Anda di halaman 1dari 42

Santika

Share knowledge among ourselves

Home
Accounting
Cilegon City
Excel Sharindo
Asma'ul husna
image's Owner

Sunday, August 16, 2015


krisis ekonomi diindonesia

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Dengan memanjatkan puji syukur ke hadiratAllah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah
SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik
dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima
masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Walaikumsalam Wr. Wb

Cilegon, Senin 17 Agustus 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu
peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Beberapa Negara pernah mengalami
yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang
simultan dan memiliki effek yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan
bahwa Krisis moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya
bergantung pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan
terjadinya krisis. Sebagian besar negara-negara di dunia pernah mengalami krisis
ekonomi, bahkan AS juga pernah mengalaminya. Indonesia pun tidak dapat mengelak
dari permasalah tersebut, dimana Indonesia dilanda oleh suatu krisis ekonomi yang diawali dari
krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Kecenderungan
melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998. Sejak berdirirnya orde baru
tahun 1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi
suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks
dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini
terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor
perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor
yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang
besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukarrupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
diuraikan mengenai penyebab- penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia, dampak yang
ditimbulkannya bagi perekonmian domestik, serta kebijakan atau upaya penanggulangannya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari krisis ekonomi dan Bagaimana awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
2. Bagaimana Analisa krisis ekonomi di-era beberapa pemerintahan Republik Indonesia
3. Apa saja faktor penyebab krisis ekonomi
4. Bagaimana dampak terjadinya krisis ekonomi global bagi indonesia
5. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan
6. Bagaimana solusi mengatasi krisis ekonomi oleh pemerintah
7. Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan Asia

C. TUJUAN MAKALAH

1. Menjelaskan pengertian krisis ekonomi dan bagaimana awal terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia
2. Menggambarkan krisis ekonomi di-era beberapa pemerintahan Republik Indonesia
3. Menjelaskan faktor penyebab krisis ekonomi
4. Menjelaskan Bagaimana dampak terjadinya krisis ekonomi global bagi Indonesia
5. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan
6. Menjelaskan Bagaimana solusi mengatasi krisis ekonomi oleh pemerintah
7. Menguraikan pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan Asia

D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada teman-teman semua untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam
masalah krisis ekonomi yang terjadi diindonesia serta kondisi saat pemulihan dari masalah
tersebut. Manfaat lain dari penulisan makalah ini adalah dengan adanya penulisan makalah ini
diharapkan dapat dijadikan acuan didalam menghadapi masalah krisis ekonomi apabila terjadi
lagi dinegara indonesia ataupun negara lain.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Krisis Ekonomi


Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mendefinisikan krisis sebagai suatu situasi yang genting dan gawat, atau suatu
kemelut mengenai suatu kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan.
Ekonomi adalah faktor dasar kebutuhan hidup manusia yang bersifat materil atau fisik atau dapat
dikatakan sebagai tatanan perekonomian di suatu negara. Berdasarkan pengertian tentang krisis
dan ekonomi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi adalah suatu
peristiwa yang genting dan penuh dengan kemelut tentang tatanan kehidupan perekonomian
suatu negara yang merupakan faktor dasar bidang kehidupan manusia yang bersifat materil.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia antara lain disebabkan karena korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN), manipulasi dan praktek-praktek ekonomi yang tidak beretika atau tidak
bermoral. Kondisi itu lalu menghadirkan moral hazard1[1][1] di berbagai sektor ekonomi dan
politik yang harus dipikul dan ditanggung bersama semua elemen bangsa.

1[1][1] Pengertian moral hazard dalam hal ini adalah resiko yang harus ditanggung secara moral.
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang,
kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti
diungkapkan oleh Haris (1998),
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah
sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa,
serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi,
sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang
sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan
pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa
diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan
pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang
di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada
kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri,
sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan
terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta
pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar
hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah. Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara
menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-
kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk
diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang
overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah
berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran
meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh
Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
*Tahun anggaran. Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan
Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan
memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar
AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu,
yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang
intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai
rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah
mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-
1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai
nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998
hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara
Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus
1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi
terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar
valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
a)pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500
menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam
berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-
pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah,
dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali
lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.

B. Masa Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)

Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata
uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di
pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia
dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 =
Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus November 1997) sampai menunjukan
angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai
30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikanleading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable pundsmengalami
kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga
meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan
meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998 Krisis
nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis
ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat
rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan
yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi
bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah.
Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha
dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai
kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai
aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya
juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan
krisis polotik. Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya,
2003) krisis yang melanda.
Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter, Indikatornya :
a. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b. Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c. L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d. Uang beredar terus meningkat.
2. Krisis Perbankan, Indikatornya :
a. Likuidasi bank ditutup
b. Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c. Bank beku operasi dan bank take over
d. Utang luar negeri yang membengkak
e. Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f. Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g. Utang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3. Krisis Ekonomi, Indikatornya :
a. Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b. Stagnasi di sector riil
c. Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d. PHK di berbagai sector riil.

Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang
sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi
selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per
kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI
meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun
1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya
defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok
timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi
kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian
Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun
1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir
tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi
devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.Bulan September 1984,Indonesia mengalami
krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank
negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk
menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit
(Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang
bermula pada tahun 1997.
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan
dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai
tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor
Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam
nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan
adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya
devaluasi rupiah (Tambunan,1998).Sumber: Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar Dari
tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge
Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25
bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap
dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan jual, karena
tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand.
Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi
yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral
Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta
bantuan IMF.
Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai
nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di
Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak
perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.Krisis moneter yang terjadi di
Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan
Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar
anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah.
Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus
merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00
menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah
sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin
menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat
terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman
mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh
lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu
memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalampenggunaannya
banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh
rakyat Indonesia.Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi. Indonesia merupakan salah satu Negara
di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir
dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), Krisis ekonomi yang
dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai
dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per
kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal
collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada
tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan
sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa
diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan
pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang
di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada
kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri,
sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan
terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta
pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar
hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath
Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari
akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde
baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah
berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran
meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh
Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997


1990
Pertumbuhan 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65
ekonomi (%)
Tingkat Inflasi 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60
(%)
Neraca 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021
pembayaran
(US$)

Neraca 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964


perdagangan
Neraca berjalan -3,24 -4,392 -3,122 -2,298 -2,96 -6,76 -7,801 -2,103
Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17.972 4,008 10,589 10,989 -4,845
Pemerintah (neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102
Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10,78
PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833
Cadangan devisa 8,661 9,868 11.611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427
akhir tahun (US$)
(bulan impor 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5
nonmigas c&f)
Debt-service ratio 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0
(%)
Nilai tukar Des. 1,901 1,992 2,062 2,11 2,2 2,308 2,383 4.65
(Rp/US$)
APBN* 3,203 433 -551 -1,852 1,495 2,807 818 456
(Rp.milyar)

*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan
memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS
terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni
dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang
intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai
rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah
mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-
1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai
nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998
hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara
Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus
1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi
terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98.

Negara US$/100 12/3197 Perubahan 5/898 Perubahan Perubahan


Uang lokal (%) (%) Kumulatif
6/3097 6/30-12/31 1/1-5/898 (%)
6/3097-
5/898
Thailand 4,05 2,08 -48,7 2,59 24,7 -36
Malaysia 39,53 25,70 -35,0 26,25 2,1 -33,6
Indonesia 0,04 0,02 -44,0 0,01 -53,0 -73,8
Filipina 3,79 2,51 -33,9 2,54 1,3 -33,0
Hongkong 12,90 12,90 0,0 12,90 0,0 0,0
Korea 0,11 0,06 -47,7 0,07 21,9 -36,2
Selatan
Taiwan 3,60 3,06 -14,8 3,10 1,2 -13,8
Singapura 69,93 59,44 -15,0 61,80 4,0 -11,6
Serosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dSumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar
valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.

C. Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)

Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru


kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada
masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan
ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami
perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang
diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan
kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati. Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang
ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena
BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk
menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional. Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi
merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak
investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2
miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF
dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya
dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari
2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke
sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya
serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.

Sistem pemerintahan

Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek


diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan
ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila,
kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru
dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama
lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-
praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita
masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde
Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu
jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru.
Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan
lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru
terbelenggu oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat
minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang
gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer
untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),
pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal
(neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.

