Anda di halaman 1dari 11

Kegiatan Belajar 14

Analisis Teori dan Praktik Moneter Konvensional dan Syariah di


Indonesia
.
A. Teori dan Praktik Giro Wajib Minimun di Bank Konvensional dan Bank Syariah

Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan instrument standar Fractional Reserve Banking (FRB) System
yang bertujuan untuk membatasi ekspansi uang (money multiplayer) dan pembiayaan. Perbankan
syariah di Indonesia, baik BUS maupun UUS, diwajibkan memelihara GWM pada tingkat persentase
tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah dan valuta asing, yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.15/16/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah diwajibkan memelihara GWM dalam rupiah sebesar 5% dari DPK-nya dalam rupiah.
Apabila FDR lebih besar dari 80%, GWM-nya 5%. Apabila FDR kurang dari 80%, GWM-nya bertambah
1%, 2%, atau 3% jika DPK-nya Rp 1-10 triliun, Rp 10-50 triliun, atau di atas Rp 50 triliun. Untuk bank yang
memiliki rasio pembiayaan dalam Rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih, dan atau memiliki DPK
dalam Rupiah sampai dengan satu triliun rupiah tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM. Sementara
itu, GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 1% dari DPK dalam valuta asing.

Berikut ini adalah daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur mengenai Giro Wajib Minimum
bagi Bank Umum Syariah:

 PBI No.2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 Tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
 PBI No.6/21/PBI/2004 tanggal 3 Agustus 2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
PBI ini mencabut ketentuan sebelumnya yang berlaku yaitu PBI No.2/7/PBI/2000.
 PBI No.8/23/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 Perubahan atas PBI No.6/21/PBI/2004 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
 Kemudian di tahun 2013 Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.15/16/PBI/2013 tentang Giro
Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah. PBI No.15/16/PBI/2013 ini menggantikan peraturan sebelumnya, PBI
No.8/23/PBI/2006.

Bank Indonesia Selaku Bank Sentral memiliki peran yang amat penting sebagai pihak otoritas moneter
yang mengatur pengedaran uang. Peran ini diakui pula dalam syariah dalam bentuk Baitul Maal, Kaidah
Ushul Fiqih yang menjadi dasar adalah “Tasharruful Imam manuuthun bil maslahah”, yang berarti
tindakan otoritas moneter diperlukan untuk menjaga maslahat secara keseluruhan. Peningkatan level
GWM oleh Bank Indonesia dalam kaitan ini merupakan tindakan yang diperbolehkan secara syariah
dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan uang yang beredar.
Persoalan yang terjadi terletak pada kebijakan pemberian bunga untuk selisih GWM dari tingkat
sebelumnya (5%). Meskipun selaku otoritas moneter, Bank Indonesia diperbolehkan mengeluarkan
ketentuan untuk kemaslahatan perbankan dan sistem moneter, namun untuk perbankan syariah harus
mengikuti metode yang diperbolehkan secara syariah. Pemberian imbalan terhadap selisih tingkat GWM
adalah memberikan imbalan yang ditentukan sebelumnya atas sejumlah dana, yang diperbolehkan
dalam perbankan konvensional, namun tidak dibolehkan dalam perbankan syariah karena memiliki sifat
bunga. Imbalah terhadap selisih GWM dalam perbankan syariah hanya dapat dilakukan berdasarkan
kebijakan Bank Indonesia, dan tidak boleh dijanjikan sebelumnya. Bank Indonesia memiliki hak untuk
memberi ataupun tidak memberkan imbalan atas dana yang ditempatkan di Bank Indonesia dalam
bentuk apapun, termasuk giro minimum. Hal ini sejalan dengan prinsip syariah, yakni prinsip Wadiah
dan Qardh. Kecuali apabila Bank Indonesia dibolehkan melakukan usaha, maka prinsip lain dapat
digunakan, seperti Mudharabah.

B. Teori dan Praktik FPJP dan FPJPS

Definisi dan ruang lingkup fasilitas pembiayaan dan fasilitas simpanan sebagai berikut:

1. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)

Seperti yang dijelaskan pada Peraturan Bank Indonesia No.5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank
syariah sebagaimana bank konvensional menghadapi risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan
jangka pendek. Kesulitan tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian antara arus dana masuk
dibandingkan dengan arus dana yang keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank Syariah pada Bank Indonesia menjadi
negatif.

Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada dasarnya Bank Syariah harus
mengusahakan dana yang berada pada Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS),
dengan menggunakan berbagai instrument pasar uang yang tersedia di padar uang tersebut.
Sementara Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank umum konvensional, untuk menutup kesulitan
pendanaan yang bersifat jangka pendek, selain mengupayakan dana yang ada di PUAS, harus
mengupayakan pula dana dari kantor pusat bank umum konvensionalnya. Namun, ketika bank
syariah tidak mampu memperoleh dana di pasar uang dan UUS tidak berhasil mendapatkan dana dari
kantor pusat bank umum konvensionalnya, berdasarkan Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia bahwa Bank Indonesia yang berperan sebagai the lender of the last resort dapat
memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut.

Fasilitas pembiayaan ini bertujuan untuk memelihara kelangsungan kegiatan usaha Bank Syariah dan
kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Fasilitas pembiayaan tersebut diberikan dalam
bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah wajib dijamin dengan anggunan
berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan atau surat berharga atau tagihan lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicarikan namun tetap sesuai dengan koridor syariah. Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek Bagi Bank Syariah hanya bisa diberikan kepada Bank Syariah yang mengalami kesulitan
pendanaan jangka pendek namun masih memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan
(illiquid but solvent).
Adapun yang dimaksud dengan tidak dapat menyelesaian kewajibannya adalah ketidakmampuan
Bank Syariah dalam menyelesaikan kewajiban, baik yang terjadi melalui sistem kliring dan atau
disebabkan oleh pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka sistem BI-RTGS. Kewajiban di sini tidak
termasuk kewajiban Bank Syariah untuk membayar denda Giro Wajib Minimum dan imbalan FPJPS.
Ketentuan ini bertujuan untuk membatasi pemberian FPJPS hanya kepada Bank Syariah yang solvable
namun mengalami permasalahan likuiditas mismatch (illiquid but solvent bank).

Bagi UUS, persyaratan pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum dan tingkat kesehatan
yang digunakan adalah perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum dan tingkat kesehatan
dari bank umum konvensionalnya. Pemeriksaan terhadap Bank Syariah yang menerima FPJPS dapat
dilakukan pada periode diterimanya FPJPS atau setelah jatuh waktu FPJPS. Sesuai dengan PBI
No.14/20/PBI/2014 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah
apabila bank umum syariah mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, maka ia dapat
memperoleh FPJPS berdasarkan akad mudharabah.

Bank Syariah hanya dapat mengajukan FPJPS apabila bank memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum (capital adequacy ratio) paling rendah 8% dan memiliki agunan berkualitas tinggi
berupa surat berharga (SBIS,SBSN, dan SBS) dan aset pembiayaan. Plafon FPJPS diberikan
berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas selama 14 hari ke depan sampai dengan bank
memenuhi GWM dalam mata uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan paling
lama 90 hari. Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan bank untuk memenuhi GWM dalam mata
uang rupiah. FPJPS wajib dijamin oleh BUS dengan agunan yang berkualitas tinggi berupa surat
berharga dan aset pembiayaan kolektibilitas lancar yang nilainya memadai.

2. Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dengan Akad Wadiah

Fasilitas simpanan Bank Indonesia syariah dengan akad wadiah (FASBIS Wadiah) adalah fasilitas
penempatan dana jangka pendek dengan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi
bank Syariah. Penyediaan FASBIS bertujuan untuk pelaksanaan pengendalian moneter oleh Bank
Indonesia melalui pasar uang syariah. Oleh karena itu, FASBIS dengan akad Wadiah juga merupakan
instrument moneter bagi Bank Sentral sekaligus sebagai sarana penempatan dana jangka pendek
bagi bank syariah. Selain itu, FASBIS dengan akad Wadiah merupakan penyempurnaan dari fasilias
penempatan dana dalam SWBI yang selama ini dilakukan.

Stabilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam rupiah yang selanjutnya disebut FASBIS, sesuai
dengan Surat Edaran No.17/43/DPM tanggal 16 November 2015 tentang Tata Cara Transaksi
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah, adalah fasilitas simpanan yang disediakan
oleh Bank Indonesia kepada bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia dalam rangka
standing facilities Syariah. FASBIS menggunakan akad wadiah (titipan) dengan jangka waktu paling
lama empat belas hari kalender (jangka waktu saat ini 1-hari). Bank Indonesia dapat memberi
imbalan atas dana perbankan syariah yang ditempatkan dalam FASBIS atas dasar diskresi.

Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank
Syriah (FPJPS) adalah:
 PBI No.5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
Bagi Bank Syariah (FPJPS).
 PBI No.7/23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.5/3/PBI/2003
tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah
(FPJPS); dalam rangka mendukung stabilitas sistem perbankan syariah dan menyediakan
instrument Bank Sentral yang dapat membantu bank syariah yang sedang mengalami
kesulitan likuiditas jangka pendek.
 PBI No.11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum
Syariah. Diterbitkannya aturan ini mencabut wewenang dari PBI No.5/3/PBI/2003 serta PBI
No.7/23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No.5/3/PBI/2003.
 PBI No.11/29/PBI/2009 tanggal 7 Juli 2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
Syariah Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Adanya peraturan ini melindungi kegiatan
usaha yang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dari risiko likuiditas yang
dapat meningkat karena fluktuasi perekonomian daerah setempat dan juga perekonomian
nasional.
 PBI No.14/20/PBI/2012 diterbitkan pada tanggal 17 Desember 2012 sebagai perubahan atas
PBI No.11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum
Syariah.

Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
(FASBIS) adalah:

 Surat Edaran No.11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah mengatur tentang penggunaan FASBIS
sebagaimana yang telah diatur dalam PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter
Syariah.
 Surat Edaran 12/23/DPM tanggal 30 Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia No.11/8/DPM tangga 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan
Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS).
 Surat Edaran No/17/43/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah.

Landasan akad syariah bagi FPJPS telah mengalami dinamika yang cukup menarik. Akad kafalah bil ujroh
dalam rancangan ketentuan FPJPS yang baru adalah akad pemberian jaminan oleh Bank Indonesia
selaku pemberi jaminal (kafil) kepada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah selaku penerima
jaminan (makful ‘anhu) berupa ketersediaan dana untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek
dalam rangka menjaga kepercayaan masyarkat selaku penerima manfaat jaminan (makful lahu), dan
atas dasar jasa pemberian jaminan tersebut pemberi jaminan mengenakan fee (ujroh). Perubahan akad
yang diusulkan untuk FPJPS dari mudharabah menjadi kafalah bil ujroh dengan alasan bahwa akad yang
digunakan lebih sesuai syariah untuk penetapan imbalan yang lebih jelas di mana imbalan FPJPS kafalah
bil ujroh ditetapkan sebesar BI rate + 100 basis poin. Maka, penetapan harga dapat disetarakan dengan
imbalan untuk FPJPS bagi bank konvensional. Beberapa ketentuan esensial syariah yang diatur dalam
fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah adalah sebagai berikut:
 Dengan memahami bahwa dalam dunia bisnis seringkali digunakan mekanisme penjaminan
untuk melancarkan kegiatan usahanya, maka bank syariah diwajibkan menyediakan skema
penjaminan.
 Penjaminan dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
 Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
 Objek penjaminan dapat berupa uang, benda atau pekerjaan.
 Objek penjaminan harus dispesifikasi secara jelas.

Penggunaan akad kafalah bil ujrah dalam piranti moneter FPJPS perlu dipertegas kembali isu utamanya,
yaitu objek kafalah berupa manfaat atau jasa penjaminan ketersediaan dana untuk mengatasi likuiditas
jangka pendek dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat. Hal ini dilakukan agar membedakan
antara kondisi darurat sebagai kewajiban BI untuk memelihara sistem pembayaran dan kestabilan
moneter dengan kondisi untuk mengatasi mismatch yang berasal dari kesulitan atau kekurangan
likuiditas akibat penggunaan dana jangka pendek untuk pembiayaan jangka panjang yang produktif
bersifat komersial. Yang pertama akan dipertanyakan pengenaan ujrah (fee) atas kafalah, sementara
yang kedua dapat dibenarkan secara syariah.

