Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum masa krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
pesat, kurs rupiah cenderung relative stabil. Demikian pula iklim investasi baik
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing
(PMA) meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor
dan pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi
cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar
Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah itu,
belakangan membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi
ekonomi secara global pada tahun 1998. Permasalahan krisis moneter ini bermula
dari gonjang-ganjing krisis di sejumlah negara-negara Asia, seperti Jepang,
Thailand, Malaysia dan sebagainya, termasuk Indonesia.
Krisis di negara-negara maju dan berkembang pada masa itu diawali
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat.
Gejolak ini membuat banyak bank-bank di Indonesia mengalami kerugian,
terutama yang mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing.
Kerugian ini di dukung pula oleh kurang tanggapnya pemerintah dalam
mengantisipasi resesi ekonomi yang ditambah dengan memburuknya arus kas
(cash flow) bank-bank selaku penyimpan dana masyarakat. Kenyataan ini
berakibat pada sulitnya bank-bank selaku penyimpan dana masyarakat. Kenyataan
ini berakibat pada sulitnya bank-bank untuk melakukan likuidasi, sehingga
mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara bersama-sama.
Kepercayaan masyarakat terhadap bank pun menjadi suatu pertanyaan besar,
khususnya Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang bertugas melakukan
pengawasan terhadap bank-bank konvensional maupun bank perkreditan,
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 Jo. UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.

1
B. Permasalahan
Permasalahan krisis moneter pada masa itu memang tidak mudah untuk
diatasi oleh pemerintah, mengingat bahwa pemerintah pada saat yang bersamaan
harus pula memikirkan permasalahan lain yang menjadi tuntutan perubahan
masyarakat, seperti : reformasi hukum, sosial, kesejahteraan, dan sebagainya.
Terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan telah mendorong terjadinya
pembelian valas asing secara besar-besaran oleh masyarakat Indonesia.
Pemerintah melalui kewenangan yang ada padanya akhirnya menerapkan
kebijakan dengan mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
memindahkan dananya ke bank-bank swasta untuk membantu finasial bank yang
masih dimungkinkan untuk diselamatkan. Pemerintah juga melakukan pelebaran
sayap dengan cara melakukan intervensi pasar (intervension market) pada bulan
juli 1997. Namun, fluktuasi nilai rupiah semakin tidak teratasi, bahkan kebijakan
pemerintah cenderung menyebabkan terjadinya kelangkaan likuiditas di
perbankan.
Sedikit banyaknya lahirnya krisis moneter yang tidak terkendali pada era
1998 adalah bagian dari keteledoran pengawasan pemerintah, terutama
menyangkut kurangnya pengawasan pemerintah terhadap lembaga-lembaga
finansial, seperti bank. Deregulasi perbankan tidak didukung oleh peraturan yang
ketat, kuat dan objektif, sehingga pada saat bank-bank melakukan pinjaman luar
negeri, justru nilai rupiah tidak dilindungi dari kurs mata uang asing, khususnya
terhadap Dollar Amerika Serikat. Melihat konteks diatas, dalam hubungannya
dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengatasi krisis moneter yang pernah
terjadi pada masa satu dasawarsa yang lalu, maka tulisan ini ada baiknya
membatasi diri pada uraian deskriktif analisis berkenaan dengan upaya-upaya dan
atau peranan pemerintah dalam mengatasi permasalahan krisis moneter.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Krisis Moneter dan Penyebabnya