Masa di Era pemerintahan SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye menargetkan penurunan orang
miskin dari sekitar 16 persen tahun 2005 menjadi 8,2 persen tahun 2009 (Hadat : 2007). (Ini
sebelum terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005 dan merebaknya berbagai bencana alam
selama periode 2005 hingga awal tahun 2006 yang membuat jumlah orang miskin di Indonesia
meningkat menjadi 17,75 persen atau sekitar 39 juta jiwa, dan jumlah pengangguran menjadi
40,4 juta orang, atau sekitar 38 persen dari jumlah angkatan kerja (Maret 2006).

Masalah yang ada:


a) Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak
tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah.
b) Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
c) Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional.
Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban
kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien
adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang
terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
d) Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang
semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok
kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan
korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.

Upaya-upaya pemerintahan SBY mengentaskan kemiskinan memberi penekanan terutama


pada aspek-aspek antara lain:
a) bantuan langsung tunai
b) beras untuk rakyat miskin
c) bantuan untuk sekolah/pendidikan
d) bantuan kesehatan gratis
e) pembangunan perumahan rakyat
f) pemberian kredit mikro
g) bantuan untuk petani dan peningkatan produksi pangan
h) bantuan untuk nelayan dan program untuk sektor perikanan
i) peningkatan kesejahteraan PNS, termasuk prajurit TNI dan Polri
j) peningkatan kesejahteraan buruh
k) bantuan untuk penyandang cacat (jaminan sosial)
l) pelayanan publik cepat dan murah untuk rakyat
m) Indonesia masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
n) Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN
o) Konversi minyak tanah ke gas
p) Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB
q) Buy back saham BUMN
r) Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil
s) Subsidi BBM.
t) Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
u) Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008".
v) Pemberian bibit unggul pada petani.
w) Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo

Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo


malah mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo. Indonesia
dibayangi krisis ekonomi warisan eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter
1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula
dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi.
Sampai menjelang krismon 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong.
Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun
tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.
Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu
mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS.
Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk. Demikian
hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak
berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai kota, Suharto
menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar
negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136
miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat jangka
pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari utang Valas tersebut dipakai untuk
membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil
dari proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti
yang belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan
perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok
berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK
massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami kerugian besar
bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun
dihadapkan pada dua pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet
para kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua pilihan
mengandung resiko berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para
pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila
memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami kebangkrutan
massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.
Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank Umum
Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa UU Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK, menurut Sigit, ketika
terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil keputusan karena takut diadili
secara politis dan pidana.
Sigit berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak
menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tapi
Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan,
termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat. Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank
maupun yang non-bank, masih dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah
bermunculan. Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014.
Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp
28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan
perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan
pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank swasta lainnya, yaitu
CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun di akhir 2014; Bank Danamon
rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata
turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih
mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu
naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp 24,2
triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1% menjadi Rp 10,78 triliun.
Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan penurunan laba adalah BTN , yaitu dari
1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun 28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas
seperti minyak sawit, batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para
bankir agar waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-
komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena minyak kelapa
sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan minyak masih merupakan sumber
penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke
yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet
adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20
trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD
sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan
menyalurkan KUR .
Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini
merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis ekonomi 1998 (krisis
moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan,
pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya
perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini
membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang pulang kampung. Sehingga
tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun
analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut rangkumannya
seperti dikutip:
1.Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)
Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas
dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus
sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak
mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai
sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang
penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di
Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow)
yang membuat rupiah melemah.Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini
memicu lebih banyak arus modal keluar, tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari
2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.