C. Teori dan Praktik, SBI, Pasar Uang Antar Bank, SWBI, SBIS dan Repo Sukuk

Operasi moneter dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah merupakan bagian
dari pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia. Hal tersebut telah dijelaskan dalam UU Bank
Indonesia. Pada Peraturan Dewan Gubernur (PDG) kerangka kebijakan moneter PDG 18/7/PDG/2016)
juga dijelaskan bahwa operasi moneter dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah.

Dengan munculnya tuntutan pengelolaan dana oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta
pengendalian moneter oleh Bank Indonesia, perlu disediakan fasilitas penitipan dana jangka pendek
yang menggunakan prinsip wadiah bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (bukti penitipannya berupa
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia). Maka dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No.6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat
Wadiah Indonesia. Hal ini dikuatkan oleh terbitnya fatwa Dewan Syariah Indonesia (SWBI), di mana
perbankan syariah memerlukan sebuah instrument pengendalian moneter yang berdasarkan prinsip
syariah, sehingga penggunaan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrument moneter yang
menggunakan sistem bunga tidak boleh dipergunakan oleh perbankan syariah.

Penetapan instrument ini menggunakan prinsip syariah berupa wadiah atau titipan. Dalam hal ini, titipan
tersebut bisa dikelola oleh pihak yang dititipi untuk menghasilkan suatu manfaat, maupun pihak yang
dititipi tidak melakukan pengelolaan atas sesuatu yang dititipkan.

BANK Dana + Bonus


INDONESIA
BANK
SWBI

Oleh karenanya, pihak yang dititipi tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbal hasil. SWBI
diperlakukan sebagai bukti penitipan dana wadiah pada Bank Indonesia, dengan karakteristik untuk
menyerap likuiditas perbankan syariah. Selanjutnya, Sertifikat Bank Indonesia Syariah hadir untuk
mempertahankan stabilitas nilai rupiah. Hal ini salah satunya dapat dilakukan melalui pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah melalui operasi pasar terbukan (OPT).

Untuk melaksanakan kegiatan OPT dengan prinsip syariah, Bank Indonesia memiliki wewenang untuk
menetapkan instrument OPT yang digunakan. Maka diperlukan penyempurnaan dengan menerbitkan
instrumen dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah melalui Peraturan Bank
Indonesia No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang memiliki jangka waktu pendek
dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 3, SBIS yang dikeluarkan Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. Adapun Regulasi dan Fatwa
yang mengatur SWBI dan SBIS adalah sebagai berikut:

1. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

 PBI No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2020 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI);
yang menjadi instrument moneter pertama bagi industri perbankan syariah yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia, meskipun ketika itu masih berjangka pendek. SWBI dengan jangka waktu 7
hari, 14 hari, dan 28 hari. Instrumen ini bertujuan membantu perbankan syariah dalam
mengelola likuiditasnya, baik dalam keadaan kekurangan maupun kelebihan likuiditas.
Instrumen ini kemudian dikuatkan oleh fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tanggal 23
oktober 2002 atau 15 Sya’ban 1432 H.
 PBI No.6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 204 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(mencabut PBI No.2/9/PBI/2000).
 Fatwa Dewan Syariah Nasional No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan
prinsip syariah dan sebagai salah satu upaya mengatasi kelebihan likuiditas bank syariah dengan
menciptakan sertifikat berupa SWBI. Akad yang digunakan untuk instrument SWBI ini adalah
akad wadiah, sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan
Fatwa DSN No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

Dalam faktwa DSN-MUI No.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, diatur ketentuan transaksi yang
menggunakan akad wadiah, yakni:

a. Bersifat titipan
b. Titipan bisa diambil kapan saja (on call)
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.

