Anda di halaman 1dari 19

PAPER RPS 1

SEJARAH PEMBANGUNAN EKONOMI

Oleh :
Kelompok 1
Ni Kadek Dwita Julyastini (1707511063)
Anak Agung Istri Ratna Dewi (1707511068)

Mata Kuliah : EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI 416 B2)


Dosen : Dr. Ida Ayu Nyoman Saskara, SE., M.Si

EKONOMI PEMBANGUNAN REGULER BUKIT


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas paper ini yang berjudul
“Sejarah Pembangunan Ekonomi”. Adapun di dalam pembuatan paper ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan paper ini. Untuk itu kami tidak
lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan paper ini. Namun tidak lepas dari itu,kami menyadari bahwa di
dalam pembuatan paper ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi
perbaikan paper di masa yang akan datang.
Semoga dengan disusunnya paper ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya paper ini dapat berguna bagi kami sendiri dan bagi orang
yang membacanya. Kami mohon maaf jika di dalam penyusun paper ini terdapat
kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja kami perbuat. Demikian yang dapat kami
sampaikan semoga paper ini dapat memberikan manfaat.

Jimbaran, September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

1.1 Latar Belakang...............................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6

2.1 Depresi dan Rehabilitasi Ekonomi.................................................................6

2.2 Globalisasi: Negara Kaya dan Negaara Miskin...........................................11

2.3 Pandangan Klasik dan Ketergantungan.......................................................14

BAB III PENUTUP................................................................................................17

3.1 Kesimpulan..................................................................................................17

3.2 Saran.............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kajian ekonomi politik internasional, relasi utara-selatan merupakan
premis mendasar dalam melihat ketimpangan dan marjinalisasi di negara dunia
ketiga. Utara-Selatan atau dalam istilah populernya dikenal sebagai global north
dan global south merupakan dikotomi yang mewakili adanya divergensi yang
terdapat dalam arena globalisasi. Hasan Hanafi (;2000, dalam Gili Argenti,
2019;42), menjelaskan bahwa sejarah relasi antara dunia timur dan barat tidak
berada dalam titik keseimbangan (equibilirium), dua kutub ini dalam narasi
sejarahnya kerap berada pada posisi saling berkontradiksi bahkan saling
menegasikan. Dunia barat senantiasa menempatkan dirinya sebagai peradaban
superior umat manusia, mitos yang dibangun oleh mereka seakan menciptakan
kesadaran yang dipaksakan terhadap dunia timur bahwa barat itu maju, modern,
beradab serta identik dengan kemakmuran, sedangkan dunia timur berada pada
kutub sebaliknya, mereka masih hidup dalam keterbelakangan, inferioritas,
tradisional serta mencerminkan bangsa yang tidak beradab.
Berbagai macam teori yang dipakai ternyata belum mampu mengakhiri
keterbelakangan negara negara Dunia Ketiga. Masalah-masalah pembangunan
seperti kemiskinan dan kepincangan distribusi pendapatan terus berlangsung
memburuk. Kenyataan ini menyebabkan munculnya isu-isu kontroversial dalam
ekonomi pembangunan yang secara umum mencerminkan ketidakpastian politik
dan ekonomi tentang penerimaan politis teori-teori dalam pemecahan mendasar
seperti pertambahan angka pengangguran produktif, penghapusan kemiskinan
pedesaan dan urban, serta penurunan ketimpangan ekonomi dan sosial. Kenyataan
di atas memunculkan asumsi bahwa kegagalan pembangunan di Dunia Ketiga
adalah karena diterapkannya teori yang tidak sesuai dengan kondisi setempat (a-
historis). Banyak pengambil keputusan di Dunia Ketiga terpaksa membuat
kebijakan-kebijakan berdasarkan ideologi-ideologi yang sama sekali tidak sesuai
dan dimodifikasi sekadar sesuai dengan kondisi historis dan kultural setempat

4
sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang merusak terhadap kondisi
sosio-ekonomi yang ada (Akhmad Nur, 2015;2-3)

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana depresi dahn rehabilitasi ekonomi?
1.2.2 Bagaimana globalisasi: negara kaya dan negara miskin?
1.2.3 Bagaimana pandangan klasik dan ketergantungan?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui depresi dahn rehabilitasi ekonomi
1.3.2 Untuk mengetahui globalisasi: negara kaya dan negara miskin
1.3.3 Untuk mengetahui pandangan klasik dan ketergantungan

