Home
Accounting
Cilegon City
Excel Sharindo
Asma'ul husna
image's Owner
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu
peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Beberapa Negara pernah mengalami
yang namanya krisis dalam perekonomian negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang
simultan dan memiliki effek yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan
bahwa Krisis moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya
bergantung pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan
terjadinya krisis. Sebagian besar negara-negara di dunia pernah mengalami krisis
ekonomi, bahkan AS juga pernah mengalaminya. Indonesia pun tidak dapat mengelak
dari permasalah tersebut, dimana Indonesia dilanda oleh suatu krisis ekonomi yang diawali dari
krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Kecenderungan
melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998. Sejak berdirirnya orde baru
tahun 1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi
suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks
dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini
terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor
perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor
yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang
besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukarrupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
diuraikan mengenai penyebab- penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia, dampak yang
ditimbulkannya bagi perekonmian domestik, serta kebijakan atau upaya penanggulangannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari krisis ekonomi dan Bagaimana awal terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
2. Bagaimana Analisa krisis ekonomi di-era beberapa pemerintahan Republik Indonesia
3. Apa saja faktor penyebab krisis ekonomi
4. Bagaimana dampak terjadinya krisis ekonomi global bagi indonesia
5. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan
6. Bagaimana solusi mengatasi krisis ekonomi oleh pemerintah
7. Apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan Asia
C. TUJUAN MAKALAH
1. Menjelaskan pengertian krisis ekonomi dan bagaimana awal terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia
2. Menggambarkan krisis ekonomi di-era beberapa pemerintahan Republik Indonesia
3. Menjelaskan faktor penyebab krisis ekonomi
4. Menjelaskan Bagaimana dampak terjadinya krisis ekonomi global bagi Indonesia
5. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan
6. Menjelaskan Bagaimana solusi mengatasi krisis ekonomi oleh pemerintah
7. Menguraikan pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan Asia
D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada teman-teman semua untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam
masalah krisis ekonomi yang terjadi diindonesia serta kondisi saat pemulihan dari masalah
tersebut. Manfaat lain dari penulisan makalah ini adalah dengan adanya penulisan makalah ini
diharapkan dapat dijadikan acuan didalam menghadapi masalah krisis ekonomi apabila terjadi
lagi dinegara indonesia ataupun negara lain.
BAB II
PEMBAHASAN
1[1][1] Pengertian moral hazard dalam hal ini adalah resiko yang harus ditanggung secara moral.
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang,
kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti
diungkapkan oleh Haris (1998),
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah
sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa,
serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi,
sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang
sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan
pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa
diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan
pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang
di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada
kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri,
sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan
terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta
pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar
hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah. Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara
menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-
kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk
diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang
overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah
berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran
meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh
Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
*Tahun anggaran. Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan
Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan
memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar
AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu,
yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang
intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai
rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah
mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-
1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai
nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998
hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara
Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus
1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi
terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar
valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
a)pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500
menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam
berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-
pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah,
dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali
lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata
uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di
pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia
dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 =
Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus November 1997) sampai menunjukan
angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai
30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikanleading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable pundsmengalami
kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga
meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan
meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998 Krisis
nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis
ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat
rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan
yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi
bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah.
Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha
dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai
kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai
aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya
juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan
krisis polotik. Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya,
2003) krisis yang melanda.
Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter, Indikatornya :
a. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b. Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c. L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d. Uang beredar terus meningkat.
2. Krisis Perbankan, Indikatornya :
a. Likuidasi bank ditutup
b. Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c. Bank beku operasi dan bank take over
d. Utang luar negeri yang membengkak
e. Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f. Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g. Utang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3. Krisis Ekonomi, Indikatornya :
a. Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b. Stagnasi di sector riil
c. Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d. PHK di berbagai sector riil.
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang
sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi
selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per
kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI
meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun
1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya
defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok
timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi
kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian
Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun
1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir
tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi
devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.Bulan September 1984,Indonesia mengalami
krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank
negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk
menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit
(Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang
bermula pada tahun 1997.
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan
dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai
tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor
Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam
nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan
adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya
devaluasi rupiah (Tambunan,1998).Sumber: Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar Dari
tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge
Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25
bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap
dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan jual, karena
tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand.
Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi
yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral
Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta
bantuan IMF.
Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai
nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di
Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak
perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.Krisis moneter yang terjadi di
Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan
Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar
anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah.
Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus
merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00
menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah
sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin
menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat
terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman
mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh
lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu
memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalampenggunaannya
banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh
rakyat Indonesia.Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi. Indonesia merupakan salah satu Negara
di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir
dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), Krisis ekonomi yang
dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai
dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per
kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal
collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada
tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan
sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa
diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan
pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang
di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada
kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri,
sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan
terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta
pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar
hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath
Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari
akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde
baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah
berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran
meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh
Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan
memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS
terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni
dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang
intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai
rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah
mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-
1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai
nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998
hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara
Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus
1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan
dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi
terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98.
Sistem pemerintahan
Program Pengentasan 0 0
Kemiskinan di kota ,04 ,28
2[2][2] Menurut informasi terakhir dari pemerintah, jumlah pengeluaran untuk memerangi kemiskinan akan dinaikkan dari 42
triliun rupiah tahun 2006 menjadi 51 triliun rupiah tahun 2007 dan 65,5 triliun rupiah tahun 2008. Pada tahun 2002,
pengeluaran APBN untuk kemiskinan sekitar 16,5 triliun rupiah sempat turun sedikit menjadi 16 triliun rupiah tahun 2003.
Setelah itu meningkat berturut-turut menjadi 18 dan 23 triliun rupiah dalam dua tahun berikutnya (Royat : 2007). Dari segi
anggaran perjiwa rakyat miskin, meningkat dari Rp. 499 ribu rupiah tahun 2004, Rp. 655 ribu rupiah tahun 2005, Rp. 1008.000
tahun 2008, dan Rp. 1.300.000 tahun 2007 (Nugroho dan Suhartono : 2007)
1 0 0
Program Pemberdayaan
,16 ,40 ,24
Daerah mengatasi krisis ekonomi
(skim kredit perdesaan)
Menarik untuk menanyakan apakah krisis-krisis seperti itu dapat terjadi lagi di Indonesia
di masa yang akan datang. Kemungkinannya kecil. Pertama, perlu ditekankan bahwa krisis
keuangan Asia paling buruk melanda Indonesia dibandingkan semua negara lain yang terkena
dampaknya karena yang terjadi di Indonesia tidak hanya krisis ekonomi. Awalnya yang terjadi
adalah krisis ekonomi namun berkembang dan akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan
sosial yang sangat buruk di mana pemerintah tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi
ekonomi yang sangat dibutuhkan melainkan justru berusaha untuk melindungi kekuasaan
mereka. Mengingat bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat penting untuk
membangun kepercayaan investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam perpolitikan di
Indonesia membuat banyak investor pergi. Demikian juga setelah Suharto jatuh, ketidakpastian
politik membuat banyak investor (asing dan domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke
pasar Indonesia. Akan tetapi saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun
ini adalah suatu proses yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan otoriter yang
pernah berkuasa selama beberapa decade telah mematikan aktivitas politik masyarakat dan
lembaga-lembaga politik hingga batas-batas tertentu. Butuh waktu sebelum negara ini dapat
meninggalkan sebutan negara 'demokrasi cacat ('flawed democracy') yang diukur oleh Unit
Kecerdasan Ahli Ekonomi untuk Indeks Demokrasinya. Akan tetapi pemilihan umum yang adil
dan bebas memberikan kepastikan bahwa ada dukungan yang lebih besar bagi pemerintah selama
periode Reformasi dibandingkan masa sebelumnya. Keputusan untuk memilih presiden secara
langsung oleh rakyat merupakan salah satu yang penting secara psikologis. Meskipun demikian,
perlu digarisbawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih rapuh (kurang stabil) dibandingkan
dengan demokrasi yang sudah lama dibangun karena banyak kelompok (yang visinya berbeda)
mencoba membangun posisi mereka pada demokrasi yang masih mentah. Laporan lebih lengkap
tentang topik ini silakan kunjungi bagian Reformasi kami.
Faktor penting lainya yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia adalah
sektor keuangan Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh budaya patronase dan korupsi yang tidak memiliki model pengawasan yang
baik. Bahkan Bank Indonesia tidak tahu tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya
utang swasta jangka pendek yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan
terjadinya 'ekonomi gelembung' ('bubble economy'). Budaya patronase dan korupsi ini (serta
kurangnya kepastian hukum) amat sangat menghambat fungsi ekonomi yang efisien dan
merupakan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Namun setelah krisis berakhir,
pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya telah membuat langkah-langkah keuangan yang
bijak untuk memastikan agar krisis serupa tidak terjadi kembali. Pengawasan terhadap likuiditas
sektor perbankan sekarang ketat dan transparan, 'uang panas' ('hot money') ditangani secara lebih
hati-hati (misalnya dengan membatasi utang jangka pendek), dan rasio utang pemerintah
terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan menunjukkan tren menurun) dibandingkan
kebanyakan negara-negara ekonomi maju. Pada saat krisis tahun 2008 melanda, Indonesia
terkena kembali arus keluar kapital yang besar namun mampu menjamin ekonomi yang stabil
karena fundamental ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009 Indonesia
menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen terutama
didukung oleh konsumsi domestik.