Permasalahan yang terjadi pada instrument SWBI yang menggunakan akad wadiah adalah pemberian
imbalan (bonus) wadiah dalam ketentuan PBI (SWBI dan FasBIW) yang awalnya bersifat diskresi Bank
Indonesia dengan perhitungan intern Bank Indonesia berdasarkan perimbangan moneter, jika dalam
surat edaran eksternal disebutkan bahwa perhitungan dan pemberian imbalan tersebut berubah dari
klausula Bank Indonesia “dapat” memberikan bonus atas wadiah, menjadi Bank Indonesia “akan”
memberikan imbalan, yang akan menyebabkan munculnya distorsi dan menyimpang dari ketentuan
akad wadiah uang.
Selanjutnya, keberhasilan penerapan instrument pengendalian moneter atas pencapaian target
moneter yang ditetapkan sangat dipengaruhi oleh besarnya tingkat imbalan (return) dari instrument
tersebut. Permasalahan yang akan timbul adalah mengenai penentuan tingkat imbalan instrument
syriah karena tidak dapat secara langsung disamakan dengan pendapatan bunga pada instrument
konvensional. Selain itu, penentuan tingkat imbalan tersebut juga harus sesuai dengan prinsip
syariah. Imbal hasil yang diterima oleh perbankan syariah dalam menempatkan danyanya di SWBI
tidak setara dengan imbal hasil yang diterima oleh perbankan konvensional yang menempatkan
dananya di SBI dan FASBI.

2. Sertifikat Bank Indonesia Syariah

 PBI No.10/11/PBI/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah;
mencabut PBI No.6/7/PBI/2004.
 Fatwa Dewan Syariah Nasional pada tanggal 6 Desember 2007 mengeluarkan fatwa terkait
dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBIS) untuk menggantikan SWBI melalui ketentuan
No.63/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan No.64/DSN-
MUI/XII/2007 tentang SBIS ju’alah. Hal ini dilakukan karna SWBI dipandang belum sepenuhnya
dapat menjadi instrument pengendalian moneter yang optimal. Selain itu, dengan hadirnya SBIS
dengan akad ju’alah, dipandang lebih dapat mengoptimalkan pengendalian moneter dan
pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Hal ini dengan menjanjikan imbalan tertentu
(reward/iwadh/ju’l) bagi bank-bank syariah yang ikut berpartisipasi dalam pengendalian
moneter melalui penempatan likuiditasnya di Bank Indonesia.

Ju’alah menurut bahasa adalah meminta seseorang untuk mencarikan suatu barang yang hilang
dengan bayaran tertentu. Sementara dalam terminologi fikih, ju’alah diartikan sebagai suatu iltizam
(tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan tertentu terhadap orang yang berhasil
melakukan perbuatan tertentu. Dalam draft fatwa DSN-MUI dinyatakan sebagai berikut:

 SBIS ju’alah sebagai instrumen moneter dapat diterbitkan untuk pengelolaan likuiditas dan
pengendalian moneter yang optimal.
 Dalam SBIS ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah
bertindak sebagai maj’ul lahu (penerima pekerjaan); objek/underlying ju’alah adalah partisipasi
untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan
likuiditas dari masyarakat dalam jumlah dan jangka waktu tertentu, dalam bentuk wadiah
amanah rekening SBIS-ju’alah, yaitu titipan dalam jangka waktu tertentu di mana uang yang
dititipkan tersebut tidak digunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan dan tidak boleh
ditarik oleh bank syariah sebelum jatuh tempo.
 Bank Indonesia dalam operasi moneternya melalui SBIS mengumumkan target penyerapan
likuiditas kepada bank-bank syariah dan menjanjikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu bagi
yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya.