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Tersedianya Sumber Pengetahuan Bagi Mahasiswa
1.4.2. Dapat Menambah Wawasan Bagi Mahasiswa
1.4.3. Dapat Menambah Prestasi Mahasiswa

BAB II
PEMBAHASAN

5
2.1 Depresi dan Rehabilitasi Ekonomi
Walerstein (dalam Ahmad Yustika, 2012;2) membagi kurun waktu
globalisasi dalam dua periode. Pertama, rentang waktu tahun 1450 sampai saat
ini. Pada periode itu dia menyebutnya sebagai siklus hidup ‘capitalist world-
economy’, dimana diandaikan telah terjadi pembangunan ekonomi yang normal,
namun saat ini sedang masuk dalam periode krisis ekonomi. Kedua, kurun waktu
antara tahun 1945 sampai kini, yang disebut oleh Wallerstein sebagai abad transisi
(age of transition). Fakta lain yang harus diungkap adalah, sejak tahun 1450-an
tersebut mulai marak fenomena kolonialisme. Pemikiran terpenting pada zaman
itu, kesejahteraan ekonomi suatu negara bisa dicapai dengan jalan menguasai
sebanyak mungkin sumber daya ekonomi yang tersebar di banyak negara, dan itu
baru dapat diperoleh bila negara kaya ekonomi/sumber daya alam tersebut dijajah.
Oleh karena itu, wilayah-wilayah kaya sumber daya alam, yang sekarang
diidentifikasi sebagai negara berkembang/dunia ketiga, merupakan daerah jajahan
dari negara-negara kaya saat ini, seperti Inggris, Belanda, Rusia, Prancis, Belgia
Portugis, dan Spanyol. Dari Sejarah itu, dipelajari bahwa pembelahan strata
ekonomi dunia sekarang tidak lepas dari struktur politik (kolonialisme) yang
terjadi di masa lampau.
Dari proses kolonialisme, tanpa disadari telah memunculkan sistem tata
ekonomi dunia yang membelah negara menjadi dua kutub: maju dan
keterbelakang. Secara teknis negara-negara jajahan diperas sumber daya
ekonominya (raw material) dengan cara dibeli dengan harga murah, diantaranya
melalui upah tenaga kerjanya sangat rendah, untuk kemudian diekspor ke negara
penjajah (pemerintah kolonial). Selanjutnya, bahan-bahan mentah itu diolah
menjadi barang jadi (finished goods) dengan harga yang tinggi dan diekspor
kembali ke negara asal (negara jajahannya).
Merkantilis sebagai sistem ekonomi, kurang lebih bisa dimaknai sebagai
keinginan untuk mengoleksi tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi dengan
jalan memperbesar ekspor dan meminimalisasi impor. Untuk itu segala cara harus
ditempuh demi menggapai kesejahteraan tersebut bila perlu dengan

6
mempraktikkan kolonialisme (lewat dokrin state power) dan monopoli dalam
perdagangan (lihat tabel 1.1)
Tabel 1.1: Ciri Khas dan Jenis Kebijakan yang Biasa Diterapkan dalam
Merkantilisme
Ciri Khas Jenis Kebijakan
Persepsi statis mengenai Semua kegiatan ekonomi dipusatkan pada
pertumbuhan ekonomi tujuan politisi tunggal untuk memperkuat
negara-kebangsaan yang baru timbul di bawah
kekuasaan raja
Dokrin state power Pemupukan aset untuk membiayai militer darat
dan mengembangkan teritorial di Eropa
Regulasi kegiatan ekonomi Pengembangan angkatan laut untuk
mengembangan teritorial kolonial di seberang
lautan diluar Eropa
Restriksi dalam perdagangan Regulasi dalam kegiatan pelayaran dan armada
logam mulia maritim
Monopoli dalam perdagangan Pengembangan wilayah kolonial untuk
kepentingan pemerintah metropole
Regulasi dalam pelayaran Monopoli dan regulasi dalam kegiatan
perdagangan, restriksi dalam perdagangan
logam mulia
Pengembangan teritorial Perjanjian untuk melaksanakan profesi dan
wilayah colonial pengembangan keahlian teknis dan ekonomis
Sumber: Kartadjoemena, 1996:18-19 (dalam Ahmad Yustika, 2012;3)
Pada aras ini sebagai pola pikir, merkantilisme merupakan suatu
sistematika yang menyeluruh dan mencerminkan dasar intelektual yang dianut
pada periode tahun 1500 hingga 1750. Para merkantilis itu umumnya menguasai
sektor perdagangan, bisnis, dan kerajinan. Sedangkan dalam sektor perkebunan
dalam zaman feodalisme, pemilik lahan besar (landlords) memperoleh laba yang
menggiurkan dari eksploitasi buruh yang bekerja dengan upah rendah. Dengan
deskripsi ini dapat dikatakan bahwa merkantilisme adalah ideologi kesejahteraan
yang harus direngkuh dan kolonialisme adalah cara untuk menggapainya.
Setelah semua itu berjalan, barulah dikenal konsep kapitalisme yang
merujuk kepada upaya yang untuk mengakumulasi modal secara terus-menerus
agar diperoleh profit sebanyak-banyaknya. Konsep dasar kapitalisme adalah

