Anda di halaman 1dari 15

Kegiatan Belajar 13

KeBanksentralan

Krisis keuangan global 2008/09 kembali menyadarkan sangat vitalnya peran bank sentral dalam
perekonomian. Setiap terjadi krisis, bank sentral menjadi lembaga yang sangat berperan dalam stabilitas
untuk penanganan krisis dan penyelamatan ekonomi. Dalam kasus krisis keuangan global 2008/09,
misalnya, injeksi likuiditas dan penurunan suku bunga secara agresif oleh bank sentral di Amerika Serikat
(AS) dan Uni Eropa (UE) dapat mencegah semakin buruknya dampak krisis sistemik ke seluruh dunia.
Meskipun berjalan lamban dan belum seimbang, pemulihan ekonomi semakin kuat di Amerika Serikat
(AS) dan mulai tampak di Uni Eropa. Krisis keuangan global 2008/09 juga semakin menyadarkan bahwa
kewenangan bank sentral tidak cukup hanya kebijakan moneter untuk stabilitas harga dan mendukung
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga penting perannya dalam stabilitas sistem keuangan. Fungsi bank
sentral sebagai lender of last resort (LOLR) kembali menjadi penyelamat sistem keuangan dari semakin
buruknya krisis sistemik.

Tujuan utama bank sentral untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan melalui
stabilitas harga (atau nilai mata uang) dan stabilitas sistem keuangan dapat dirujuk sejak awal
keberadaannya lebih dari tiga abad yang lalu. Bank of England, misalnya, sejak awal berdirinya di
samping membeli utang pemerintah dan memberikan pinjaman diskonto atas commercial paper kepada
bank-bank, juga berfungsi mencegah kepanikan sistem keuangan dengan fungsinya sebagai LOLR. Akan
tetapi, kondisi ekonomi, pemikiran akademik dan tekanan politik sering menyebabkan pendulum dari
fokus tujuan bank sentral berubah dari waktu ke waktu. Menurut Boediono (2016), sejarah
menunjukkan bahwa secara umum sasaran ekonomi tunduk pada sasaran politik. Tetapi pada masa-
masa tertentu (misalnya, krisis ekonomi), sasaran ekonomi menempati urgensi tinggi dan
mensubordinasi sasaran politik, paling tidak dalam jangka pendek sampai krisis diatasi. Pasca Perang
Dunia II, bank-bank sentral lebih banyak di bawah kendali pemerintah untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Dalam dua dekade sebelum krisis keuangan global 2008/09, pendulum kebijakan bank sentral
kemudian lebih menekankan stabilitas harga dengan instrument suku bunga jangka pendek melalui
penerapan Inflation Targeting Framework (ITF). Keberhasilan bank sentral mendorong pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi dengan inflasi dan suku bunga yang rendah selama lebih dari dua dekade ITF
ini ternyata disertai dengan akumulasi risiko dan kerentanan sistem keuangan yang kemudian berujung
pada krisis keuangan global 2008/09.

Alhasil, bank-bank sentral pasca krisis keuangan global 2008/09 perlu kembali pada mandat awal sejak
berdirinya yaitu stabilitas harga (nilai mata uang) dan stabilitas sistem keuangan. Ini sebagai peran
pokok bank sentral dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan stabiltas
makroekonomi yang terjaga. Pandangan bahwa bank sentral perlu fokus pada pengendalian inflasi
dengan kebijakan moneter seperti ITF tidaklah tepat lagi. Bank sentral harus juga turut menjaga
stabilitas sistem keuangan bersama pemerintah dan otoritas terkait. Mencegah kirisis lebih baik
daripada mengatasi krisis, yang lebih berat dampaknya, besar biayanya, dan sulit menanganinya. Pada
akhirnya jika terjadi krisis, peran bank sentral dalam stabilisasi dan penyelamatan ekonomi yang sangat
diperlukan termasuk fungsinya sebagai LOLR. Peran bank sentral dalam stabilitas keuangan dilakukan
melalui pengaturan dan pengawasan makroprudensial, di samping kebijakan moneter yang ‘leaning
against’ akumulasi risiko stabilitas keuangan serta melalui pengaturan dan pengawasan sistem
pembayaran. Bank sentral perlu pula mempererat koordinasi dengan pemerintah dalam konteks
koordinasi kebijakan makroekonomi dan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas makroekonomi. Demikian pula, koordinasi bank sentral dengan pemerintah dan otoritas
terkait seperti pengawasan jasa keuangan dan asuransi deposito diperlukan untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan.

A. Peran

Awal berdirinya bank sentral dapat ditelusuri pada abad ketujuhbelas dengan pendirian Swedish
Riksbank pada 1668, sebagai bank swasta (joint stock bank) yang berfungsi untuk memberi pinjaman
kepada pemerintah dan sebagai lembaga kliring untuk transaksi keuangan (Bordo, 2007). Kemudian
pada 1694 berdiri Bank of England, yang berfungsi untuk membeli utang pemerintah, pinjaman
rediskonto melalui bank-bank atas commercial paper yang diterbitkan perusahaan untuk perdagangan,
serta pinjaman likuiditas jangka pendek kepada bank-bank yang kemudian dikenal dengan Lender Of the
Last Resort/LOLR (Goodhart, 2010). Dalam periode selanjutnya di Eropa, sejumlah bank sentral didirikan
untuk pembiayaan perang. Sebagai contoh, Banque de France didirikan oleh Napoleon tahun 1800
untuk menstabilkan mata uangnya setelah inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) akibat pencetakan
uang selama revolusi Prancis. Model bank sentral lain yang berfungsi mencetak dan mengedarkan uang,
atau disebut bank giro, adalah Wisselbank Amsterdam pada awal 1800-an (Ugolini, 2011).

Federal Reserve System (the Fed) di AS merupakan salah satu dari bank-bank sentral yang didirikan di
berbagai negara pada pergantian abad ke-20 (Watchel, 2010). Bank-bank sentral ini diciptakan
utamanya untuk mengonsolidasikan berbagai alat pembayaran (uang) menjadi satu alat pembayaran
(uang) yang sah secara nasional serta untuk mewujudkan stabilitas keuangan. The Fed yang didirikan
tahun 1913 sebagai pengganti dua bank sentral di AS sebelumnya yaitu Bank of the United States
(periode 1791-1811 dan periode 1816-1836), misalnya, diberi mandate untuk menyediakan uang yang
seragam dan elastis (uniform and elastic currency), yaitu yang mengakomodasi pergerakan ekonomi
secara musiman, siklikal, dan secular; serta berperan sebagai LOLR untuk stabilitas sistem keuangan
(Bordo,2007). Sebagai catatan, bank-bank sentral di negara berkembang juga awalnya bertindak sebagai
bank sirkulasi dengan mengonsolidasikan berbagai alat pembayaran yang ada, atau menerbitkan uang
baru sebagai alat pembayaran sah, sekaligus sebagai salah satu syarat pendirian suatu negara. Kondisi
serupa juga terjadi di Indonesia dengan pendirian Bank Indonesia dari nasionalisasi De Javasche Bank
yang kemudian mengambil alih fungsi bank sirkulasi dari Bank Negara Indonesia (BNI) unit IV dan
ditetapkan sebagai bank sentral Republik Indonesia sejak tanggal 1 Juli 1953 sesuai Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1953.