Krisis moneter 1998 merupakan suatu sejarah baru dalam pencapaian ekonomi
global, sekaligus babak baru dalam sistem ekonomi liberal yang membawa
dampak langsung terhadap perekonomian negara-negara berkembang, seperti
Indonesia. Krisis moneter yang terjadi pada sejak pertengahan 1997, bahkan
berkembang menjadi krisis ekonomi dan telah menjadi krisis kepercayaan pula.
Masyarakat mempunyai mosi tidak percaya terhadap pemerintahan yang ada. Hal
ini ditandai dengan runtuhnya Rejim Orde Baru yang nota bene dimata dunia
dianggap sebagai salah satu pemerintahan yang dipandang sebagai rejim yang
membangun ekonomi Indonesia secara pesat. Sehingga, dimasa rejim ini tidak
heran apabila Indonesia dipandang negara yang menyandang predikat
swasembada dalam berbagai sector kehidupan.
Kondisi krisis moneter yang dialami pada masa 1998 merupakan masa-masa
sulit yang sangat berbeda dengan kondisi sebelum-sebelumnya. Hal ini dapat
dilihat dari pertumbuhan ekonomi kurun waktu antara tahun 1969-1997 yang
tidak pernah mengalami penurunan, bahkan berdasarkan data Bank Dunia,
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi
paling pesat, bila dibandingan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) perhitungan pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurang lebih secara merata 7 persen pertahun masa itu. Demikian pula
pendapatan perkapita menggambarkan tingkat kemakmuran bangsa naik sebesar 5
persen pertahun. Sedangkan dalam kurun waktu 1985-1997 dapat di ketengahkan
disini, bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 persen pertahun dengan
pendapatan perkapita naik sebesar 5,8 persen pertahun. Sementara itu dari sisi
sumber daya manusia, angkatan kerja semakin dapat ditampung lapangan
pekerjaan yang tersedia, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dalam
rangka memenuhi kebutuhan ekspor Indonesia terhadap negara asing lainnya.
Perlu ditambahkan, bahwa pada masa-masa itu, nilai tukar rupiah terhadap uang

3
asing relatif konstan. Bahkan yang lebih mencegangkan lagi, pada masa antara
tahun 1993-1994 pendapatan negara mengalami surplus.
Berdasarkan perhitungan angka-angka grafik diatas, seharusnya secara fakta
pemerintah Indonesia mampu dengan mudah mengatasi krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1998. Namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan,
karena krisis yang melanda dibarengi dengan multi-dimensi krisis (crisis
multidimetion) seperti semakin melemahnya daya saing ekonomi nasional
terhadapt ekonomi negara asing, dan adanya faktor-faktor pemicu krisis, seperti :
rendahnya produktivitas kerja, minimnya upah pekerja, pengawasan keuangan
yang tidak pada track yang tepat, dan bermunculan praktek oligopoli maupun
monopoli dalam berbagai situasi pasar.
Berbagai kelemahan-kelemahan yang menyebabkan sulitnya diatasi krisis
moneter sebagaimana disebutkan diatas, yang dipacu pula oleh situasi politik yang
tidak menentu. Pada akhirnya, keseluruhan factor-faktor pemicu krisis tersebut
merupakan bentuk nyata dari ketidaksigapan Indonesia (baca : pemerintah) dalam
mengatisipasi krisis. Bahkan apabila dihubungkan dengan cadangan devisa, maka
telah terbukti bahwa pemerintah tidak mempunyai modal yang cukup untuk
mengatasi krisis yang berkepanjangan. Hal ini ditandai dengan ditanda tanganinya
Nota Kesepahaman pinjaman Luar Negeri yang diajukan oleh pemerintah
Indonesia yang selanjutnya disetujui oleh International Moneter Fund (IMF).
Tujuan dana talangan tersebut adalah untuk menyelamatkan bank-bank yang
dimungkinkan dilakukan penyehatan.
Implikasi dari berbagai kelemahan yang dinyatakan diatas, adalah :
(1) Aliran modal berbalik arah dari arus masuk (capital inflow) menjadi keluar
(capital outflow);
(2) Terjadinya kontraksi PDB yang bersumber dari penurunan nya permintaan
domestic;
(3) Meningkatnya jumlah pengangguran dan setengahnya pengangguran.

Ketiga implikasi ini, telah mengurangi dan menurunkan kesejahteraan rakyat


terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menegah kebawah. Factor-faktor

4
penyebab krisis moneter tersebut telah secara merata mengganggu sector
kehidupan masyarakat secara luas. Bahkan setelah satu dasawarsa lebih sejak
krisis terjadi, dampak krisis masih begitu mencengkeram, hal ini ditandai dengan
masih cenderung tingginya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing,
khususnya Dollar Amerika Serikat.