7
pemberian hak milik individu (private property right) yang seluas-luasnya
sehingga mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi (transaksi). Dalam pengertian
ini tentu saja peran negara sangat dibatasi dalam kegiatan ekonomi, semuanya
diserahkan kepada individu (private). Tugas negara adalah menciptakan
infrastruktur yang memungkinkan para kapitalis dapat melakukan proses produksi
dan distribusi barang/jasa, menyediakan jasa keamanan untuk melindungi pasar
(market), dan menekan pekerja agar bersedia dibayar dengan upah murah. Dalam
beberapa aspek, sistem ekonomi telah mendonorkan perkembangannya yang
begitu cepat, baik dari sisi domestik maupun internasional, khususnya bisa dilihat
dari volume perdagangan internasional dan peningkatan investasi dunia.
Menjelang akhir tahun 1920-an, ketika Perang Dunia II bermula,
keperkasaan kapitalis mulai agak goyah akibat kerusakan fisik yang hebat dan
guncangan perekonomian yang kuat (aggregate demand merosot tajam). Pada
kondisi iniah kemudian proyek rehabilitasi ekonomi dilakukan, dengan Amerika
Serikat sebagai pemimpinnya. Instrumen dalam pembangunan ini (rekontruksi)
adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid.
Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia (menurut
sistem Bretton Woods) dan menahan laju komunisme (Hettne, 2001:82, dalam
Ahmad Yustika, 2012;5). Di luar itu program ini dirancang untuk menyokong
stabilitas permintaan dunia. Pada saat yang sama AS juga berupaya menjaga
stabilitas perekonomian dunia melalui pembentukan multilateral, seperti IMF
(Internasional Monetary Fund), Word Bank dan PBB serta membuat kesepakatan
Yalta dengan Uni Soviet.
Sejak awal, tampak gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan
setelah Perang Dunia II itu memiliki dua tujuan penting. Pertama, pembangunan
dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia (dengan
pelopor AS), di mana model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan
liberalisasi perdagangan. Kedua, pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk
menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang dianggap membahayakan
kepentingan Amerika Serikat. Bagi negara-negara penganjur kapitalisme,
komunisme merupakan virus jahat yang tidak saja berpotensi mematikan
kebebasan indovidu, khususnya dalam mengerjakan aktivitas ekonomi dan politik.

8
Realitas inilah yang pantas dicatat untuk memahami peta peta pembangunan dunia
yang berlangsung saat ini.
Tabel 1.3: Sejarah Sistem Perdagangan Dunia dari tahun 1500 - sekarang
Periode Keterangan
- Regulasi yang ketat oleh pemerintah
- Monopoli dalam semua usaha
Tahun 1500-1750 - Pembatasan ketat dalam perdagangan
Merkantilisme - Hubungan ekonomi yang tegang denga negara lain
- Tujuan ekonomi dipusatkan pada akumulasi emas
sebagai tujuan nasional
Perdagangan bebas
Tahun 1815 – 1914 Kebebasan lalu lintas alat pembayaran
Liberalisme Kebebasan lalu lintas modal
perdagangan (zaman Kebebasan lalulintas migrasi
keemasan sistem Pengembalian sendi0sendi yang menunjang perdagangan
perdagangan dunia) bebas di bidang finansial, perbankan,asuransi, pelayaran,
dan bursa komuditi
Kontrak kegiatan ekonomi (depresi tahun 1930-an)
Peningkatan proteksionisme
Tahun 1918-1941 Restriksi dalam lalu lintas devisa
Fragmentasi sistem Restriksi dalam lalu lintas modal
perdagangan dunia Peningkatan hambatan terhadap migrasi
Saling relasiasi dalam mengatasi krisi ekonomi (beggar-
thy-neighbar policy)
Tahun 1945 – 1994 Perkembangan positif:
setelah Perang Dunia II Upaya mengurangi proteksionisme melalui sistem dan
aturan GATT
Upaya mengadakan sistem moneter dan pembayaran
internasional yang lebih teratur dan bebas (IMF)
Upaya mengerahkan dana bagi rekontruksi pembangunan
(bank dunia)
Upaya untuk membantu pembangunan negara
berkembang melalui bantuan luar negeri dan bantuan