2. Pudarnya Jokowi Effect


Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat ini
sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden,
atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. Euforia atas kemenangan Presiden Joko
Widodo tidak bertahan lama, ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Pasca pemilihan
presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati guyuran arus modal masuk
(capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli.
Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah terkikis. Apalagi
fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang
berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi arus modal masuk itu tidak
berkelanjutan, kata Goh.
3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250
Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan
yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi arus modal masuk itu tidak
berkelanjutan, kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya dari dalam negeri,
rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu perkasa terhadap mata uang dunia.
Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia)
yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan
rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp
13.250/US$.
Tantangan yang dihadapi Presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi di bidang ekonomi
tidak mudah. Jika pemerintahan Jokowi mau memenuhi janjinya kepada rakyat Indonesia yang
telah menaruh kepercayaan besar pada dirinya, maka dia harus membuat terobosan penting.
Sejumlah agenda reformasi di bidang ekonomi sudah menunggu. Yang ditunggu oleh publik
bukan sekedar apa daftar niat baik yang mau dilakukan pemerintah Jokowi, tetapi bagaimana dia
akan melakukannya. Beberapa hari sebelum pelantikan Jokowi-JK, Komite Ekonomi Nasional
(KEN) melansir tantangan yang akan dihadapi pemerintahan mendatang. Raden Pardede, Wakil
Ketua KEN, menyebut tiga tantangan besar perekonomian yang akan dihadapi, dan harus
diantisipasi pemerintah.
Tantangan pertama adalah perbaikan ekonomi Amerika Serikat yang berakibat pada naiknya
suku bunga negara tersebut.
Perbaikan ekonomi Negara Paman Sam mempengaruhi nilai tukar dolar terhadap rupiah,
dan berimbas pada banyak aspek finansial di Indonesia. Tantangan kedua perekonomian global
yang bisa semakin melemah. Tantangan ketiga adalah tekanan inflasi jika kenaikan harga
minyak benar-benar dijalankan.
Raden menjelaskan, jika the Fed menaikkan suku bunga agresif dalam waktu dekat,
perekonomian Indonesia akan sangat terpukul karena tengah mengalami twin deficit(transaksi
berjalan dan APBN). Kenaikan suku bunga the Fed diperkirakan akan menimbulkan arus modal
yang terhenti atau malah berbalik arah. Peristiwa tersebut akan berbahaya padalikuiditas dan
cadangan devisa dalam negeri, karena Indonesia membutuhkan likuiditas besar untuk
menyeimbangkan kedua defisit.
Rupiah juga akan tertekan dengan semakin menguatnya dollar Amerika Serikat. Dan
hal-hal tersebut akan semakin menekan transaksi berjalan di tahun depan, ujar Raden. Sebagai
risiko yang sangat berbahaya, lanjut Raden, kenaikan suku bunga the Fed patut diantisipasi
dengan kebijakan yang komprehensif.
Dari dalam negeri, rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
diperkirakan akan membawa tekanan inflasi. Tetapi, tinggi rendahnya inflasi dan gejolak di
masyarakat menjadi pertanyaan lebih lanjut. Keadaan politik yang tidak ramah membuat
peristiwa ini akan memberikan goncangan sendiri.
Untuk menghadapi tantangan ini pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang agresif.
Tetapi sebelum kebijakan terbit, pemerintah perlu mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat
goncangan ekonomi dari faktor eksogen dan menentukan target dari kebijakan yang akan
dilakukan untuk merespon goncangan yang datang. Juga perlu menggerakkan segala instrumen
ekonomi sesuai target yang diinginkan untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak yang akan
terjadi akibat goncangan ekonomi.
Pemerintah juga perlu melakukan pemotongan dan realokasi subsidi energi pada 2014.
Melalui kebijakan ini, pemerintah akan mempunyai ruang fiskal yang lebih besar untuk
kemudian dialokasikan kepada belanja infastruktur publik serta belanja jaring pengaman sosial.
Juga membangun infrastruktur dan sistem logistik yang efisien,
Mantan Menteri Koordinator dan Perekonomian Chairul Tanjung mengatakan, ekonomi
Indonesia dua tahun ke depan menjadi tantangan bagi pemerintahan era Jokowi-JK. Persoalan
ekonomi yang harus diselesaikan oleh pemerintahan baru cukup rumit seperti defisit neraca
transaksi berjalan, subsidi yang berlebihan, dilema menaikkan harga BBM dengan
dampak meningaktnya inflasi, dan angka kemiskinan yang naik. Dua tahun ke depan memang
tantangan, tapi saya optimis, kata Chairul.
Ekonomi Indonesia, kata dia, membutuhkan suasana yang kondusif untuk dapat bergerak
sesuai tujuan. Saling gotong royong karena Indonesia terlalu kompleks untuk dikelola oleh satu
kelompok saja. Untuk itu saya ingin mengetuk hati para pemimpin bangsa untuk duduk
bersama-sama dan bekerja keras untuk kepentingan bangsa, pungkas Ketua KEN ini.
Selain itu, Para pengamat ekonomi mengatakan bahwa di tingkat global, saat ini ada
kecenderungan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di Eropa berada di bawah perkiraan Bank
Sentral Eropa (ECB). Bahkan, secara rata-rata pertumbuhan PDB di kawasan Eropa diperkirakan
hanya mencapai 0.1 persen pada kuartal kedua, yang berati lebih rendah dari kuartal pertama
sebesar 0,2 persen.
Lebih lanjut dikatakan, ekonomi Jerman berkontraksi 0.2 persen, Perancis melaporkan
stagnasi pertumbuhan dengan ancaman defisit di atas 4 persen, sementara Italia kembali
meneruskan tren kontraksi mengarah ke resesi yang telah dialami dalam beberapa kuartal
terakhir. Adapun di Eropa Timur khususnya Polandia, Ceko, dan Rumania juga menunjukkan
perlambatan. Bahkan ekonomi Rumania dilaporkan berkontraksi 1 persen pada kuartal 2/2014.
Kondisi di atas juga diperburuk oleh situasi politik Zona Euro dengan kian memburuknya
perseteruan Rusia dan Ukraina. Hal ini yang menyebabkan potensi terhentinya bantuan
Internasional ke kawasan ini.
Tercatat juga, indeks kepercayaan konsumen di 18 negara yang tergabung dalam Zona
Euro juga mengalami pertumbuhan negatif yang semakin dalam. Pada bulan Agustus 2014,
indeks kepercayaan konsumen terus merosot hingga minus 10 persen dari posisi Juli 2014 yang
mencapai minus 8,4.
Karena itu bisa kita pahami jika Bank Sentral Eropa (ECB) pada Juli lalu mengumumkan,
kawasan Zona Euro kembali dibayang-bayangi risiko deflasi yang berpotensi menjerumuskan
ekonomi kawasan tersebut. Bahkan ECB telah melaporkan inflasi yang sangat rendah bulan Juli
lalu di level 0.4 persen, yang merupakan inflasi terlambat sejak tahun 2009.
Inilah situasi ekonomi global yang tidak ringan yang akan dihadapi pemerintahan
presiden Jokowi. Maka dia sangat perlu untuk mempersiapkan secara hati-hati kabinetnya yang
menyangkut bidang ekonomi beserta kebijakannya.
Pada era Presiden Joko Widodo, Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang cukup
mengkhawatirkan. Selama kepemimpinan beliau yang memasuki setengah tahun lamanya,
Indonesia terkena dampak dari pelemahan rupiah terhadap dollar hingga mencapai level 13.200-
an atau hamper serupa dengan krisis moneter diera Presiden Soeharto yang ada di level mencapai
17.000 dengan harga rupiah saat itu. Namun semuanya hanya baru bias dikatakan sebagai
perkiraan perkiraan dan asumsi masyarakat atas melemahnya dollar. Adapaun secara fakta, krisis
moneter belum bisa dibuktikan. Ini ditandakan dengan masih stabilnya perekonomian nasional
saat ini. Data menunjukkan bahwa Ekonomi Indonesia Masih Mampu Untuk Tumbuh Secara
Moderat ditengah perlambatan pemulihan ekonomi dunia, ternyata ekonomi Indonesia masih
mampu tumbuh sebesar 5,01% yoy atau sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun ini, yang tercatat sebesar 5,12% yoy. Konsumsi
rumah tangga tercatat cukup stabil dan masih meningkat sebesar 5,4% yoy. Daya beli
masyarakat masih tetap tinggi, meskipun efek belanja pemilu sudah tidak ada dan telah terjadi
kenaikan harga listrik dan gas.
Kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi juga mengalami perlambatan terutama
disebabkan oleh penurunan harga komoditas. Kegiatan investasi tercatat mengalami perlambatan
sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar Rupiah dan kebijakan moneterketat yang diterapkan
oleh Bank Indonesia. Namun demikian, menurut data yang dirilis oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal di Indonesia masih mengalami
pertumbuhan sebesar 19,3% yoy di kuartal ketiga 2014 atau meningkat dari pertumbuhan 3,2%
yoy yang tercatat di kuartal kedua 2014. Realisasi penanaman modal dalam negeri naik sebesar
24,2% yoy, sedangkan realisasi penanaman modal asing naik sebesar 6,8% yoy di kuartal ketiga
2014. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 akan tetap
stabil. Hanya akan mengalami kenaikan tipis dari 5,1 persen di 2014 menjadi sebesar 5,2 persen.
Pertumbuhan eknomi Indonesia diperkirakan akan cenderung stabil dan sedikit meningkat di
tahun 2016 menjadi 5,5 persen, menurut seorang ekonom Bank Dunia untuk Indonesia.
Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh melemahnya
pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi tersebut mengakibatkan investasi dan ekspor Indonesia
menjadi lemah. Lemahnya ekspor berpengaruh pada kecilnya kontribusi terhadap penyempitan
defisit neraca berjalan. Defisit neraca berjalan turun menjadi 6,8 miliiar dolar atau 3,1 persen
dari PDB kuartal ketiga 2014 dan lebih rendah sebesar 0,8 poin presentase dari PDB dibanding
laju tahun lalu. Penurunan ini secara bertahap akan terus berlangsung.
Kondisi yang sama, lanjutnya, juga terjadi pada sektor fiskal dengan pertumbuhan
penerimaan tetap yang relatif lemah, sementara belanja modal terkontraksi. Pertumbuhan
penerimaan pada periode Januari-Oktober 2014 10,8 persen terus berada di bawah pertumbuhan
PDB nominal 11,8 persen pada kuartal 1- sampai kuartal 3 tahun 2014. Sementara pada sisi
pengeluaran, laju pencairan anggaran secara keseluruhan di akhir Oktober 2014 mengalami
peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya karena dorongan peningkatan belanja subsidi energi.
Adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi akan menyebabkan peningkatan inflasi.
Kendati begitu dampak terhadap inflasi diperkirakan hanya akan bersifat sementara. Pada tahun
2015 inflasi akan berada di angka 7,5 persen dan akan mengalami penurunan apabila tidak
terjadi gejolak eknomi lainnya. Dari kenaikan BBM itu memang akan memunculkan inflasi,
namun akan menghemat pengeluaran fiscal sebesar 100T.
Penyesuaian harga BBM bersubsidiakan memperluas ruang fiskal bagi peningkatan
belanja pembangunan di sektor-sektor yang lebih penting, salah satunya di sektor kesehatan.
Karena dana belanja kesehatan pemerintah hanya sekitar 1,2 persen dari PDB tahun 2012 atau
sekitar 43 dolar AS per kapita relatif lebih rendah di banding negara lain. Dengan adanya
penghematan anggaran dari kenaikan harga BBM tersebut Indonesia memiliki kesempatan untuk
melakukan perbaikan pelayanan kesehatan.
Ditambahkan oleh Masyita Crystaliin, ekonom Bank Dunia untuk Indonesia lainnya,
selain menghadapi tantangan perbaikan layanan kesehatan, pemerintahan baru saat ini juga
dihadapkan pada persoalan pendapatan negara yang terus menurun hanya sedikit di atas 11
persen dari PDB. Apabila tidak dilakukan reformasi, total penerimaan PDB diproyeksikan akan
semakin menurun menjadi 13,7 persen di tahun 2019. Oleh karena itu, ia menekankan
pemerintah kedepan harus mengejar pendapatan negara dengan memaksimalkan pendapatan
pajak. Hal itu bisa dilakukan dengan reformasi kebijakan penerimaan untuk memperluas basis
pajak, menyederhanakan struktur perpajakan, rasionalisasi jenis pajak, dan secara selektif
melakukan revisi sejumlah tarif pajak agar sebanding dengan tarif internasional. Dengan fokus
yang kuat pada penerimaaan oleh pemerintah yang baru akan sangat penting dalam menciptakan
ruang fiskal bagi pelaksanaan program-program pembangunan, jelasnya.
Lebih lanjut Masyita mengatakan pembelanjaan APBN yang baik dalam berbagai bidang
termasuk pelayanan kesehatan, jaminan sosial, infrastruktur diharapkan dapat menurunkan
defisit fiskal tahun 2015. Disamping itu dengan adanya relokasi anggaran penghematan fiskal
dari kenaikan harga BBM bersubsidi ke sektor-sektor tersebut juga diharapkan bisa mempercepat
upaya pengentasan kemiskinan. Pasalnya hingga saat ini tingkat kemiskinan nasional masih
berada pada angka 11, 3 persen dan diproyeksikan penurunannya akan melambat seiring
melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan diperdiksikan akan tetap berada di atas
delapan persen pada tahun 2018 jika tidak ada aksi bersama untuk mendukung pemerataan
pertumbuhan dan memperkuat jaringan pengamanan sosial, tandasnya.
Berbeda dengan proyeksi Bank Dunia, ekonom UGM, Tri Yuwono, Ph.D.,
memperkirakan laju pertumbuhan ekomomi Indonesia cenderung mengalami penurunan secara
berkelanjutan. Pertumbuhan jangka menengah akan ditentukan oleh pertumbuhan glonal yang
lebih lambat dari penurunan terakhir. Proyeksi dari Gama Leading Economic Indonesia justru
menunjukkan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia masih
berlanjut, tuturnya. Kecenderungan tersebut terjadi karena aktivitas ekspor yang lebih kecil
kecil dari impor. Sehingga mengakibatkan defisit pada transakasi perdagangan Indonesia.
Sementara terkait dengan adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi, Tri Yuwono
mengatakan bahwa hal tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap masyarakat
miskin karena hanya mengkonsumsi BBM dalam jumlah rendah. Namun begitu, hal itu
memberikan dampak susulan yang sangat memberatkan masyarakat kurang mampu akibat
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dampak dari kenaikan harga BBM. Saya rasa
pemberian program kompensasi cukup untuk melindungi masyarakat miskin secara efektif dari
dampak kenaikan harga bahan pangan dan transportasi pasca kenaikan harga BBM betsubsidi,
katanya.
Denni Puspa Purba, ekonom UGM lainnya mengatakan bahwa arahan proyeksi ekonomi
makro Indonesia sudah tepat. Namun pertumbuhan GDP bisa lebih rendah dari 5,2 persen. Ia
juga memperkirakaan iklim investasi dan ekspor di Indonesia masih akan berjalan lambat di
tahun 2015 mendatang. (Humas UGM/Ika).
Dari berbagai pendapat diatas dan fakta yang telah terjadi, maka dapat disimpulkan
bahwa krisiis ekonomi pada era Kepresidenan Joko Widodo belum dapat dibuktikan, akan tetapi
masih sebatas asumsi public atas kondisi yang terjadi. Namun dari fakta yang ada, krisis
ekonomi kecil kemungkinan terjadi apabila pemerintah berhasil untuk mengendalikan kestabilan
menguatnya nilai tukar dollar.
1. Inflasi
Tingkat inflasi pada November sebesar 1,5%.Itu merupakan inflasi terbesar di 2014
akibat kenaikan harga BBM subsidi. Meskipun demikian, inflasi 2014 diprediksi hanya sekitar
7,3%-8,1%. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan inflasi 2013 yaitu 8,38%. Hal
itu terjadi karena data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi year-on-year November
2014 terhadap November 2013 hanya 6,23%. Jadi diperkirakan, peningkatan inflasi tidak akan
bertahan lama yaitu hanya sekitar 3-6 bulan sejak kenaikan harga BBM. Pihak yang paling
terkena dampak inflasi ialah orang miskin dan orang hampir miskin. Hal itu disebabkan
pengeluaran keluarga miskin sekitar 67% untuk kebutuhan pangan jika dibandingkan dengan
rata-rata pada umumnya hanya 49%. Jadi kalau harga pangan meningkat, kesejahteraan keluarga
miskin akan turun. Karenanya pemerintah menyediakan BLT (bantuan langsung tunai) sebesar
Rp 400 ribu untuk dua bulan bagi keluarga miskin.
2. Nilai tukar rupiah
Nilai tukar rupiah masih melemah sejak awal pekan dan kini tengah mendekati level
13.000 per dolar AS. Penguatan dolar yang kembali terjadi mengikis sentimen positif rupiah dari
surplus neraca perdagangan pada Maret. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu
(22/4/2015) menunjukkan nilai tukar rupiah mengalami koreksi 10 poin ke level 12.952 per dolar
AS. Rupiah tampak melanjutkan pelemahannya sejak awal pekan lalu dari level 12.875 per dolar
AS.Sementara itu, data valuta asing Bloomberg, mencatat nilai tukar rupiah melemah 0,25
persen ke level 12.922 per dolar AS pada perdagangan pukul 11.05 waktu Jakarta. Nilai tukar
rupiah sempat melemah lebih parah hingga ke level 12.966 per dolar AS.
Masih aktif berfluktuasi, hingga pertengahan hari ini, nilai tukar rupiah masih berkutat di
kisaran 12.913- 12.966 per dolar AS. Pelemahan rupiah sejak awal pekan juga dialami serentak
oleh mata uang lain di Asia. Itu lantaran dolar AS yang terus menguat karena mendapatkan
momentem dari peningkatan angka inflasi yang keluar dari zona negatif. Surplus neraca
perdagangan yang dicapai pada Maret belum mampu menahan penguatan rupiah untuk jangka
waktu lebih panjang, tutur ekonom PT samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta. Dia
memprediksi, hari ini rupiah akan melanjutkan pelemahan, sebagian besar akibat sentimen
eksternal.
3. Naik turun nya harga bbm di indonesia
Belakangan ini harga bbm di indonesia mengalami fruktuasi yaitu naik dan turun nya
harga. Hal ini membuat masyarakat bingung. Salah satunya, faktor dari naik turunya harga
minyak dunia. Harga minyak dunia, ikut mempengaruhi harga BBM di Indonesia. Sebab, sekitar
70 persen BBM di Indonesia adalah hasil impor.
Ternyata tak hanya faktor itu saja, masih ada faktor lainnya. Menurut riset, Indonesia
adalah salah negara yang boros dalam pemakaian subsidi energi, seperti penggunaan BBM. Data
lain juga menyebutkan kalau sekitar 53 persen dari total subsidi BBM sebesar 220 Triliun,
dinikmati oleh pengguna mobil pribadi. Sebenarnya, subsidi itu diperuntukkan bagi transportasi
umum, seperti bus kota dan angkutan umum.
Selain itu, anggaran yang dikeluarkan untuk subsidi BBM dinilai terlalu besar.
Sedangkan, bidang-bidang lainnya seperti kesehatan, pembangunan infrastruktur (sekolah,
rumah sakit, jalan umum, jembatan, dll), serta pendidikan, juga membutuhkan dana subsidi.
Tujuannya supaya pemerataan di setiap bidang dapat terjadi. Alasan ini juga bisa mengakibatkan
harga BBM naik. Saat ini harga BBM sudah normal kembali. Apapun keputusan pemerintah
terkait harga BBM, semoga menjadi solusi yang tepat bagi bangsa Indonesia.
4. Pasar bebas ASEAN
Pasar Bebas Asean dan Pasar Bebas Asean-China yg memungkinkan intensitas lintas
barang, jasa dan sumber daya manusia semakin tinggi dan persaingan tenaga kerja menjadi
sangat terbuka secara regional / internasional; dengan potensi aneka masalah, friksi dan konflik.
Untuk itu kita harus mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas tersebut dengan cara
memperbaiki dan menggali lagi sumber daya manusia maupun sumber daya alam supaya dapat
bersaing dengan negara asean lainnya. Permasalahan pada tahun 2014 adalah kesiapan bangsa
indonesia menghadapi pasar bebas asean, Agar tidak banyak SDM indonesia yang menganggur
atau kalah bersaing dengan SDM asing.
Solusi untuk menghadapi pasar bebas asean:
Ada beberapa hal yang harus mulai disiapkan oleh para pengusaha di Indonesia untuk
menghadapi persaingan di tahun 2015 :
1. Kesiapan
2015 akan di jelang, pilihan yang ada untuk para pengusaha adalah siap menghadapi atau
tersisih dengan kompetisi yang ada. Kesiapan juga berbicara mengenai evaluasi-evaluasi
terhadap kemampuan bisnis dan infrastruktur di dalamnya menghadapi persaingan dengan
kompetitor.
2. Kecepatan
Pengusaha harus semakin cepat belajar. Cepat dalam beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Sigap dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dalam bisnis. Cepat dalam
menganalisa peluang-peluang yang ada dan mengambil celah di antara kompetitor.
Jangan terlalu cepat bersantai dan tenang-tenang karena itu akan membuat Anda ketinggalan di
banding pesaing Anda, apalagi pesaing sekarang juga bertambah dari negara-negara lain.
3. Kapasitas
Jika selama ini Anda hanya melayani kebutuhan-kebutuhan atau order-order kecil,
maka Anda harus mempersiapkan diri dan bisnis untuk pasar yang lebih besar. Persiapkan
sistem yang terstruktur dalam bisnis untuk bisa mengakomodir peluang-peluang besar yang
muncul. Buat standarisasi produk yang memungkinkan Anda memproduksi produk dalam
jumlah besar.
4. Kompetensi
Pengusaha di tahun 2015 harus siap untuk bernegosiasi ke calon pelanggan yang
memiliki bahasa yang berbeda. Optimalkan kemampuan bahasa inggris Anda. Buatlah website,
brosur,company profile atau kartu nama yang menggunakan bahasa Inggris, sehingga produk
Anda juga bisa dikenal oleh negara lain, bahkan bisa memperluas jaringan pelanggan
Anda.Tenaga penjual dan costumer service di bisnis Anda juga harus melatih kemampuan
bahasa mereka.
5. Kolaborasi
Perdagangan bebas di 2015 adalah tantangan kita bersama, oleh karena itu semua pihak
harus berjuang bersama untuk melawan hegemoni produk-produk lintas negara yang akan
memonopoli kita. Jalinlah kerjasama dengan banyak pihak. Ikuti komunitas dan perbesar sinergi,
sadarkan semua orang akan hal ini sehingga semuanya bisa ikut bahu-membahu menghadapi
persaingan ini.
6. Komitmen
Kunci dari semua hal di atas adalah adanya komitmen untuk terus mengevaluasi diri.
Komitmen untuk terus meningkatkan kualitas produk dan SDM di dalamnya. Komitmen untuk
beradaptasi dengan perubahan teknologi, penerapan e-commerce.
Peningkatan Mutu SDM dan Prioritas Industri Padat Karya
Sudah tentu nasib tenaga kerja Indonesia, terutama kaum buruh nantinya akan terlindas
oleh kebijakan MEA. Untuk itu perlu dari pemerintah memberikan solusi nyata terhadap
keberlangsungan nasib tenaga kerja ini. Bagi tenaga kerja potensial dan terbilang masih belum
terlambat untuk menyongsong MEA ini, peningkatan mutu SDM menjadi harga mati,
ketertinggalan kita dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia harus segera dikejar,
peningkatan skill terutama mengenai bahasa inggris yang menjadi faktor determinan nantinya
dalam penyeleksian tenaga kerja oleh perusahaan asing. Pelatihan pelatihan intensif dan
pemberian sertifikasi tenaga kerja kita menjadi hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah kita.
Dan tentu yang tidak kalah penting penerapan program 12 tahun wajib belajar bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh pendidikan, terutama pendidikan murah untuk anak buruh yang
merupakan bagian dari korban efek hadirnya MEA. Penerapan kurikulum 2013 yang berbasis
kompetensi tentu saja bukan hal yang utama dalam peningkatan mutu SDM nantinya, tetapi
bagaimana implementasi sistem pendidikan dan penerapannya yang selama ini menjadi carut
marut turut menjadi pekerja rumah pemerintah. Institusi pendidikan sebagai lembaga yang
memproduksi SDM sampai hari ini belum mampu menciptakan SDM yang mempunyai daya
saing dengan SDM di luar. Perlu ada pembenahan disetiap lini pendidikan untuk menciptakan
mutu SDM Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
Permasalahan lain akan dihadapi oleh tenaga kerja yang saat ini menjadi tenaga kerja
kasar atau buruh, sudah tentu di era MEA akan menjadi tumbal pertama bagi perusahaan yang
akan menerapkan pengalihfungsian dari industri padat karya menjadi industri padat modal.
Disini pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 wajib melindunginya. Sudah tentu akan
terjadi gelombang pengangguran yang cukup besar nantinya, apalagi mereka rata rata tenaga
setengah terampil sampai tenaga kasar. Pembukaan ruang ruang lahan pekerjaan baru bagi para
buruh ini menjadi hal yang perlu diperhatikan. Industri padat karya tidak harus mati, lewat Usaha
Kecil Menengah (UKM) yang menjadi prioritas pemerintah diharapkan mampu menyerap tenaga
kerja setengah terampil atau tenaga kerja kasar tadi. Peran pemerintah disini adalah memberi
prioritas untuk terbentuknya UKM UKM baru dan mempertahankan kelangsungan hidup UKM
yang telah ada dalam persaingan menghadapi MEA, yang sudah tentu akan vis a vis dengan
perusahaan perusahaan asing dan besar yang akan berdatangan di Indonesia. Regulasi yang
tidak berat sebelah harus menjadi kebijakan pemerintah, bukan malah menguntungkan pihak
investor asing yang selama ini terjadi. Kontradiksi memang antara keinginan buruh
(Kesejahteraan) dengan hadirnya MEA 2015 mendatang, MEA yang titik tekannya ada pada
daya saing terutama tenaga kerja, belum mampu dijawab oleh tenaga kerja (buruh) kita sendiri,
di sisi lain pemerintah pun gagal dalam proses peningkatan dan perlindungan mutu terhadap
SDM Indonesia selama ini. Di momentum May Day nanti seharusnya para pekerja tidak hanya
fokus terhadap 10 tuntutan yang rencananya akan di suarakan, tetapi yang lebih subtansial lagi,
bagaimana serikat pekerja, pemerintah dan buruh bekerja sama dalam hal peningkatan mutu
SDM para buruh yang ada saat ini, untuk mampu menjawab tantangan daya saing tenaga kerja
yang menjadi keharusan di era MEA 2015 nantinya. Karena untuk mencapai harapan sejahtera
bagi para buruh tidak cukup dengan upah yang tinggi, tetapi aspek aspek lainnya seperti
peningkatan mutu SDM, mampu bersaing di era MEA 2015, dan iklim investasi yang baik juga
menjadi penentu sebuah kesejahteraan bagi masyarakat.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS


penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya,
tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbedamenurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1. Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang
memadai,memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa
bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk
orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di
luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas
diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2. Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991)
antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai
rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk
dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam
Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang
impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat
memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak
berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat
overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak
mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3. Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa
untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya ditambah sistim perbankan nasional
yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa
tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang krisis
Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran bersalah di sini, pemerintah, kreditur
dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada
pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah
yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata
uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi
untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya
dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini
menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun
sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang
semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-
utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan
dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam
jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam
teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan
investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing
pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha
lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi
pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan. Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga
ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur. Kalau masalahnya hanya
menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena
selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow yang kian lama kian membesar berupa
pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan
pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman
luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat
bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru. Pada awal Mei 1998
besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63
hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari
pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge. Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup
mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya
yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya
sendiri tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha
ramai-ramai mendiri-kan apotik, membuka tambak udang, membangun real estate dan
kondomium. Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 bank-bank. Maka beban pembayaran
utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor
yang melemah . Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat
utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya. Pinjaman luar
negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak
prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan
realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat,
kemudian macet dan uangnya tidak kembali. Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif
besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak
menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort
pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat. Proyek-proyek besar ini
umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri,
maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar
negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan
Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia
Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi
berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk
membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge.
4. Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin
dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena
praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah
besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka.
Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena
tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka
tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini
justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar
ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs
tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali
rupiah dengan dollar AS . Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari
Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan
kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi
sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya .
5. Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pitabatas
intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang
tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 tidak
adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis dan
keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi
bantuan finansial dengan cepat .
6. Defisit neraca berjalan yang semakin membesar, yang disebabkan karena laju peningkatan impor
barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab
utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang
impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7. Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian
mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar . Selisih tingkat suku bunga dalam negeri
dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4%
per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai
tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir
ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat
berharga Indonesia. Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan
meremehkan resiko Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah.
8. IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan
bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama
makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga
yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan US$ 1
milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang
berjanji akan 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 membantu telah
mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal
menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan
memperpanjang krisis. Spekulan domestik ikut bermain . Para spekulan ini pun tidak semata-
mata menggunakan dana nya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk
bermain. Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas
menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan
terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi
dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar
negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga
awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan
politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei
yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini
akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar
modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta
kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru. Terdapatnya keterkaitan
yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS . Setelah Plaza-Accord
tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen
Jepang, karena mata uang negaranegaraAsia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-
negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan
relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS
berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar
AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan. Di lain
pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun
kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh
masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti
sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente
ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan
rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli
di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional.
Timbulnya krisis berkaitan dengan Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan
Saran jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar
negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil
dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor
riil saja, tidak memecahkan permasalahan. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan
antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang
menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus
segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta
luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat
dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah
pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan
politik. Program Reformasi Ekonomi IMF Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di
Indonesia disebabkan Program Reformasi Ekonomi IMF. Menurut IMF, krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah
rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri
menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial.
Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan
IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal
24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16
Maret 1999.Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
a. Penyehatan sektor keuangan;
b. Kebijakan fiskal;
c. Kebijakan moneter
d. Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$
11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan
segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah
dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam
pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota
di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan IMF, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan
yang nilai totalnya mencapai lebih 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
kurang US$ 37 milyar . Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan
pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF.
Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar untuk
jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand hanya
memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar dari IMF
dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa
hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak
mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan
mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari
1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan
masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan
IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan makro-ekonomi
a) Kebijakan fiskal
Yaitu kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan cara mengubah penerimaan dan
pengeluaran negara. Atau kebijakan pemerintah yang membuat perubahan dalam bidang per-
pajakan (T) dan pengeluaran pemerintah (G) dengan tujuan untuk mempengaruhi pengeluaran
/permintaan agregat dalam perekonomian Kebijakan ini diambil untuk menstabilkan ekonomi,
memperluas kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam
pemerataan pendapatan. Caranya dengan : menambah atau mengurangi PAJAK dan SUBSIDI.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan
berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan
meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak
akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
b) Kebijakan moneter dan nilai tukar
Kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral untuk menambah atau mengurangi jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur
dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Restrukturisasi sektor keuangan
Program restrukturisasi bank
Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
Reformasi struktural
Perdagangan luar negeri dan investasi
Deregulasi dan swastanisasi
Social safety net
Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,maka
diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10
April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini
lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian
utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program
dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan
adalah:
a) menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia
b) memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
c) memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan
berdaya saing;
d) menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
e) kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit
kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
1) Kebijakan moneter dan suku bunga
2) Pembangunan sektor perbankan
3) Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
4) Reformasi BUMN dan swastanisasi
5) Reformasi struktural
6) Restrukturisasi utang swasta
7) Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.
Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil
menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari
Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah
yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,bila pemerintah
dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/Kepala Bappenas
menegaskan bahwa Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi,
tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa
kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan
memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri.
Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan
terlaksana awal bulan September ini. Kritik Terhadap IMF Banyak kritik yang dilontarkan oleh
berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum
adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara
tidak seluruhnya sama (2) program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang
dibantu . Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara
Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di
ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai
permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan
yang tepat.
Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran
belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun
anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus 12 Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, Maret 1999 ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan
dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini
terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup
anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang
dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini
bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai
tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS.
Semakin jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran
belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke
tingkat yang wajar. J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi
IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan
berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang
dinamakan konsensus Washington, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu
pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi
AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga
awal Juni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan
reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain .
Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih
samar-samar.
Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran
sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran
pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas,
namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan
efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. Penasehat khusus
IMF untuk Indonesia sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa IMF kerap menerapkan
standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara
dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara keputusan yang
diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa
tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan.
Demikian pun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF Krisis
Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran memberikan kelenturan dengan
mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakandana untuk menciptakan jaringan
keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif.
Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam
rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi. Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan
ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI
melakukan fungsilender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema
pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal.
Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul
dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak
diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia
dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai
memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di
rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui
oleh IMF . Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah
sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang
sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat
ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang
berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik
terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit
kembali.
Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang
cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan programnya secara
ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang
berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya
dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket
bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat,
menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan
internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal
dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan
dengan cairnya bantuan IMF.
Di lain pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda
mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan
tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada
mundurnya Presiden Soeharto. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 Saran IMF
untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku
bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu
mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF. Sayangnyatidak ada
program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah,
juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama
dan yang paling mendesak secara langsung.
IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai
tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan
November lalu, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank
dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan
dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar
pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang
memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegaramaju
yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan Indonesia.Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini
perlu untuk memastikankesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada
tanda-tandakekurang sungguhan di pihak Indonesia.
Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan
nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama
terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru
menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar. Krisis ekonomi yang
tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF
sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program
bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan
berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan
bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan
kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan
ketergantungan harapan
pada IMF ini disalahgunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam
diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh
belajar berenang dahulu. Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang
mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang,
sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran perusahaan yang jatuh
bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa
menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki
kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin
jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot
jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung
oleh IMF.
Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul
teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak
tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-
perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili
kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan
ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program
reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi
yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera
perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN
adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di
bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi
BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah
benar.
Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang
sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui
peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM
dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,meskipun kepentingan
rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini
sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan
listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah
membaca isi dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi
secara bertahap dan tidak secara mendadak.
Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa
diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan
rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada
peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi
akan diturunkan secara berarti. Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah
diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah . Membengkaknya subsidi ini
disebabkan Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 oleh beberapa faktor, seperti
kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab
utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama
mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya
subsidi.
Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih
relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam
rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan
banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik
kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut
naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing
yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis
yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik
keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini
atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif
listrik. Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing
dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang
cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100%
baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan
yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.
Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi
bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai perdagangan
yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC.
Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa
sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen
nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan
untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil?Apa permintaan IMF ini tidak terlalu
jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang
ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan
program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-Undang
Lingkungan Hidup yang baru . Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah
sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan
kepercayaan kreditor Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran luar
negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa
bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.