Evolusi peran bank sentral dari bank sirkulasi menjadi fungsi-fungsi yang dikenal saat ini. Bank-bank
sentral umumnya diberi hak monopoli untuk mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran
yang sah di suatu negara. Dengan pembukaan rekening bank-bank komersial, bank sentral berfungsi
sebagai ‘banknya bank’ dalam memfasilitasi transaksi seluruh bank dalam sistem perbankan, termasuk
dalam kliring dan penyelesaian akhir (settlement) transaksi melalui rekening bank pada bank sentral
tersebut. Selain fungsi sistem pembayaran ini, bank sentral juga melalukan operasi moneter, dengan
cara seperti rediskonto commercial paper oleh Bank of England, yang sekarang menjadi fungsi kebijakan
moneter. Lebih dari itu, sebagai banknya bank, bank sentral juga berfungsi sebagai LOLR dalam hal
terjadi kesulitan likuiditas, sebagai salah satu fungsi untuk stabilitas sistem keuangan. Fungsi lain bank
sentral pada awal berdirinya adalah pembiayaan fiskal pemerintah, baik untuk pembiayaan perang atau
pembelian utang pemerintah, suatu fungsi yang kemudian dibatasi atau bahkan dilarang karena dampak
buruknya terhadap inflasi dan stabilitas perekonomian.

Secara keseluruhan, bank sentral merupakan otoritas yang bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan
yang berpengaruh terhadap perputaran uang dan kredit di suatu negara. Meskipun dirumuskan
berbeda-beda dalam pengaturan bank sentral di suatu negara dan juga pembahasan di dunia
akademika, empat aspek fungsi dan tujuan berikut ini sering dijumpai dalam sejarh keberadaaan bank
sentral (Bordo,2007; Goodhart,2010; Blinder, 2010). Pertama dan paling penting adalah mencapai
stabilitas harga (atau nilai mata uang) sesuai kebijakan moneter yang dianut, seperti standar emas, nilai
tukar tetap, atau rezim penargetan inflasi. Kedua adalah mengatur dan mengawasi sistem pembayaran,
yang mencakup fungsi mencetak dan mengedarkan uang, mengatur kliring dan penyelesaian transaksi
antarbank, ataupun pengaturan instrument pembayaran. Ketiga adalah menjaga stabilitas sistem
keuangan. Dalam sejarah awal, fungsi ini terkait dengan LOLR, akan tetapi dalam konteks kekinian
mencakup pula pengaturan dan pengawasan makroprudensial. Sementara pengaturan dan pengawasan
individual bank (mikroprudensial) dapat berada di bank sentral atau disatukan ke dalam otoritas jasa
keuangan. Dan keempat adalah stabilitas ekonomi riil, yang sering diartikan sebagai penciptaan
lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada awalnya fungsi ini terkait dengan
pembelian utang pemerintah atau bahkan pembiayaan defisit fiskal, akan tetapi kemudian lebih dalam
bentuk koordinasi kebijakan makroekonomi dan reformasi struktural dengan pemerintah.

Ke mana arah pendulum di antara tujuan-tujuan bank sentral tersebut berubah dari waktu ke waktu,
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, tekanan politik, dan pemikiran akademika. Ke manapun arahnya,
kata stabilitas tidak dapat dilepaskan dari bank sentral, baik dalam artian stabilitas harga (atau nilai mata
uang), stabilitas sistem pembayaran, stabilitas sistem keuangan, ataupun stabilitas ekonomi riil. Dalam
hal ini, Goodhart (2010) membagi tiga episode evolusi fokus dan tujuan bank sentral sejak awal
berdirinya, yaitu: (i) era standar emas dari 1840-an hingga 1914 di mana stabilitas harga dan stabilitas
keuangan relatif terjaga; (ii) dekade bank sentral di bawah kendali pemerintah dari 1940-an hingga akhir
1970-an dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi tertapi dengan stabilitas ekonomi yang terganggu,
dan (iii) periode independensi bank sentral dengan fokus pada stabilitas harga (inflation targeting) dan
mekanisme pasar dari 1980-an hingga 2007, tetapi dengan akumulasi risiko terhadap stabilitas keuangan
meningkat. Tahun-tahun di antara ketiga episode tersebut diwarnai oleh kondisi tekanan perekonomian
atau bahkan krisis keuangan, seperti Perang Dunia I dan II dari 1920-an hingga 1930-an, krisis minyak
dan utang pemerintah pada 1970-an, serta krisis keuangan global 2008/09. Dalam episode normal, kata
stabilitas moneter dan sistem keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan. Akan tetapi, dalam periode krisis ekonomi dan keuangan, kata stabilitas mengharuskan
peran bank sentral untuk melakukan stabilisasi, restrukturisasi, hingga pemulihan ekonomi.

A.1 Era Standar Emas dan ‘Real Bills Doctrine: 1840-1930

Perkembangan menonjol evolusi bank sentral pada periode standar emas adalah terjaganya stabilitas
harga dan nilai tukar, dan bahkan stabilitas sistem keuangan. Pada awal berdirinya, bank-bank sentral di
banyak negara, termasuk the Fed, dibentuk untuk mengelola standar emas yang menjadi sistem
moneter internasional yang dianut pada waktu ini. Sesusai standar emas yang berlaku hingga tahun
1914, setiap mata uang negara dinilai sesuai dengan suatu bobot tertentu atas cadangan emas yang
besar untuk menjamin mata uang negaranya dan dapat dikonversikan ke dalam emas. Dalam hal
cadangan devisa menurun karena defisit neraca pembayaran atau kondisi ekonomi domestik yang
memburuk, bank-bank sentral harus menaikkan tingkat suku bunga diskonto atas pinjamannya kepada
bank-bank komersial. Kenaikan suku bunga di dalam negeri akan menarik masukknya investasi asing dan
karenannya membawa lebih banyak emas untuk menambah cadangan devisa bank sentral.

Dalam standar emas, bank-bank sentral mematuhi aturan untuk menjaga kovertibilitas mata uangnya
terhadap emas di atas pertimbangan yang lain. Konvertibilitas emas berperan sebagai jangkar stabilitas
dalam perekonomian dan kredibiltas bank sentral. Artinya, dengan jumlah uang yang dapat diciptakan
oleh bank-bank sentral dibatasi dengan nilai dari cadangan emas yang dimilikinya, pertumbuhan uang
beredar dan karenanya stabilitas harga dapat terjaga. Dan karena tingkat inflasi dikaitkan dengan harga
emas yang nilai jangka panjangnya ditentukan oleh mekanisme pasar, ekspektasi terhadap harga ke
depan juga dikaitkan dengan harga emas dimaksud. Dengan kata lain, dalam standar emas bank-bank
sentral mempunyai komitmen yang sangat kuat terhadap stabilitas harga. Standar emas juga
mendukung terjaganya stabilitas sistem keuangan, di samping fungsi bank sentral sebagai LOLR. Hal ini
didasari oleh batasan jumlah uang beredar yang konsisten untuk menjaga kovertibilitas mata uang
negara yang bersangkutan terhadap emas. Keharusan kebijakan moneer sesuai standar emas tersebut
akan memberi batasan pula keterkaitan erat mobilisasi dana dan penyaluran kredit oleh bank-bank
komersial dengan pendapatan masyarakat dan kondisi ekonomi riil.