9
teknis
Perkembangan negatif:
Timbulnya persaingan yang menegangkan antara dunia
Marxis dan non-Marxis serta antara Blok Barat dan Blok
Timur
Perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara
berkembang
Runtuhnya rezim Marxis di seluruh dunia
Meningkatnya persaingan dagang dan ekonomi antara
negara maju dan non-Marxis
1989 – setelah perang
Meningkatnya blok regional (yang bisa saling
dingin
bertentangan atau saling bekerja sama)
Meningkatnya peranan negara berkembang
Timbulnya negara industri baru
Sumber; Kartadjoemena, 1996:11-12 (dalam Ahmad Yustika, 2012;7)
Untungnya, proses rehabilitasi tersebut segera menampakkan hasilnya
ketika perekonomian dunia kembali dalam posisi stabil, setidaknya bila dilihat
dari pertubuhan ekonomi yang tercipta. Berbarengan dengan itu, Amerika Serikat
semakin memperkokoh posisi ekonominya ketika proposal globalisasi ekonomi
kemudian disetujui pada tahun 1944 di Marakesh, dimana pada saat itu WTO
(World Trade Organization) diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia.
Dengan ratifikasi tersebut masing-masing negara menjadi kehilangan otoritas
secara penuh untuk mengurusi ekonomi domestiknya, sebab semuanya telah
diatur dala regulasi internasional Tanpa disadari pula, globalisasi sekaligus
menyerahkan perkara-perkara distribusi ekonomi kepada pasar, dengan anggapan
pasar merupakan instrumen yang bisa menyelenggarakan efisiensi secara penuh.
Pencapaian ini telah menandai perubahan mendasar dalam perekonomian dunia,
di mana pasar menjadi instrumen utama untuk menggerakkan perekonomian dan
negara kembali ke tempatnya semula: mengurusi pertahanan, mata uang, dan
administrasi.

10
2.2 Globalisasi: Negara Kaya dan Negaara Miskin
Globalisasi ekonomi adalah suatu proses pengintegrasian ekonomi
nasional ke dalam suatu sistem ekonomi global (Fakih, 2002, dalam Lestari
Agusalim, 2017;104). Salah satu bentuk globalisasi ekonomi ditandai dengan
meningkatnya keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perdagangan
internasional. Globalisasi ekonomi ini akan menciptakan hubungan ekonomi yang
saling memengaruhi antarnegara, serta lalu lintas barang dan jasa akan
membentuk perdagangan antarnegara. Kontrol pemerintah semakin memudar
karena proses globalisasi digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh
kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah secara individu.
Kegiatan perdagangan internasional akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi
suatu negara, karena semua negara bersaing di pasar internasional (Todaro dan
Smith, 2006, dalam Lestari Agusalim, 2017;104).
Gagasan globalisasi ini memiliki inti untuk memperdalam dan
mempercepat interaksi ekonomi antarnegara, yang salah satunya bisa dicapai bila
seluruh negara menghilangkan hambatan-hambatan (barriers) perdagangan
internasional seperti kebijakan kuota, bea impor, maupun proteksi pasar domestik.
Terdapat lima karakteristik penting dari globalisasi (Singh, 1998:3-4, dalam
Ahmad Yustika, 2012;8), yakni: (i) pertumbuhan transaksi keuangan internasional
yang cepat; (ii) pertumbuhan perdagangan yang cepat, terutama diantara
perusahaan-perusahaan transnasional; (iii) gelombang investasi asing langsung
(foreign direct investment), yang mendapat dukungan luas dari kalangan
perusahaan transnasional; (iv) timbulnya pasar global; dan (v) penyebaran
teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi
dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia. Dengan ciri-ciri tersebut,
globalisasi dengan sendirinya merupakan proses “pemadatan” (ekonomi) dunia,
atau dengan kata lain merupakan proses integrasi ekonomi dunia.
Pembukaan pasar yang begitu luas di setiap negara sudah tentu
menimbulkan beberapa konsekuensi ekonomi yang serius, bukan saja sekadar
efisiensi alokasi faktor produksi seperti yang diniati oleh globalisasi. Persoalan
paling serius adalah munculnya pihak yang kalah akibat persaingan bebas dengan
negara-negara yang telah mapan ekonominya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat

11
dalam proses globalisasi ini berlaku hukum “zero sum game”, dimana negara
yang perekonomiannya tidak efisien akan mati dilindas oleh negara yang sudah
menjalankan proses produksi secara matang. Memang dalam aturan GATT
terdapat beberapa klausial yang masih membolehkan negara-negara tertentu
melakukan proteksi produk dalam negeri, misalnya dengan kebijakan tarif atau
bea masuk terhadap barang impor, tetapi tetap saja previlege ini masih kurang
memadai untuk membetengi perekonomian domestik karena ketimpangan
ekonomi antar negara tersebut berlangsung secara masif dan bersifat struktural.
Fenomena itulah yang kemungkinan besar sudah dan tengah berlangsung
ketika proses globalisasi mulai diberlakukan setahap demi setahap. Bahkan,
sebelum proses globalisasi itu berlangsung, sudah muncul realitas semakin
mundurnya keadaan ekonomi negara-negara berkembang akibat tertimpa krisis
ekonomi yang cukup parah, seperti yang dialami oleh sebagian negara Asia
Tenggara dan Amerika Latin. Sedangkan negara-negara di belahan Afrika, karena
ketersediaan modal alam dan uang yang sangat tipis, sebagian besar penduduknya
masih hidup terbelakang dan terjerat kemiskinan, sehingga terpaut jauh jaraknya
dengan negara-negara maju lainnya dalam hal kesiapan negara itu untuk
melakukan “persaingan ekonomi”.
Fakta lainnya, menurut IMF dan Bank Dunia (2001; dalam Ahmad
Yustika, 2012;9), nilai perdagangan dunia tumbuh rata-rata 10% selama periode
1970-1999, melampaui pertumbuhan output. Dalam periode yang sama, ekspor
negara berkembang tumbuh 12% dan pangsa pasarnya naik dari ¼ menjadi 1/3
dari total ekspor dunia. Kemajuan tersebut sangat mengesankan di sejumlah
negara berkembang di Asia, dan pada tataran yang lebih sedikit, di Amerika Latin.
Negara-negara ini berhasil karena mereka berpartisipasi dalam perdagangan
dunia, yang membantu menarik investasi asing. Sayangnya pangsa negara-negara
miskin dalam perdagangan dunia menurun drastis, yang disebabkan masalah
structural, kebijakan dan institusi yang lemah, dan proteksi.
Data komparatif menunjukkan bahwa pada dekade tahun 1990-an
perdagangan dunia tumbuh rata-rata tiap tahun sebesar 6,8%; lebih dari dua kali
lipat pertumbuhan output dunia tahunan yang cuma 3,2%. Untuk negara
berkembang secara keseluruhan, selama decade tahun 1990-an perdagangan