D. DAMPAK TERJADINYA KRISIS EKONOMI GLOBAL BAGI INDONESIA


Krisis ekonomi yang sedang dialami oleh beberapa negara besar di dunia diantaranya AS
secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian di Indonesia.Maka dari itu pemerintah harus
waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi AS kemungkinan semakin parah sehingga bisa
berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri. Krisis ekonomi global bisa
diumpamakan sebagai deretan kartu domino yang diatur sejajar,jika pemain utamanya terjatuh
maka akan membawa dampak buruk terhadap yang lainnya (efek domino). Celakanya, kalau
negara-negara berkembang yang terkena krisis ekonomi, lembaga-lembaga keuangan
internasional cenderung lepas tangan. Akibatnya, krisis yang terjadi bisa sangat parah dan
potensial mengimbas ke wilayah lain.
Warung-warung di pelosok Jakarta kini bertumbangan ke jurang kebangkrutan. Itu
sebagai bukti bahwa rakyat kebanyakan sudah tak berbelanja lagi. Sementara lapisan atas justru
berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar-pasar modern milik pengusaha besar. Ini menyebabkan
kefailitan raksasa bagi dunia bisnis. Saat ini dampak resesi ekonomi global yang paling dirasakan
adalah pada masyarakat menengah ke atas, terlebih mereka yang bermain saham, valuta asing
dan investasi emas. Dari pantauan media di sejumlah pasar di tanah air, sejak BEJ (Bursa Efek
Jakarta) melakukan suspend pada Jumat (10/10/11) , harga bahan-bahan pangan mulai
merangkak naik. Jika sudah begini, masyarakat bawah yang paling merasakan dampaknya.
Selain itu, kenaikan harga bahan baku di sektor properti akibat pengaruh krisis ekonomi
global, sangat mungkin terjadi. Seperti di kutip dari Antara.co.id, Wakil Ketua DPD Real Estate
Indonesia (REI) Jawa Tengah, Adib Adjiputra, di Solo, beberapa waktu lalu mengatakan, harga
bahan baku yang diproduksi di dalam negeri maupun luar negeri, berpotensi terpengaruh oleh
krisis ekonomi ini. Harga bahan baku seperti besi, keramik, semen dan sejumlah aksesori rumah
lainnya yang berasal dari industri manufaktur, kata dia, sangat rentan mengalami kenaikan.
Kenaikan bahan baku akibat dampak krisis ekonomi ini akan semakin menyulitkan sektor
properti, setelah sebelumnya juga diterpa kenaikan harga bahan baku akibat kenaikan bahan
bakar minyak (BBM).
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara
umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan
pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar,
meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat,
dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang
besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan
jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk
melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai
tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia
khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk
mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain:
1) Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997,
pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya
dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank
bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI
yang murah tersebut.
2) Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia
menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar
negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
3) Pengangguran, dimana angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat
karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya.
4) Laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang
nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai 9 menipis pada akhir tahun 1997.
Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
Biaya-biaya sosial : a) kerusuhan di mana-mana sejak black May 1998, b) banyak orang
kekurangan gizi, c) anak putus sekilah meingkat, d) kriminalitas makin tinggi.

