah SWT sebagai pencipta (al-khaliq) meliputi aspek
aqidah dan ibadah. Hal ini didasarkan pada berbagai dalil syara’ yang mengindikasikan
pentingnya seorang muslim mengetahui hukum setiap tindakan sebelum dikerjakan.
Terdapat perbedaan antara hukum asal untuk perbuatan manusia dengan hukum asal
benda. Keduanya berbeda ditinjau dari aspek pembahasan, dalam perbuatan ada suatu
bentuk tindakan, niatan, tata cara atau urutan, esensi atau tujuan dilakukannya suatu
perbuatan dan aspek lain terkait prakondisi, selama pelaksanaan dan setelah kegiatan.
Adapun cakupan obyek untuk benda lebih berfokus pada aspek materi. Pemahaman
keduanya (kesamaan dan perbedaan) berdampak penting dalam mengidentifikasi
cakupan hukum dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Pada benda, fokus materi dan
kebendaan lebih medominasi dan mudah untuk diamati.

3.2. Saran
Sebaiknya kita sebagai manusia harus menuruti perintah dari Allah SWT. Karena
Pada dasarnya sejatinya tidak ada opsi lain bagi seorang muslim untuk mengingkari
atau meninggalkan perintah dari Allah SWT selaku Tuhan Seru Alam.
DAFTAR PUSTAKA

Ihda Arifin Faiz, Fintech Syariah Dan Bisnis Digital, 2020 Bantul Yogyakarta

https://kominfo.go.id/content/detail/34168/digitalisasi-ekonomi-dan-keuangan-syariah-bisa-
tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi/0/berita

https://www.slideshare.net/AryaNingrat/definisi-syariat-islam#:~:text=Dengan%20demikian
%20syariat%20Islam%20merupakan,Islam%20meliputih%20akidah%20dan%20syariat.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ijma-ulama-sebagai-dalil-
hukum-oleh-dra-nurlen-afriza-2111

Anda mungkin juga menyukai