Akan tetapi, dengan kebijakan moneter yang terkendala dengan aturan baku standar emas, bank-bank
sentral kehilangan instrument untuk pertumbuhan ekonomi. Dalam hal terjadi kejutan eksternal,
misalnya terjadi penurunan ekspor sehingga surplus (defisit) neraca pembayaran menurun (membesar),
bank sentral akan mengurangi uang beredar untuk menjaga konvertibilitas mata uang terhadap
cadangan emas. Pengetatan moneter akan berdampak pada penurunan kredit perbankan dan aktivitas
ekonomi riil, termasuk pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Demikianpula, apabila terjadi kejutan
produktivitas yang menyebabkan penurunan penawaran agregat di dalam negeri, pengetatan moneter
diperlukan untuk menurunkan permintaan agregat agar tidak menimbulkan pemburukan neraca
pembayaran yang menyebabkan terganggunya konvetibilitas standar emas. Alhasil, dalam standar emas,
fokus bank sentral hanya pada tujuan stabiitas harga dan stabilitas sistem keuangan, tanpa
mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Isu penting yang sering menjadi perdebatan adalah bagaimana merekonsiliasi standar emas dengan
menjaga stabilitas sistem keuangan. Seperti dijelaskan di atas, kebijakan moneter dalam standar emas
dilakukan dengan pengaturan jumlah uang beredar yang sesuai dengan tujuan menjaga konvertibel
mata uang dengan cadangan emas. Secara operasional, ini dilakukan dengan ‘real bills doctrine’ di mana
bank sentral hanya membeli commercial paper dari perusahaan yang benar-benar terkait dengan
kegiatan ekonomi riil. Karena perkembangan uang beredar terkait langsung dengan
output/perdagangan riil, maka kebijakan moneter mampu menghasilkan stabilitas harga. Demikian pula,
stabilitas nilai tukar juga terjaga karena respons kebijakan moneter bank sentral untuk menjaga
kovertibilitas mata uang sesuai cadangan emas. Bahkan, karena uang beredar terkait langsung dengan
volume kredit dan output/perdagangan riil, maka siklus keuangan dan siklus bisnis berjalan beriringan
tanpa terjadi ekspans kredit secara berlebihan dan penggelembungan harga aset (asset price bubbles),
sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan. Peran bank sentral dalam stabilitas keuangan juga
dilakukan melalui LOLR, yang sesuai kaidah ‘Bagehol” bank sentral memberikan pinjaman likuiditas
jangka pendek kepada bank solven yang memiliki permasalahan likuiditas (illiquid) dengan jaminan surat
berharga yang mudah dicairkan dan suku bunga yang lebih tinggi dari pasar.
Permasalahan muncul dengan penerbitan surat berharga jenis speculative atau finance bills. Jenis surat
berharga ini diterbitkan untuk membeli aset khususnya di pasar modal dan tidak terkait langsung
dengan kegiatan ekonomi riiil. Karenannya, operasi moneter bank sentral umumna tidak dilakukan
dengan membeli jenis finance bills ini, karena akan menimbulkan asset price bubbles yang kemudian
busts sehingga mengakibatkan tekanan inflasi dan ketidakstabilan sistem keuangan (Goodhart,2010).
Kondisi ini terjadi di AS pada tahun 1920-an dan 1930-an di mana sesuai ‘real bills doctrine’ the Fed
menolak membeli ‘finance bills’ yang marak seiring dengan boom pasar modal dan melarang bank-bank
menyalurkan kredit untuk pembelian saham. Dengan kata lain, the Fed melakukan pengetatan moneter
pada 1928 untuk mengimbangi boom Wall Street, yang kemudian menimbulkan resesi dan kejatuhan
pasar saham pada tahun 1929 (Bordo,2007). Permasalahan lain adalah pembelian surat utang
pemerintah oleh bank sentral untuk pembiayaan perang dan atau untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Salah satu alasan kenapa Fed berkeberatan melakukan operasi
moneter ekspansif dengan membeli utang pemerintah dalam periode Depresi Ekonomi tahun 1930-an
karena ketidak-konsistennya dengan kaidah ‘real bill doctrine’ tersebut (Meltzer,2003).

Meskipun standar emas berakhir tahun 1914 dan ‘real bills doctrine’ berlangsung hingga 1930-an,
sejumlah pelajaran menarik dapat ditarik untuk bank sentral dalam konteks kekinian. Secara
keseluruhan, kedua rezim tersebut mampu menghasilkan kerangka teori dan praktik, yang menyatu bagi
bank sentral antara kebijakan moneter (stabilitas harga) dan stabilitas sistem keuangan
(Goodhart,2010). Satu aspek penting adalah pentingnya kredibilitas kebijakan bank sentral yang
didukung oleh standar emas dan ‘real bills doctrine’ tersebut yang mampu menghasilkan stabilitas ini
dalam beberapa aspek dapat dicapai melalui kerangkan ITF dengan kaidah Taylor rule dalam penentuan
respons suku bunga untuk pencapaian suatu target inflasi. Dengan suku bunga riil tertentu sesuai
dengan Taylor rule, harapannya jumlah uang beredar riil dalam ekonomi secara agregat akan sesuai
kebutuhan output riil, meskipun distribusi deposito dan kredit perbankan tidak selalu sesuai dengan
kaidah ‘real bills doctrine’.

Dalam kaitan dengan stabilitas sistem keuangan, dalam ‘real bills doctrine’ selama diskonto dan kredit
bank-bank selalu dikaitkan dengan kegiatan output/perdagangan riil, atau ‘real bills’, dan bukan untuk
spekulasi di pasar modal atau utang pemerintah, atau ‘finance bills’, maka tujuan stabilitas harga dan
stabilitas sistem keuangan keduannya dapat dicapai secara bersamaan. Hal ini tidak dapat dipastikan
dalam hal kebijakan moneter dengan ITF, karena penentuan suku bunga kebijakan pada dasarnya tidak
mempermasalahkan bagaimana dan ke mana intermediasi deposito dan kredit perbankan dilakukan.
Akan tetapi, baik ‘real bills doctrine’ maupun inflation targeting menghadapi permasalahan yang sama,
yaitu inovasi produk keuangan di luar perbankan yang menyebabkan asset price bubbles yang
menimbulkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan. Inovasi produk keuangan dimaksud di luar kendali
uang beredar dan kredit dalam ‘real bills doctrine’, sementara dalam inflation targeting rendahnya suku
bunga jangka pendek sering dikaitkan sebagai penyebab inovasi produk keuangan tersebut. Alhasil, bank
sentral memerlukan insrumen lain untuk menjaga stabilitas keuangan, apakah melalui learning against
the wind dan atau pengaturan dan pengawasan makropudensial.

A.2 Bank Sentral di bawah Kendali Pemerintah: 1940-1970

Selama Perang Dunia II, standar emas terlalu banyak dibebani dengan kebutuhan pebiayaan
permerintah di mana bank-bank sentral kembali ke fungsi awalnya membeli utang pemerintah.
Akibatnya, kombinasi hyper-inflation, resesi, dan ketidakstabilan nilai tukar mengancam kegagalan
sistem moneter internasional. Upaya sejumlah negara untuk mempertahankan standar emas mengalami
kegagalan. Di negara yang kekurangan emas, sepertin Inggris, kembali ke standar emas berarti
pengetatan moneter untuk mengatasi hyperinflasi sehingga memperburuk pengangguran yang sudah
tinggi. Pengamatan Keyness dengan kekakuan pasar tenaga kerjanya menyarankan penggunaan
kebijakan moneter untuk stabilitas output. Sebaliknya, AS, konsisten dengan real bills doctrine, harus
melakukan sterilisasi atas aliran masuk emas dengan pengetatan moneter karena telah tingginya
pertumbuhan uang beredar, kredit, dan harga saham. Kegagalan komitmen bank sentral pada standar
emas pada Great Depression 1929 berujung pada depresi ekonomi yang berat di AS dan juga Eropa,
serta kegagalan dan penutupan ribuan bank di AS.