Dalam ketentuan hukum yang tertuang dalam draft fatwa DSN-MUI disebutkan:
a. Bank Indonesia wajib memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) yang telah dijanjikan kepada
Bank Syariah yang telah membantu Bank Indonesia dalam upaya penyerapan likuiditas
dengan cara menempatkan dana di Bank Indonesia melalui “pembelian” SBIS ju’alah.
b. Dana yang ditempatkan di Bank Indonesia merupakan wadiah (titipan) dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan kesepakatan antara Bank Indonesia dengan Bank Syariah.
c. Dalam hal Bank Syariah selaku pihak penitip dana (mudi’) memerlukan likuiditas misalnya
karena mengalami mismatch pendanaan, dapat me-repo-kan SBIS ju’alah-nya dengan
membayar sejumlah denda tertentu (gharamah) yang dikenakan Bank Indonesia selaku pihak
penerima titipan (muda’) untuk memberikan efek jera (ta’zir) karena menyalahi
komitmennya untuk tidak menarik dananya sebelum jatuh tempo karena dapat mengganggu
tujuan operasi moneter.
d. Bank Indonesia berkewajiban mengembalikan dana SBIS ju’alah kepada pemegangnya pada
saat jatuh tempo.
e. SBIS ju’alah hanya dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk penempatan sementara
kelebihan likuiditas yang belum dapat disalurkan ke sektor riil.
f. Bank syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS ju’alah
sepanjang belum dapat menyalurkannya ke sektor riil.
g. SBIS-ju’alah merupakan instrument moneter yang tidak dapat diperjualbelikan (non
tradeable/non negotiable) atau tidak dapat dipindahtangankan dan bukan merupakan bagian
dari portofolio investasi bank syariah.

3. Repo Sukuk

Dalam menjalankan aktivitas usahanya, lembaga keuangan syariah kerap mengalami kesulitan
likuiditas karena terjadi time mismatch antara dana yang dihimpun yang bersifat jangka pendek dan
dana yang disalurkan yang bersifat jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan instrument yang dapat
menanggulangi kesulitan likuiditas tersebut. Salah satunya dengan disahkannya repo Surat Berharga
Syariah (SBS) yang diatur dalam fatwa DSN No.94 tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS)
berdasarkan prinsip syariah.

Menurut pendapat Syekh Yusuf Al-Syubaili, jika lembaga keuangan perlu likuiditas, maka lembaga
tersebut dapat menjual surat berharga seperti sukuk atau saham secara tunai. Dengan jual beli ini,
maka kepemilikan surat berharga tersebut berpindah ke tangan pembeli secara penuh dengan
berbagai akibat hukumnya, seperti mendapat keuntungan, menanggung risiko kerugian, hak
menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham, hak suara, hak dalam penambahan modal, pengubahan
akta perusahaah, pengubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga perusahaan penerbit saham,
serta seluruh hak dan perbuatan hukum lain yang melekat pada surat berharga tersebut sesuai
peraturan perundang-udangan. Transaksi jual ini disertai janji dari pembeli untuk menjual kembali
surat berharga tersebut kepada penjual pertama selama periode tertentu.

Transaksi Repo Surat Berharga Syariah (SBS) adalah jual beli yang sesungguhnya (al-bai al-haqiqi) atas
surat berharga oleh suatu Lembaga Keuangan Syariah kepada Lembaga Keuangan Syariah lain atau
kepada lembaga konvensional dan sebaliknya. Surat berharga ini diterbitkan sesuai prinsip syariah
yang diterbitkan oleh pemerintah maupun korporasi, surat ini sebagai bukti pernyataan atas
kepemilikan aset SBS dalam bentuk mata uang rupiah atau valuta asing. Akad yang digunakan dalam
transaksi ini adalah al-ba’I ma’a al-wa’d bi al-syira’ yaitu ada unsur wa’d (janji) yang menyatakan
pembelian SBS yang akan dijual kembali, dan menyatakan untuk menjual SBS yang dibelinya pada
masa yang akan datang. Perbedaan transaksi repo syariah dengan repo konvensional adalah:
 Transaksi repo syariah wajib menggunakan surat berharga syariah yaitu sukuk korporasi dan surat
berharga syariah negara (SBSN) sebagai instrument dari repo syariah;
 Mekanisme jual beli yang digunakan oleh repo syariah mengikuti fatwa DSN-MUI.