12
meningkat 8,3% tiap tahun, sementara pertumbuhan GDP riil tahunan meningkat
5,5%. Meskipun begitu, keuntungan dari globalisasi tidaklah sama untuk semua
negara atau wilayah. Negara-negara Afrika justru mendapat bagian yang terus
menurun selama decade terakhir ini.
Jika negara-negara di dunia ini dibagi secara proporsional dalam lima
kategori (dari mulai negara yang termiskin sampai yang terkaya), maka 20%
negara terkaya di dunia menguasai sekitar 80% distribusi pendapatan
(kemakmuran) dunia. Lainnya 20% negara yang masuk dalam kuantil kedua
terkaya di dunia memperoleh bagian sekitar 10% saja dari pendapatan dunia.
Sisanya, masing-masing kuantil hanya mendapatkan kurang dari 3% pendapatan
dunia (UNDP,1992, dalam Ahmad Yustika, 2012;10).
Blok-blok perdagangan yang semakin menjamur seperti NAFTA di
Amerika Utara, AFTA di Asia Tenggara, APEC di Asia Pasifik, dan EEC di Eropa;
merupakan “jarring pengaman” (security net) bagi negara-negara anggota untuk
menahan laju penetrasi negara asing (maju) ke pasar ekonomi domestic ataupun
regional. Dari sini bisa dilihat bahwa sesungguhnya keberadaan blok-blok
perdagangan tersebut merupakan antithesis dari globalisasi, di mana beberapa
tujuan dari blok-blok perdagangan tersebut secara jelas melanggar atau
meniadakan aturan yang tertuang dalam prinsip globalisasi (GATT). Sulit untuk
diraba bagaimana masa depan blok perdagangan ini, apakah ia akan tetap eksis
atau akan segera pamit setelah globalisasi mulai dijalankan secara penuh.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa dideteksi dari munculnya blok-blok
perdagangan tersebut. Pertama, sangat boleh jadi blok perdagangan merupakan
instrument yang digunakan sebagai batu loncatan (step stone) untuk menapak
pada proses globalisasi. Bagi banyak negara (berkembang), proses globalisasi
merupakan lompatan yang terlampau jauh (two steps forward), padahal negara-
negara ini tidak memiliki infrastruktur persaingan ekonomi yang memadai.
Dengan adanya blok perdagangan ini diharapkan diperoleh dua manfaat sekaligus,
yakni mencari pengalaman melakukan interaksi ekonomi secara terbatas dengan
negara-negara tertentu dan mengerjakan langkah mundur (one step backward) dari
persaingan ekonomi yang lebih luas. Bagi negara-negara maju, partisipasi dalam

13
blok perdagangan lebih ditekankan untuk mengidentifikasi dan menjajaki negara
mitra dagang (ekonomi) yang paling menguntungkan di masa-masa mendatang.
Kedua, dalam perkembangannya nanti blok perdagangan akan digunakan
sebagai “induk” bagi negara-negara tertentu yang kalah dari kompetisi global.
Skenario ini mudah ditangkap mengingat setiap negara selalu butuh tempat
“bergantung” apabila perekonomiannya hendak roboh. Jika dulu tempat
bergantung itu adalah kebijakan proteksi pemerintah (government protection
policies), namun karena model tersebut tidak diabsahkan lagi oleh prinsip
globalisasi, maka tempat berpegangan itu dipindahkan dengan jalan menggelayut
pada lembaga induk, yakni blok perdagangan.

2.3 Pandangan Klasik dan Ketergantungan


Literatur klasik pasca-Perang Dunia II dalam pembangunan ekonomi telah
didominasi oleh empat aliran pemikiran utama yang saling bersaing: (1) Model
tahapan pertumbuhan linear (linear stages of growth model); (2) Teori dan pola
perubahan structural (theories and patterns of structural change); (3) Revolusi
ketergantungan internasional (international dependence revolution); (4) Kontra
revolusi pasar bebas neoklasik (neoclassical free marketcounter revolution).
Beberapa tahun belakangan ini, telah muncul pendekatan elektik (electic
approach) dengan menggabungkan yang terbaik dari semua teori klasik. (Todaro
dan Smith, 2006;125)
Ekonom-ekonom aliran ketergantungan (dependency) menganggap sistem
tata ekonomi dunia sebagai akar penyebab keterbelakangan negara-negara.
Operasi perusahaan-perusahaan multinasional (multinasional corporations/MNC)
yang hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat mencari bahan baku,
menyerap tenaga kerja murah, dan menjual produk; sementara profitnya dibawa
ke negara asal (repatriasi). Model ketergantungan internasional memandang
negara-negara berkembang sebagai korban kekakuan lembaga, politik, dan
ekonomi baik domestik maupun internasional serta terjebak dalam perangkap
ketergantungan (dependence) dan dominasi (dominance) negara –negara kaya.
Dalam pendekatan umum ini terdapat tiga aliran pemikiran utama, yaitu model
ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), model paradigma
palsu (false paradigm model), dan tesis pembangunan dualistis (dualistic