B. Kebijakan Pemerintah Mengatasi Krisis


Kebijakan ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana uraian
diatas, secara serius telah diupayakan diatasi dengan melaksanakan kebijakan
ekonomi, baik makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi
pemerintah sejak masa krisis dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni
pertama : mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan
rendah dan rentan, dan kedua : pemulihan pembangunan ke jalur semula.
Upaya-upaya yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka pemulihkan
perekonomian negara dari dampak krisis moneter 1998 diatas diuraikan sebagai
berikut :
1. Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya
menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing
adalah melalui kebijakan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang dengan
membatasi anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan
dana dari pinjaman luar negeri, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
walaupun pada akhirnya sebagian dana BLBI tersebut ditemukan banyak
penyimpangan dalam penggunaannya. Kebijakan moneter yang ketat dengan
tingkat bunga yang tinggi selain di maksudkan untuk menekan laju inflasi dan
memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, juga dimaksudkan untuk
menahan pemerintahan aggregate da mendorong masyarakat untuk meningkatkan
tabungan di lembaga perbankan, sehingga dalam hal ini dibutuhkan delegulasi
aturan perbankan yang ketat agar masyarakat si pemilik dana mempunyai
kerpercayaan terhadap bank. Meskipun demikian pemerintah menyadari
sepenuhnya bahwa tingkat bunga yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif

5
terhadap kegiatan ekonomi dan bersifat kontradiktif terhadap PDB. Oleh karena
itu, tingkat suku bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi
akan diturunkan secara sewajarnya sampai ke level lajimnya seiring dengan
menurunnya laju inflasi. Mekanisme pemberian suku bunga yang tinggi untuk
penyimpanan dana oleh nasabah merupakan langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah sejak krisis moneter, hal ini dimaksudkan untuk menarik minat
masyarakat menyimpan dananya di bank, sehingga bank mempunyai modal yang
cukup untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman
(kredit).

2. Kebijakan Ekonomi Mikro


Kebijakan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah adalah dengan
mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil-menegah masyarakat (pelaku
usaha) dengan mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang
rendah. Tujuan pemerintah mengambil langkah ini dimaksudkan untuk :
1. Untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok
penduduk berpenghasilan rendah dengan dikembangkannya jaringan
pengaman sosial yang meliputi penyediaan pokok dengan harga terjangkau,
mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada saat
krisis, serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya
beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Salah satu upaya yang
ditempuh pemerintah dalam mengatasi pengangguran saat krisis moneter
adalah dengan mencanangkan dan atau membuat program padat karya untuk
menampung tenaga kera produktif.
2. Menyehatkan sistem lembaga perbankan dan memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan Indonesia. Upaya ini diwujudkan
oleh pemerintah dengan mencari dana talangan yang dipinjamkan ke bank-
bank yang mengalami krisis saldo-debet, sehingga dapat bertahan dari arus
krisis. Pemerintah pun melalui Bank Sentral (Bank Indonesia) memberikan
kucuran dana ke bank-bank swasta yang diperoleh melalui pinjaman luar
negeri.

6
3. Merestrukturisasi hutang luar negeri. Tindakan ini dimaksudkan pemerintah
untuk mempriotitaskan pendanaan-pendanaan yang sangat urgen terhadap
perkembangan ekonomi untuk mengatasi krisis yang ada, sehingga dengan
adanya retrukturisasi utang maka pemerintah dapat melakukan penundaan
pembayaran utang luar negeri Indonesia.
4. Mereformasi struktural di sektor rill, dan
5. Mendorong ekspor.

C. Upaya-Upaya Pemulihan Ekonomi


1. Jaringan Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini sejak krisis moneter 1998 pemerintah telah mengambil
langkah-langkah dengan menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk
subsidi bahan bakar minyak, listrik, dan berbagai jenis kebutuhan makanan
pokok), dilakukannya usaha untuk mempertajam sasaran alokasi anggaran dan
meningkatkan efisien anggaran pembangunan. Hal ini dilakukan melalui
peninjauan kembali terhadap kegiatan dan proyek pembangunan, antara lain
dengan:
a) Menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak
b) Melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang
pendidikan dan kesehatan
c) Memperluas, penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang
kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan
makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya
jalan, irigasi
d) Memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang
sekaligus meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan proyek
pembangunan, total anggaran meningkat secara tajam sejak krisis moneter
tahun 1998. Sebagai implikasi dari jaringan pengaman sosial ini, yang disertai
penyesuaian untuk mempertajamkan alokasi dan peningkatan efisiensi
anggaran pembangunan, pemerintah tidak dapar menghindari terjadinya

7
defisit yang sangat besar, lebih kurang pada masa itu 8,5 persen terhadap
PDB, dalam revisi APBN tahun 1998/1999. Pemerintah sangat menyadari
bahwa defisit anggaran sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak suistanable,
itulah sebabnya mengapa diupayakan penurunan anggaran minimal pada
tahun 1999/2000 dan bertujuan pula untuk melakukan pengimbangan
anggaran untuk masa 3 tahunan kemudian (tahun 2003).

