MASA kelam krisis moneter pada Tahun 1998 tentu masih kuat dalam ingatan,
kondisi Indonesia terutama pada sektor ekonomi sudah masuk dalam kategori
mengerikan. Banyak masyarakat yang tidak ingin kembali pada masa-masa
krisis tersebut.Trauma jelas menjadi bayang-bayang seluruh masyarakat
Indonesia tentang betapa hancurnya kondisi ekoonomi pada saat itu.
Tahun 2020 tak luput dari ancaman resesi akibat adanya pandemi corona atau
dikenal dengan Covid-19. Kinerja ekonominegara-negara di dunia mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Hal ini sebagai akibat adanya penutupan
sektor-sektor produktif, isolasi atau dikenal dengan lockdown, dan berbagai
macam kebijakan lain yang mengakibatkan turunnya produksi dan penutupan
sementara sektor produktif tersebut.Hal ini jelas menyebabkan peningkatan
pengangguran di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Lima tahun sebelum krisis ’97-98, yakni pada Tahun 1990-1996 perkembangan
perekonomian di beberapa negara Asia Timur sangat menarik perhatian,
termasuk Indonesia. Sebelum terjadinya krisis 98 yang indikasinya mulai
terlihat pada Tahun 1997, pertumbuhan ekonomi indonesia dapat dikatakan
sangat baik.
Kondisi makro ekonomi Indonesia terus meningkat, seperti perkembangan nilai
investasi, aliran modal yang masuk, pergerakan nilai tukar, tingkat
pertumbuhan PDB, hingga terkontrolnya tingkat inflasi.
Pertama, nilai tukar mata uang rupiah tetap yang efektif. Kebijakan nilai tukar
tetap pada saat itu cenderung dipaksakan, pengenaan batasan atas dan batas
bawah terhadap fluktuasi kurs sangat beresiko dengan cadangan devisa
Indonesia yang tergolong kecil yakni USD 19.4 miliar untuk menahan nilai kurs
tetap. Nilai tukar tetap atau lebih tepatnya semi fixedexchanged rate ditujukan
untukmemberikan kepastian kondisi nilai tukaryang stabil, sebagai gambaran
perekonomian negara yang stabil. Namun, dilakukannya kebijakan tersebut
tidak ditopang oleh cadangan devisa yang superior. Jika terjadi shock pada
perekonomian, resiko anjloknya mata uang yang sangat dalam tak dapat
dihindari.
Ketiga, arus investasi asing yang masuk secara besar-besaran dan cepat
dengan pinjaman jangka pendek. Hal ini jelas memperparah kondisi pada saat
itu. Saat kurs jatuh hingga lebih dari tiga kali lipat, sektor swasta maupun
negara yang melakukan pinjaman jangka pendek dan jatuh tempo pada saat itu
dipastikan tidak mampu membayar utangnya. Collaps atau bangkrut tak dapat
dihindari. Modal yang sebelumnnya masuk dengan cepat dan jumlah yang
sangat besar akhirnya menemui titik baliknya, modal keluar semakin deras
dalam waktu yang sangat singkat, nilai tukar pun semakin jatuh. Hal ini
memperparah kondisi ekonomi Indonesia akibat melemahnya sektor keuangan.
Adanya berbagai faktor krisis moneter 98 seperti politik yang semakin buruk,
krisis kepercayaan, pembangunan yang tidak merata, dan kenaikan harga yang
sangat drastis membuat kondisi krisis tak dapat dihindari.
Kondisi Ekonomi sebelum Covid-19 (2020)
Adanya fungsi, tugas, dan wewenang yang jelas dari beberapa lembaga
keuangan jelas memberikan barrier yang lebih tangguh untuk mengantisipasi
sistem keuangan yang buruk. Jika sistem keuangan sehat, maka adanya
goncangan ekonomi baik dari dalam dan luar negeri akan memberikan dampak
yang lebih kecil jika dibandingkan dengankondisi ekonomi Indonesia pada masa
sebelum krisis moneter 1998. Sistem keuangan yang sehat diibaratkan tubuh
yang sehat, jika menghadapi suatu virus akibat lingkungan sekitar, maka tubuh
merespon dengan gejala-gejala seperti flu, atau penyakit ringan lainnya
sebelum imunitas tubuh mengembalikan kondisi menjadi normal kembali.
Berbeda jika kondisi keuangan yang tidak sehat, diibaratkan tubuh yang tidak
sehat pula. Jika tubuh yang tidak sehat dihadapkan pada kondisi lingkungan
yang tidak sehat, maka akan rentan terpapar virus dan mengakibatkan sakit
yang parah. Sehingga untuk memulihkan kondisi tubuh menjadi normal kembali
membutuhkan perawatan yang ekstra dan waktu yang cukup lama.
Nilai tukar rupiah paling rendah terhadap mata uang Dollar pasca krisis’98 yakni
terjadi pada 23 Maret 2020 di masa pandemi Covid-19 yang mendekati 17.000
dari kisaran 14.186 rupiah per 1 USD pada tahun sebelumnya di bulan yang
sama. Penurunan nilai tukar ini pun jika dibandingkan pada saat krisis 98,
rupiah anjlok sebesar hampir 3 kali lipat, nilai tukar rupiah terhadap dollar
anjlok sebesar 10.013,6 dari 2.909,38 pada tahunsebelumnya. Penurunan
tersebut berlangsung cukup lama, bahkan pada Tahun 2001 rupiah masih
berada pada level 10.260,9.
Jika kita lihat anjloknya nilai tukar rupiah pada kisaran level 17.000 tidak
berlangsung lama, pada pembukaan pekan terakhir bulan April (26 April 2020)
rupiah kembali menguat pada level 15.546,80. Penguatan ini didorong oleh
berbagai sentimen kebijakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
Bank Indonesia untuk menstimulus ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Cadangan Devisa yang dimiliki Indonesia saat ini jauh lebih besar jika
dibandingkan pada saat sebelum krismon ’98. Saat ini Cadangan Devisa
Indonesia sebelum adanya pandemi Covid-19 per bulan Desember 2019
(sumber: bi.go.id) sebesar USD 129,183 miliar sangat jauh jika dibandingkan
pada masa pra krisis 98 yang hanya sebesar USD 19.4 miliar.
Dengan jumlah cadangan devisa yang dimiliki saat ini, kemampuan Indonesia
untuk melakukan transaksi Internasional di tengah resesi global dapat ter-cover
untuk transaksi selama 7 bulan, sedangkan berdasarkan World Bank, batas
aman minimal kekuatan cadangan devisa adalah 3 bulan untuk meng-cover
transaksi berjalan.
Penawaran Surat Utang Negara (SUN) dari Pemerintah terhadap Bank Indonesia
pun merupakan suatu langkah yang tepat. Di saat negara lain melakukan
pinjaman pada Dana Moneter Internasional (IMF). Indonesia meminimalisir
tindakan tersebut dengan menawarkan SUN pada pihak dalam negeri sendiri.
Adanya stimulus kelonggaran kebijakan fiskal pada sektor konsumen maupun
produsen merupakan langkah ekspansif yang sangat tepat untuk meminimalisir
efek dari pengangguran akibat dari merebaknya Covid-19.
Adapun World Economic Outlook edisi April 2020 yang dikeluarkan oleh IMF
memperkirakan terjadi kontraksi pada ekonomi global yang turun sebesar -3
persen di Tahun 2020 ini. Di kawasan ASEAN, proyeksi pertumbuhan pada
Tahun 2020 yang masih positif hanya tiga negara yaitu Vietnam (2,7 persen),
Filipina (0,6 persen), dan Indonesia (0,5%). Sedangkan beberapa negara
seperti Thailand dan Malaysia mengalami kontraksi yang cukup dalam yakni
sebesar (-6,7 persen) untuk Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar (-
1,7 persen).
Namun Bank Indonesia tetap optimis, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia
hanya turun di kisaran 2,3 persen dari proyeksi awal sebelumnya 4,2 persen –
4,6 psern.Penulis meyakini bahwa proyeksi dari Bank Indonesia lebih akurat
dari pada rilis World Economic Outlook oleh IMF. Bank Indonesia lebih
mengetahui kondisi dalam negeri dan karakter perekonomian Indonesia dari
dalam.
Kontraksi ekonomi yang menyebabkan resesi global yang menyeluruh jelas tak
dapat dihindari. Penurunan kinerja ekonomi pasti dihadapi oleh Indonesia,
tanpa terkecuali. Hanya saja sebelum terjadinya resesi, maka tak salah jika kita
memiliki kesiapan kondisi fundamental suatu negara termasuk Indonesia.
Dengan kondisi fundamental yang jauh lebih baik daripada masa krisis ’98 tak
salah jika goncangan ekonomi dapat diminamilisir oleh Indonesia agar tidak
jatuh terlalu dalam.
Jika beberapa pihak pesimis Indonesia dapat melalui badai ini dengan baik,
bahkan beberapa memprediksi Indonesia akan lebih parah dari Krisis ’98,
sangat berbeda dengan penulis yang optimis Indonesia mampu melewati
kondisi yang sangat buruk ini dengan baik. Kalaupun terjadi penurunan, tidak
akan sedalam krisis ’98 yang penyelesaiannya membutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk kembali normal.
Tidak ada badai yang tidak berlalu, badai ini pasti berlalu. Apakah setelah badai
berlalu kapal akan tenggelam atau mengalami kerusakan yang masih dapat
diperbaiki setelahnya, tergantung pada kualitas kapal tersebut dan pengendali
kapal tersebut, yang dalam hal ini kualitas kapal digambarkan pada kondisi
ekonomi Indonesia sebelum resesi/krisis, dan pengendali kapal adalah otoritas
keuangan Indonesia yang terdiri dari otoritas fiskal dan otoritas moneter, serta
berbagai otoritas lain yang terkait.