D. Penciptaan Kredit Bank Konvensional dan Bank Syariah di Indonesia

Bank komersial menciptakan mata uang kredit melalui pembuatan deposit. Uang kredit termasuk uang
kertas dan mata uang deposito, tetapi dalam arti biasa penciptaan kredit mengacu pada penciptaan
mata uang deposit oleh bank komersial. Bank umum memiliki kedudukan yang khusus dalam sistem
moneter karena bank umum mempunyai kemampuan untuk menciptakan uang dalam bentuk uang giral
dan uang kuasi. Penciptaan uang giral dan uang kuasi tersebut secara umum dapat melalui beberapa
cara sebagai berikut.

i. Substitusi, melalui proses substitusi ini seseorang dapat menyetorkan uang kartal ke bank umum
untuk dimasukkan ke dalam simpanan giro, simpanan tabungan, atau sebagai deposito.
ii. Transformasi, melalui proses transformasi ini bank umum dapat membeli surat-surat berharga
dan kemudian membukukan surat-surat berharga yang dibeli ke dalam simpanan giro atas nama
yang bersangkutan atau membukukan ke dalam simpanan tabungan atau deposito.
iii. Pemberian kredit, melalui proses ini bank-bank umum dapat memberikan kredit kepada
nasabahnya dan membukukan kredit tersebut ke rekening giro atas nama debitur yang
menerima kredit tersebut.

Perlu diketahui bahwa dalam proses substitusi dan transformasi terdapat kemungkinan terjadinya
perpindahan bentuk dari uang giral ke uang kuasi melalui pemindahbukuan. Hal tersebut dapat terjadi
karena dalam praktik suku bunga deposito berjangka pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
jasa giro. Namun, pergeseran tersebut tergantung pada daya tarik simpanan dalam bentuk tabungan
atau deposito berjangka dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk giro. Sementara itu, dalam
proses pemberian kredit pada umumnya tidak dibukukan sebagai tabungan atau deposito karena, pada
umumnya, suku bunga pinjaman lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga tabungan atau deposito.

Proses di mana uang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada oleh bank komersial adalah fractional
reserve banking. Dikatakan diciptakan dari sesuatu yang tidak ada karena pada dasarnya Bank Sentral
tidak mencetak penambahan tersebut dalam uang kartal. Penambahan uang tersebut hanya ada dalam
akuntansi perbankan, tetapi dalam ekonomi riil penambahan uang tersebut dapat digunakan sebagai
alat transaksi. Perbankan dapat menciptakan jenis lain dari fiat money, yaitu uang bank melalui
penciptaan simpanan yang berlipat. Menurut Irving Fisher (1867-1947), pendiri aliran Fisherian, dalam
bukunya Purchasing Power of Money, uang bank baik dalam bentuk cek, giro, ataupun bentuk-bentuk
lainnya bukanlah uang, melainkan hanya perintah tertulis untuk melakukan transfer uang.

Penciptaan uang melalui fractional reserve banking system ini meningkatkan money supply dalam
perekonomian yang akan menyebabkan inflasi (Meera et.al.2009). Sementara itu Chapra (1985)
berpendapat bahwa GWM hanya dibebankan pada rekening giro (transaction account) yang dalam
konsep perbankan syariah merupakan titipan (wadiah). Sementara simpanan dalam bentuk investment
account (deposito) yang dalam konsep perbankan syariah merupakan rekening mudharabah tidak
dikenakan GWM karena dapat disetarakan dengan penyertaan modal (ekuitas) pada bank syariah.
Ilustrasi mengenai proses penciptaan berlipat yang terjadi dalam sistem perbankan saat ini secara
sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

Jika cadangan wajib ditetapkan 8%, simpanan yang setorkan Rp 1 juta, pertama-tama simpanan
dibukukan di sisi liability dan cadangan tunai di sisi aset. Bank dapat memberikan pinjaman hingga Rp
1
12,5 juta mengacu pada rumus penciptaan berlipat berdasarkan Meera (2004) sbb: D= xR
r
Keterangan:

D = perubahan dalam total simpanan

R = rasio FRB (missal 8%)

R = perubahan dalam cadangan (misal, simpanan baru Rp 1 juta)

Neraca
Cadangan 1 Juta Simpanan 1 Juta

Neraca
Cadangan 1 Juta Simpanan 1 Juta
Pinjaman 12,5 Juta Simpanan (pinjaman) 12,5 Juta

