Anda di halaman 1dari 29

SISTEM EKONOMI INDONESIA

KRISIS DAN RESESI EKONOMI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mengikuti Mata Kuliah Sistem
Ekonomi Indonesia Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Raja Haji
Tanjungpinang

Dosen Pengajar: SHAHRIL BUDIMAN, S.Sos., MPM

Oleh:

ANDRE MANDALA PUTRA

18102004

PROGRAM STUDI: ILMU PEMERINTAHAN

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK


TANJUNGPINANG

2019/2020
I. KRISIS EKONOMI

A. PENGERTIAN DAN PENJABARAN KRISIS EKONOMI

Krisis ekonomi adalah sebuah konsep yang menjelaskan suatu


kondisi perekonomian yang mengalami resesi atau depresi, yang
diikuti dengan munculnya dampak berupa penurunan PDB, inflasi
atau deflasi, terhambatnya likuiditas moneter.
Sdangkan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendefinisikan krisis
sebagai suatu situasi yang genting dan gawat, mengenai suatu
kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan.
Menurut ahli ekonomi, pengertian krisis ekonomi secara sederhana
adalah suatu keadaan dimana sebuah Negara yang pemerintahnya
tidak dipercaya lagi oleh rakyatnya, khususnya masalah finansial.
Rakyatnya tidak mau lagi menyimpan uang di bank-bank yang ada,
sehingga bank-bank mengalami kesulitan uang tunai. Jika itu terjadi
maka bank sentral akan mencairkan asetnya untuk menalangi semua
bank-bank itu. Setelah itu maka harga-harga naik seiring dengan
banyaknya uang tunai di masyarakat akibat bank kelebihan uang
tunai.
Jika keadaan itu terjadi maka negara memasuki masa krisis.
Negara tidak mampu membayar hutangnya sehingga hutangnya
sudah jauh diatas PDB-nya. Maksudnya, ketika suatu negara
mempunyai hutang terhadap negara lain dan bunga dari hutang
tersebut semakin bertambah setiap tahunnya, tetapi pendapatan
Negara tersebut tidak mengalami pertambahan akibat krisis ekonomi,
sehingga membuat Negara tersebut mengalami kesulitan untuk
membayar hutang-hutangnya.

1
Krisis ekonomi global merupakan peristiwa dimana seluruh sektor
ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan (keadaan gawat) dan
memperngaruhi sektor lainnya diseluruh dunia. Akibat dari krisis
ekonomi yang terjadi di beberapa negara maju seperti Amerika
Serikat, memberi dampak besar pada negara-negara Asia yang
sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia pada ekspor
perkebunan komoditi kelapa sawit, karet, dan kakao. Ini memberikan
tekanan yang cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditi tersebut,
dimana terjadinya penurunan hraga berbagai komoditas anjlok akibat
adanya perlambatan ekonomi dunia, sehingga peluang untuk
memasarkan sangat sulit
Krisis ekonomi global yang terjadi pada kuartal kedua tahun 2008,
memiliki potensi menjadi salah satu krisis terbesar di dunia setelah
The Great Depression yang terjadi di Amerika Serikat awal tahun
1930. Melihat kondisi perekonomian global sebelum terjadi krisis
ekonomi global pada tahun 2008, dapat disimpulkan bahwa krisis
tersebut menjadi semakin meluas dan memberikan dampak yang
besar disebabkan oleh adanya akumulasi dari beberapa krisis dalam
bidang ekonomi yang melanda dunia dalam jangka waktu beberapa
tahun terakhir. Setidaknya ada dua krisis besar yang dapat disebut
dalam jangka waktu 2 tahun terakhir, yaitu krisis peningkatan harga
minyak mentah dunia dan krisis finansial di Amerika Serikat.
Kegagalan Amerika Serikat dalam mengelola sistim keuangan
membawa dampak berupa krisis keuangan dalam lingkup internal
perekonomian Amerika Serikat. Perekonomian dunia yang bersifat
global, membuat krisis finansial di Amerika Serikat berdampak kepada
negara-negara lainnya. Selain itu, disadari pula bahwa perekonomian
dunia belum lama ini menghadapi krisis peningkatan harga minyak

2
dunia yang sempat membawa keterpurukan yang berkepanjangan
bagi dunia industri di banyak negara.
Amerika Serikat juga merupakan negara yang terkena dampak
dari krisis peningkatan harga minyak dunia. Krisis kenaikan harga
minyak ditambah dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat
yang bertransformasi menjadi krisis ekonomi global, mengakibatkan
keterpurukan dunia perekonomian di berbagai negara dunia.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KRISIS EKONOMI


Ada dua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi terjadi, yaitu
faktor internal dan faktor eksterenal.
1. Faktor Internal
a. Laju Pertumbuhan
Laju pertumbuhan PDB adalah salah satu indikator utama
ekonomi makro yang sering digunakan dalam menganalisis kinerja
ekonomi sebuah Negara. PDB (Produk domestik Bruto) merupakan
alat pengukur dari pertumbuhan ekonomi. PDB pada dasarnya
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat
pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke
tahun.
b. Struktur Ekonomi
Kelemahan fundamental ekonomi makro dalam hal stuktur
ekonomi juga bisa merupakan salah satu penyebab, mungkin bukan
yang membuat terjadinya krisis tetapi yang mengakibarkan krisis
tersebut terus berlangsung dan semakain parah. Pada dasarnya

3
struktur ekonomi yang lemah mencerminkan tidak seimbangnya
perkembangan dan pertumbuhan antarsektor di satu pihak, dan
tidak adanya “sektor kuci” (walaupun sektor tersebut dominan di
dalam sturktur ekonomi dengan suatu kinerja yang baik di pihak
lain. Sektor-sektor ekonomi tidak menunjukkan kinerja yang sama,
misalnya dalam hal tingkat produktivitas, efisiensi atau profitabilitas,
atau kontibusi terhadap pembentukan dan pertumbuhan PDB tidak
seimbang antarsektor.

c. Perdagangan Luar Negeri (Ekspor Neto)