Akibatnya, seperti biasanya jika terjadi krisis, bank sentral menjadi bagian yang disalahkan. Di banyak
negara, termasuk di AS dan Inggris, fungsi kebijakan moneter bank sentral diambil alih oleh pemerintah
dan sistem keuangan dikenakan pengaturan ketat (Group of Thirty,2015; Goodhart,2010). Sebagai
bagian dari pemerintah, kebijakan moneter bank sentral dipergunakan sebagai instrument pembiayaan
fiskal pemerintah untuk pemulihan ekonomi paska Perang Dunia II. Akibatnya, inflasi kembali meningkat
tinggi meskipun pemulihan ekonomi membaik. Sementara itu, agar tidak menimbulkan ekspansi uang
beredar secara berlebihan, represi finansial diberlakukan dengan pengaturan suku bunga dan
penjatahan kredit perbankan. Sistem asuransi deposito dan sistem financial safety net juga dibentuk
untuk menurunkan jumlah kegagalan bank dan insiden ketidakstabilan keuangan dalam periode 1940
hingga 1980-an. Sebagai catatan, represi finansial di domestik ini menandai awal mulainya operasi
perbankan internasional, antara lain dengan maraknya penerbitan sekuritas Eurodollar di London serta
penerbitan obligasi di Amerika Latin.

Bank- bank sentral kembali mendapatkan fungsi kebijakan moneternya pada tahun 1950-an dan
memfokuskan pada tujuan stabilitas harga yang jadi permasalahan di AS maupun Eropa pada waktu itu.
Hal ini juga sejalan dengan kesepakatan Bretton Woods tahun 1944 dengan nilai tukar tetap yang dapat
disesuaikan (adjustable fixed exchange rate system). Sebagai negara yang masih mempunyai cadangan
emas terbesar, AS menjadi penopang utama sistem ini, dan karenanya sering disebut standar nilai tukar
dolar AS. Akan tetapi, didorong temuan Kurva Phillips yang menunjukkan bahwa pengangguran dapat
diturunkan hanya dengan kenaikan inflasi yang kecil, AS mulai tidak konsisten pada komitmen inflasinya
dengan pelonggaran moneter untuk mengatasi pengangguran. Alhasil, negara lain seperti Jerman yang
konsisten menjaga inflasi dengan penargetan uang beredar mulai memprotes AS dengan ingin menukar
dolar dengan emas. Akibatnya, sistem Bretton Woods berakhir secara formal tahun 1971 ketika Presiden
Nixon menutup jendela penjualan emas AS.

Kejatuhan sistem Bretton Woods disertai dengan kenaikan tekanan inflasi yang tinggi dan depresi di
berbagai negara pada awal 1974. Terbebas dari komitmen internasional, bank-bank sentral
memfokuskan kebijakan moneternya pada penurunan pengangguran yang meningkat tinggi karena krisis
harga minyak 1973. Akan tetapi, kenaikan ekspektasi inflasi secara cepat mendorong banyak bank
sentral menerapkan penargetan uang beredar (monetary targeting) dan mulai menomorduakan
pengangguran. Strategi penargetan uang beredar ternyata kurang mampu mengendalikan inflasi, antara
lain karena permintaan uang tidak lagi stabil sejalan dengan berkembangnya sektor keuangan dan aliran
modal asing. Pada tahun 1979, ketika kenaikan harga minyak terjadi, sebagian besar bank sentral
semakin lebih menekankan pada pengendalian inflasi dibandingkan dengan ‘learning against’ untuk
mengantisipasi kenaikan pengangguran. Aspek penting lain dari kenaikan harga minyak adalah semakin
meluasnya aktivitas perbankan dalam transaksi keuangan internasional untuk ‘recycle’ dana hasil minya
dari negara produsen ke negara Emerging Market Economies (EMEs) pengimpor minyak. Sejumlah
negara EMEs, khususnya di Amerika Latin pada tahun 1970-an, menerbitkan obligasi pemerintah dan
atau menerima pinjaman dari perbankan AS dan Eropa dalam jumlah besar yang kemudian
menimbulkan krisis pada waktu suku bunga meningkat. Di negara maju, permasalahan stabilitas
keuangan juga meningkat di antara bank-bank sentral pada pertengahan 1970-an dengan kegagalan
sejumlah bank yang beroperasi internasional, seperti Franklin National Bank di AS dan Bank Herstatt di
Jerman pada tahun 1974.

A.3 Bank Sental Independen dengan Inflation Targeting: 1980-2007

Tingginya inflasi mendorong banyak bank-bank sentral semakin menekankan pada stabilitas harga. Pada
awalnya kebijakan moneter diarahkan pada pengendalian inflasi melalui penargetan uang beredar
(monetary targeting). Namun demikian, terkendalinya inflasi belum mampu mendorong pertumbuhan,
dan karenanya banyak bank sentral di negara maju maupun EMEs semakin menekankan untuk
membawa inflasi pada tingkat yang rendah. Kerangka kerja kebijakan moneter baru yang dikenal dengan
Inflation Targeting Framework (ITF) yang mulai diperkenalkan oleh New Zealand pada tahun 1998
semakin terkenal. Banyak bank-bank sentral di berbagai negara yang menerapkan ITF tersebut dalam
beberapa variasinya, dari yang sangat ketat hingga yang fleksibel, dengan bobot yang berbeda antara
pencapaian target inflasi dengan dampak trade-off terhadap pertumbuhan ekonomi (output-gap). New
Zealand sebagai salah satu contoh yang menerapkan ITF secara ketat, sementara Federal Reserve AS,
European Central Bank, dan Bank of Japan lebih menerapkannya secara flesksibel dengan
mempertimbangkan pula pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di samping pencapaian sasaran
inflasi.

Beberapa karakteristik dari ITF mendukung komitmen dan kredibilitas kebijakan moneter bank sentral
dalam stabilitas harga (Bernanke et al.,1999; Svenson,1999; King,2004). Dalam beberapa aspeknya,
penerapan ITF mempunyai kesamaan dengan kebijakan bank sentral dalam era standar emas dan ‘real
bills doctrine’. Pertama, komitmen untuk pencapaian suatu target inflasi yang diumumkan. Keberhasilan
mencapai target akan menjangkar ekspektasi inflasi ke depan. Dalam standar emas, komitmen cadangan
emas yang dimiliki bank sentral. Kedua, konsistensi kebijakan moneter untuk pencapaian target inflasi
tersebut, yaitu dengan penentuan suku bunga (misalnya dengan Taylor rule) untuk mencapai sasaran
inflasi dua tahun ke depan. Dalam standar emas, konsistensi ini didukung dengan penargetan uang
beredar sesuai batasan cadangan devisa yang dimiliki untuk memastikan konvertibilitas nilai tukar.
Ketiga, independensi bank sentral dalam kebijakan moneter untuk pencapaian target inflasi tersebut. Ini
dapat dianalogikan dengan mandate bank sentral untuk menjaga konvertibilitas mata uang dalam
standar emas. Keempat, transparansi dan komunikasi bank sentral mengenai inflasi, prakiraan
makroekonomi, dan bahkan arah kebijakan moneter. Ini yang diperkuat dalam ITF untuk mencapai
kredibilitas kebijakan bank sentral yang tinggi seperti halnya dalam era standar emas.

Penerapan ITF sebagai kerangka kerja kebijakan moneter bank sentral memberikan kesuksesan di
sebagian besar negara maju dan banyak negara EMEs (Berg,20130;Taylor,2014). Baik tingkat maupun
volatilitas inflasi menurun tajam di banyak negara. Suku bunga juga semakin rendah dengan inflasi yang
rendah. Lebih dari itu, setelah resesi yang berat dalam periode hingga 1970-an, resesi sejak 1980-an di
banyak negara (termasuk AS) menjadi lebih jarang dan tidak berat. Bahkan, kinerja pertumbuhan
ekonomi semakin meningkat dan mendorong semaraknya perdagangan dan investasi antarnegara.
Boom perekonomian, dengan inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran
menurun, dan suku bunga rendah, yang berlangsung lebih dari dua dekade ini sering disebut dengan era
Great Moderation.