Gambar 1. Ilustrasi Neraca Perbankan Dalam Penciptaan Simpanan yang Berlipat

Berdasarkan simulasi di atas, simpanan Rp 1 juta dapat menciptakan uang (simpanan) baru 12,5
simpanan awal sebesar Rp 12,5 juta, sehingga total simpanan menjadi Rp 13,5 juta. Dengan demikian,
fractional reserve banking system juga memberikan keuntungan seigniorage yang tidak adil bagi pihak
bank yang melalui sistem ini diberi kuasa untuk menciptakan uang baru (Ascarya, 2007). Penciptaan
uang baru ini juga dapat mengakibatkan daya beli uang secara agregat akan turun atau terjadi inflasi
sesuai dengan persentase uang yang ditambahkan dalam perekonomian. Salah satu cara untuk
mengatasi seignorage dan pencipataan kredit oleh perbankan, menurut ekonom Austria, adalah dengan
menggunakan kombinasi antara standar emas dan 100% reserve bank. Dengan mencetak uang yang
convertible terhadap emas akan mengakhiri terjadinya inflationary government policies karena
peningkatan kuantitas uang harus diimbangi dengan kenaikan cadangan emas. Implikasinya akan
membatasi keleluasaan pemerintah untuk menerapkan anggaran defisit. Dalam sistem ini, seluruh
program pemerintah harus didanai dengan menggunakan taxation baik secara langsung maupun tidak
langsung. Begitu pula penciptaan uang oleh sistem perbankan melalui ekspansi kredit akan dapat
dieliminir.

Kita ketahui bahwa dinamika keuangan global dan nasional yang beberapa dekade terakhir mengalami
banyak guncangan krisis, menghangatkan kembali diskusi tentang pembatasan aktivitas spekulasi dalam
pasar keuangan, mencari alternative aktivitas keuangan yang lebih memiliki daya tahan dari krisis.
Dalam lanskap ekonomi konvensional, layaknya sektor riil, sektor keuangan relatif mandiri dan memiliki
karakter sektornya sendiri. Sektor keuangan berkembang dengan jenis pasar yang beragam, seperti
pasar uang, pasar modal, pasar obligasi dan pasar derivatif. Meskipun produk keuangan di pasar-pasar
tersebut semakin bervariatif, namun pada dasarnya yang menjadi komoditas adalah uang dengan harga
bunga (persentase tertentu dari pokok uang yang ditransaksikan). Sementara itu, karakteristik keuangan
syariah memiliki prinsip yang berbeda, seperti pelarangan bunga (riba) dan pelarangan maysir (spekulasi
atau judi), termasuk prinsip turunannya seperti pelarangan mentransaksikan uang.

Dengan batasan tersebut, sektor keuangan dalam Islam pada dasarnya adalah aktivitas investasi, atau
aktivitas yang memfasilitasi pemilik uang yang ingin memanfaatkan dana yang dimilikinya untuk
mengenerate pendapatan tanpa terlibat langsung dengan aktivitas usaha. Dengan demikian, peran
sektor keuangan dalam Islam sepenuhnya hadir untuk mendukung aktivitas produktif dari ekonomi
(sektor riil). Selaga aktivitas yang ada di sektor keuangan syariah, baik yang ada di perbankan, asuransi
(takaful), pasar modal, pegadaian, dana pensiun maupun lembaga pembiayaan, harusnya berkait erat
dengan transaksi di sektor riil. Setiap transaksi di sektor keuangan syariah harus memiliki underlying
asset berupa barang atau jasa yang memenuhi kaidah syariah (prinsip kehalalan barang dan jasa)
sebagai dasar atau objek transaksi.

Prinsip syariah yang melarang praktik bunga (riba) dan spekulasi (maysir), menempatkan sektor riil
sebagai tempat utama untuk mendapatkan keuntungan usaha. Sumber pertama dan utama untuk
menghasilkan pendapatan yang diperkenankan (halal) secara syariah adalah transaksi jual-beli barang
dan jasa, sedangkan jenis transaksi turunan untuk mendapatkan keuntungan adalah transaksi investasi
(bagi-hasil).

Anda mungkin juga menyukai