Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Peranan pemerintah dalam pembangunan pertanian Indonesia adalah berupa pembuatan kebijakan-
kebijakan yang ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Meskipun kadang kebijakan yang
dibuat pemerintah pun dapat merugikan bahkan memperburuk kesejahteraan petani. Bidangbidang
kebijakan pertanian yang spesifik meliputi kebijakan harga, kebijakan pemasaran, dan kebijakan
struktural. Bidang kebijakan yang lebih khusus lainnya menyangkut pengaturan-pengaturan
kelembagaan baik yang langsung terdapat di sektor pertanian maupun di sektor-sektor lain yang ada
hubungannya dengan sektor pertanian, misalnya landreform, penyuluhan pertanian, dan lain-lain
(Mubyarto, 1989).

1. Kebijakan Harga: Kebijakan Pangan Murah

Secara teoretis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan, yaitu
a. Stabilisasi harga-harga hasil pertanian terutama pada tingkat petani,

b. Meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade),

c. Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga yang diterapkan di Indonesia misalnya kebijakan harga beras minimum dan harga beras
maksimum. Kebijakan ini ditekankan untuk mencapai tujuan yang pertama, yaitu stabilisasi harga hasil
pertanian. Kebijakan umum yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan pangan murah. Hal ini
dikaitkan dengan strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi tinggi. Strategi ini dijalankan dengan mendorong industrialisasi yang berbasis di wilayah
perkotaan. Kebijakan ini justru menghambat perbaikan kesejahteraan petani, selain juga tidak
mendorong perkembangan ekonomi pedesaan.
2. Kebijakan Pemasaran

Kebijakan pemasaran dilakukan untuk memasarkan hasil-hasil pertanian yang bertujuan ekspor, selain
pengaturan distribusi sarana produksi bagi petani. Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang
sehat di antara pedagang dengan melayani kebutuhan petani seperti pupuk, insektisida, pestisida, dan
lain-lain, sehingga petani dapat membeli sarana produksi tersebut dengan harga yang tidak terlalu
tinggi. Perubahan peranan pemerintah karena liberalisasi pertanian telah mengecilkan kemampuan
pemerintah dalam mengatur pasar, sehingga petani kesulitan untuk mendapatkan sarana produksi
tersebut dengan harga yang terjangkau. Hal ini misalnya diindikasikan dengan makin mahalnya harga
pupuk, yang sering disebabkan karena langkanya persediaan di pasaran padahal pemerintah
menjelaskan bahwa pasokan sarana produksi tersebut cukup memadai, bahkan berlebih.

3. Kebijakan Struktural

Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur produksi misalnya luas
pemilikan lahan, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru, dan perbaikan sarana
pertanian yang umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi. Penguasaan aset produktif
berupa lahan yang terlalu kecil dan tidak merata mengakibatkan rendahnya produktivitas yang berimbas
pada sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah
dengan mengatur kembali distribusi pemilikan lahan (land reform) yang diupayakan secara adil dan
demokratis. Kebijakan lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan teknologi lokal
dan mengenalkan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan petani melalui pelatihan-pelatihan dan
penyuluhan yang intensif.

Di samping itu, kebijakan yang terkait dengan upaya pemberdayaan petani adalah kebijakan
penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini ditempuh melalui pembuatan program-program yang
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani, memperkuat kelembagaan kelompok tani, dan
mempermudah akses petani miskin terhadap sarana produksi, pasar, dan pembiayaan usaha tani. Pola
yang lazim digunakan adalah pola kredit bergulir (revolving grant) yang diarahkan sebagai basis
pengembangan lembaga keuangan mikro.

PEMBANGUAN PERTANIAN YANG MENYEJAHTERAKAN PETANI


Mubyarto (2000) menegaskan bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang berorientasi pada
kesejahteraan petani harus berisi kebijakan-kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan, karena
dalam kenyataan petani yang lahan garapannya sangat sempit (petani gurem) selalu berpola nafkah
ganda, yaitu tidak mungkin menggantungkan pendapatannya hanya dari usaha tanisaja tetapi juga dari
usaha-usaha lain (off-farm) di luar usaha tani. Program P4K (Program Peningkatan Pendapatan Petani
Kecil dan Nelayan) di seluruh Indonesia dilaporkan telah berhasil mengembangkan pola usaha dan pola
nafkah ganda usaha tani. Program-program semacam ini harus ditingkatkan oleh pemerintah atau
departemen pertanian agar senantiasa dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Secara spesifik
Mubyarto menguraikan beberapa kebijakan komoditi pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan
petani sebagai berikut.

1. Indonesia patut kembali mewujudkan swasembada beras. Keterbatasan produksi dalam negeri dapat
menyebabkan Indonesia mengimpor beras di pasar dunia. Untuk itu Indonesia harus terus-menerus
memberikan perangsang pada petani produsen beras dalam negeri agar terus bergairah meningkatkan
produksi, jika perlu melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk subsidi kredit usaha tani. Subsidi
pertanian seperti yang diterapkan di negara-negara maju tidak boleh dianggap merupakan kebijakan
yang keliru di Indonesia.
2. Tidak hanya beras tetapi juga komoditi jagung dan kedelai kini diimpor dalam jumlah besar untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Subsektor peternakan Indonesia kini membutuhkan jagung dan
kedelai serta kacang tanah yang merupakan sumber protein nabati yang diperlukan Indonesia setelah
kebutuhan akan karbohidrat terpenuhi. Kebijakan peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian
palawija yang selama ini relatif terlantar sangat dianjurkan sehingga Indonesia tidak “terpaksa” lagi
mengimpor komoditi pertanian tersebut dalam jumlah besar, khususnya dalam mendukung
perkembangan industri peternakan.

3. Jika kini Indonesia mengimpor gula hampir sama besar dengan volume produksi dalam negeri
menimbulkan pertanyaan kebijakan pertanian, apa yang salah di masa lalu? Inpres No. 9/1975 tentang
TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) melarang pabrik-pabrik gula (BUMN maupun pabrikpabrik swasta)
menyewa tanah rakyat untuk menanam tebu dengan alasan naif “tebu harus ditanam oleh petani
sendiri”. Keluarnya Inpres ini membuktikan betapa pemerintah membuat kebijakan tanpa memahami
kondisi riil usaha tani tebu. Inpres No. 9/1975 telah “merusak” atau “menghancurkan” sistem produksi
dan hubunganhubungan produksi dan perdagangan tebu dan gula dalam negeri, yang mengakibatkan
produksi gula Indonesia merosot padahal konsideran Inpres TRI sesungguhnya adalah untuk menaikkan
produksi dan produktivitas gula di dalam negeri. Kita memerlukan pembaruan kebijakan usaha tani tebu
dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik” yang tidak dapat dipisahkan dari
kebijakan harga dasar padi/beras.
4. Untuk mempertahankan perangsang berproduksi bagi petani dalam berbagai komoditi yang
dihasilkannya, pemerintah harus merevitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya
dengan hargaharga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-
obatan (pestisida dan insektisida). Hubungan-hubungan harga-harga yang menarik antara komoditi
pertanian dengan sarana produksi yang diperlukan petani (nilai tukar atau Term of Trade) tidak pernah
secara serius digarap oleh pemerintah dan departemen pertanian. Pendekatan dan pengembangan
sistem agribisnis yang terkesan semakin “agresif” berakibat pada penekanan berlebihan pada aspek
bisnis atau aspek keuntungan dan “efisiensi” berusaha tani, tetapi dengan mengabaikan kenyataan
masih besarnya peran usaha tani subsistem dalam pertanian kita yang tidak harus menomorsatukan
asas efisiensi. Petani miskin dalam pertanian subsistem harus diberdayakan bukanjustru dianggap “tidak
ada”, atau “perlu dihilangkan”, karena harus mengikuti hukum-hukum bisnis pertanian komersial.
Tuntutan yang keliru agar pertanian Indonesia meningkatkan daya saing dengan mengikuti hukum-
hukum persaingan internasional, yang “mengharamkan subsidi”, harus dilawan dengan segala kekuatan
oleh pakar-pakar kita.

Masyarakat miskin di perdesaan yang sebagian besar sebagai petani masih besar. Data BPS (2012)
menunjukkan jumlah penduduk miskin di perdesaan yaitu berjumlah 18,48 juta jiwa atau 15,12 persen
terhadap total penduduk perdesaan. Secara khusus perhatian terhadap kesejahteraan petani padi perlu
menjadi perhatian, karena berkaitan dengan masa depan usahatani padi dalam kesinambungan produksi
padi/beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. masalah-masalah yang dihadapi petani
adalah dalam bidang pemasaran, keterampilan, pengetahuan, sumber daya dan motivasi. Dalam hal
masalah penyelesaian masalah teresebut diperlukan suatu kelompok tani.

Kelompok tani adalah kelembagaan di tingkat petani yang dibentuk secara langsung oleh para petani
secara terorganisir dalam usaha bertani. Kementrian pertanian disini mendefinisikan kelompok tani
sebagai kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan,kesamaan
kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan
mengembangkan usaha para angotanya. Kelompok tani yang dibentuk oleh petani dan untuk petani,
disini guna mengatasi masalah yang dialami oleh para petani serta menguatkan posisi petani, dalam
memasarkan suatu produk pertanian.

Kelompok tani sebagai bagian dari peran dan fungsi dalam suatu penggerakan pemabangunan pertanian
di dalam suatu desa tersebut. kelompok tani inilah yang menjadi pelaku utama didalam suatu
pembangunan pertanian di suatu pedesaan. Dalam hal ini kelompok tani adalah sebagai wadah untuk
membangun suatu pembangunan pertanian seperti peran penyediaan suatu modal, penyediaan
informasi, serta pemasaran produk-produk petani ke pasaran.
Peran kelompok tani lebih kepada suatu gambaran mengenai kegiatan-kegiatan didalam kelompok tani
yang dikelola oleh kesepakatan dari setiap anggota kelompok tani. Kegiatan yang berada didalam
kelompok tani berdasarkan jenis usaha, atau unsur-unsur subsitem agribisnis, seperti didalam suatu
pengadaaan sarana produksi, pemasaran, pengolahan dan sebagaianya. Pemilihan didalam suatu
kelompok tani ini tergantung kepada suatu kesamaan kepentingan, saling percaya, dankeserasian
didalam hubungan antar petani, sehingga bisa menjadi pengikat untuk lebih kuat dalam kelestarian
kehidupan berkelompok, dimana tiap anggotanya menjadi lebih merasa memilki kelompok dan
menikmati suatu manfaat didalam kelompok petani.

Sumber :

ESPA4314 MODUL 2, Kegiatan Belajar 1, hal. 2.9 - 2.10

https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/mimbar-penyuluhan/3965-langkah-operasional-penguatan-
kelompok-tani

Anda mungkin juga menyukai