Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN II

SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN

Dosen Pembimbing : Lak lak Nazhat El Hasanah, S.E.

Disusun oleh :
Fredila Putri A B300130143
Hendika Al Viana B300130148
Nunik Septiani B300130149
Trias Dian S B300130150

ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

1
Di negara berkembang sebagian besar angkatan kerja terlibat di sektor informal. Sektor
ini hampir tidak tercatat dalam statistik ekonomi resmi suatu negara. Padahal aktivitas
informal seringkali memainkan peran penting sebagai basis sumber kehidupan sebagian besar
penduduk di wilayah-wilayah yang sedang berkembang. Kegiatan sektor informal sering juga
disebut sebagai underground economy (Gerxhani 2000). Kata underground di sini mau
menunjukkan bahwa sektor informal tidak hanya kegiatan legal saja tapi bisa mencakup
kegiatan ilegal.
Mengapa sektor informal sangat pesat tumbuh di negara sedang berkembang? Pendapat
yang berkembang selama ini cukup beragam. Ada yang membangun argumen bahwa sektor
modern tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja karena pertumbuhan penduduk yang
lebih pesat dari pertumbuhan ekonomi. Banyak orang masuk ke sektor informal karena
mereka tidak tertampung di sektor modern. Usaha kecil di sektor informal bukanlah pilihan
usaha yang terbaik tapi bisa dianggap pilihan kedua yang terbaik (second best). Sektor
informal adalah bagian dari suatu model usaha yang berada di luar jangkauan aturan
pemerintah. Tentu ini berbeda dengan sektor formal yang selalu memperhatikan aturan
pemerintah seperti mendapat ijin usaha dan aturan kepegawaian (Marcouiller 1995).
Kelembagaan juga dilihat sebagai faktor determinan yang dapat mendorong atau
mengurangi tumbuhnya kegiatan ekonomi sektor informal. Kadang suatu negara berkembang
mulai menapak dalam arus modernisasi menganggap sektor informal sebagai lambang
keterbelakangan dan lambang tradisional sehingga perlu dihilangkan. Baik kaum liberal
maupun penganut aliran kendali negara (state control) kurang mendukung kehadiran sektor
informal yang luas. Memang ada pandangan bahwa negara tidak dapat berbuat banyak ketika
berhadapan dengan sektor informal. Mereka yang menganut perspektif kendali negara (state
control) mengusulkan agar pembangunan sektor modern perlu dipercepat melalui intervensi
negara bahkan bila perlu negara harus mempunyai kendali atas semua sektor. Bagi mereka
sektor informal adalah sektor marginal atau sektor sisa yang akan terkikis dengan sendirinya
jika sektor modern berkembang sehingga terbuka lapangan kerja yang luas (Morrisson 1995).
Sektor modern ternyata tidak mampu menyiapkan pekerjaan seperti yang diharapkan.
Pertumbuhan angkatan kerja di negara berkembang sangat cepat. Selain itu krisis ekonomi
yang sering melanda negara negara berkembang menyebabkan terhambatnya mereka
mengembangkan sektor modern. Investasi di negara berkembang lebih banyak mengandalkan
pinjaman luar negeri dan sangat terbatas. Pemerintah sangat terbatas kemampuannya dalam
menciptakan lapangan pekerjaan. Setelah menghadapi berbagai masalah di atas pemerintah
mulai membangun pandangan yang berbeda tentang sektor informal. Sektor ini tidak lagi

2
dianggap sebagai sektor marginal tapi merupakan sektor ekonomi yang membantu
pemerintah memecahkan masalah pengangguran di dalam negeri.
Pendapat lain lagi mengatakan bahwa beban ekonomi seperti, pajak yang tinggi,
penyogokan, dan birokratisasi yang berlebihan mendorong berkembangnya sektor informal di
negara berkembang (De Soto 1989). Para pengusaha sektor informal mencoba menghindari
berbagai macam beban keuangan karena praktek korupsi yang meluas. Dengan masuk ke
sektor informal mereka bisa menghindari pungutan yang membebani keuangan mereka.
Namun karena bergerak di sektor informal maka otomatis mereka tidak mendapat pelayanan
publik yang memadai dibanding dengan mereka yang bergerak di sektor formal. Biasanya
mereka yang bergerak di sektor publik mendapat perlindungan jaminan hak milik dari negara.
Sering pemerintah membuat kebijakan ekonomi yang keliru sehingga perekonomian
negara terpuruk. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia adalah contoh kegagalan kebijakan
ekonomi pemerintah pada masa yang lalu. Dalam situasi ini sektor informal menjadi harapan
pemerintah sebagai penyelamat ekonomi nasional (Morrisson 1995).
Setelah sektor informal mendapat pengakuan maka timbul pertanyaan bagaimana
menumbuhkan sektor ini? Selama ini kebijakan ekonomi neo-klasik lebih berpihak kepada
usaha besar. Oleh karena itu kebijakan mekanisme pasar seolah olah lebih menguntungkan
usaha besar daripada usaha kecil. Hernando de Soto adalah ahli ekonomi yang secara
konsisten melihat bahwa kebijakan mekanisme pasar juga cocok untuk sektor usaha informal
atau usaha mikro (De Soto 2000). Campur tangan pemerintah yang tidak terlalu banyak akan
memberi kesempatan sektor informal tumbuh secara mandiri dan kuat. Oleh karena itu de
Soto menginginkan pemerintah harus menghapus atau mengurangi aturan yang terlalu
membelenggu sektor informal berkembang. Perkembangan sektor informal yang pesat akan
membantu pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja.

A. Pengertian Sektor Informal


Banyak tulisan yang dibuat telah mengakui peran sektor informal dalam perekonomian
negara-negara berkembang. Namun sampai pada definisi belum ada konsensus untuk itu.
Dalam usaha untuk menghindari kerancuan sektor informal dapat dijabarkan sebagai aktivitas
ekonomi yang berada di luar sektor swasta maupun sektor publik yang terdaftar. Merujuk
pada definisi ini, usaha-usaha di sektor informal mencakup aktivitas ekonomi mikro dan kecil
yang tidak terdaftar baik oleh pemerintah maupun otoritas lainnya. Pada umumnya, usaha
informal tidak mengikuti peraturan berkaitan dengan ketenagakerjaan, pajak atau memiliki

3
ijin. Morrisson (1995), mengemukakan untuk memahami sektor informal, 3 hal harus
diperhatikan:
1. Ukuran. Dari segi ukuran sektor informal adalah mereka yang berusaha sendiri atau usaha
mikro yang mempunyai pekerja tidak lebih dari 20 orang.
2. Kelembagaan yang informal. Dari segi kelembagaan/aturan sektor informal mencakup
perusahan yang tidak terdaftar atau tidak memenuhi kewajiban administrasi legal seperti,
keselamatan kerja, pajak, dan hukum perburuhan.
3. Modal yang terbatas. Baik modal fisik maupun modal manusia per pekerja di sektor
informal adalah rendah dan bahkan sangat terbatas. Dengan kata lain sedikit sekali
menggunakan modal fisik dan modal manusia yang berkualitas.

Sebenarnya defenisi berdasarkan kriteria 1 dan 3 lebih terukur sehingga dapat dipakai
di mana saja dengan penyesuaian sesuai kondisi setempat. Defenisi sektor informal
berdasarkan kriteria 2 agak sulit dibuat ukuran yang bersifat umum karena masing masing
negara mempunyai aturan main tersendiri. Namun demikian faktor kelembagaan tidak bisa
diabaikan dalam pembahasan tentang sektor informal. Agar sektor informal tidak dianggap
sebagai sektor marjinal maka sektor informal dikategorikan sebagai usaha mikro. Dengan
perubahan nama ini diharapkan tidak ada beban pemerintah memberi perhatian yang cukup
untuk jenis usaha ini.
Orang pertama yang memperkenalkan konsep sektor informal adalah Keith Hart,
seorang antropolog sosial. Sektor informal menurut Hart merupakan bagian dari angkatan
kerja daerah urban yang bekerja di luar sektor formal (Gerxhani 2000). Hart menyamakan
sektor informal dengan usaha sendiri (self-employed). Jadi menurut Hart mereka yang
menerima upah secara teratur bekerja di sektor formal sedang mereka yang berusaha sendiri
dan pendapatannya tidak teratur bekerja di sektor informal. Walaupun konsep sektor informal
pada awalnya hanya terbatas pada usaha sendiri tapi pembedaan tersebut berhasil menarik
perhatian para ahli tentang sektor ini.

Gerxhani (2000) mencoba mengemukakan beberapa ciri sektor informal, yaitu:


1. Jaringan sosial dan entry yang mudah. Para pelaku usaha di sektor informal
mempunyai jaringan sosial yang kuat dan dapat dipakai sebagai perlindungan di masa
sulit. Selain sektor informal tidak membutuhkan syarat khusus untuk masuk berusaha.
2. Otonom dan fleksibel. Banyak orang memilih masuk sektor informal karena mereka
mempunyai fleksibilitas, kebebasan dan atonomi. Mereka bisa mengatur jam kerjanya.

4
3. Kemampuan bertahan. Sektor informal bisa bertahan terhadap tekanan struktural dari
luar. Oleh karena itu pemerintah diharapkan membantu tumbuhnya sektor ini karena
dalam jangka panjang dapat menjadi sumber pendapatan daerah.

B. Keuntungan dan Kerugian Kehadiran Sektor Informal


Banyak tulisan yang pesimis dengan kehadiran sektor informal. Menurut pemahaman
mereka sektor ini adalah sektor marjinal dan untuk orang miskina. Sektor ini dianggap tidak
produktif sehingga tidak akan mempunyai konribusi terhadap pendapatan negara. Namun
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor ini mempunyai potensi yang besar
dalam akumulasi modal bagi pembangunan sebuah wilayah. Klarita Gerxhani mencoba
mengidentifikasi keuntungan dan kerugian kehadiran sektor informal di suatu wilayah dari
sisi ekonomi, sosial, dan politik (Gerxhani 2000).

1. Keuntungan Kehadiran Sektor Informal


a) Ekonomi
 menjamin tingkat kompetisi dan fleksibilitas produksi
 memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi lokal
 sektor ini mendorong upah di sektor formal untuk bergerak ke bawah
 menyediakan harga barang dan jasa yang murah
 memberi pendapatan yang cukup untuk indvidu tertentu
 upah tenaga kerja sangat murah
 upah yang murah dengan biaya administrasi/birokrasi yang murah mengakibatkan
produktivitas modal sektor ini cukup tinggi
 pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa penurunan gdp dapat ditutupi
dengan kenaikan yang cepat sektor informal

b) Sosial
 kegiatan sektor informal memberi peluang pekerjaan kepada keluarga,
memungkinkan mereka memnuhi kebutuhan dasar dan peluang meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga mereka
 sektor informal memberi kebebasan untuk berinisiatif dan berkreasi
 walaupun pendapatan dari sektor ini mungkin kecil namun lebih baik dari pada
tergantung pada tunjangan subsidi pemerintah atau mati kelaparan

5
c) Politik
 kehadiran sektor informal dapat berperan sebagai katup pengaman terhadap
ketidakpuasan masyarakat luas atau ketegangan sosial
 kegiatan sektor informal sering didorong dan dimanfaatkan para politisi untuk
meningkatkan pengaruh politik mereka

2. Kerugian Kehadiran Sektor Informal


a) Ekonomi
 sektor informal tidak mempunyai kemampuan mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah
 muncul distorsi dari sektor informal terhadap indikator tingkat kesempatan kerja,
tingkat inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi
 sektor informal jarang membayar pajak sehingga pendapatan negara menurun
akibatnya terjadi defisit anggaran belanja
 lebih jauh dari itu sektor informal menekan kenaikan pajak
 kehadirannya memicu persaingan yang tidak sehat terhadap pengusaha yang
bergerak sektor formal baik nasional maupun internasional
 jika sektor informal tersebar secara meluas di sebuah negara maka akan memicu
kesenjangan teknologi antar negara
 mereka yang berkiprah di sektor ini mempunyai produktivitas dan pendapatan
rendah
 kehadiran sektor informal mempunyai korelasi terbalik dengan pelayanan umum
karena pendapatan pemerintah yang kurang

b) Sosial
 mereka yang terlibat di sektor informal lebih melarat dari mereka yang terlibat di
sektor formal. Hal ini tercermin dari kondisi tempat kerja yang buruk dan mereka
tidak menerima tunjangan sosial apa pun
 penduduk lain mendapat informasi yang keliru tentang pendapatan nasional
karena mereka yang terlibat di sektor informal memperoleh keuntungan karena
tidak membayar pajak atau kewajiban lain. Ini tidak adil untuk mereka yang
bekerja di sektor formal

6
d) Politik
 oleh karena kegiatan ekonomi sektor informal tidak tercatat sehingga tidak
dimasukkan dalam perhitungan statistik pendapatan. Ini akan mengurangi penilaian
terhadap kinerja pemerintah sebagai pembuat keputusan
 kehadiran mereka mendorong korupsi dan lobi politik yang membawa akibat negatif

Kehadiran sektor informal telah berhasil memberi pekerjaan bagi sebagian besar
penduduk. Diperkirakan 68 persen angkatan kerja di Indonesia terlibat dalam sektor informal
(Wiebe 1996). Bobo (2003) bahkan menyebut angka sekitar 90 persen usaha di Indonesia
masuk dalam kategori UKM dan informal. Angka tersebut tidak berbeda dengan Kenya
dengan sekitar 68 persen angkatan kerja terlibat dalam sektor dalam sektor informal (Bigsten
2000). Bahkan Thailand yang perekonomiannya cukup mapan memperkirakan sekitar 72
persen angkatan kerja bergelut di sektor informal (Coate 2006). Angka tersebut menunjukkan
bahwa sektor ini sangat dominan sebagai penyedia lapangan kerja bagi lebih dari separuh
penduduk suatu negara. Pada aras kabupaten, walaupun belum ada data, sektor informal
masih dominan sebagai penyedia lapangan kerja bagi penduduk yang tidak terserap ke pasar
tenaga kerja formal.

Jenis usaha yang masuk dalam sektor informal sangat bervariasi, mulai dari yang legal
hingga yang ilegal. Ada beberapa sub-sektor yang di dalam sektor informal yang menjadi
tempat penampungan mereka yang mau berusaha di sektor informal (Coate 2006). Sub-sektor
tersebut meliputi:
 Eceran (retailing): Sektor ini meliputi pedagang asongan, pedagang kakilima (PKL), dan
pedagang koran
 Transportasi: mobil sewaan, taksi gelap, ojek, andong, becak, dan tukang pikul
 Jasa pribadi: tukang semir, tukang sepatu, tukang pijat, tukang kayu dan tukang kebun
 Penyewaan: penyewaan kursi, penyewaan perlatan pesta, dan rentenir
 Jasa keamanan: penjaga malam, pengawal dan tukang parkir.
 Perjudian: penjual loteri dan penjual nomor buntut
 Barang bekas: pemulung sampah, dan penjual barang bekas
 Pekerja seks komersil (PSK)
 Pengemis
 Kriminal: copet, mencuri, dan merampok

7
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor eceran merupakan kegiatan yang
paling banyak menampung tenaga kerja. Sebagian besar yang bekerja di sektor ini adalah
pedagang kaklima dan pedagang asongan. Mungkin ini bisa masuk akal karena sektor ini
yang paling mudah untuk berusaha karena tidak membutuhkan kehlian khusus, dan modal
yang dibutuhkan kecil.
Pembagian sektor formal dan informal dalam beberapa hal masih sering kabur. Salah
satu pembedaan adalah sektor formal diatur pemerintah sedang sektor informal kurang diatur
pemerintah. Dalam kenyataan sektor informal ternyata sering diatur oleh pemerintah.
Misalnya, pemerintah mengatur tentang lokasi pedagang kakilima sehingga tidak bentrok
dengan pengusaha di sektor formal. Sering terjadi sektor informal bisa juga membangun
mitra dengan sektor formal melalui subkontrak. Sektor informal menjual produk yang
dihasilkan sektor formal dan sebaliknya sektor formal dapat menjual produk sektor informal.
Jadi pembedaan di atas hanya berguna untuk kepentingan analisis dalam rangka pembuatan
kebijakan.
Untuk mengatasi masalah sektor informal di Indonesia, khususnya di kota-kota besar
salah satunya dengan memanajemen usaha dari sektor informal tersebut. Dalam ini yang
menjadi pengontrol yakni pemerintah. Tugas pemerintah dalam hal ini mengawasi sektor
informal yang lokasinya disediakan oleh pihak swasta. Pengawasan ini dimaksudkan untuk
melindungi sektor informal dari tindakan swasta yang kurang baik. Misalnya menarik
pungutan yang tinggi. Apabila sektor informal tersebut dikelola dan diawasi dengan baik,
maka tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ekonomi akan menjadi sebuah survival strategy.
Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintah dan semua pihak
dalam mewujudkan potensi yang ada dalam sektor informal melalui langkah-langkah
kebijakan sebagai berikut:
a. Pertama, hendaknya pemerintah daerah dapat memahami bahwa modernisasi di perkotaan
bukan hanya sebatas pada pembangunan plaza dan mal-mal saja. Akan tetapi,
modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai pemberian tempat yang lebih layak bagi
ekonomi informal pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan
sebagian besar rakyat miskin. Pemerintah seharusnya menghilangkan image bahwa sector
informal adalah sesuatu yang harus ditata dan dilindungi, namun harus beranggapan
bahwa sector informal adalah kegiatan yang harus dirangkul.
b. Kedua, retribusi atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh
pemerintah daerah seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan
pendapatan real dan juga adanya timbal balik berupa pelayanan kebersihan dan keamanan

8
sektor ekonomi informal. Pemerintah juga harus membantu dalam hal permodalan
berbunga rendah untuk mendapatkan lokasi usaha, baik itu bekerja sama dengan swasta
atau dari APBD
c. Ketiga, hendaknya pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) menciptakan pusat pelayanan bagi sektor-sektor ekonomi informal demi
perberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Selain itu juga harus
dilaksanakan pelatihan bagi sector informal. Pelatihan ditujukan untuk menyebarkan
informasi seputar kegiatan usaha, pengembangan wawasan, dasar pengelolaan usaha, dan
pemanfaatan peluang usaha.

Sebenarnya masih banyak lagi langkah-langkah pemberdayaan sektor ekonomi


informal lainnya. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengupayakan dapat
berlangsungnya usaha rakyat kecil di sektor ekonomi informal yang juga miskin akan modal
dan juga keterampilan. Sehingga, pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka tidak lagi
tergantung kepada pemerintah dengan tidak tersedianya pekerjaan pada sektor formal.
Sementara pemerintah sendiri nyatanya belum mampu dari segi dana untuk melakukan
investasi besar-besaran guna mengatasi permasalahan ketenagakerjaan.

Rangkuman
Sektor informal menduduki peringkat teratas dalam menyerap angkatan kerja. Hal ini
karena entry ke sektor ini sangat mudah dan keahlian yang dibutuhkan sangat terbatas. Sektor
informal ini tumbuh sebagai akibat dari lambatnya sektor formal menyerap tenaga kerja.
Petumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan sektor formal mengalami kesulitan
menyediakan kesempatan kerja bagi angkatan kerja baru. Pengembangan sektor ini tidak
sepenuhnya mendapat sambutan. Banyak negara berkembang ingin sektor ini dihilangkan
karena menjadi lambang keterbelakangan. Namun kaum optimis percaya bahwa sektor ini
bisa bermitra dengan sektor formal. Sektor informal secara ekonomi, sosial, dan politik
mempunyai keunggulan dan kelemahan. Terlepas dari itu sektor ini sebenarnya memberi
kontribusi terhadap perekonomian daerah. Memang pilihan untuk masuk ke sektor informal
bukanlah yang terbaik tapi merupakan pilihan kedua yang terbaik. Daripada mengangu lebih
baik masuk ke sektor ini walaupun dengan pendapatan yang tidak terlalu besar. Sebenarnya
tidak semua yang terjun ke sektor ini karena alasan kemiskinan. Ada juga pengusaha yang
sengaja masuk ke sektor ini karena tidak terlalu diganggu oleh masalah birokrasi yang mahal.

9
Dalam hal hal tertentu sektor ini dapat menggalang kerja sama dengan sektor formal sehinga
batas antara sektor informal dan sektor formal menjadi kabur.

10

Anda mungkin juga menyukai