Anda di halaman 1dari 5

Nama : LISA SAPUTRI

NIM : 042654927

Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia ( ESPA4314 )

UPBJJ : Bandar Lampung

Program Studi : 54 / Manajemen-S1

Bismillahirrohmanirrohim ...

Assalamu’alaikum Warrohmatullah Wabarokatuh ...

Berikut adalah jawaban saya pada diskusi 3 disesi 3 ini :

Bandingkan kondisi Perbankan Indonesia saat terjadinya krisis ekonomi 1998 dengan
kondisi perbankan sekarang tahun 2020 ketika dilanda Covid 19.

Jawaban :

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari krisis moneter yang
melanda Asia pada tahun 1997 Puncak krisis perekonomian Indonesia pada tahun 1997-1998,
telah melahirkan perdebatan public, khususnya mengenai pilihan kebijakan (policy response)
yang diambil Pemerintah pada waktu itu. Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling banyak disorot karena menyangkut aliran
dana yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara keuangan
negara pasca krisis.

Pada periode sebelum krisis yakni 1983 sampai 1997 terdapat beberapa kebijakan
deregulasi perbankan.

1. Paket kebijakan yang pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 atau disebut Pakjun
1983. Tujuannya yaitu : Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk mendorong ekspor
non-migas sebagai antisipasi atas penerimaan devisa dari minyak.
2. Paket kebijakan kedua adalah Paket Kebijakan Oktober 1988 atau Pakto 1988.
Tujuannya yaitu : Pakto 1988 ditujukan untuk membuka pasar industri perbankan
nasional
Krisis moneter tersebut berdampak luas dan lama terhadap perekonomian dan khususnya
perbankan di Indonesia. Sebenarnya sejak digulirkannya Pakto’88 sudah dapat terindikasi
lemahnya perbankan Indonesia. Ciri yang memperkuat indikasi tersebut antara lain :

- Rendahnya rasional modal terhadap aktiva produktif,


- Rendahnya persyaratan modal minimum untuk mendirikan suatu bank di Indonesia
(merupakan yang terendah di Asia saat itu),
- Tingginya jumlah kredit yang bermasalah.

Banyaknya jumlah bank sejak kebijakan Pakto’88 menyebabkan terjadinya persaingan


antar bank yang lebih tinggi. Dengan demikian bank cenderung melakukan ekspansi kredit
yang berisiko tinggi. Padahal saat itu analisis kredit dan penanggulangan resiko belum begitu
dipahami. Di bank-bank swasta banyak kredit yang tersedot hanya kepada beberapa
kelompok usaha saja atau individu yang terkait dengan pihak bank. Di bank milik pemerintah
terjadi campur tangan berlebihan sehingga sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang
oleh oknum pejabat.

Mengingat kondisi perbankan saat itu yang kurang kondusif, maka pemerintah melakukan
penjaminan terselubung (implicit guarantee) dari Bank Sentrl agar bank yang tidak sehat
tetap dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan sistemik perbankan. Pengawasan
Bank Sentral saat itu belum dapat mengimbangi perkembangan perbankan yang begitu pesat
dan makin kompleks. Hal itu,membuat potensi krisis menjadi terakumulasi, yang makin
membuat perbankan nasional sangat sensitive terhadap krisis. Banyak bank mengalami
kesulitan likuiditas dan akibatnya fungsi intermediasinya terganggu. Kondisi perbankan yang
demikian menyababkan dampak yang negative bagi perekonomian secara keseluruhan.

Selama Juli hingga Desember 1997 rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar.
Berdasarkan kajian Bank Dunia bertajuk “Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update”
yang diterbitkan pada Juli 1998, nilai rupiah terhadap dolar AS merosot 10,7% pada Juli,
25,7% pada Agustus, 39,8% pada September, 55,6% pada Oktober dan November, serta
109,6% pada Desember.

Pelemahan rupiah pada awalnya terjadi setelah para investor menarik dananya dari Indonesia.
Kondisi itu diperparah karena banyak perusahaan meminjam dalam bentuk valuta asing.
Dalam kondisi rupiah yang jatuh terhadap dolar, porsi utang mereka langsung membengkak.

Korporasi mulai berburu dolar untuk mengantisipasi utang-utang yang jatuh tempo. Ini
lantaran kebanyakan utang korporasi berjangka pendek. Saat rupiah diambangkan atas dolar,
perburuan dolar semakin hebat. Situasinya, pasokan dolar menipis, sementara permintaan
melonjak.

Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) menuliskan pemerintah


dan Bank Indonesia kemudian memperketat kebijakan moneter dan fiskal untuk mengatasi
kondisi tersebut. Dari sisi moneter, suku bunga SBI dinaikkan dari 11,625% menjadi
30%. Gebrakan Sumarlin, yang dilakukan untuk mencegah efek devaluasi pada 1987,
diulang: BUMN-BUMN besar diminta untuk membeli SBI. Dari sisi fiskal, pemerintah
mengatur ulang APBN dan menunda proyek-proyek raksasa yang menyerap dana cukup
besar. Menurut Boediono, total nilai proyek yang ditunda mencapai 13 miliar dolar AS.
Sayangnya, kondisi tak kunjung membaik. Aliran modal keluar semakin besar meski
kebijakan moneter dan fiskal ketat sudah diterapkan. Investor asing terus berbondong-
bondong keluar dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sehingga menyebabkan rupiah
makin melemah dan likuiditas mengering. Di satu sisi, pemerintah semakin kepayahan karena
cadangan devisa kian tergerus untuk mempertahankan rupiah.

Pemerintahan Soeharto akhirnya memutuskan untuk meminta pertolongan IMF. Misi IMF
datang pada 13 Oktober 1997.

Krisis moneter 1997/1998 yang menghantam perbankan nasioanl mendorong pemerintah


dan BI (Bank Indonesia) mengeluarkan serangkaian kebijakan penyelamatan diantaranya
dengan melakukan restrukturisasi, rekapitalisasi, penggabungan, penjaminan, penerbitan
BLBI, setelah kebijakan likuidasi bank berdampak negative bagi merosotnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.

Seakan kejadian tersebut terulang kembali saat ini dunia sedang menghadapi krisis
kesehatan dan krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus corona (Covid-19). Sektor
perbankan tak luput dari dampaknya. Covid-19 memberikan dampak yang besar terhadap
negara khususnya pada sektor ekonomi. Perekonomian mengalami pertumbuhan yang
lamban, banyak aktivitas perdagangan jual beli yang terhenti, para driver ojek online yang
penghasilannya menurun akibat tidak adanya aktivitas di luar rumah, kawasan wisata benar-
benar sepi sehingga tidak ada pemasukan dan aktivitas ekonomi. Jika hal ini terus terjadi, dan
tidak tahu kapan akan berhenti maka dampak yang terjadi akan semakin besar serta bisa
menular ke sektor perbankan dan bank perkreditan.

Tentu peristiwa ini akan sangat mengkhawatirkan, karena mengingat Indonesia


pernah mengalami krisi ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998. Harga-harga barang
konsumsi melonjak tinggi menurunkan daya beli masyarakat, sistem perbankan banyak yang
gulung tikar karena situasi pandemi, gejolak pasar keuangan yang sangat luar biasa dan nilai
mata uang semakin tidak berharga.

Namun tidak dapat di duga, karena pandemi covid-19 ternyata juga dapat
mengkhawatirkan sistem perbankan dan perkreditan rakyat dengan dampak yang sama atau
bahkan lebih parah dari krisis ekonomi.

Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberikan stimulus supaya


perekonomian dapat bergerak lagi. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu tersebut memuat pernyataan, terdapat kesempatan bagi Bank Indonesia untuk
membeli SUN atau SBSN di pasar perdana. Pemberian kebijakan ini tentunya menjadi kabar
menggembirakan karena mendapat pelebaran defisit fiskal. Selain itu, pemerintah
mengelurakan kebijakan dengan memberikan keringanan suku bunga guna memberikan
stimulus moneter supaya nilai mata uang rupiah tidak anjlok.
Stimulus lainnya dari pemerintah yaitu melalui pelonggaran moneter dengan pemangkasan
pemenuhan GWM atau Giro Wajib Minimum. Stimulus ini bertujuan supaya ada tambahan
pada ketersediaan likuiditas bank.

Kebijakan ini bagai angin yang menyejukkan bagi bank perkreditan atau bank
konvensional yang melakukan kegiatan kredit kepada masyarakat. Sebab relaksasi kredit ini
bermakna pemberian kelonggaran baik waktu maupun peraturan terkait pembayaran bunga
utang kredit.