Akan tetapi, pada saat yang sama ketidakstabilan keuangan kembali menjadi permasalahan.
Pertumbuhan kredit yang tinggi, sering terkait dengan pesatnya perkembangan properti dan
perumahan, sebagai penyebab utamanya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan inflasi dan suku
bunga yang rendah mendorong boom berbagai aktivitas ekonomi, domestik maupun internasional.
Deregulasi keuangan yang banyak diluncurkan di berbagai negara pada 1980-an semakin memperkuat
akselerasi keuangan terhadap boom ekonomi. Di AS, misalnya, pencabutan batasan suku bunga
deposito pada lembaga keuangan (saving and loans) pada 1980-an mendorong semakin maraknya
pendanaan jangka pendek untuk kredit perumahan jangka panjang. Akibatnya, ketika suku bunga
kebijakan moneter naik, terjadi kebangkrutan lembaga tabungan dan kredit perumahan tersebut pada
tahun 1990-an. Anjloknya harga saham di AS pada 1987 juga diikuti di negara-negara lain. Krisis
perbankan dan kredit perumahan juga terjadi di Jepang pada awal 1990-an. Selain itu, kegagalan
sejumlah bank yang memberikan pinjaman internasional khususnya ke Amerika Latin pada tahun 1980-
an kembali menjadi ancaman ketidakstabilan keuangan. Boom ekonomi di Asia yang terjadi kemudian
dan dikenal dengan East Asian Miracle juga menarik begitu banyak aliran modal asing, termasuk utang
luar negeri swasta, yang kemudian menimbulkan krisis keuangan Asia 1997/98.

Sementara itu, ekspansi kredit ke sektor swasta, khususnya di sektor perumahan, di AS terus melesat
melebihi pertumbuhan pendanaan deposito bank selama lebih dua dekade (Schularick dan Taylor,2009).
Inovasi keuangan untuk memenuhi boom permintaan kredit telah mengubah model bisnis perbankan,
yang antara lain dicirikan dengan: (i) menjual aset utang (treasury bills dan bond) pemerintah, (ii)
strategi ‘originate to distribute’ dengan sekuritisasi kredit khususnya hipotek perumahan dan
menjualnya ke lembaga keuangan non-bank dan pasar modal; dan (iii) lebih mengandalkan pendanaan
besar (wholesale funding) dengan penerbitan obligasi dan atau sekuritisasi krdit tersebut
(Goodhart,2010). Kesemuanya ini telah meningkatkan perilaku berisiko dan kerentanan sistem
keuangan. Lebih dari itu, dalam periode boom ekonomi dan asset price bubbles, bank-bank
meningkatkan leverage dengan ekspansi kredit berlebihan mendasarkan pada kenaikan nilai harga aset.

Meskipun bank di AS dan Eropa harus memenuhi ketentuan permodalan Basel II, mereka masih dapat
meningkatkan leverage dengan memperbesar portfolio aset dengan peringkat tinggi (AAA) pada
sekuritas berjamin hipotek (mortgage-backed securities/MBS). Prosiklisitas keuagan terjadi juga karena
penilaian risiko dalam permodalan (risk weight asset) dan akuntansi berdasar nilai pasar (mark-to-
market accounting). Dalam periode boom, penilaian risiko terhadap aset cenderung terlalu rendah
sementara kenaikan nilai aset dari penilaian akuntansi meningkatkan permodalan. Inovasi keuangan
dengan tingginya leverage dan perilaku berisiko dalam dua dekade boom ekonomi tersebut akhirnya
berujung pada krisis keuangan global 2008/09 maha dahsyat sejak Great Depression selama September
2008 hingga Maret 2009, yang dampak buruknya dirasakan ke seluruh belahan dunia.

A.4 Bank Sentral dan Krisis Keuangan Global 2008/09

Krisis keuangan global 2008/09 kembali mengharuskan bank sentral untuk melakukan stabilisasi sistem
keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kali ini tindakan yang diperlukan bank sentral tidak cukup
hanya LOLR saja. Bank-bank sentral negara maju juga dituntut untuk melakukan stabilisasi keuangan
pasca krisis dengan perluasan pinjaman likuiditas kepada lembaga keuangan non bank dan pasar
keuangan, dan bahkan juga harus melakukan pelonggaran moneter sangat besar untuk penyelamatan
ekonomi. The Fed AS, misalnya, mengeluarkan empat instrument baru likuiditas baru untuk stabilitas
keuangan, yaitu term auction facility (TAF) untuk pinjaman likuiditas jangka pendek dengan agunan
surat berharga perbankan dan lembaga keuangan nonbank dari Desember 2007 hingga April 2009,
pinjaman untuk fasilitas pembelian Bearn Sterns oleh JP Morgan, dukungan kepada AIG, dan
kewenangan untuk membayar bunga atau giro wajib minimum (Goodfriend,2010). Karenanya, neraca
aset the Fed melonjak dari hanya US$ 0,9 triliun pada Juli 2007 menjadi US$ 2,8 triliun pada Juli 2011.
Setelah itu, the Fed melakukan pelonggaran moneter dalam jumlah besar (quantitative monetary
easing/QE) untuk pemulihan ekonomi dari krisis. Karenanya, neraca aset the Fed melonjak lebih besar
menjadi US$ 4,2 triliun pada April 2014 (Mehrling,2015).

Besarnya biaya penyelamatan krisis dan juga beratnya dampak yang ditimbulkan kembali menyadarkan
bahwa bank sentral tidak boleh hanya diberi mandat kebijakan moneter tetapi juga harus menuntut
menjaga stabilitas sistem keuangan. Bankan mandat bank sentral dalam stabilitas keuangan telah ada
sejak awal berdirinya pada abad ke-17, yaitu dengan bank sentral sebagai banknya bank dalam kondisi
normal dan berfungsi sebagai LOLR dalam kondisi krisis. Dalam konteks kekinian, beratnya dampak dan
besarnya biaya krisis keuangan global 2008/09 menyadarkan bahwa mandat stabilitas keuangan perlu
dilakukan bank sentral untuk lebih baik mencegah daripada mengatasi terjadinya krisis. Fungsi stabilitas
keuangan bank sentral ini perlu dikombinasikan dengan fungsi kebijakan moneter yang dari evolusinya
memerlukan kredibilitas yang kuat seperti halnya dalam era standar emas dan ITF.

Akan tetapi, evolusi bank sentral dalam menjalankan kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan
tersebut banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, tekanan politik, dan pandangan teoritis yang
berkembang. Dalam banyak hal, peran penting bank sentral sering dilupakan dan bahkan dikerdilkan
dalam periode ekonomi membaik atau boom, tetapi sebaliknya perannya sangat diperlukan untuk
stabilisasi dan penyelamatan ekonomi dalam hal terjadi krisis. Kecenderungan perlakuan terhadap bank
sentral seperti ini harus dihentikan. Banyak pelajaran penting berikut yang dapat ditarik dari evolusi
bank sentral sejak awal berdirinya hingga kini, dan krisis keuangan global 2008/09 semakin memperkuat
berbagai upaya yang diperlukan ke depan.

