Anda di halaman 1dari 3

Bandingkan kondisi Perbankan Indonesia saat terjadinya krisis ekonomi 1998 dengan

kondisi perbankan sekarang tahun 2020 ketika dilanda Covid 19. Silahkan dikemukakan
pendapatnya masing masing, jika perlu dukung dengan tabel atau gambar yang menguatkan
pendapat tersebut?

Jawab:

Krisis moneter alias krismon yang diawali melelehnya nilai tukar rupiah pada pertengahan
1997, mengakhiri booming industri perbankan di era 1990-an. Satu per satu bank rontok
dan jadi biang kerok krisis ekonomi sangat parah di Tanah Air. Rupiah, seperti mata uang
negara Asia lainnya terjangkit virus yang lebih dulu menggerogoti baht Thailand di awal
1997. Mata uang Garuda mulai merosot sejak Mei 1997 hingga menembus level Rp 4.650
per dollar AS di akhir 1997. Padahal, akhir tahun sebelumnya, rupiah masih anteng di
kisaran Rp 2.300 per dollar AS. Depresiasi rupiah sontak mengguncang perbankan, karena
bank menyimpan borok di tengah-tengah agresivitasnya. Asal tahu saja, pascapenerbitan
paket deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank di Tanah Air tumbuh bak
cendawan di musim hujan. Bank-bank baru bermunculan seriring kemudahan izin
mendirikan bank. "Saat itu, orang bisa bikin bank hanya dengan modal Rp 1 miliar. Terjadi
liberalisasi perbankan," kata Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, jumat (5/8).
Rupanya, booming perbankan tak dibarengi manajerial yang tepat. Pengawasan otoritas
moneter pun sangat lemah. Banyak bank mengandalkan pinjaman luar negeri (valas)
bertenor pendek. Sayangnya, sebagian besar pinjaman itu tidak dengan mekanisme hedging
atau lindung nilai. Belum lagi, persaingan sengit memicu perbankan menyalurkan pinjaman
untuk bisnis berisiko, seperti properti. Tak hanya itu, lemahnya pengawasan menyebabkan
banyak penyaluran kredit bank swasta yang terkonsentrasi kepada debitur dalam satu grup
(insider lending). Ini memicu tingginya risiko kredit macet. Direktur Currency Management
Group Farial Anwar bilang, aturan saat itu belum seketat sekarang. Sehingga, tak sedikit
bank yang kala itu dikuasai para konglomerat membawa dana masyarakat ke luar negeri dan
ditempatkan di perusahaan dalam grupnya. “Apalagi, kita menganut rezim devisa bebas,
tidak ada aturan yang membatasai dana keluar dari Indonesia,” tutur Farial, Senin (8/8).
Mengutip laporan tahunan BI 1998, jumlah kredit macet di perbankan nasional mencapai Rp
10,2 triliun per April 1997, naik sebesar 7,7% dibandingkan akhir tahun 1996. Kala itu,
"Prinsip prudensial banking tidak berjalan. Dari sisi kesehatan, perbankan sangat rapuh,"
ungkap Enny. Akibatnya, saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di
saat yang sama, debitur yang terpapar krisis kesulitan membayar kewajiban valasnya
kepada perbankan. Dus, bank mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang sangat besar
dan sulit melunasi utang valas bertenor pendek. Sejatinya, sebelum krisis 1997, sudah
terlihat gejala perbankan yang tidak sehat. Buktinya, pada 1992, pemerintah mencabut izin
usaha Bank Summa, karena terlilit kredit macet.