E. BEBERAPA SOLUSI MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL OLEH


PEMERINTAH
Presiden menegaskan langkah yang harus ditempuh semua pihak untuk menghadapi
krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak berdampak buruk terhadap
pembangunan nasional.
1) Presiden mengajak semua pihak dalam menghadapi krisis global harus terus memupuk rasa
optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjagar kepercayaan masyarakat.
2) Pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus dipertahankan antara lain dengan terus
mencari peluang ekspor dan investasi serta mengembangkan perekonomian domestik.
3) Optimalisasi APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan
`social safety net` dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi
penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.Untuk itu perlu dilakukan
efisiensi penggunaan anggaran APBN maupun APBD khususnya untuk peruntukan konsumtif.
4) Ajakan pada kalangan dunia usaha untuk tetap mendorong sektor riil dapat bergerak. Bila itu
dapat dilakukan maka pajak dan penerimaan negara bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat
terjaga. Sementara Bank Indonesia dan perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit
bisa mendorong sektor riil. Di samping itu, masih menurut Kepala Negara, pemerintah akan
menjalankan kewajibannya untuk memberikan insentif dan kemudahan secara proporsional.
5) Semua pihak lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis antara lain dengan
mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang tidak secara langsung
terkena pengaruh krisis keuangan AS.
6) Menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan
bertambah kuat.
7) Perlunya penguatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan
serta sektor swasta.
8) Semua kalangan diharapkan untuk menghindari sikap ego-sentris dan memandang remeh
masalah yang dihadapi.
9) Mengingat tahun 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu, kaitannya dengan upaya
menghadapi krisis keuangan AS adalah memiliki pandangan politik yang non partisan, serta
mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk
dalam kebijakan-kebijakan politik.
10) Presiden meminta semua pihak melakukan komunikasi yang tepat dan baik pada masyarakat.
Tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha, serta perbankan, Kepala Negara juga
memandang peran pers dalam hal ini sangat penting karena memiliki akses informasi pada
masyarakat.
11) mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan rentan
12) pemulihan pembangunan ke jalur yang baik
13) menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing (kebijakan
ekonomi makro)
14) mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil menegah masyarakat (pelaku usaha) dengan
mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang rendah. (kebijakan ekonomi
mikro)
15) Menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak
16) Memperluas, penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan,
yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan
prasarana ekonomi, misalnya jalan, irigasi,
17) Memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus
meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koeperasi
18) Kebijakan anti-kemiskinan di Indonesia terefleksi dari besarnya pengeluaran dalam
APBN untuk membiayai program pemberantasan kemiskinan. Sebagai ilustrasi empiris, antara
tahun fiskal 1994/1995 hingga 2000, pengeluaran pemerintah untuk program-program tersebut
mengalami peningkatan dari Rp. 0,43 triliun menjadi Rp. 10,35 triliun, atau dari 0,11 persen
menjadi 1,05 persen dari PDB. Seperti yang dilihat Tabel 5.13, pengeluaran untuk memberantas
kemiskinan diberikan dalam dua bentuk, (a) yakni dalam bentuk uang (kas), subsidi beras,
pelayanan kesehatan, dan gizi serta pendidikan. (b) penciptaan kesempatan kerja (termasuk
pembangunan infrastruktur dan pemberian kredit).2[2][2]
Tabel 5.13 Pengeluaran Pemerintah untuk Pemberantasan Kemiskinan, sebagai Suatu
Persentase dan Pengeluaran Total Pemerintah dari Pemerintah Pusat 1994/1995-2000.
9 9 9 9 9 9 2
Bentuk Pengeluaran
4/95 5/96 6/97 7/98 8/99 9/00 000
0
Transfer Kas
,11
0 0 5 5 2
Keuntungan dalam bentuk
,49 ,69 ,73 ,14 ,96
Subsdi beras (Operasi 3 3 1
Pasar Khusus; OPK) ,70 ,14 ,22
0 0 0 1 0
Pelayanan Kesehatan
,16 ,34 ,97 ,16 ,99
0 0 1 0 0
Pendidikan
,33 ,36 ,06 ,84 ,75
Pencipta Kesempatan 0 1 1 1 3 1 2
Kerja ,61 ,37 ,21 ,27 ,94 ,87 ,58
Inpres Desa Tertinggal 0 0 0 0
(IDT) ,59 ,61 ,53 ,13
Program Pengembangan 0 0 0
Kecamatan ,22 ,33 ,29

Program Pengentasan 0 0
Kemiskinan di kota ,04 ,28

2[2][2] Menurut informasi terakhir dari pemerintah, jumlah pengeluaran untuk memerangi kemiskinan akan dinaikkan dari 42
triliun rupiah tahun 2006 menjadi 51 triliun rupiah tahun 2007 dan 65,5 triliun rupiah tahun 2008. Pada tahun 2002,
pengeluaran APBN untuk kemiskinan sekitar 16,5 triliun rupiah sempat turun sedikit menjadi 16 triliun rupiah tahun 2003.
Setelah itu meningkat berturut-turut menjadi 18 dan 23 triliun rupiah dalam dua tahun berikutnya (Royat : 2007). Dari segi
anggaran perjiwa rakyat miskin, meningkat dari Rp. 499 ribu rupiah tahun 2004, Rp. 655 ribu rupiah tahun 2005, Rp. 1008.000
tahun 2008, dan Rp. 1.300.000 tahun 2007 (Nugroho dan Suhartono : 2007)
1 0 0
Program Pemberdayaan
,16 ,40 ,24
Daerah mengatasi krisis ekonomi
(skim kredit perdesaan)

Infrastuktur Perkotaan & 0 0 0 0 0 0


F. Pel ,33 ,26 ,61 ,61 ,51 ,43
Perdesaan.
aja
0 0
ran Padat Karya
,01 ,22
yan 0 0 0 0 0 0 0
Skim-skim pinjaman
g ,02 ,43 ,53 ,53 ,46 ,48 ,92
0 0 0
Da Lainnya
,49 ,12 ,20
pat 0 1 1 1 9 7 5
Total
Dip ,61 ,37 ,70 ,96 ,67 ,01 ,65
etik Total Program Anti-
Kemiskinan
dar
0 1 1 1 1 1 1
i - Nilai (Rp. triliun)
,43 ,07 ,54 ,98 4,24 3,95 0,35
Kri 0 0 0 0 1 1 1
- Dari PDB
sis ,11 ,23 ,28 ,29 ,39 ,23 ,05
Keuangan