Pertama, stabilitas harga (atau nilai mata uang) tetap harus menjadi mandat pokok bank sentral. Dari
pengalaman di masa lalu, pemanfaatan pencetak uang bank sentral oleh pemerintah untuk pembiayaan
perang, pembelian utang, ataupun pemulihan ekonomi pasca perang telah menimbulkan beban
masyarakat yang berat, dengan inflasi yang tinggi, pertumbuhan yang rendah, dan ketidakpastian
ekonomi. Di pihak lain, komitmen dan kredibilitas bank sentral dalam menjaga konvertibilitas mata uang
pada era standar emas, ataupun mengendalikan jumlah uang beredar sesuai kebutuhan output riil pada
era ‘real bills doctrine’, memberikan stabilitas harga, kepastian usaha, dan pertumbuhan ekonomi.
Demikian pula, kredibilitas penerapan kebijakan moneter ITF sejak dekade 1980-an mampu menurunkan
inflasi dan suku bunga yang rendah, serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam era Great
Moderatin. Perlunya kebijakan moneter menjangkar inflasi ke depan juga didukung sintesa teori
Keynesian-Noeklasik bahwa uang dalam jangka panjang hanya berdampak pada harga meskipun dalam
jangka pendek terjadi trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, krisis keuangan global 2008/09 secara jelas menunjukkan bahwa inflasi yang rendah dari
kredibilitas kebijakan moneter tersebut tidak mampu menjamin stabilitas makroekonomi dan keuangan.
Pandangan sebelum krisis keuangan global 2008/09 bahwa jika bank sentral berhasil menstabilkan
inflasi dalam jangka pendek (dalam dua tahun seperti dalam rezim ITF, misalnya) maka ekonomi akan
menyesuaikan sendiri ke keseimbangan jangka panjangnya (steady state) ternyata tidak benar
(Bario,2011). Pandangan seperti ini menjadi acuan dalam model-model makroekonomi pada waktu isu
yang menyatakan bahwa rigiditas harga sebagai satu-satunya penyebab deviasi ekonomi dari
keseimbangan umum (Woodford,2003; Walsh,2010). Sebaliknya, krisis keuangan global 2008/09
menunjukkan bahwa periode pertumbuhan ekonomi tinggi dengan inflasi dan suku bunga rendah dari
kesuksesan kebijakan moneter ternyata menciptakan benih ketidakstabilan di sistem keuangan. Inovasi
keuangan dan perilaku berisiko telah mengakibatkan akumulasi leverage yang tinggi dengan ekspansi
kredit dan asset price bubbles yang kemudian berujung dengan krisis keuangan global 2008/09 yang
begitu dahsyat.

Kedua, bank sentral perlu kembali diperkuat mandatnya dalam kebijakan moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan sistem pembayaran seperti sejak awal berdirinya. Seperti ditegaskan di atas, begitu
beratnya dampak dan besarnya biaya krisis keuangan global 2008/09 memberi pelajaran berharga
bahwa pencegahan lebih baik dari penanganan krisis. Pengalaman krisis keuangan global 2008/09 ini
membalikkan pandangan sebelumnya bahwa fungsi kebijakan moneter perlu dipisahkan dari stabilitas
keuangan (Borio,2010). Seperti diketahui, pandangan sebelum krisis keuangan global 2008/09
menyebutkan bahwa: (i) kebijakan moneter perlu fokus pada stabilitas harga, (ii) pengaturan dan
pengawasan makroprudensial yang fokus pada kesehatan individual lembaga keuangan dapat dan cukup
untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, (iii) pengaturan dan pengawasan lembaga
keuangan perlu dipisahkan dari bank sentral untuk menghindari konflik kepentingan, dan (iv) bank
sentral cukup berperan sebagai LOLR untuk stabilitas keuangan. Krisis keuangan global 2008/09 secara
jelas menunjukkan pandangan-pandangan ini tidak benar. Ketidakstabilan keuangan muncul justru dari
keterkaitan sistem keuangan dengan makroekonomi dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Krisis
terjadi karena siklus keuangan dengan ekspansi kredit yang terlalu cepat , akumulasi utang atau leverage
yang tinggi, dan asset bubbles yang tidak terkendali. Peran bank sentral dalam turut menjaga stabilitas
sistem keuangan dan mencegah krisis perlu diperkuat dengan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial yang fokus pada perspektif makro-finansial dan risiko sistemik seperti ini (Borio,2010).

Lebih dari itu, krisis keuangan global 2008/09 juga secara jelas menunjukkan bahwa penanganan krisis
melalui suku bunga rendah dan injeksi moneter secara besar-besaran tidaklah selalu efektif dan
memakan waktu lama. Bank-bank sentral negara maju harus bersusah payah memperbesar neracanya
untuk menyehatkan suku bunga jangka panjang dan kondisi keuangan secara keseluruhan dalam
menempuh kebijakan moneter ultra longgar tersebut (Borio dan Disyatat,2010). Pengalaman krisis
keuangan global 2008/09 ini membalikkan pandangan sebelumnya, termasuk dalam ITF, bahwa suku
bunga jangka pendek cukup untuk mentransmisikan pengaruh kebijakan moneter dalam perekonomian.
Kebijakan moneter tidak lagi dapat dilakukan hanya dengan mengendalikan suku bunga jangka pendek,
yang bersamaan dengan pembentukan ekspektasi ke depan, akan menentukan sepenuhnya struktur
suku bunga untuk tenor-tenor selanjutnya (Svensson,2003). Pandangan-pandangan sebelum krisis
keuangan global 2008/09 seperti ini bahkan menafikan kemungkinan bank-bank sentral seperti the Fed,
ECB, dan Bank of Japan akan menurunkan suku bunga nominal hingga nol (Orphanides dan
Wieland,1998; Ahearne et al,2002). Krisis keuangan global 2008/09 juga menunjukkan bahwa berbagai
friksi keuangan terjadi karena inovasi keuangan, asimetri informasi, metode valuasi dan penetuan harga,
dan bahkan perilaku berisiko. Perkembangan ini telah mengakibatkan perubahan mendasar dalam
penentuan suku bunga dan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam perekonomian.
Ketiga, krisis keuangan global 2008/09 menunjukkan bagaimana cepat dan besarnya dampak spillover
dari kebijakan bank sentral di suatu negara ke negara lain. Injeksi likuiditas oleh bank-bank sentral
negara maju telah menimbulkan aliran modal asing yang besar dan apresiasi nilai tukar yang tinggi di
negara-negara EMEs. Akan tetapi, proses normalisasi kebijakan moneter oleh AS sejak Mei 2013 dan
divergensi kebijakan moneter dengan ECB dan Bank of Japan telah menyebabkan ketidakpastian yang
tinggi di sistem keuangan global dengan dampaknya terhadap volatilitas aliran modal asing dan nilai
tukar di EMEs. Krisis keuangan global 2008/09 menunjukkan bahwa globaliasi kebijakan moneter
semakin kuat. Meskipun tidak mengurangi kemampuan dalam mengendalikan kondisi pasar keuangan
dan perekonomian domestik, the Fed semakin memerhatikan aspek global dalam perumusan kebijakan
moneternya (Bernanke,2007). Keterkaitan keuangan antarnegara dalam sistem moneter dan keuangan
internasional juga cenderung mengaplikasi akumulasi ketidakseimbangan keuangan (Borio,2014) dan
aliran modal asing cenderung mendorong ekspansi kredit domestik yang cepat yang kemudian
menimbulkan ketidakstabilan keuangan (Borio et al.,2011). Bahkan, semakin besarnya utang luar negeri
dan obligasi dalam mata uang dolar AS yang diterbitkan oleh negara-negara EMEs, termasuk Asia,
cenderung mempererat dan memperbesar dampak global spillover dari kebijakan the Fed terhadap
kondisi ekonomi dan keuangan di negara-negara EMEs (McCauley et al.,2015).