14
development thesis). Model ketergantungan neokolonial menghubungkan
eksistensi dan langgengnya keterbelakangan (underdevelopment) terutama pada
evolusi sejarah sistem kapitalis internasional yang sangat tidak setara dalam
hubungan antara negara kaya dan negara miskin. Model paradigma palsu ini
mengaitkan keterbelakangan dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang
diberikan para pakar ekonomi internasional. Tesis pembangunan dualistis melihat
bahwa dunia terbagi dalam 2 kelompok besar yakni negara-negara kaya dan
miskin, dan segelintir orang kaya hidup ditengah-tengah kegelimangan
kemiskinan. Indonesia pra krisis maupun pasca krisis merupakan negara yang
terjebak akan ketergantungan dari negara donatur (Negara “donatur” dalam hal ini
dimaknai sebagai negara kaya yang banyak berkontribusi dalam perkembangan di
Indonesia). Indonesia selama ini memang mengalami ketergantungan yang luar
biasa, hal tersebut bisa dilihat dari jumlah hutang-hutang yang terus meningkat
(hutang material & non material) sehingga susah bagi Indonesia untuk keluar dari
keterpurukan hutang ini.
Di sisi lain, ekonom-ekonom dari aliran klasik/neoklasik (Warren dan
Amsdem), berpendapat bahwa yang menjadi penyebab keterbelakangan negara-
negara berkembang adalah perilaku pemimpin negara tersebut yang salah dalam
memproduksi kebijakan ekonomi, misalnya kasus monopoli, dan hubungan
antarpelaku ekonomi domestic (local class relationship) yang asimetris.
Pandangan mereka, justru kehadiran pihak asing (misalnya melalui MNC) akan
membantu memperbaiki iklim kompetisi di negara berkembang. Secara lebih
spesifik, aliran ekonomi klasik percaya bahwa perekonomian dunia akan maju bila
semua rintangan bagi terjadinya perdagangan dunia dihapus. Sedangkan pada
level domestic, paham klasik menekankan kepada pentingnya mekanisme pasar
sebagai instrument untuk menggerakan perekonomian. Oleh karena itu para
ekonom menyarakan kebijakan-kebijakan yang kemudian dikenal dengan istilah
“Washington Consensus”. Kebijakan-kebijakan itu secara implisit mengajak
pemerintah/negara “menahan diri” untuk tidak turut campur langsung dalam
kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan kepada kebijakan
moneter, menjamin hak kepemilikan, dan menyiapkan infrastruktur pendidikan
dasar.

15
Meskipun begitu, perspektif klasik dibantah oleh aliran dependensia yang
menganggap instrument ULN (Utang Luar negeri) dan PMA (Penanaman Modal
Asing) sebagai biang dari kemerosotan perekonomian negara-negara berkembang.
Beberapa alasan kritis yang menyebabkan ULN memiliki implikasi yang sangat
serius terhadap negara berkembang. Pertama, ULN tidak datang dalam wujud
uang, melainkan sebagian besar justru dalam bentuk barang atau teknologi.
Dengan begitu penggunaan ULN menjadi tidak fleksibel karena produk atau
teknologi tersebut hanya bisa dipakai untuk program-program tertentu saja.
Kedua, utang yang datang dalam bentuk barang atau teknologi kemungkinan besar
tidak lagi sesuai dengan program yang digunakan. Ketiga, sudah menjadi
persyaratan bahwa setiap program disetujui selalu disertai dengan konsultan asing
dengan bayaran yang sangat mahal. Keempat, hampir pasti dibalik kesepakatan
ULN dibarengi dengan kesanggupan dari negara berkembang untuk berbagai
kebijakan ekonomi sesuai dengan kepentingan lembaga donor (dan negara maju).
Utang Luar Negeri yang menggunung inilah yang menyebabkan negara-negara
berkembang kian melarat dan menenggelamkan rakyatnya dalam kubang
kemiskinan.
Mengenai operasi PMA (lewat MNCs/multinational corporations) dalam
praktiknya tidak jauh berbeda dari ULN, merupakan alat negara maju untuk
mencengkram perekonomian negara berkembang. PMA ini mengontrol seluruh
produksi lintas negara dan sekaligus mengatasi hambatan-hambatan politik.
Karena alasan inilah biasanya PMA sangat berkuasa sehingga secara tidak
langsung mengikis kedaulatan/otonomi sebuah negara untuk mengaturnya. Jika
sebuah negara berkembang berusaha membatasi operasi PMA, maka mereka
langsung mengancam akan memindahkan usahanya ke negara lain yang lebih
longgar aturannya. Dalam hal ini, umumnya pemerintah negara berkembang tidak
berkutik dan membatalkan mengeluarkan kebijakan restriktif tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan paper ini adalah:

16
1. Walerstein (dalam Ahmad Yustika, 2012;2) membagi kurun waktu
globalisasi dalam dua periode. Pertama, rentang waktu tahun 1450 sampai
saat ini. Pada periode itu dia menyebutnya sebagai siklus hidup ‘capitalist
world-economy’, dimana diandaikan telah terjadi pembangunan ekonomi
yang normal, namun saat ini sedang masuk dalam periode krisis ekonomi.
Kedua, kurun waktu antara tahun 1945 sampai kini, yang disebut oleh
Wallerstein sebagai abad transisi (age of transition).
2. Gagasan globalisasi ini memiliki inti untuk memperdalam dan
mempercepat interaksi ekonomi antarnegara, yang salah satunya bisa
dicapai bila seluruh negara menghilangkan hambatan-hambatan (barriers)
perdagangan internasional seperti kebijakan kuota, bea impor, maupun
proteksi pasar domestic
3. Terdapat limat karakteristik penting dari globalisasi (Singh, 1998:3-4,
dalam Ahmad Yustika, 2012;8), yakni: (i) pertumbuhan transaksi keuangan
internasional yang cepat; (ii) pertumbuhan perdagangan yang cepat,
terutama diantara perusahaan-perusahaan transnasional; (iii) gelombang
investasi asing langsung (foreign direct investment), yang mendapat
dukungan luas dari kalangan perusahaan transnasional; (iv) timbulnya
pasar global; dan (v) penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai
akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan
meliputi seluruh dunia.
4. Literatur klasik pasca-Perang Dunia II dalam pembangunan ekonomi telah
didominasi oleh empat aliran pemikiran utama yang saling bersaing: (1)
Model tahapan pertumbuhan linear (linear stages of growth model); (2)
Teori dan pola perubahan structural (theories and patterns of structural
change); (3) Revolusi ketergantungan internasional (international
dependence revolution); (4) Kontra revolusi pasar bebas neoklasik
(neoclassical free marketcounter revolution).
5. Ekonom-ekonom aliran ketergantungan (dependency) menganggap system
tata ekonomi dunia sebagai akar penyebab keterbelakangan negara-negara.
Operasi perusahaan-perusahaan multinasional (multinasional
corporations/MNC) yang hanya menjadikan negara berkembang sebagai

17
tempat mencari bahan baku, menyerap tenaga kerja murah, dan menjual
produk; sementara profitnya dibawa ke negara asal (repatriasi).
6. Di sisi lain, ekonom-ekonom dari aliran klasik/neoklasik (Warren dan
Amsdem), berpendapat bahwa yang menjadi penyebab keterbelakangan
negara-negara berkembang adalah perilaku pemimpin negara tersebut yang
salah dalam memproduksi kebijakan ekonomi, misalnya kasus monopoli,
dan hubungan antarpelaku ekonomi domestic (local class relationship)
yang asimetris.
7. Perspektif klasik dibantah oleh aliran dependensia yang menganggap
instrument ULN (Utang Luar negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing)
sebagai biang dari kemerosotan perekonomian negara-negara berkembang.

3.2 Saran
Akhirnya paper yang berjudul “Sejarah Pembangunan Ekonomi” dapat kami
selesaikan. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik ataupun saran dari
berbagai pihak, yaitu :
1. Dari pihak dosen, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
disampaikan demi penyempurnaan paper kedepannya
2. Dari teman-teman mahasiswa, kami mengharapkan adanya kritik dan saran
demi paper yang lebih baik kedepannya. Kami juga berharap paper ini
dapat bermanfaat dan berguna sebagai sarana belajar

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Nur Zaroni. 2015. Globalisasi Ekonomi dan Implikasinya bagi Negara
– Negara Berkembang: Telaah Pendekatan Ekonomi Islam. 01(01): 1-2.
Jurnal ekonomi dan bisnis islam.

18
Amiruddin, Ahmad. Teori Klasik Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan.
Universitas Gajah Mada: Jurnal Publikasi.
Gili Argeti. 2019. Globalisasi dan dampaknya bagi negara dunia ketiga.
01(01): 41-42. The Indonesian Journal of Politics and Policy
Lestari Agusalim. 2017. Globalisasi Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap
Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Oktaviana, Sari. 2015. Implementasi Teori-teori Ketergantungan dalam Konteks
Indonesia. Kompasiana.
Todaro, Michael P. & Smith C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi ke-9. Jakarta:
Erlangga.
Yustika, AE. 2012. Ekonomi Kelembagaan. Paradigma, Teori dan Kebijakan.
Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. hlm 2-16

19

Anda mungkin juga menyukai