Akan tetapi skandal-skandal korupsi di Indonesia masih tetap lanjut mengisi halaman
surat kabar hampir setiap hari. Korupsi dan pengelompokan modal pada sekelompok elit kecil
masih menjadi masalah serius di negeri ini dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang
efisien, baik dan adil. Terutama korupsi politik menyebar luas dan sering kali digunakan untuk
mencari keuntungan dalam sektor bisnis nasional.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia berawal dari krisis finansial yang terjadi di
Thailand pada pertengahan 1997. Sebelumnya Indonesia terlihat jauh dari krisis tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relative rendah,
neraca pembayaran secara keseluruahan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan
cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali. Rupiah mulai terserang kuat di
Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating
bebas. Rupiah merosot tajam dari rata-rata Rp 2,450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13,513
akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8,000 awal
Mei 1999.
Krisis Moneter 1997/1998 tidak semata-mata krisis moneter dalam arti sempit
kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tetapi sudah mengarah pada distorsi
pasar, kenaikan harga yang tidak masuk akal, sembako menghilang, pengangguran meningkat
dan mengarah krisis kepercayaan kepada pemerintah. Dilihat dari indikator makroekonomi,
fundamental ekonomi Indonesia bisa dikatakan kuat hanya jika dilihat dari kriteria pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan jika dilihat dari indikator kriteria lainnya, maka akan terlihat kelemahan
mendasar ekonomi makro. Kelemahan tersebut tercermin dalam:
1) Tidak adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan perluasan kesempatan
kerja; distribusi pendapatan tidak merata, kesenjangan sosial antara yang kaya dengan yang
miskin, dan jumlah tenaga kerja yang semakin meningkat dan berpotensi menjadi pengangguran.
2) Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh saving gap (investasi lebih besar dari tabungan) yang makin
melebar, baik dari kredit bank dalam negeri maupun kredit luar negeri untuk sektor swasta.
Sedangkan di sektor pemerintah/publik, pembangunan yang dibiayai dari utang luar negeri yang
semakin meningkat.
3) Kebijaksanaan ekonomi tidak dilaksanakan oleh aparat birokrasi yang bersih dari kolusi,
korupsi, nepotisme, sindikasi, dan konspirasi.
Indonesia mengalami krisis moneter bukan baru sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara
berkembang, Indonesia sudah sering mengalaminya. Krisis yang paling parah terjadi pada
pertengahan tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden
Soeharto (Orde Baru), dimana kebijakan-kebijakan ekonominya telah menghasilkan kemajuan
ekonomi yang pesat. Namun disamping itu, kondisi sektor perbankan memburuk dan semakin
besarnya ketergantungan terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor, yang membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Keadaan ini kemudian diperburuk dengan
adanya krisis nilai tukar bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar menguat. Penguatan
nilai tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin anjlok.
Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek
penting yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni
saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan
adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia,
di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai
tukar rupiah ini lebih besar daripada dampak positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi
cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena itu, pemerintah meminta bantuan
kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi utamanya adalah membantu memelihara
stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi
bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas.
Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia pada tahun 1997-1998, dapat disimpulkan
sbagai dampak dari penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Tak hanya Indonesi,
negara- negara tetangga pun juga merasakan. Akan tetapi Indonesia termasuk negara yang
terparah akibat masalah tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia sangat tergantung pada dollar
Amerika, entah dari sektor impor maupun sektor lain. Dengan adanya keadaan tersebut
sebenarnya Indonesia mengalami masalah dalam ekonomi makronya. Hal ini terbukti Indonesia
saat itu mengalami Inflasi dan angka pengangguran yang cukup tinggi. Banyak sekali faktor-
faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek penting yang menunjukkan
kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam
keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar negeri
jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo. Terjadinya krisis ini
menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia, di dalam segala
aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini
lebih besar daripada dampak positif yang ditimbulkan. Dalam menangani krisis ini, pemerintah
tidak dapat menanganinya sendiri. Karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak
dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena
itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi
utamanya adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan
tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang mengalami kesulitan
likuiditas.