Pengalaman krisis keuangan global 2008/09 ini membalikkan doktrin ‘keep-your-house-in-order, yang
pernah terjadi sebelumnya, bahwa jika setiap bank sentral bertindak tepat terhadap perekonomiannya
masing-masing maka kondisi moneter dan perekonomian global juga akan sehat. Doktrin seperti ini
dapat dianalogikan dengan pandangan bahwa apabila pengaturan dan pengawasan mikropudensial
dapat menjamin kesehatan individual lembaga keuangan maka stabilitas sistem keuangan juga dapat
terjaga. Doktrin ini menganjurkan bahwa masing-masing bank sentral perlu memfokuskan pada
stabilitas harga di masing-masing perekonomian domestiknya, denggan penerapan ITF misalnya, dan
membiarkan nilai tukar bergerak mengambang bebas (Rose,2007). Dalam banyak aspeknya, pandangan
seperti ini mengasumsikan sistem moneter dan keuangan internasional bekerja secara efisien dan setiap
aset keuangan merupakan substitusi sempurna sehingga hukum ‘law of one price’ dan ‘uncovered
interest parity’ bekerja. Pada kenyataannya, krisis keuangan global 2008/09 menunjukkan pandangan
seperti ini tidak selalu benar, dan karenanya banyak sentral khususnya di negara EMEs harus melakukan
stabilisasi nilai tukar dan manajemen aliran modal asing dalam melindungi perekonomian domestik dari
dampak global spillover tersebut.

Keempat, evolusi peran bank sentral sejak awal berdirinya hingga krisis keuangan global 2008/09
menunjukkan bahwa bank sentral harus dibebaskan dari intervensi politik apabila diinginkan mampu
menghasilkan stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Pengalaman di masa lalu di mana bank
sentral di bawah kendali pemerintah, apakah untuk pembiayaan perang dan atau pembelian utang
pemerintah, selalu mengakibatkan inflasi yang tinggi dan kemudian memperburuk perekonomian.
Dominasi fiskal terhadap bank sentral harus dihindarkan. Akan tetapi, kebebasan atau independensi
kepada bank sentral tersebut bukanlah diberikan secara absolut. Bank sentral harus kuat komitmennya
terhadap mandate yang diberikan agar dapat kredibel, termasuk melalui membangun kerangka
kebijakan, kepemimpinan, dan kapabilitas yang kuat. Akuntabilitas dan transparansi bank sentral harus
diperkuat, baik melalui laporan berkala, testimony di depan parlemen, maupun dengan komunikasi
kebijakan yang ditempuh. Lebih dari itu, independensi bukan berarti bank sentral tidak harus
membangun koordinasi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas terkait. Justri sebaliknya,
independensi bank sentral harus diletakkan dalam inter-dependensi kebijakan makroekonomi, sistem
keuangan, dan bahkan reformasi struktural ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan penciptaan lapangan kerja yang luas didukung oleh stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan
yang terjaga.

B. Fungsi

Goodhart (1991) menjelaskan bahwa seni pengelolaan bank sentral memiliki dua aspek yang saling
berhubungan, yaitu (i) fungsi dan tanggung jawab makro yang terkait dengan arah kondisi moneter
dalam perekonomian secara keseluruhan dan (ii) fungsi mikro terkait dengan kesehatan dan
kesejahteraan dari setiap anggota sistem perbankan di negara tersebut.

Menurut Capie et al, (1994), suatu bank dapat dikatakan bank sentral apabila melakukan setidaknya tiga
hal, yaitu (1) sebagai bankir pemerintah, (2) sebagai pemilik hak tunggal untuk mengedarkan uang, dan
(3) sebagai lender of the last resort. Pernyataan ini sejalan dengan peran bank yang dikategorikan
sebagai bank sentral oleh M.H.D Kock. Menurut M.H.D Kock (1960), bank sentral memiliki berbagai
peran, yaitu sebagai (1) bank sirkulasi, (2) bank, agen, dan penasehat pemerintah, (3) pemegang
cadangan bank umum, (4) pemegang cadangan emas dan devisa negara, (5) bank yang memberikan
rediscount and lender of the last resort, (6) pusat transfer, kliring, dan penyelesaian akhir (settlement),
dan (7) pengendali kredit.

Untuk memahami pengertian bank sentral secara rinci, Singleton, et.all (2006), menyatakan terhadapat
10 fungsi bank sentral sebagai berikut:

1. Penerbit uang atau alat pembayaran yang sah guna memenuhi kebutuhan masyarakat;
2. Pelaksana dan perumus kebijakan moneter;
3. Penyedia jasa perbaankan, agen kepada pemerintah, dan pengelola pinjaman pemerintah;
4. Custodian dari cadangan bank umum dan menyelesaikan transaksi kliring antarbank;
5. Penjaga keutuhan sistem keuangan dan bertindak sebagai an emergency lender of last resort dan
pengawas kehati-hatian perbankan;
6. Pelaksana dari kebijakan pemerintah di bidang nilai tukar dan sebagai kustodi dari cadangan devisa
negara dan membantu negara dalam mengelola cadangan devisa;
7. Pembuat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Terutama di negara berkembang,
bank sentral sering diberi mandate lebih luas untuk memperkuat pembangunan ekonomi;
a. Penasihat pemerintah terkait dengan kebijakan ekonomi. Bank sentral dipandang memiliki
keahlian mengenai hal-hal yang terkait dengan bidang ekonomi dan keuangan;
b. Lembaga yang berpartisipasi dalam kerjasama pengaturan moneter internasional; dan
c. Lembaga yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah sehingga memungkinkan bank
sentral mendapat tugas lain, seperti memberi layanan perbankan kepada public, memberikan
perlindungan nasabah atau operator registri saham.

C. Tugas dan Wewenang Bank Sentral


Berdasarkan tujuan yang harus dicapai, beberapa bank sentral menunjukkan keberagaman dalam
menetapkan tujuan yang akan dicapainya. Sebagian bank sentral memiliki lebih dari satu tujuan seperti
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kestabilan harga. Sedangkan sebagian bank sentral
lainnya hanya fokus kepada kestabilan harga. Menurut Chandavarkar (1996) kebijakan bank sentral pada
dasarnya bertujuan untuk menjaga kestabilan harga dan nilai tukar, menjaga kesinambungan neraca
pembayaran, mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta menciptakan kesempatan
kerja, dan kesejahteraan umum. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada awal perkembangannya bank
sentral memiliki tujuan yang beragam (multiple objectives). Saat ini pun tujuan bank sentral
menunjukkan keberagaman antara lain memelihara stabilita moneter yang tercermin dari stabilitas
harga dan nilai tukar (dalam kapasitas sebagai otoritas moneter/monetary authority), memelihara
stabilitas keuangan (dalam kapasitas sebagai otoritas jasa keuangan/financial supervisory authority dan
atau lender of last resort), serta menunjang pembangunan ekonomi (dalam kapasitas sebagai agent of
development) serta sebagai kasir/bankir pemerintah atau menunjang kebijakan pemerintah.

Berkaitan dengan tugas dan peran bank sentral, praktik bank sentral di dunia yang menunjukkan
keragaman. Namun, pada dasarnya bidang tugas dan peran bank sentral secara umum mencakup bidang
stabilitas moneter, sistem perbankan, dan stabilitas sistem pembayaran. Tugas dan peran bank sentral
tersebut, saat ini semakin berkembang seiring pemikiran bahwa bank sentral juga harus berperan dalam
menjaga kestabilan sistem keuangan. Dengan demikian, bank sentral tidak hanya menjaga stabilitas
perbankan tetapi juga menjaga stabilitas lembaga keuangan nonbank terutama pada lembaga-lembaga
yang berdampak sistemik bagi perekonomian. Baik tujuan pemeliharaan stabilitas moneter dan atau
stabilitas keuangan pada hakikatnya dapat dikatakan menunjang pertumbuhan ekonomi
berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan pemeliharaan stabilitas keuangan dalam konteks industri adalah stabilitas sistem keuangan
dikaitkan dengan tujuan utama yakni memelihara stabilitas moneter. Mengingat stabilitas sistem
keuangan diyakini merupakan syarat untuk pelaksanaan kebijakan moneter yang efektif dan efisien.
Sebagai financial authority, tugas bank sentral mencakup otoritas pengaturan/regulatory authority,
otoritas pengawas/supervisory authority, maupun penyediaan fasilitas pendanaan/pembaiyaan jangka
pendek melalui pelaksanaan fungsi lender of last resort bagi lembaga keuangan. Adapun dalam kaitan
pemeliharaan stabilitas sistem keuangan dengan sistem pembayaran, fungsi bank sentral menjadi lebih
berfokus pada pemeliharaan stabilitas sistem pembayaran antar lembaga keuangan fungsi lende of last
resort dalam rangka menjaga transmisi untuk pelaksanaan kebijakan moneter yang efektif dan efisien.

Selain bertugas menjaga stabilitas moneter, bank sentral juga bertindak sebagai agent of development
dengan statement tujuan adalah mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pembangunan,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan atau menjaga tingkat pengangguran pada tingkat rendah.
Fungsi menstimulasi pertumbuhan ekonomi antara lain dilakukan melalui kewenangan pengaturan
perkreditan dan atau penyaluran kredit.

Namun dewasan ini, tujuan bank sentral sebagai agent of development mulai ditinggalkan. Tujuan bank
sentral secara umum mengalami pergeseran dari yang semula bertujuan lebih dari satu (multiple
objective) menjadi hanya memiliki satu tujuan utama (single objective). Hal ini dikarenakan dalam hal
tujuan lebih dari satu, pelaksanaan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang dimandatkan
sangat mungkin untuk saling bertentangan. Contohnya mandat menstimulasi pertumbuhan ekonomi
yang dilakukan melalui penerapan kebijakan penurunan suku bunga, justru potensi mengakibatkan
tekanan inflasi seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar. Demikian pula mandat menunjang
kebijakan pemerintah terlebih jika mandat ini didefinisikan sebagai kewajiban membiayai defisit fiskal.
Upaya bank sentral untuk meningkatkan kapasitas output perekonomian dan memperluas kesempatan
kerja pada akhirnya berlawanan dengan upaya bank sentral untuk menjaga kestabilan nilai mata uang.
Oleh karena itu, banyak negara yang akhirnya menyesuaikan tujuan bank sentral dari multiple objectives
menjadi single objective yaitu mencapai dan memilahara kestabilan harga.

Bank Indonesia, dewasa ini, misalnya merupakan contoh bank sentral yang memiliki tujuan tunggal yakni
memilihara stabilitas moneter. Adapun Federal Reserve Bank dan Reserve Bank of Australia memiliki
mandat sebagai agen pembangunan di samping otoritas moneter. Pada contoh yang lain, Bank of Japan
dan Bank of India merupakan bank sentral yang memiliki mandat pengendalian moneter dan
pengendalian sistem pembayaran.

Berdasarkan pemaparan evolusi bank sentral di atas, terlihat bahwa tujuan dan tugas bank sentral serta
faktor kondisi lingkungan seperti kondisi sosio-politik, perekonomian dan keuangan memengaruhi
perkembangan tata kelola bank sentral modern. Oleh sebab itu, demi meminimalisasi conflict of interest
serta demi tercapainya sinkronisasi strategi dalam mencapai tujuannya, bank sentral modern saat ini
menerapkan prinsip good corporate governace yang tercermin pada tingkat independensi, transparansi
dan akuntabilitas dari bank sentra.

D. Teori Bank Sentral Prespektif Islam

Bank sentral harus menjadi pusat perbankan Islam, karena hanya melalui usaha kreatif dan sepenuh
hati, sistem perbankan dan uang Islam dapat mencapai aktualisasi diri. Ia harus menjadi sebuah institusi
pemerintah yang otonom yang bertanggung jawab untuk merealisasikan sasaran-sasaran sosio-ekonomi
perekonomian Islam dalam, dan melalui, medan perbankan dan uang.

Seperti halnya dengan bank-bank sentral lainnya, bank sentral Islam harus bertanggung jawab untuk
mengeluarkan uang dengan koordinasi dengan pemerintah, mengusahakan stabilitas internal dan
eksternalnya. Ia harus bertindak sebagai bankir bagi pemerintah dan bank komersial. Ia harus
melakukan persiapan untuk kliring dan penyelesaian cek dan transfer, dan harus bertindak sebagai
lender of the last resort. Bank sentral harus membimbing, melakukan supervise dan regulasi bank-bank
komersial, lembaga keuangan nonbank dan lembaga kredit khusus, korporasi asuransi deposito dan
korporasi audit investasi tanpa harus mengganggu otonomi lembaga-lembaga ini. Tidak seperti bank
sentral konvensional, ia harus juga bertanggung jawab menutup kemungkinan konsentrasi kekayaan dan
kekuasaan di tangan segelintir vested interest melalui lembaga finansial.

Dalam mencapai tujuan-tujuan seperti yang sudah dibahas pada bab I, stabilitas nilai uang riil harus
merupakan fungsi penting dari bank sentral untuk mengaktualisasikan kesehatan dan pertumbuhan
perekonomian Islam yang berkesinambungan dan menjamin keadilan sosioekonomi. Untuk tujuan ini,
bank sentral harus terus memonitor sirkulasi uang, menjamin bahwa pertumbuhan dalam uang tidak
berada di luar jalur pertumbuhan dalam output. Ini tidak mengandung arti bahwa sirkulasi uang hanya
merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi harga. Semua yang dikandungnya adalah bahwa
sirkulasi uang yang mempunyai pengaruh dan bahwa tanpa regulasi yang tepat, salah satu instrument
penting untuk merealisasikan sasaran-sasaran ekonomi Islam akan menjadi hilang.
Bank sentral harus menjadi institusi primer yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan
kebijakan moneter negara. Untuk tujuan ini, ia harus menggunakan instrument dan metode apa saja
yang diperlukan dan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran syariat. Karena bank sentral tidak
dapat menyelesaikan stabilitas moneter tanpa adanya kooperasi dari pemerintah, suatu kebijakan fiskal
yang harmonis sangat diperlukan.

Bank sentral juga akan berperan positif dalam memberikan dorongan, regulasi,d an supervise semua
lembaga finansial dengan tujuan membantu mereka dan membuat mereka menjadi lebih sehat dan
kuat. Untuk tujuan ini, ia dapat melihat ulang semua undang-undang yang berkaitan dengan institusi
finansial berbasis bunga dan melakukan amandemen dan mengundangkan kembali sesuai dengan ajaran
Islam. Undang-undang perbankan yang direformasi harus mencerminkan kebutuhan-kebutuhan yang
berbeda dari sistem Islam. Ia harus dipandang dengan tujuan yang tidak mencekik perbankan, tetapi
justru menjadikan mereka dapat berperan penting dalam perekonomian Islam dan memberikan respons
yang baik kepada kebutuhan-kebutuhan yang sedang berubah dari sistem perbankan Islam. Ia harus
memberikan otoritas bank sentral untuk mewajibkan cadangan modal minimal yang diperlukan dan
rasio likuiditas menurut jenis deposito dan aset bank. Ia harus memberikan perlindungan yang memadai
untuk menjamin keamanan dana deposan dan kesehatan serta perkembangan sistem. Ia juga harus
mencegah direktur bank dan vested interest lainnya untuk mengeksploitasi bank dan sumber-sumber
dayanya untuk tujuan pribadi mereka.

Bank sentral tidak harus membatasi peran regulatornya hanya kepada bank-bank komersial. Tangannya
dan bantuannya harus menjangkau semua lembaga finansial untuk menjamin kesehatan dan
perkembangan dan melindungi kepentingan umum. Jika ada agen pemerintah yang lain bertanggung
jawab untuk mendorong dan meregulasi lembaga-lembaga keuangan selain dari bank komersial, harus
ada koordinasi yang tepat antara bank sentral dan otoritas regulator yang lain untuk menciptakan
keharmonisan dalam fungsi regulator dan promosi.

Anda mungkin juga menyukai