Menarik untuk menanyakan apakah krisis-krisis seperti itu dapat terjadi lagi di Indonesia
di masa yang akan datang. Kemungkinannya kecil. Pertama, perlu ditekankan bahwa krisis
keuangan Asia paling buruk melanda Indonesia dibandingkan semua negara lain yang terkena
dampaknya karena yang terjadi di Indonesia tidak hanya krisis ekonomi. Awalnya yang terjadi
adalah krisis ekonomi namun berkembang dan akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan
sosial yang sangat buruk di mana pemerintah tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi
ekonomi yang sangat dibutuhkan melainkan justru berusaha untuk melindungi kekuasaan
mereka. Mengingat bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat penting untuk
membangun kepercayaan investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam perpolitikan di
Indonesia membuat banyak investor pergi. Demikian juga setelah Suharto jatuh, ketidakpastian
politik membuat banyak investor (asing dan domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke
pasar Indonesia. Akan tetapi saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun
ini adalah suatu proses yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan otoriter yang
pernah berkuasa selama beberapa decade telah mematikan aktivitas politik masyarakat dan
lembaga-lembaga politik hingga batas-batas tertentu. Butuh waktu sebelum negara ini dapat
meninggalkan sebutan negara 'demokrasi cacat ('flawed democracy') yang diukur oleh Unit
Kecerdasan Ahli Ekonomi untuk Indeks Demokrasinya. Akan tetapi pemilihan umum yang adil
dan bebas memberikan kepastikan bahwa ada dukungan yang lebih besar bagi pemerintah selama
periode Reformasi dibandingkan masa sebelumnya. Keputusan untuk memilih presiden secara
langsung oleh rakyat merupakan salah satu yang penting secara psikologis. Meskipun demikian,
perlu digarisbawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih rapuh (kurang stabil) dibandingkan
dengan demokrasi yang sudah lama dibangun karena banyak kelompok (yang visinya berbeda)
mencoba membangun posisi mereka pada demokrasi yang masih mentah. Laporan lebih lengkap
tentang topik ini silakan kunjungi bagian Reformasi kami.
Faktor penting lainya yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia adalah
sektor keuangan Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh budaya patronase dan korupsi yang tidak memiliki model pengawasan yang
baik. Bahkan Bank Indonesia tidak tahu tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya
utang swasta jangka pendek yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan
terjadinya 'ekonomi gelembung' ('bubble economy'). Budaya patronase dan korupsi ini (serta
kurangnya kepastian hukum) amat sangat menghambat fungsi ekonomi yang efisien dan
merupakan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Namun setelah krisis berakhir,
pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya telah membuat langkah-langkah keuangan yang
bijak untuk memastikan agar krisis serupa tidak terjadi kembali. Pengawasan terhadap likuiditas
sektor perbankan sekarang ketat dan transparan, 'uang panas' ('hot money') ditangani secara lebih
hati-hati (misalnya dengan membatasi utang jangka pendek), dan rasio utang pemerintah
terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan menunjukkan tren menurun) dibandingkan
kebanyakan negara-negara ekonomi maju. Pada saat krisis tahun 2008 melanda, Indonesia
terkena kembali arus keluar kapital yang besar namun mampu menjamin ekonomi yang stabil
karena fundamental ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009 Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen terutama
didukung oleh konsumsi domestik.
Akan tetapi skandal-skandal korupsi di Indonesia masih tetap lanjut mengisi halaman
surat kabar hampir setiap hari. Korupsi dan pengelompokan modal pada sekelompok elit kecil
masih menjadi masalah serius di negeri ini dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang
efisien, baik dan adil. Terutama korupsi politik menyebar luas dan sering kali digunakan untuk
mencari keuntungan dalam sektor bisnis nasional.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia berawal dari krisis finansial yang terjadi di
Thailand pada pertengahan 1997. Sebelumnya Indonesia terlihat jauh dari krisis tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relative rendah,
neraca pembayaran secara keseluruahan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan
cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali. Rupiah mulai terserang kuat di
Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating
bebas. Rupiah merosot tajam dari rata-rata Rp 2,450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13,513
akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8,000 awal
Mei 1999.
Krisis Moneter 1997/1998 tidak semata-mata krisis moneter dalam arti sempit
kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tetapi sudah mengarah pada distorsi
pasar, kenaikan harga yang tidak masuk akal, sembako menghilang, pengangguran meningkat
dan mengarah krisis kepercayaan kepada pemerintah. Dilihat dari indikator makroekonomi,
fundamental ekonomi Indonesia bisa dikatakan kuat hanya jika dilihat dari kriteria pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan jika dilihat dari indikator kriteria lainnya, maka akan terlihat kelemahan
mendasar ekonomi makro. Kelemahan tersebut tercermin dalam:
1) Tidak adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan perluasan kesempatan
kerja; distribusi pendapatan tidak merata, kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang
miskin, dan jumlah tenaga kerja yang semakin meningkat dan berpotensi menjadi pengangguran.
2) Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh saving gap (investasi lebih besar dari tabungan) yang makin
melebar, baik dari kredit bank dalam negeri maupun kredit luar negeri untuk sektor swasta.
Sedangkan di sektor pemerintah/publik, pembangunan yang dibiayai dari utang luar negeri yang
semakin meningkat.
3) Kebijaksanaan ekonomi tidak dilaksanakan oleh aparat birokrasi yang bersih dari kolusi,
korupsi, nepotisme, sindikasi, dan konspirasi.
Indonesia mengalami krisis moneter bukan baru sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara
berkembang, Indonesia sudah sering mengalaminya. Krisis yang paling parah terjadi pada
pertengahan tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden
Soeharto (Orde Baru), dimana kebijakan-kebijakan ekonominya telah menghasilkan kemajuan
ekonomi yang pesat. Namun disamping itu, kondisi sektor perbankan memburuk dan semakin
besarnya ketergantungan terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor, yang membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Keadaan ini kemudian diperburuk dengan
adanya krisis nilai tukar bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar menguat. Penguatan
nilai tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin anjlok.
Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek
penting yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni
saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan
adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia,
di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai
tukar rupiah ini lebih besar daripada dampak positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi
cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena itu, pemerintah meminta bantuan
kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi utamanya adalah membantu memelihara
stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi
bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas.
Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia pada tahun 1997-1998, dapat disimpulkan
sbagai dampak dari penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Tak hanya Indonesi,
negara- negara tetangga pun juga merasakan. Akan tetapi Indonesia termasuk negara yang
terparah akibat masalah tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia sangat tergantung pada dollar
Amerika, entah dari sektor impor maupun sektor lain. Dengan adanya keadaan tersebut
sebenarnya Indonesia mengalami masalah dalam ekonomi makronya. Hal ini terbukti Indonesia
saat itu mengalami Inflasi dan angka pengangguran yang cukup tinggi. Banyak sekali faktor-
faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek penting yang menunjukkan
kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam
keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar negeri
jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo. Terjadinya krisis ini
menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia, di dalam segala
aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini
lebih besar daripada dampak positif yang ditimbulkan. Dalam menangani krisis ini, pemerintah
tidak dapat menanganinya sendiri. Karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak
dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena
itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi
utamanya adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan
tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang mengalami kesulitan
likuiditas.

B. SARAN

1) Untuk kebaikan ekonomi kedepan, Indonesia harus menjadi Negara yang kreatif dibidang
ekonomi dan Negara harus memilih orang yang handal agar dapat menjaga stabilitas ekonomi
Indonesia dimasa yang akan mendatang.
2) Berdasarkan kinerjanya Perum Pegadaian memiliki potensi untuk berperan dalam channeling
pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun untuk mewujudkan potensi tersebut Perum Pegadaian
harus terlebih dahulu membenahi kelemahan-kelemahan struktural yang ada.
3) Mengingat masih besarnya potensi pasar yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan yang
memberikan pinjaman berdasarkan sistem gadai, maka Pemerintah perlu mengkaji kemungkinan
pemberian izin bagi perusahaan lain untuk bergerak dalam usaha pegadaian. Hal ini sekaligus
dapat mendorong kompetisi untuk meningkatkan efisiensi.
4) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan kredit dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat,
Perum Pegadaian perlu lebih intensif dalam memonitor nasabah.
5) Masalah kesulitan likuiditas dapat diminimalkan apabila sampai batas tertentu kantor daerah
diberi kewenangan untuk mencari dana sendiri dengan memanfaatkan potensi daerah setempat
(sesuai dengan teori RFM).
6) Sesuai dengan misi Perum Pegadaian yang didukung oleh sumber dana yang mayoritas
bersubsidi, tersedianya room yang cukup luas, rentabilitas yang lebih baik dibandingkan lembaga
formal lainnya, serta kecenderungan penurunan suku bunga pasar, maka sudah saatnya besarnya
sewa modal diturunkan. Di samping itu, untuk menjaga konsistensi pelaksanaan misi Perum
Pegadaian, pemerintah hendaknya menetapkan ketentuan yang mengatur batas minimum porsi
kredit untuk nasabah kecil (golongan A dan B), misalnya sebesar 30% 40%.
7) Dengan mempertimbangkan potensi dan rencana jangka panjang, nampaknya Perum Pegadaian
perlu lebih menekankan pada pemberian kredit daripada melakukan usahausaha lain di luar core
usaha Perum Pegadaian.
8) Perum Pegadaian perlu melakukan evaluasi secara lebih intens terhadap kantor-kantor cabang
yang merugikan, untuk mengkaji apakah akan melakukan pemindahan kantorkantor cabang
tersebut ke lokasi yang lebih strategis atau melakukan penutupan, khususnya bagi Kanca defisit
yang sudah lama didirikan dengan tetap mempertimbangkan pelaksanaan misi sosial yang
diemban. 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
9) Untuk memperoleh penilaian efisiensi yang lebih riil, maka Perum Pegadaian perlu
memperhitungkan biaya dana untuk masing-masing Kanca.
10) Untuk menghindarkan terjadinya distorsi suku bunga pasar, maka kebijakan pemberian bantuan
likuiditas dengan subsidi bunga kepada lembaga pembiayaan yang berorientasi pada masyarakat
menengah ke bawah hendaknya hanya dilakukan dalam jangka pendek atau dalam bentuk
sekuritisasi.
Daftar Pusaka:
http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html

http://ade-artikel.blogspot.com/2010/03/sebab-sebab-terjadinya-krisis-ekonomi.html

http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/BankIndonesia/bempvol1no4mar.pdf

http://www.freedominstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=291:laporan-
diskusi-publik-ekonomi-di-era-jokowi-seperti-apa&catid=52:laporan-diskusi

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5444f9d456375/tiga-goncangan-ekonomi-tahun-pertama-
jokowi-jk

http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Info-Bobo/Reportasia/Kenapa-Harga-BBM-Naik-Turun

http://myasirarafat.wordpress.com/2012/05/31/apa-itu-krisis-ekonomi/

http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/06/definisi-kemiskinan.html

http://tips-teknologi.blogspot.com/2012/04/krisis-ekonomi-global-dan-krisis.html

http://ade-artikel.blogspot.com/2010/03/sebab-sebab-terjadinya-krisis-ekonomi.html

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm

Tulus Tahi Kamonangan Tambunan. Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri. Rajawali Press.
Jakarta. 2008.

Faisal Basri & Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-
masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Prenada Media.
Jakarta. 2009.

Soeharsono Sagir. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Prenada Media. Jakarta. 2009.

Posted by santika chan at 1:43:00 PM


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blog Archive
2015 (5)
o March (1)
o April (2)
o August (1)
16 (1)
krisis ekonomi diindonesia
o November (1)

About Me

santika chan
name: santika
born: on july 1994
address: jl ir sutami link kp baru rt 12/04 kel kebonsari kec citangkil 42442 kota cilegon
banten-indonesia
occupation: employee
View my complete profile
Copyright 2015. Travel theme. Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai