Anda di halaman 1dari 4

Kondisi Perbankan Indonesia saat terjadinya krisis ekonomi 1998

Krisis Moneter yang dimulai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah pada pertengahan 1997, mengakhiri
ledakan perbankan pada 1990-an. Bank runtuh satu per satu, menjadi akar penyebab krisis ekonomi
negara yang sangat parah. Sejak nilai tukar rupiah melayang, beberapa sektor lainnya ikut carut-marut.
Di sektor ekonomi dan perbankan, anjloknya nilai rupiah secara signifikan membuat pasar modal dan
pasar uang ambles. Tingginya suku bunga juga menjadi penyebab sejumlah bank di Indonesia
mengalami kebangkrutan.
Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga
nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar
utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Akumulasi utang swasta luar negeri yang
sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui
utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official
debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kalau masalahnya hanya
menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan
pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar
negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif
rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar
AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar
rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-
orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap
menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri.
Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar
negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank, 1998: 1.4,
1.10).
Di bawah pimpinan Soedradjad Djiwandono, BI membuka jalan bagi bank yang kesulitan likuiditas. Pada
15 Agustus 1997, bank sentral mengizinkan bank tetap beroperasi dan mendapat dispensasi untuk tetap
jadi peserta kliring, meski bersaldo debet. Kebijakan itu tak lepas dari arahan Presiden Soeharto yang
meminta tak ada likuidasi bank menjelang Sidang Umum MPR 1998. Di masa itu, wewenang BI memang
berada dalam lingkup kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter. Sehingga, setiap tindakan BI
tidak terlepas dari koordinasi dengan Dewan Moneter dan arahan Presiden.
Aksi BI itu tak banyak menolong. Akhir Agustus 1997, jumlah bank bersaldo debet sudah mencapai 20
bank. Akhirnya pada tanggal 1 November 1997 dilakukan likuidasi dengan pencabutan izin usaha 16
bank pada tanggal 1 November 1997 yang diikuti dengan kebangkrutan bank-bank berikutnya yang tidak
terhindarkan membuat sistem keuangan nasional juga ikut porak poranda akibat dari krisis perbankan
nasional kita kala itu.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek
dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak
terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini
adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional.
mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi
Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah
mengembalikan stabilitas sosial dan politik
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa
membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah
sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar
valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar
semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar
AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi
sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Setelah 16 bank dinyatakan sebagai bank dalam likuidasi (BDL) diikuti 4 bank BTO, 10 bank BBO, 39 bank
diputuskan di BBKU. Selain itu dalam upaya pemulihan perbankan, pemerintah melakukan penguatan
modal (rekapitulasi) terhadap 10 BPD dan 9 bank umum. Dengan demikian banyaknya bank yang rontok
pada saat terjadinya krisis perbankan di tahun 1998 dimana juga 4 bank pemerintah di merger menjadi
Bank Mandiri dengan legacynya Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor
Indonesia (BEII) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri.
Dengan demikian, berakhirlah masa booming perbankan nasional yang dibangun berdasarkan Pakto 88
dihabisi oleh krismon yang berubah menjadi krisis multidimensi dan berakhir dengan krisis politik
dengan lengser keprabonnya Soeharto menjadi presiden NKRI dan berakhir pulalah kekuasaan rezim
orde baru dengan meninggalkan warisan berupa berbagai masalah dan beban yang tidak ringan.