B. SARAN
1) Untuk kebaikan ekonomi kedepan, Indonesia harus menjadi Negara yang kreatif dibidang
ekonomi dan Negara harus memilih orang yang handal agar dapat menjaga stabilitas ekonomi
Indonesia dimasa yang akan mendatang.
2) Berdasarkan kinerjanya Perum Pegadaian memiliki potensi untuk berperan dalam channeling
pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun untuk mewujudkan potensi tersebut Perum Pegadaian
harus terlebih dahulu membenahi kelemahan-kelemahan struktural yang ada.
3) Mengingat masih besarnya potensi pasar yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan yang
memberikan pinjaman berdasarkan sistem gadai, maka Pemerintah perlu mengkaji kemungkinan
pemberian izin bagi perusahaan lain untuk bergerak dalam usaha pegadaian. Hal ini sekaligus
dapat mendorong kompetisi untuk meningkatkan efisiensi.
4) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan kredit dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat,
Perum Pegadaian perlu lebih intensif dalam memonitor nasabah.
5) Masalah kesulitan likuiditas dapat diminimalkan apabila sampai batas tertentu kantor daerah
diberi kewenangan untuk mencari dana sendiri dengan memanfaatkan potensi daerah setempat
(sesuai dengan teori RFM).
6) Sesuai dengan misi Perum Pegadaian yang didukung oleh sumber dana yang mayoritas
bersubsidi, tersedianya room yang cukup luas, rentabilitas yang lebih baik dibandingkan lembaga
formal lainnya, serta kecenderungan penurunan suku bunga pasar, maka sudah saatnya besarnya
sewa modal diturunkan. Di samping itu, untuk menjaga konsistensi pelaksanaan misi Perum
Pegadaian, pemerintah hendaknya menetapkan ketentuan yang mengatur batas minimum porsi
kredit untuk nasabah kecil (golongan A dan B), misalnya sebesar 30% 40%.
7) Dengan mempertimbangkan potensi dan rencana jangka panjang, nampaknya Perum Pegadaian
perlu lebih menekankan pada pemberian kredit daripada melakukan usahausaha lain di luar core
usaha Perum Pegadaian.
8) Perum Pegadaian perlu melakukan evaluasi secara lebih intens terhadap kantor-kantor cabang
yang merugikan, untuk mengkaji apakah akan melakukan pemindahan kantorkantor cabang
tersebut ke lokasi yang lebih strategis atau melakukan penutupan, khususnya bagi Kanca defisit
yang sudah lama didirikan dengan tetap mempertimbangkan pelaksanaan misi sosial yang
diemban. 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
9) Untuk memperoleh penilaian efisiensi yang lebih riil, maka Perum Pegadaian perlu
memperhitungkan biaya dana untuk masing-masing Kanca.
10) Untuk menghindarkan terjadinya distorsi suku bunga pasar, maka kebijakan pemberian bantuan
likuiditas dengan subsidi bunga kepada lembaga pembiayaan yang berorientasi pada masyarakat
menengah ke bawah hendaknya hanya dilakukan dalam jangka pendek atau dalam bentuk
sekuritisasi.
Daftar Pusaka:
http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
http://ade-artikel.blogspot.com/2010/03/sebab-sebab-terjadinya-krisis-ekonomi.html
http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/BankIndonesia/bempvol1no4mar.pdf
http://www.freedominstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=291:laporan-
diskusi-publik-ekonomi-di-era-jokowi-seperti-apa&catid=52:laporan-diskusi
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5444f9d456375/tiga-goncangan-ekonomi-tahun-pertama-
jokowi-jk
http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Info-Bobo/Reportasia/Kenapa-Harga-BBM-Naik-Turun
http://myasirarafat.wordpress.com/2012/05/31/apa-itu-krisis-ekonomi/
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/06/definisi-kemiskinan.html
http://tips-teknologi.blogspot.com/2012/04/krisis-ekonomi-global-dan-krisis.html
http://ade-artikel.blogspot.com/2010/03/sebab-sebab-terjadinya-krisis-ekonomi.html
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm
Tulus Tahi Kamonangan Tambunan. Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri. Rajawali Press.
Jakarta. 2008.
Faisal Basri & Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-
masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Prenada Media.
Jakarta. 2009.
Soeharsono Sagir. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Prenada Media. Jakarta. 2009.
Blog Archive
2015 (5)
o March (1)
o April (2)
o August (1)
16 (1)
krisis ekonomi diindonesia
o November (1)
About Me
santika chan
name: santika
born: on july 1994
address: jl ir sutami link kp baru rt 12/04 kel kebonsari kec citangkil 42442 kota cilegon
banten-indonesia
occupation: employee
View my complete profile
Copyright 2015. Travel theme. Powered by Blogger.