2. Penyehatan Sistem Perbankan


Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, sekaligus untuk
menghindari penarikan dan secara besar-besaran oleh nasabah, maka langkah-
langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan resrukturisasi perbankan yang
ditempuh oleh pemeintah reformasi terdiri dari dua prinsip pokok, yaitu :
a) Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna
mendukung pemulihan ekonomi nasional, melalui :
1) Program peningkatan permodalan bank
2) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan antara lain, mencakup :
- Perijinan bank yang semula dibawah kewenangan Departemen
Keuangan dialihkan ke Bank Indonesia selaku bank sentral;
- Investor asing diberikan kesempatan lebih besar untuk menjadi
pemilik saham di bank-bank (tak heran apabila sejak krisis moneter
bank-bank swasta nasional menjadi berstatus go public secara hukum)
- Rahasia bank yang semula menyangkut sisi active dan pasive diubah
menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
3) Penyempurnaan dan penegakan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
a. Bank-bank diwajibkan menyediakan modal minimum (Capital
Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir
tahun 1999 dan 10% pada tahun 2000, sebagaimana diumumkan
oleh pemerintah.

8
b. Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan
pengurus bank yang telah terbukti melanggar ketentuan hukum yang
berlaku.
b) Kebijakan untuk menyelesaikan masalah perbankan yang telah terjadi dengan
melakukan pemulihan dan penyehatan perbankan.
Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam hal ini adalah
sebagai berikut:
1) Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
2) Di bentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang bertugas untuk
mengurus, mengelola dan atau menjual aset-aset bank yang telah mengalami
likuidasi, termasuk pula membantu penyehatan bank-bank yang masih dapat
ditolong;
3) Melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih
pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya;
4) Disusunnya rancangan undang-undang yang berkenaan dengan
pendongkrakan pembaharuan ekonomi yang berkesinambungan, seperti: UU
Perbankan, Pasar Modal, Inverstasi Asing dan lain sebagainya. Khusus UU
Perbankan No. 10 Tahun 1998, penerapan pasal-pasal kerahasiaan bank,
pengawan, pemilikan asing, kedudukan Bank Sentral lebih menekankan pada
terbukanya pasar sehingga peluang investasi lebih cepat berkembang.

3. Restrukturisasi Utang Luar Negeri


Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank merupakan
penyebab utama dari krisis moneter di Indonesia, yang berakibat pada
melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Oleh karena
itu, untuk mengurangi permintaan mata uang asing dan sekaligus untuk
memberikan kesempatan kepada debitor untuk menyelesaikan utang-utangnya
maka pemerintah melalui mekanisme kesepakatan Frakrut tanggal 4 Juni 1998
telah menyusun kerangka restrukturisasi utang dunia usaha, dan pengaturan
pemberian fasilitas perbankan untuk mengatasi defisit modal pembiayaan.

9
Dalam restrukturisasi tersebut antara debitor dan kreditor (bank-bank)
menyepakati secara sukarela besarnya jumlah utang dan perubahan pinjaman
menjadi equity dan persyaratan pengembalian utang dalam jangka waktu delapan
tahun termasuk masa tenggang waktu tiga tahun, maka untuk merealisasikan
pelunasan utang swasta tersebut telah pula diluncurkan Prakarsa Jakarta yang
memungkinkan para kreditor-debitor menyelesaikan hutang piutang di luar
pengadilan niaga melalui restrukturisasi modal perusahaan.

4. Reformasi Struktural di Sektor Perbankan


Aspek reformasi structural yang diambil pemerintah dalam rangka pemulihan
pasca krisis moneter dimulai dari efisien pengembangan sector rill. Reformasi
srructural ini mencakup :
a) Penghapusan berbagai praktek monopoli (terlihat dengan dibentuknya UU
Persaingan usaha, larangan monopoli saham dalam perseroan, pembentukan
komisi pengawas persaingan usaha);
b) Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang yang berkenaan dengan
pembangunan ekonomi, termasuk perdagangan luar negeri dan bidang
investasi (mekanisme ini antara lain : kemudahan dalam mengurus pendirian
perseroan, kerjasama bilateral dengan Negara-negara maju dalam penanaman
modal, dsb);
c) Privatisasi BUMN (dalam hal ini privatisasi bertujuan untuk memperluas
permodalan perusahaan-perusahaan dalam hal pemerataan ekonomi dan
keterbukaan investasi di Indonesia).