Kondisi perbankan tahun 2020 ketika dilanda Covid 19


Dampak pandemi corona yang terjadi di Indonesia diperkirakan akan memicu terjadinya peningkatan
kredit macet (non performing loan / NPL). Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
(BBNI), Ryan Kiryanto, mengatakan untuk kredit macet sebenarnya sudah mulai terlihat peningkatan
untuk beberapa wilayah sebelum adanya covid-19. Pada Februari 2020 saat kondisi masih normal dan
belum ada pengumuman kasus positif covid-19 di wilayah Sulawesi Selatan dan Kepulauan Riau angka
NPL rata-rata sudah di atas 5 persen atau red zone. Untuk di Jawa Tengah angka NPL sudah berada di
level 4 - 5 persen, di Jabodetabek 2 persen, Jawa Barat 2 - 3 persen. Di Sumatera Selatan sebagian ada
yang masih 2 persen secara rata-rata dan ada sebagian juga yang mencapai 3 - 4 persen. Angka NPL ini
berubah drastis ketika wabah corona menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia sehingga membuat
sektor ekonomi termasuk UMKM terkena imbasnya.
Pemerintah juga mengeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.
1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Covid-19 dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan atau Stabilitas Sistem Keuangan yang juga memiliki pengaruh terhadap sektor perbankan.
Guna menghadapi dampak pelemahan sektor jasa keuangan akibat pandemi virus covid-19, OJK
mendapat wewenang baru yang dapat memaksa bank untuk melakukan merger. Tak tanggung-
tanggung, Pemerintah pun menyiapkan sanksi paling besar Rp1 triliun untuk bank yang dengan sengaja
menolak atau mengabaikan dan menghambat konsolidasi. 
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV Mei 2020, inflasi Mei 2020 diperkirakan sebesar
0,09% (mtm) atau secara tahunan sebesar 2,21% (yoy), lebih rendah dari tahun sebelumnya. Inflasi di
bulan Ramadan dan Idulfitri 2020 sangat rendah, hal ini didorong oleh:
a. Penurunan permintaan masyarakat akibat pandemiCovid-19, termasuk dari sisi pendapatan
masyarakat.
b. Rendahnya harga komoditas global yang memengaruhi harga barang impor (imported inflation).
c. Stabilitas nilai tukar yang tetap terjaga.
d. Ekspektasi inflasi terjaga dengan baik yang menunjukkan koordinasi antara pemerintah dan Bank
Indonesia, baik di pusat maupun daerah, berjalan sangat baik sehingga harga barang terkendali serta
pasokan barang dan jasa terjaga.
Perkembangan tersebut mendukung keyakinan bahwa inflasi 2020 akan terkendali dan rendah di kisaran
sasaran 3±1%.
Defisit transaksi berjalan sebesar 3,9 miliar dolar AS (1,4% dari PDB), jauh lebih rendah dari defisit pada
triwulan sebelumnya yang mencapai 8,1 miliar dolar AS (2,8% dari PDB). Penurunan defisit transaksi
berjalan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Peningkatan surplus neraca perdagangan barang dipengaruhi oleh penurunan impor seiring dengan
permintaan domestik yang melambat, sehingga mengurangi dampak penurunan ekspor akibat kontraksi
pertumbuhan ekonomi dunia.
b. Penurunan defisit neraca jasa, dipengaruhi oleh penurunan defisit jasa transportasi sejalan dengan
penurunan impor barang, di tengah penurunan surplus jasa travel akibat berkurangnya kunjungan
wisatawan mancanegara ke Indonesia.
c. Penurunan neraca pendapatan primer sejalan dengan penurunan kebutuhan pembayaran bunga dan
dividen akibat terjadinya capital outflow.
Nilai tukar Rupiah kembali menguat Rp14.670 per dollar AS atau menguat Rp60 perdolar dan
diperdagangkan stabil pada level Rp14.700. Hal ini memberikan keyakinan bahwa nilai tukar rupiah akan
terus menguat menuju kearah tingkat fundamentalnya, dipengaruhi oleh :
a. Inflasi yang rendah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3±1%.
b. Defisit transaksi berjalan yang rendah
c. Aliran masuk modal asing
d. Imbal hasil yang menarik seiring tingginya perbedaan suku bunga (yield spread)
Kondisi nilai tukar rupiah masih undervalued dan belum menguat ke tingkat fundamentalnya. Hal itu
disebabkan oleh faktor premi risiko seiring ketidakpastian di pasar keuangan global. Premi risiko antara
lain diukur melalui CDS (Credit Default Swaps). Sebelum pandemi COVID-19, premi CDS Indonesia
sebesar 66 bps, dan pada puncak pandemi COVID-19 pada minggu II dan III Maret 2020, premi CDS
Indonesia sebesar 245 bps. Seiring dengan meredanya kepanikan pasar keuangan global dan langkah-
langkah antisipasi penyebaran COVID-19, premi CDS Indonesia sekarang menurun menjadi 160bps.
Premi risiko ini diperkirakan akan menurun ke depan.
Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, Heru Kristiyana Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), menyatakan kondisi perbankan nasional saat ini dalam kondisi stabil. Pertumbuhan ini
tentu tak lepas dari digitalisasi perbankan dan perubahan perilaku nasabah yang memanfaatkan layanan
digital untuk melakukan transaksi keuangan agar tak tertular virus Covid-19.
Namun, digitalisasi bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi mempercepat proses transaksi, di sisi lain
digitalisasi membuka 'pintu risiko' baru bagi bank dan nasabah, seperti fraud dan pencurian data pribadi.
Namun, masyarakat juga harus diedukasi agar menaati aturan dalam transaksi digital untuk melindungi
diri mereka sendiri. Caranya, dengan menjaga kerahasiaan password dan mewaspadai tindak kejahatan
di sektor perbankan digital, seperti skimming ATM, phising, dan carding yang makin sering terjadi.
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi ini dengan Pemerintah dan OJK untuk memonitor
secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari
waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk
menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi
Indonesia tetap baik dan berdaya tahan.

Sumber Referensi:
BMP Perekonomian Indonesia ESPA4314
Lepi T. Tarmidi. KRISIS MONETER INDONESIA : SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN
https://lipsus.kontan.co.id/v2/perbankan/read/320/perbankan-dalam-pusaran-krisis-moneter
https://infobanknews.com/krisis-moneter-1998-akhiri-booming-perbankan-nasional/
https://media.neliti.com/media/publications/37924-ID-krisis-ekonomi-indonesia.pdf
https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/Perkembangan-Terkini-
Perekonomian-dan-Langkah-BI-dalam-Hadapi-COVID-19-28-Mei-2020.aspx

Anda mungkin juga menyukai