Pengetatan likuiditas Merespons nilai tukar rupiah yang semakin merosot, Bank Indonesia
memperlebar kisaran intervensi nilai tukar. Namun, strategi itu tidak berhasil meredam
gejolak rupiah. Hingga akhirnya BI mencabut rentang intervensi kurs pada Agustus 1997,
karena kewalahan mengintervensi rupiah. Mata uang Garuda langsung terjun bebas. Bank
pun semakin kewalahan. Apalagi, BI melakukan pengetatan likuiditas yang drastis dengan
menghentikan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan mengerek suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Cekikan pengetatan moneter itu membuat perbankan yang
penuh borok megap-megap. Dengan terhentinya dana dari BI, suku bunga kredit antar bank
melonjak. Bank harus bersaing ketat memperebutkan dana masyarakat dengan mengerek
suku bunga simpanan. Imbasnya semakin banyak bank yang kesulitan likuiditas dan bersaldo
debet di sistem kliring Bank Indonesia. Di bawah pimpinan Soedradjad Djiwandono, BI
membuka jalan bagi bank yang kesulitan likuiditas. Pada 15 Agustus 1997, bank sentral
mengizinkan bank tetap beroperasi dan mendapat dispensasi untuk tetap jadi peserta
kliring, meski bersaldo debet. Kebijakan itu tak lepas dari arahan Presiden Soeharto yang
meminta tak ada likuidasi bank menjelang Sidang Umum MPR 1998. Di masa itu, wewenang
BI memang berada dalam lingkup kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter.
Sehingga, setiap tindakan BI tidak terlepas dari koordinasi dengan Dewan Moneter dan
arahan Presiden. Aksi BI itu tak banyak menolong. Akhir Agustus 1997, jumlah bank bersaldo
debet sudah mencapai 20 bank. Kondisi perbankan di Tanah Air semakin genting, bak telur
di ujung tanduk, karena kepercayaan masyarakat terus menguap. Masyarakat mulai
mengamankan simpanannya, dan terus menarik dananya dari bank yang kesulitan likuiditas.
Padahal, saat bersamaan, bank-bank tersebut memiliki letter of credit (L/C) yang telah jatuh
tempo, dan tidak mungkin memenuhi kewajibannya. Akhirnya, mereka meminta bantuan
likuiditas dari Bank Indonesia.
Sedangkan kondisi perbankan saat ini lebih baik dibandingkan saat krisis ekonomi yang
terjadi pada 1998 maupun saat terjadinya taper tantrum 2008. Hal ini tercermin dari masih
longgarnya likuiditas perbankan di dalam negeri.Deputi Gubernur Bank Indonesia Destry
Damayanti mengatakan kecukupan rasio modal perbankan pun masih cukup di tengah
pandemi Covid-19. "Saat ini jadi banyak orang khawatir dengan perbankan, kalau dilihat
secara industri, kondisi kita jauh lebih baik dibandingkan 97-98 ataupun 2008,” ujarnya
‘Peran Perbankan Memulihkan Perekonomian Saat New Normal,’ Jumat (17/7) Berdasarkan
data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2020, rasio kecukupan permodalan (CAR)
perbankan sebesar 22,16 persen atau di atas ketentuan yang sebesar delapan persen.
Hingga 17 Juni, rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK terpantau pada level
123,2 persen dan 26,2 persen jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan
10 persen. Menurutnya saat ini bank sentral telah menurunkan suku bunga acuan 175 basis
poin ke level empat persen. Meskipun kata Destry, penurunan bunga acuan ini belum
direspons cepat oleh perbankan. "Kita sejauh ini sudah menurunkan 175 basis poin, tapi
memang transmisi di perbankannya masih lambat, jadi kita sudah menurunkan 175 bps tapi
suku bunga kredit baru turun sekitar 74 basis poin. Dan banknya juga masih keberatan
untuk memberikan pinjaman, karena melihat risiko,” jelasnya. Ke depan pihaknya bersama
pemerintah berupaya memberikan stimulus berupa program penjaminan agar penyaluran
kredit semakin berjalan. Tak hanya itu, pemerintah juga telah menempatkan dana pada
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) demi pemulihan ekonomi nasional. “Jadi kita mau
tidak mau harus menghadapi situasi yang berbeda, kita harus mempersiapkan kondisi new
normal jadi bisnis as usual mode harus kita tinggalkan karena kita enggak tahu bottom-nya
di mana untuk Covid-19 ini,” Sementara Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menambahkan
bauran kebijakan yang baik dan konstruktif dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia,
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi stimulus yang tepat untuk perbankan nasional,
sehingga dorongan untuk ekspansi bisa diwujudkan. Melalui kebijakan fiskal, sisi permintaan
diupayakan untuk meningkat, sehingga mendorong permintaan kredit baik kredit modal
kerja, kredit investasi maupun kredit konsumtif.

"Alhasil, pertumbuhan kredit secara tahunan diharapkan bisa meningkat dan fungsi
intermediasi berjalan lebih optimal.

Refrensi: Republika.co.id & Lipsus.kontan.co.id

Anda mungkin juga menyukai