Salah satu penyebab krisis moneter sebagaimana dikemukakan terdahulu


bahwa kurang efisiensinya pengelolaan perseroan (badan usaha) terutama dalam
pengawasan hutang luar negeri. Ketidakefisienan ini dipengaruhi pula oleh faktor
birokrasi yang seringkali merugikan pihak penanam modal asing karena tingginya
pembiayaan (cost) yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pembiayaan
produksi maupun pendirian suatu perseroan. Lebih dari itu, penerapan sistem
birokrasi pemerintahan dalam memberikan ijin pendirian suatu perseroan tidak

10
efisien dan tidak efektif. Hal ini pula yang mendorong lahirnya UU No. 37 tahun
2008 tentang perseroan terbatas. UU ini juga merupakan bagian dari saranan
legalitas dan ekonomis untuk memberikan peluang besar terhadap penanaman
modal asing.
Dalam kaitannya dengan aspek deregulasi dan debirokratisasi diatas, maka
pemerintah telah mencabut berbagai peraturan, antara lain :
a) Peraturan yang menghalangi investasi asing sampai 49% dari perusahaan-
perusahaan yang telah terdaftar di pasar modal;
b) Merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha
yang tertutup bagi investor asing;
c) Mencabut pembatasan investasi asing terhadap perkebunan, perdagangan
eceran dan perdagangan besar, dan
d) Mencabut ketentuan tata niaga yang reskriktif terhadap produksi industri;
e) Menerapkan perdagangan bebas, walaupun masih bersifat parsial, meliputi
daerah-daerah tingkat I dan II proviinsi, serta memberikan kebebasan terbatas
kepada pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama investasi langsung
dengan pihak pemodal asing.

5. Pembaharuan Hukum Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi


Sebagaimana diketahui bahwa secara fatual maupun teoritis bahwa peranan
hukum dalam mewujudkan pembangunan ekonomi Negara merupakan salah satu
syarat mutlak. Dengan kata lain, hukum (baca sistem hukum) merupakan fondasi
yang berfungsi menopang pembangunan ekonomi, khususnya ekonomi yang
berkelanjutan dan mempunyai daya saing secara global dengan Negara-negara
lainnya.
Sejak berlangsungnya masa krisis moneter di Indonesia pada era 1998-an,
maka pemerintah telah pula mengambil langkah-langkah dengan menetapkan
kebijakan di bidang hukum, baik itu penggantian peraturan maupun perubahan,
khususnya menyangkut kebijakan moneter. Hal ini sangat logis, mengingat salah
satu pemicu krisis pada tahun 1998 itu sendiri adalah kurangnya kebijakan
normative-yuridis yang melindungin iklim pertumbuhan ekonomi.

11
Belajar dari pengalaman krisis moneter ini, pemerintah pun semakin cermat
dalam menerapkan kebijakan melalui pemberlakuan peraturan perundang-
undangan (reformasi hukum) yang bertujuan untuk menjaga kestabilan ekonomi
makro dan mikro. Upaya mempertahankan kestabilan ekonomi makro,
mancakup : kebijakan moneter, fisikal, dan nilai tukar. Sementara itu dibidang
mikro, kebijakan yang harus ditetapkan meliputi : pengembangan infrastuktur
ekonomi, seperti : pasar modal, perbankan sebagimana telah disinggung
sebelumnya. Yang mana dua diantara kebijakan tersebut telah beralih menjadi
tugas pemerintah melalui bank Indonesia sejak krisis moneter berlangsung.
Krisis yang berasal dari melemahnya ekonomi mikro secara luas telah
mempengaruhi berbagai sector kehidupan, terutama sektor rill. Padahal, sector rill
merupakan salah satu bangsa pasar yang merupakan bagian dari kegiatan usaha
perkreditan bank. Kurangnya manajemen kredit telah pula mempengaruhi tingkat
kecukupan modal bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga ketika
krisis terjadi lembaga perbankan kewalahan mengatasi besarnya jumlah arus kas
yang dipinjamkan dalam bentuk kredit bila dibandingkan kas masuk.
Pemerintah sejak masa krisis moneter telah melakukan pembaharuan
peraturan hukum yang berkenaan baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun disadari bahwa usaha yang demikian
itu belum sepenuhnya dapat terrealisasi dan membawa hasil yang
menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kebijakan dasar dari UU Hak Cipta
adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atau ciptaannya. Kebijakan
dibidang kepailitan, UU bertujuan untuk membebaskan debitor yang tidak mampu
akibat dampak dari krisis moneter yang terjadi, disamping adanya usaha lain
berupa bantuan dari pemerintah untuk mengambil kembali apa yang menjadi hak
kreditor terhadap debitor yang mampu.
Pembaharuan dibidang hukum ini mencakup usaha luas dari pemerintah,
mulai dari pembaharuan sistem hukum, penataan ulang lembaga hukum, seperti
diciptakannya lembaga peradilan yang bersifat khusus (ad hock), contoh :
Peradilan Niaga, Hubungan Industrial, Perikanan dan sebagainya.

12
Pemberlakuan kebijakan di bidang perbankan sendiri sudah lebih selektif
karena adanya batasan-batasan dan ukuran-ukuran tingkat kesehatan bank, laporan
berkala bank swasta nasional maupun BUMN tentang transaksi, batasan
kerahasiaan bank dalam kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang. Usaha
pembaharuan hukum oleh pemerintah dalam rangka pemulihan negara dari deraan
krisis moneter, sedikit banyaknya telah membawa dampak yang lebih positif,
meskipun kenyataan ini tidak sebanding dengan pengalaman empiris bila
dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainnya. Namun paling tidak,
pemerintah melalui kelembagaannya telah menciptakan iklim perubahan kearah
yang lebih baik terutama dalam rangka membina pelaku usaha untuk membangun
perekonomian Negara.
Dengan peraturan perundang-undangan yang merupakan pondasi
pembangunan ekonomi setelah pasca krisis moneter, maka diharapkan akan
memelihara dan menumbuhkan iklim investasi tanpa harus mengabaikan
kepentingan nasional, terutama kepentingan masyarakat secara luas.
Perbankan sebagai salah satu pintu masuk untuk memperbaiki perekonomian
negara pasca krisis moneter harus benar-benar dilindungi dan sekaligus diatur
secara ketat, baik pengelolaanya maupun pendiriannya mengingat perbankan
sebagai lembaga yang menggerakkan roda perekonomian. Untuk kepentingan itu,
UU Perbank harus selalu disesuaikan dengan perubahan tuntutan kebutuhan
dalam suatu sistem ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam
pasal 33 UUD 1945. Sarana hukum (UU) yang menjadi katalisator kebijakan di
bidang ekonomi disamping sebagai tolak ukur kepatutan, juga berfungsi sebagai
pencita daya saing ekonomi terhadap Negara asing, khususnya iklim investasi.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang penulis uraikan diatas, maka disimpulkan beberapa
langkah yang ditempuh pemerintah sehubungan dengan pemulihan ekonomi pasca
krisis moneter 1998, antara lain :
1. Kebijakan dibidang ekonomi, bersifat makro dan mikro. Dikatakan bersifat
makro mencakup langkah-langkah : pemberian bantuan dana talangan kepada
lembaga perbankan dalam rangka mengimbangi tingkat kecakupan, modal,
dan mempetahankan bank-bank yang masih dapat diselamatkan. Kebijakan
yang bersifat struktural, antara lain : fisikal, moneter, pengelolaan, dan
melakukan restrukturisasi utang luar negeri.
2. Kebijakan dibidang pembaharuan aturan hukum (reformasi hukum), dilakukan
melalui penggantian dana tau pembaharuan aturan hukum yang telah ada,
terutama UU yang mempunyai hubungan langsung dengan pembangunan
ekonomi kerakyataan, seperti : UU Perseroan Terbatas, PMA/PMDN, UU
Perbankan, Niaga, HAKI, dsb.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan olehnya itu saran dan kritik yang
sifatnya membangun sangat kami harapkan dari pembaca.

14

Anda mungkin juga menyukai