Berdasarkan suatu laporan dari WTO (1996), struktur
perdagangan dunia menunjukkan bahwa pada tahun 1995
Indonesia tidak termasuk dalam 25 besar Negara-negara pengespor
produk-produk manufaktur. Masih lemahnya Indonesia dalam
mengembangkan ekspor bernilai tambah tinggi, sementara masih
sangat tergantung pada impor produk-produk bernilai tambah tinggi
dapat dianggap sebagai penyebab utama kurangnya cadangan
devisa (khususnya dolar AS) yang dimilik Indonesia, untuk
mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga
rupiah melemah terus dan akhirnya tidak hanya menyebabkan
tetapi juga memperparah krisis ekonomi.

d. Perkembangan Sektor Industri Manufaktur


Dalam fundamentall ekonomi Indonesia pada tingkat meso, ada
dua sektor penting yang turut juga bertanggungjawab atas
terjadinya atau terus berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia
hingga saat ini, yakni sektor industri manufaktur dan sektor
perbankan. Perkembangan sektor industri manufaktur di Indonesia
yang tidak sehat selama periode Orde Baru, dalam arti tingkat

4
produktivitas, efisiensi dan daya saing yang rendah, serta
ketergantungan yang tinggi terhadap impor dan modal asing, juga
merupakan salah satu penyebab lemahnya fundamental ekonomi
Indonesia.

2. Faktor Eksternal
Selain faktor-faktor internal, menurut Fischer (1998), krisis ekonomi
di Asia juga diakibatkan oleh perkembangan perekonomian negara-
negara maju dan pasar keuangan global yang menyebabkan
ketidakseimbangan global. Maksudnya, seperti di Jepang dan Eropa
Barat, pertumbuhan ekonomi mengalami kesulitan dan kebijaksanaan
moneter tidak berubah serta tingkat suku bunga sangat rendah.
Semua ini membuat kedua wilayah itu menjadi kurang menarik bagi
investasi. Dengan perkataan lain, dana berlimpah ruah tetapi proyek-
proyek yang menarik untuk investasi berkurang. Faktor eksternal
lainnya adalah disebabkan oleh daya saing Indonesia di Asia yang
lemah. Tingkat nilai tukar mata uang-mata uang dari Negara-Negara
Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terhadap dolar AS yang terlalu
kuat (Over valued).
Selain faktor-faktor ekonomi, krisis di Asia itu juga disebabkan oleh
faktor-faktor nonekonomi, seperti sosial, budaya, kultur dan politik. Dan
faktor psikologis juga sangat berperan, paling tidak membuat krisis
rupiah itu menjadi suatu krisis ekonomi besar. Dampak psikologis
muncul dari krisis di Indonesia adalah merebaknya fenomena
kepanikan di mana-mana yang melanda masyarakat keuangan
internasional, sehingga para pemilik modal internasional
memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba dalam
jumlah yang sangat besar. Kepanikan ini, kemudian diikuti oleh warga

5
Negara di Indonesia dengan melakukan hal yang sama, hal serupa
juga terjadi di Thailan dan Korea selatan.

3. Teori-teori Alternatif
Selain faktor-faktor internal dan esksternal (ekonomi dan non
ekonomi), ada tiga teori alternatif yang dapat juga dipakai sebagai
basic frameworkuntuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya
krisis ekonomi di Asia. Yaitu:

a. Teori Konspirasi
Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa krisis tersebut
sengaja ditimbulkan oleh negara-negara industri maju tertentu,
khususnya AS karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN
selama ini.

b. Teori Contagion
Krisis di Asia memperlihatkan adanya contagion effect, yaitu
menularnya amat cepat dari satu negara ke negara lain. Bermula di
Thailand pada pertangan 1997, kemudian menyebar ke Malaysia,
Singapura, Filipina, Indonesia dan Korea Selatan. Tetapi di antara
negara-negara tersebut, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan
tertular berat karena ketiganya dalam banyak hal mempunyai
permasalahan yang sama. Prosesnya terjadi terutama karena sikap
investor-investor asing yang setelah krisis terjadi di Thailan menjadi
ketakutan bahwa krisis yang sama juga akan menimpa Negara-
Negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina.

6
c. Teori Business Cycle
Teori business cycle atau konjugtur, atau gelombang pasang
surut suatu ekonomi. Inti dari teori ini adalah bahwa ekonomi yang
prosesnya sepenuhnya di gerakkan oleh mekanisme pasar
(kekuatan permintaan dan penawaran) pasti akan mengalami
pasang surut pada suatu periode akan menegalami kelesuan dan
pada periode berikutnya akan mengalami kegairahan kembali dan
selanjutnya lesu kembali dan seterusnya. Implikasi dari teori ini
adalah bahwa kalau memang krisis ekonomi di Asia merupakan
suatu gejala konjungtur, maka krisis itu dengan sendirinya akan
hilang, tentu dengan syarat bahwa prosesnya sepenuhnya
ditentukan oleh kekuatan pasar.

C. PREDIKSI KRISIS EKONOMI


Dikutip dari RMOLJabar pada senin, 16 September 2019.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri perdagangan (Mendag),
Enggartiasto Lukita memprediksi bahwa dunia akan mengalami krisis
ekonomi dalam waktu satu hingga satu setengah tahun ke depan.
Demikian disampaikan Enggar, saat mengisi kuliah umum di
Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Senin
(16/9) "Secara relatif krisis ekonomi dunia satu hingga satu setengah
tahun ke depan itu sudah meningkat. Sekarang sudah mulai terjadi
perlambatan-perlambatan," ucap Enggar.
Lebih lanjut, kata Enggar, saat ini harga emas sedang tinggi, belum
lagi diperparah dengan 50 persen cadangan minyak Arab meledak.
Hal ini jelas berdampak pada harga minyak dunia.
"Meledaknya 50 persen cadangan minyak Arab,
kemungkinan harga minyak naik, dampaknya buat Arab
adalah defisit," ujar Enggar. Oleh karena itu, Indonesia dalam

7
waktu dekat harus membuat langkah taktis, seperti membuat
pasar dalam negeri yang diiringi dengan meningkatkan da ya
beli masyarakat Indonesia. "Kita net importir, kita harus cepat
buat akses pasar baru internal atau dalam negeri. Selain itu
harus terisis produk dalam negeri juga," pungkasnya.

D. DAMPAK DARI KRISIS EKONOMI


1. Kemiskinan Merajalela
Pada rezim Soeharto keberhasilan mengurangi jumlah
penduduk miskin selama 30 tahun kini bagai tak berbekas. Krisis
ekonomi selama 10 bulan sudah memaksa puluhan juta penduduk
Indonesia kemabli terpuruk hidup dibawah garis kemiskinan, pemicu
utamanya adalah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok,
terutama pangan. Hal ini disebabkan karena ternyata unsur pangan
didalam perhitungan angka garis kemiskinan teramat dominan, yaitu
lebih dari 80%. Akibatnya, kenaikan harga pangan menjadi sangat
peka terhadap jumlah orang miskin.
Hal ini diperparah dengan membengkaknya tingkat
pengangguran yang mencapai lebih dari 10 juta jiwa hanya pada
tahun 1998 akibat krisis ekonomi yang terus berlanjut. Nasib para
buruh pun kian terpuruk karena tidak adanya kenaikan upah
minimum. Sebaliknya, harga-harga kebutuhan pokok meroket
sehingga membuat daya beli sebagian pekerja khususnya dan
masyarakat umumnya sudah terpangkas ke tingkatan yang sudah
sangat mengkhawatirkan. Dampak nyata selanjutnya adalah pada
pembengkakan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Dengan mengacu pada angka inflasi Januari-Maret
1998 yang telah mencapai 100%, kalau bisa menggunakan basis
perhitungan inflasi tahunan, maka potensi jumlah penduduk yang

8
hidup di bawah garis kemiskinan sudah mencapai lebih dari 100 juta
orang.

2. Kebangkrutan Massal Dunia Usaha


Memburuknya indikator-indikator makroekonomi telah
merambah ke sendi-sendi dunia usaha, sehingga membuat denyut
nadi sektor usaha kini melemah. Ketergantungan yang cukup tinggi
pada bahan baku impor membuat biaya produksi membengkak.
Selain itu, pengusaha kesulitan membuat kalkulasi biaya produksi
biaya produksi dan menentukan harga jual produk karena
pergerakan kurs yang sangat berfluktuasi. Muncul pula msalah
keterbatsan saran transportasi dan kelangkaan peti kemas.
Persoalan belum berhenti, karena kalaupun telah berhasil menjual
produknya, mereka bingung dalam menempatkan dananya di
tengah kemelut perbankan yang justru semakin memburuk.
Suku bunga nominal yang sudah sangat tinggi, sekitar 70%,
yang tidak mungkinn dapat dipikul pelaku bisnis manapun.
Alasannya, pada waktu bersamaan tingkat inflasi telah meroket ke
tingkatan yang mendekati tingkat suku bunga nominal.
Masalah yang menerpa dunia usaha begitu bertubi-tubi,
ditambah pula dengan persoalan-persoalan politik yang seketika
berimbas sangat nyata. Mereka harus keluar dari berbagai
persoalan pada waktu bersamaan, padahal kemampuan mereka
untuk menyesuaikan diri menghadapi lingkungan dan tanatangan
baru sangat terbatas. Semua persoalan diatas pada akhirnya
bermuara pada kerapuhan eksistensi sejumlah perusahaan.
Ratusan usaha besar terancam bangkrut, kebanyakan mereka tidak
lagi mampu membayar kewajiban utangnya, baik dalam bentuk
rupiah maupun dolar. Kebangkrutan massal tak terhindarkan. Pada

9
gilirannya, hal ini membuat sektor perbankan terpuruk dan
kepercayaan masyarakat internasional terkikis.

3. Dampak Terhadap Pertumbuhan Sektor Riil

a. Dampak Terhadap Bidang Infrastruktur


Sektor Transportasi. Transportasi merupakan penggerak
perekonomian masyarakat. Pada daerah yang telah berkembang,
pelayanan transportasi dapat meningkatkan kegiatan ekonomi.
Kondisi pelayanan transportasi yang memadai dapat mengurangi
biaya transportasi yang akhirnya dapat menurunkan biaya produksi
dan biaya distribusi. Demikian pula transportasi juga dapat
merupakan penggerak kegiatan ekonomi di daerah. Ketersediaan
prasarana transportasi dapat berfungsi memperlancar kegiatan
ekonomi masyarakat terutama dalam memasarkan produk-produk
masyarakat setempat ke daerah pemasaran lokal. Demikian pula
transportasi juga dapat menggerakkan kegiatan pemerintahan di
daerah.
Sektor Perumahan dan Permukiman. Terdapat 3 dampak utama
yang dirasakan akibat krisis global yang terkait dengan sektor
perumahan dan permukiman, yaitu (1) mengeringnya likuiditas,
yang tidak hanya mempengaruhi dunia usaha, melainkan kepada
pemerintah untuk membiayai pembangunan; (2) menurunnya
tingkat permintaan dan komoditas-komoditas utama ekspor
Indonesia tanpa diimbangi peredaman laju impor secara signifikan
yang menyebabkan defisit perdagangan; dan (3) menurunnya
tingkat kepercayaan konsumen, investor dan pasar terhadap
berbagai institusi keuangan yang ada.

10
b. Dampak Terhadap Bidang Pertanian dan Perkebunan
Komoditas Pangan. Produksi komoditas pangan nasional pada
tahun 2008, dimana saat krisis ekonomi terjadi, secara rata-rata
tetap menunjukkan peningkatan. Bahkan, apabila dibandingkan
produksi tahun 2007, jumlah peningkatannya cukup besar.
Beras/padi sebagai komoditas pangan utama, produksi pada tahun
2008 mencapai 60,28 juta ton gabah kering giling (GKG) atau
meningkat 5,46 persen dibandingkan tahun 2007. Demikian juga
untuk jagung dan kedelai, produksi pada tahun 2008 meningkat
masing-masing menjadi 15,86 juta dan 761 ribu ton atau meningkat
19,36 dan 28,47 persen dibandingkan tahun 2007.
Komoditas Perkebunan. Komoditas perkebunan merupakan
komoditas yang paling rentan terhadap krisis keuangan global. Hal
ini tidak terlepas dari sifat komoditas perkebunan yang berorientasi
ekspor dan diperdagangkan secara internasional. Harga komoditas
perkebunan tidak hanya dipengaruhi dengan jumlah permintaan dan
penawaran, namun juga sangat rentan dengan aksi spekulasi yang
muncul di dalam pasar komoditas tersebut. Dengan demikian, hal
yang perlu diperhatikan dalam perdagangan komoditas perkebunan
di pasar internasional adalah perkembangan ekonomi negara
pengimpor serta tindakan spekulasi yang menyebabkan fluktuasi
dan ketidakpastian harga. Hal ini akan membahayakan
kelangsungan usaha komoditas primer serta kesulitan dalam
perencanaan usaha.
Komoditas Hortikultura. Tanaman hortikultura berfungsi sebagai
fungsi pangan (sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan, energi),
fungsi ekonomi, fungsi kesehatan, serta fungsi budaya. Namun
demikian, meski memiliki peranan penting, konsumsi sayuran
masyarakat Indonesia masih kurang dibandingkan dengan anjuran

11
konsumsi seharusnya. Pada tahun 2003 misalnya, konsumsi
sayuran per kapita per tahun hanya 28,00 kg dari anjuran sebanyak
62,50 kg. Demikian juga dengan konsumsi buah pada tahun
tersebut hanya 49 kg buah per kapita per tahun atau lebih rendah
dari anjuran sebanyak 62,5 kg.
Komoditas Peternakan dan Hasil Turunannya. Krisis keuangan
global yang terjadi pada tahun 2008 tidak berpengaruh signifikan
terhadap komoditas peternakan dan hasil turunannya di dalam
pasar dalam negeri. Kondisi ini terlihat dari jumlah populasi ternak
dan produksi hasil ternak yang cenderung meningkat, serta relatif
stabilnya harga dalam negeri walaupun menunjukkan tren
peningkatan pada akhir tahun.

4. Dampak Terhadap Bidang Kelautan dan Perikanan


Krisis keuangan yang dimulai dari Amerika Serikat dapat
berdampak terhadap produk perikanan walaupun belum terasa
signifikan di sektor perikanan. Berdasarkan hasil ekspor perikanan,
terdapat kenaikan nilai ekspor hasil perikanan dari US $ 2,259 miliar
pada tahun 2007 menjadi US $ 2,410 miliar pada tahun 2008, yang
terutama diekspor ke negara Amerika Serikat, Jepang dan EU.
Khusus untuk Amerika Serikat, produk utama adalah udang (55%),
ikan laut non tuna (30%) dan tuna (10%). Namun demikian, terjadi
penurunan volume ekspor produk perikanan yaitu dari 845 ribu ton
pada tahun 2007 menjadi 745 ribu ton pada tahun 2008. Sementara
itu, dari sisi produksi perikanan terdapat peningkatan dari 8,24 juta
ton pada tahun 2007 menjadi 8,71 juta ton pada tahun 2008.
Peningkatan produksi perikanan ini terutama dikontribusi oleh
perikanan budidaya. Penyediaan ikan untuk konsumsi juga

12
mengalami peningkatan, dari 28,28 kg/kap/th pada tahun 2007
menjadi 29,98 kg/kap/th pada tahun 2008.

5. Dampak Terhadap Bidang Kehutanan


Lahan yang luas dan kekayaan sumber daya alam yang
beragam merupakan potensi yang dimiliki negara Indonesia untuk
mendukung dan mewujudkan pembangunan. Namun pada
kenyataannya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
dan lahan masih belum optimal dalam mewujudkan kesejahteraan
dan mengatasi kemiskinan. Salah satu permasalahan yang terjadi
adalah adanya konflik kepemilikan lahan serta perambahan sumber
daya alam yang tidak berorientasi ekologis.

6. Dampak terhadap Bidang Lingkungan Hidup


Krisis ekonomi tahun 2008 terjadi di tengah krisis lingkungan
yang meliputi krisis energi, air, pangan dan dampak dari akumulasi
perubahan iklim. Kondisi ini akan berdampak terhadap kebutuhan
untuk menata lingkungan, menurunkan karbon dioksida di atmosfir
dan berinvestasi untuk energi ramah lingkungan akan
mengakibatkan ongkos energi naik 20 persen dan barang-barang
bertambah mahal.
Sementara itu, krisis kelangsungan hidup menyebabkan
kerusakan ekologi dan rusaknya jaminan terpenuhinya kebutuhan
pokok/dasar telah mencapai tingkat yang tidak terpulihkah. Krisis ini
berdampak bagi Penduduk yang berusaha bertahan hidup tidak
berpikir panjang tentang kondisi bumi tempat mereka tinggal. Hutan,
laut, tambang atau sumber daya alam apa pun dijarah untuk
pemenuhan kebutuhan dasar. Eksploitasi alam yang telah terjadi
mengakibatkan kualitas SDA dan lingkungan menurun (kualitas

13
tanah semakin menurun, pencemaran air, dan penurunan sepertiga
keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 (WWF, 2005).

D. LANGKAH YANG DIAMBIL PEMERINTAH PASCA KRISIS


EKONOMI

1. Kebijaksanaan Moneter
Pemerintahan negara yang terkena krisis ini menerapkan
kebijaksanaan moneter yang ketat untuk mendorong nilai tukar ke
tingkat yang lebih wajar dan untuk menurunkan inflasi. Maksudnya,
tingkat suku bunga SBI ditingkatkan, pada saat itu tingkat suku bunga
SBI untuk 1 bukan naik 22 persen menjadi 45 persen (dengan tingkat
bunga efektif tahunan sebesar 55 persen). Tingkat suku bunga SBI
ysng tinggi ini hingga oktober 1998 tetap dipertahankan dan membuat
suku bunga dipasar uang juga tetap tinggi dan membuat atau
mendorong nilai tukar ke tingkat yang lebih wajar dan menurunkan
inflasi.

2. Kebijaksanaan Perbankan
Langkah-langkah penting dalam restrukturisasi sektor perbankan
yang telah dilakukan pemerintah hingga saat ini adalah termasuk
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang
salah satu contohnya di Indonesia pada tanggal 14 Februari 1998
mulai menangani 54 bank yang memperoleh pinjaman darurat dari BI
yang melebihi 200 persen modalnya, atau yang pada bulan desember
1997 memiliki modal kurang dari 5 persen dari nilai aktivannya. Pada
tanggal 31 maret tahun 1998, pemerintah lewat BPPN mengabil alih 6
bank swasta, yakni BDNI, Bank Modern, BUN, Bank Danamon, Bank
PDFCI dan Bank Tiara, dan disusul BCA. Agustus 1998, dibentuk

14
Asset Management Unit (AMU), yakni suatu lembaga khusus yang
berada di bawah BPPN dengan tugas utama menampung semua
kredit bermasalah. Oktober tahun 1998, dibentuk Bank Mandiri, bank
baru milik pemerintah yang akan menggabungkan Bank Exim, BBD,
BDN dan Bapindo. Selain itu, tanggal 24 Agustus tahun 1998 lalu
pemerintah telah mengajukan konsep Rancangan Undang-Undang
(RUU) perubahan UU perbankan No.7 Tahun 1992 dalam sidang
paripurna DPR. RUU itu antara lain memberi hak kepada investor
asing untuk menguasi saham di perbankan nasional sampai dengan
100 persen. Dalam RUU itu, masyarakat juga dimungkinkan untu
mengetahui sisi aktivitas dari neraca perbankan.

3. Program Kesempatan Kerja


Pemerintah Negara yg terkena krisis ini memperluas program Social
Safety Net, atau program padat karya di sektor pekerjaan umum dan
penyediaan kesempatan kerja sementara khusus bagi penduduk
termiskin yang menganggur (mereka yang di PKH-kan akibat krisis),
dengan bantuan pembiayaan dari Bank Pembangunan Asia (ADB),
Bank Dunia, dan bantuan bilateral. Alokasi anggaran dalam APBN
untuk program ini juga telah ditingkatkan. Di samping itu, untuk
mempertahankan kesempatan kerja, ketersediaan berbagai skema
kredit dengan subsidi dari pemerintah untuk membantu usaha kecil
dan menengah (UKM) telah diperbanyak.

4. Reformasi dan Privatisasi BUMN


Pemerintah Negara yang terkena Krisis ini mengupayakan untuk
mempercepat reformasi BUMN guna memperkuat tingkat
keuntungannya dan meningkatkan sumbangannya kepada
penerimaan Negara. Upaya tersebut diharapkan dapat penurunan

15
penerimaan Negara sebagai akibat dari berkurangnya penerimaan
pajak, peningkatan subsidi yang lebi besar daripada yang dianggarkan
semula, dan biaya untuk restrukturisasi perbankan. Maksudnya, pada
saat itu telah diangkat seorang Menteri Negara Pendayagunaan
BUMN dengan tugas mendayagunakan perusahaan-perusahaan di
sektor publik yang berjumlah 164, termasuk lembaga-lembaga
keuangan. Dalam tahun 1998-1999, pemerintah merencakan
penjualan saham-saham enam BUMN yang telah tercatat di pasar
modal, dan yang bergerak dalam pasar kompetitif seperti PT Telkom,
PT Indosat, PT Semen Gresik, dan PT Krakatau Steel.

5. Restrukturisasi Utang Luar Negeri (ULN) Swasta


Pemerintahan Negara yg terkena krisis ini contohnya Indonesia
sejak Februari 1998 telah dilakukan beberapa kali pertemuan antara
Steering Committee para kreditor bank asing dan Contact Group dari
para debitor, serta tim penanggulangan ULN Swasta. Dengan bantuan
penasihat dari luar Negeri dan dengan berkonsultasi dengan Contact
Group, Steering Committe, staf IMF, ADB, bank dunia, dan
pemerintahan Negara sahabat yang berminat, tim penanggulan ULN
swasta telah menyiapkan kerangka kerja untuk restrukturisasi ULN
swasta. Salah satunya pertemuan yang terkenal adalah pertemuan
Frankfrut bulan juli 1998. Pertemuan itu menghasilkan program INDRA
( Indonesian Debt Restructuring Agency ) yang dibentuk pada tanggal
1 Agustus 1998. Dalam Program ini, perusahaan yang bermasalah
yang sudah mempunyai kesepakatan dengan kreditornya dapat
menukar rupiahnya dengan Dolar AS dengan kurs rata-rata selama 20
hari terakir. Perusahaan bisa untung kalau kurs tersebut lebih rendah
daripada kurs yang berlaku di pasar pada saat itu, tetapi sebaliknya
rugi apabila kebalikannya. Pada pertengahan tahun 1998 mulai

16
dirasakan bahwa masalah ULN swasta, khususnya perbankan
semakin berat, sementara hingga saat itu belum ada perusahaan
bermasalah yang menggunakan fasilitas INDRA. Jumlah perusahaan
yang bermasalah terlalu banyak, sehingga penanganannya secara
konvensional semata tidak cukup lagi. Mengajukan kasus kredit
bermasalah ke pengadilan kepailitan juga tidak menyelesaikan atau
meringankan persoalan. Selain prosesnya memakan waktu, juga
dikhawatirkan hampir semua pelaku bisnis bermasalah dinyatakan
bangkrut. Melihat kenyataan itulah pemerintah membentuk Prakarsa
Jakarta yang dikoordinasi oleh Ketua Tim Penanggulangan ULN
Swasta. Pinjaman bermasalah diatas dalam lembaga khusus dengan
segala fasilitas kemudahan dari pemerintah, yang intinya memang
berupa penyelesaian utang di luar jalur pengadilan.

II. RESESI EKONOMI


A. PENGERTIAN DAN PENJABARAN RESESI EKONOMI
Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai
kelesuan ekonomi. Mengutip dari Wikipedia, resesi diartikan sebagai
kondisi di mana produk domestik bruto (GDP) mengalami penurunan
atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal
secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun. Sesuai dengan
namanya yang berarti kelesuan atau
kemerosotan, resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada
setiap aktivitas di sektor ekonomi. Sebut saja lapangan kerja,
investasi, dan juga keuntungan perusahaan. Terjadinya resesi
ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan
ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka
tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun.
Dampaknya akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan

17
hubungan kerja. Secara lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan
daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada turunnya
keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi sering kali diindikasikan dengan
menurunnya harga-harga yang disebut dengan deflasi, atau
sebaliknya inflasi di mana harga-harga produk atau komoditas dalam
negeri mengalami peningkatan secara tajam. Jika tak segera diatasi,
resesi akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga
menjadi depresi ekonomi, yang bisa berakibat pada kebangkrutan
ekonomi atau ekonomi kolaps. Jika ekonomi suatu negara sudah
sampai pada tahap ini, maka pemulihan ekonomi akan lebih sulit
dilakukan.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RESESI EKONOMI


Suatu negara dikatakan masuk masa resesi, apabila muncul
beberapa indikator berikut.

1. Terjadi ketidakseimbangan antara produksi dengan konsumsi

Ekonomi tak jauh-jauh dari produksi dan konsumsi.


Keseimbangan diantara keduanya menjadi dasar pertumbuhan
ekonomi. Di saat produksi dan konsumsi tidak seimbang, maka
akan terjadi masalah dalam siklus ekonomi. Apabila tingginya
produksi tidak diikuti dengan tingginya konsumsi, akan berakibat
pada penumpukan stok persediaan barang. Sebaliknya, jika
produksi rendah sedang konsumsi tinggi maka kebutuhan dalam
negeri tidak akan mencukupi sehingga harus dilakukan impor. Hal
ini akan berakibat pada penurunan laba perusahaan sehingga
berpengaruh pada lemahnya pasar modal.

18
2. Pertumbuhan ekonomi lambat bahkan merosot selama dua
kuartal terturut-turut

Dalam perekonomian global, pertumbuhan ekonomi digunakan


sebagai ukuran untuk menentukan baik buruknya kondisi ekonomi
suatu negara. Jika pertumbuhan ekonomi suatu mengalami
kenaikan secara signifikan, artinya negara tersebut dalam kondisi
ekonomi yang kuat. Demikian pula sebaliknya. Nah, pertumbuhan
ekonomi ini menggunakan acuan produk domestik bruto yang
merupakan hasil penjumlahan dari konsumsi, pengeluaran
pemerintah, investasi dan ekspor yang dikurangi impor. Jika
produk domestik bruto mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
dapat dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang
bersangkutan mengalami kelesuan atau resesi.

3. Nilai impor jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor

Dalam perdagangan internasional, kegiatan impor dan ekspor


sangatlah wajar. Selain untuk menjalin kerja sama ekonomi, tujuan
dari impor dan ekspor salah satunya adalah untuk memenuhi
kebutuhan penduduk di kedua negara. Negara yang kekurangan
komoditas karena tidak bisa memproduksi sendiri, bisa mengimpor
dari negara lain. Sebaliknya, negara yang memiliki kelebihan
produksi bisa mengekspor ke negara yang membutuhkan
komoditas tersebut. Namun, jika impor dengan ekspor tidak stabil
bisa berdampak pada perekonomian negara. Nilai impor yang jauh
lebih besar dibandingkan nilai ekspor berisiko pada defisit
anggaran negara.

19
4. Terjadi inflasi atau deflasi yang tinggi

Untuk alasan dan kepentingan tertentu, inflasi memang


diperlukan. Namun, inflasi yang terlalu tinggi justru mempersulit
kondisi ekonomi, karena harga-harga komoditas melonjak
sehingga tak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat,
utamanya yang kelas ekonominya menengah ke bawah.

Kondisi ekonomi akan semakin parah apabila inflasi tidak diikuti


dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Tak hanya inflasi yang
berdampak pada resesi, tetapi juga deflasi. Harga-harga
komoditas yang menurun drastis bisa mempengaruhi tingkat
pendapatan dan laba perusahaan yang rendah. Akibatnya, biaya
produksi tidak tertutup sehingga volume produksi rendah.

5. Tingkat pengangguran tinggi

Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki


peranan penting dalam menggerakkan perekonomian. Jika suatu
negara tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi tenaga
kerja lokal, maka tingkat pengangguran di negara tersebut jelas
akan tinggi. Risikonya, daya beli rendah bahkan memicu tindak
kriminal guna memenuhi kebutuhan hidup.

C. PREDIKSI RESESI EKONOMI

Dikutip dari KONTAN.CO.ID – JAKARTA Kamis, 26 September


2019. Resesi global dikhawatirkan bakal terjadi dalam waktu dekat.
Meski hal ini masih menjadi perdebatan para ekonom, sejumlah riset

20
menunjukkan tanda-tanda resesi semakin nyata dan bisa mengancam
ekonomi tahun depan.

Yang terbaru, United Nations Conference on Trade and


Development (UNCTAD) dalam laporannya memberi peringatan kalau
resesi global bisa terjadi di tahun 2020. UNCTAD melihat tanda-tanda
resesi muncul dari memanasnya tensi perdagangan, pergerakan mata
uang dunia, utang korporasi, Brexit tanpa kesepakatan, dan kurva
yield obligasi AS yang terbalik (inverted yield curves).

"Ini adalah salah satu sinyal bagi para pemangku kebijakan untuk
mempersiapkan diri atas gejolak tersebut," ujar laporan UNCTAD yang
dirilis Kamis (26/9) seperti dilansir New Strait Times. Laporan itu
menyerukan agar para pembuat kebijakan tetap fokus pada
peningkatan lapangan kerja, upah, dan investasi publik. Bahkan
dengan mengabaikan risiko penurunan terburuk, laporan itu
memproyeksikan pertumbuhan global bakal turun menjadi 2,3% pada
2019 dibandingkan dengan 3% pada 2018.

Laporan itu menyebut, beberapa negara berkembang sudah masuk


ke jurang resesi. Sementara beberapa negara maju, termasuk Jerman
dan Inggris sangat dekat dengan resesi. UNCTAD juga menilai
pertumbuhan perdagangan akan melambat tajam di tahun ini menjadi
2% dari 2,8%, menyusul pelemahan permintaan global yang
diperparah oleh tarif sepihak yang diberlakukan pemerintah Amerika
Serikat (AS).

Bahkan, 10 tahun setelah krisis keuangan tahun 2008-2009,


ekonomi global dinilai masih sangat rapuh. Laporan itu juga mencatat
bahwa utang telah menjadi pendorong dominan pertumbuhan global.
Namun, sayangnya tetap gagal mendorong investasi produktif.

21
Sebaliknya, utang tinggi malah memicu spekulasi keuangan. Negara-
negara berkembang telah melihat kalau utang sudah berubah dari
instrumen pembiayaan jangka panjang, menjadi aset keuangan yang
berisiko tinggi.

Resesi merupakan kontraksi ekonomi yang ditandai dengan


penurunan pertumbuhan signifikan setidaknya selama enam bulan
atau dua kuartal berturut-turut. Setidaknya, tanda-tanda awal resesi
terlihat dari lima indikator ekonomi, yakni produk domestik bruto (PDB)
riil, data pendapatan, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel.

Banyak yang mengatakan resesi terjadi ketika tingkat pertumbuhan


PDB negatif (negative growth) dalam dua kuartal berturut-turut atau
lebih. Tetapi resesi juga bisa dimulai sebelum laporan data PDB
triwulanan keluar. Itu sebabnya, the National Bureau of Economic
Research mengukur empat faktor lainnya dalam resesi. Ketika
indikator ekonomi ini menurun, PDB juga akan turun. Probabilitas
resesi Tak dipungkiri, investor semakin takut terhadap resesi global.
Hal ini setidaknya terlihat dari berbagai survey yang dilakukan
terhadap aset manajemen besar di dunia. Dari survei Absolute
Strategy Research peluang terjadinya resesi mencapai 52%. ASR
mensurvei lebih dari 200 lembaga yang mengelola aset gabungan
senilai US$ 4,1 triliun. Prospek kepercayaan bisnis dan pendapatan
perusahaan telah meredup. Tingkat pengangguran AS juga diprediksi
meningkat sepanjang tahun depan. UBS melakukan survei terhadap
360 kantor keluarga global dengan kekayaan keluarga rata-rata US$
1,2 miliar. Hasilnya, 55% di antaranya memprediksi resesi pada 2020.
Untuk memitigasi risiko itu, 45% responden sudah menyesuaikan
portofolio mereka termasuk beralih ke obligasi dan properti. Sementara
42% lainnya meningkatkan cadangan dana kas. Direktur Investa

22
Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, dalam teori ekonomi,
kecemasan awal pelaku pasar akan resesi benar-benar bisa memicu
terjadinya resesi. Pasalnya, pelaku pasar yang berpikir negatif akan
cenderung menahan konsumsi. Sehingga permintaan akan turun dan
ekonomi melambat. "Ada peluang resesi negara-negara maju bisa
terjadi," ujarnya kepada KONTAN.

Tanda-tanda resesi Dari sejumlah analisis ekonom dan pelaku


pasar, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi tanda-tanda bahwa
resesi kian nyata, di antaranya:

1. Yield kurva terbalik AS

Kurva imbal hasil obligasi yang terbalik atau inverted yield curve
dapat menjadi tanda awal resesi ekonomi. Kurva imbal hasil
terbalik menandakan bunga obligasi pemerintah jangka pendek
lebih tinggi ketimbang bunga obligasi jangka panjang. Dalam
ekonomi yang sedang tumbuh, tingkat pengembalian yang lebih
tinggi diperlukan sebagai kompensasi bagi investor untuk
menahan uang mereka dalam jangka waktu lebih lama. Namun,
ketika kurva imbal hasil berbalik, investor menganggap prospek
ekonomi jangka panjang tidak menarik. Sejak tahun 1955, setiap
resesi yang terjadi di AS didahului oleh kurva imbal hasil terbalik.
Sehingga, ketika yield obligasi 10 tahun AS untuk pertama kalinya
sejak tahun 2007 jatuh di bawah imbal hasil obligasi dua tahun
pada Agustus lalu, investor langsung cemas bahwa ini merupakan
tanda resesi lagi. Menurut Credit Suisse, resesi terjadi sekitar 22
bulan setelah terjadi inversi rata-rata.

23
2. Perlambatan ekonomi Eropa dan AS

Resesi juga kemungkinan terjadi di Eropa, terlihat dari data


pertumbuhan ekonomi yang terus melemah. Di Jerman, data
purchasing managers’ index (PMI) semakin mencemaskan, yakni
49,1 pada September, turun dari 51,7 pada bulan Agustus. "PMI
tersebut juga menjadi tanda bahwa ekonomi Jerman semakin
pesimis," ujar Hans. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
Jerman telah mengalami perlambatan terbesar dalam aktivitas
pabrik sejak krisis keuangan, yang meningkatkan kecemasan
bahwa ekonomi zona Eropa juga tengah menuju jurang resesi.
Sementara itu, PDB AS juga melambat. Ekonomi kuartal II hanya
tumbuh 2%, turun dari 3% dari kuartal sebelumnya dan menjadi
yang terendah sejak kuartal IV 2018 lalu.

3. Laba bersih korporasi menyusut

Mengutip CNBC, salah satu tanda-tanda resesi AS juga terlihat


dari pertumbuhan laba bersih perusahaan AS yang turun drastis
tahun ini. Akhir Desember lalu, analis memperkirakan earnings
growth S&P 500 akan berkisar 7,6%. Saat ini, angka tersebut
hanya berkisar 2,3%. Bahkan, Goldman Sachs dan Citigroup
Strategist sudah memangkas estimasi laba bersih untuk
perusahaan di indeks S&P 500, sejalan dengan perlambatan
ekonomi dan devaluasi mata uang.

4. Kontraksi manufaktur

Pertumbuhan industri manufaktur AS melambat ke level


terendah sejak 10 tahun terakhir pada Agustus lalu. PMI
manufaktur As mencapai 49,9 pada bulan Agustus, turun dari 50,4

24
di bulan Juli. Angka ini di bawah ambang batas netral untuk
pertama kalinya sejak September 2009.

5. Indeks Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi Meningkat

Economic Policy Uncertainty Index (EPU) atau Indeks


Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi, sebuah indeks yang dirancang
untuk mengukur kekhawatiran terkait kebijakan di seluruh dunia,
mencapai level tertinggi sepanjang masa, yakni 342 pada Juni lalu.
Indeks EPU melacak berapa kali artikel surat kabar menggunakan
kata kunci yang terkait dengan ketidakpastian ekonomi dan politik.
Selain itu, ini mengukur spektrum ketidaksepakatan di antara para
ekonom: Semakin banyak perbedaan pendapat, semakin tinggi
indeks berjalan. Indeks membara di bulan Juli ke level 280 di
tengah harapan kesepakatan perdagangan antara AS dan China
akan terselesaikan. Berbagai tanda-tanda resesi global ini harus
diwaspadai lantaran Indonesia juga bakal terdampak. "Sebagai
negara net importir pasti kita terkena dampak. Pemerintah juga
sudah memandang ekonomi tahun depan cenderung konservatif,"
tandas Hans.

D. DAMPAK DARI RESESI EKONOMI


1. Resesi ekonomi menyebabkan pendapatan dan profit menurun

Baik bisnis besar ataupun bisnis kecil, keduanya bakal kena


imbas terjadinya resesi ekonomi. Imbas ini tampak pada
menurunnya pendapatan (revenue) dan keuntungan (profit) yang
diperoleh perusahaan. Sebagai solusi, perusahaan bakal berhenti
buat merekrut karyawan baru. Perusahaan juga mengurangi

25
ongkos produksi dengan mengurangi pembelian peralatan baru,
pengembangan produk baru, hingga meminimalkan pengeluaran
buat pemasaran. Adanya pengurangan-pengurangan tersebut
nantinya memengaruhi bisnis lainnya yang selama ini
bersinggungan.

2. Turunnya pendapatan diikuti dengan merosotnya harga saham


dan dividen

Perusahaan yang berstatus terbuka atau Tbk. wajib melaporkan


pendapatan dan laba yang diperolehnya dalam laporan keuangan
tiap kuartal. Perubahan yang terjadi di laporan keuangan memberi
pengaruh yang gak sedikit terhadap perubahan harga saham.
Harga saham bisa naik kalau pendapatan dan profit perusahaan
meningkat. Sementara harganya bakal merosot seandainya
pendapatan dan profit perusahaan menurun. Merosotnya harga
saham tampak jelas saat terjadinya resesi ekonomi. Soalnya para
investor gak mau ambil risiko menempatkan dananya dalam waktu
yang lama dalam bentuk saham.

3. Pembayaran kredit perusahaan tersendat-sendat

Gangguan yang terjadi pada bisnis akibat resesi ekonomi


menyebabkan perusahaan kesulitan membayar kredit yang
menjadi kewajibannya. Pasalnya, pendapatan yang turun menjadi
hambatan perusahaan dalam membayar kredit atau utang. Dalam
situasi tertentu, perusahaan bisa berada dalam situasi gagal bayar
atau default karena gak bisa membayar utangnya ke bank ataupun
para pemilik obligasi. Singkatnya, perusahaan bisa dikatakan
mengalami kebangkrutan. Reputasi perusahaan pun menjadi jelek
karena terlambat atau menunggak membayar kredit atau utang.

26
Buruknya reputasi membuat perusahaan bakal sulit dalam
memperoleh dana pinjaman.

4. Resesi ekonomi mengakibatkan terjadinya PHK dan


berkurangnya benefit karyawan

Terjadi pengurangan tunjangan hingga PHK. (Shutterstock)


gajiji karyawan termasuk salah satu komponen dari ongkos
produksi. Perusahaan yang pendapatan dan profitnya berkurang
akibat resesi ekonomi mau gak mau meminimalkan ongkos
produksi dengan membatalkan kenaikan upah. Terkadang dalam
suatu situasi, pihak perusahaan dan para karyawan bertemu buat
membicarakan penyelamatan perusahaan. Beberapa cara
ditempuh, mulai dari pengurangan upah hingga pengurangan
tunjangan.

Kemungkinan-Kemungkinan buruk yang bisa aja terjadi adalah


keputusan buat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Bahkan, bukan tidak mungkin, terjadi penutupan pabrik yang
dimiliki perusahaan tersebut.

5. Berkurangnya kualitas atau kuantitas dari produk dan jasa yang


dihasilkan perusahaan

Kualitas barang dan jasa berkurang. (Shutterstock)


pemangkasan ongkos produksi atau pengeluaran juga memberi
dampak dampak pada kualitas atau mutu dari produk ataupun jasa
yang dihasilkan perusahaan. Sebab, kalau kualitas tetap
dipertahankan, perusahaan mau gak mau menerima konsekuensi
turunnya pendapatan atau profit lebih dalam lagi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia Era Orde Lama Hingga


Jokowi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2015 ).

Musni Umar, Dkk. Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Forum


Kampus Kuning, 2002).

Faisal H. Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dna Harapan bagi


kebangkitan Ekonomi IndonesiaI, (Jakarta:Erlangga, 2002).

Brata Trisnu Nugroho, Prahara Reformasi Mei 1998, (Semarang: UPT


UNNES Press, 2006).

Krisis ekonomi global dan upaya penanggu langannya, chapter II. PDF.

Ridwan Abdul Malik. (2019, September 16), RMOLUJabar 2019, from


http://www.rmoljabar.com/read/2019/09/16/105397/Prediksi-Enggar-Tahun-
Depan-Bakal-Terjadi-Krisis-Ekonomi-Global-

Narita Indrasiti. (2019, September 26), Kontan 2019, from


https://www.google.com/amp.kontan.co.id./news/ancaman-resesi-di-depan-
mata-cermati-tanda-tandanya

28

Anda mungkin juga menyukai