Ketentuan ini terdapat pada pasal 2 PJOK  yang menyatakan bahwa pihak bank, bank
perkreditan ataupun lembaga pembiayaan dapat menerapkan kebijakan ini guna mendukung
stimulus pertumbuhan ekonomi kepada para masyarakat (debitur) yang terkena dampak
Covid-19.

Debitur disini seperti debitur UMKM, debitur perumahan, dan lain-lain yang
mengalami tunggakan kredit. Melalui cara ini, tentunya memberikan keuntungan di sektor
perbankan karena dengan adanya relaksasi dan restrukturisasi tersebut membuat bank dapat
tetap menjaga kualitas kegiatan perkreditannya.

Terdapat dua metode dalam penyelesaian kredit macet. Pertama yaitu melalui
musyawarah kembali antara pihak bank (kreditur) dengan debitur. Kedua, dengan
menyelesaikannya melalui lembaga hukum, seperti PUPN atau Kantor Pengurusan Piutang
dan Lelang Negara (KPKNL)

Sedangkan penyelamatan kredit macet dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu :
1. rescheduling (penjadwalan ulang) sepertu melakukan perpanjangan waktu kredit atau
memperpanjang waktu angsuran.
2. reconditioning (persyaratan ulang), dengan cara mengubah persyaratan kredit
meliputi kapitalisasi bunga, penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu,
penurunan suku bunga ataupun pembebasan bunga.
3. restructuring (penataan ulang), yaitu dengan penambahan jumlah kredit/modal usaha
untuk menghasilkan arus kas dimasa depan atau dengan menambah equity. 
4. Kombinasi, yaitu menggabungkan 3 metode diatas, dan yang terakhir apabila kredit
benar-benar tidak memungkinkan untuk dilanjutkan pembayarannya maka akan
dilakukan penyitaan jaminan.

Kebijakan restructuring (penataan ulang) ini sebenarnya dapat menimbulkan masalah


baru bagi pihak bank (debitur) atau oleh bank perkreditan lain. Berdasarkan survey dari
pemberlakuin metode ini, biasanya bank masih saja mewajibkan pembayaran cicilan bulanan.
Jika dibandingkan, kondisi perbankan lebih berat saat menghadapi krisis akibat pandemi atau
krisis moneter pada 1997-1998? Kondisi perbankan Indonesia di tengah pandemi dinilai
masih stabil dan sehat jika dibandingkan dengan krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998.
Perbandingan tersebut begitu kentara jika membandingkan rasio kredit bermasalah atau non-
performing loan (NPL) masing-masing periode. Direktur Riset Center of Reform on
Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, di tengah pandemi, rasio kredit
bermasalah atau nonperforming loan (NPL) industri perbankan Indonesia masih berada di
bawah 5 persen. Hal tersebut berbeda dengan kondisi krisis ekonomi 1997-1998 dengan rasio
NPL mencapai 50 persen.

Berdasarkan data OJK, rasio NPL perbankan pada September 2020 mencapai 3,15 persen
(gross) dan 1,07 persen (nett). Namun, perlu dicatat, pemulihan ekonomi nasional juga tidak
hanya berganting pada pemerintah meskipun program stimulus akan tetap berlanjut hingga
2021. Pemulihan ekonomi harus melibatkan pihak swasta. Dengan perbankan yang masih
stabil dan sehat, perbankan bisa membantu untuk meningkatkan peran swasta dalam
pemulihan ekonomi lewat penyaluran kredit.

Sumber Referensi :

1. Hamid, Edy Suandi;Perekonomian Indonesia(BMP);1-9/ESPA4314/3 SKS/Edy


Suandi Hamid,-Cet.6;Ed.3-Tangerang Selatan;Universitas Terbuka,2020 (Modul 3)
2. https://tirto.id/krisis-moneter-1997-1998-adalah-periode-terkelam-ekonomi-
indonesia-f6YV
3. https://finansial.bisnis.com/read/20201119/90/1319692/kondisi-perbankan-saat-krisis-
98-dengan-pandemi-lebih-berat-mana

Demikianlah tanggapan saya pada diskusi kali ini, jika terdapat kesalahan mohon arahannya
tutor dan teman teman, cukup sekian dan terimakasih :’)

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ...

Anda mungkin juga menyukai