Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

EKONOMI POLITIK

Di susun Oleh kelompok 3 :


1.Marina Febrianti Ata ( 2010020116)
2.Marselin Yosina Balle (2010030117)
3.Margareta Avelni Reni (2010030108)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Perilaku Organisasi ini tepat pada
waktunya.

Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Perilaku organisasi


ini dapat memberikan pengetahuan serta wawasan lebih luas kepada pembaca.

Kupang,4 januari 2021

TIM PENULIS
DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................................................
KATA PENGANTAR
.......................................................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................
1.3 TUJUAN.....................................................................................................................................

BAB II.PEMBAHASAN.................................................................................................................

2.1 Apa itu Teori Pilihan Publik ......................................................................................................

2.2 Apa itu Teori Rent-


seeking...........................................................................................................

2.3 Apa itu Teori Redistributive Combines dan


Keadilan...................................................................

Bab III
PENUTUP .............................................................................................................................

3.1 KESIMPULAN............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................


BAB 1

(PENDAHULUAN)

1.1 Latar Belakang

Teori ekonomi politik telah berkembang pesat karena dianggap relevan dengan
praktik formulasi kebijakan ,aupun kegiatan ekonomi sehari-hari.kajian masalah-masalah
ekonomi dengan instrumen analisis ekonomi politik telah diterima sebagai alternatif yang
cukup kredibel. Salah satu sumber kemajuan teori ekonomi politik juga berasal dari
kenyataan gagalnya ekonomi konvensional untuk memetakan dan mencari solusi
persolan-persoalan ekonomi.Banya kebijakan yang bersumber dari pendekatan ekonomi
konvensional gagal merampungkan masalah yang mengemukakan bahkan.alih-alih soal
ekonomi yang hendak diselesaikan itu bisa sembuh,justru yang terjadi penambahan bobot
masalah atau muncul masalah baru yang tidak kalah rumit Dalam situasi inilah teori
ekonomi politik masuk untuk memberikan alternatif pemecahan.Pada bagian ini akan
diKupas tiga teori ekonomi politik yang cukup populer.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang terurai diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah
sebagai berikut :

1. Apa itu Teori Pilihan Publik

2. Apa itu Teori Rent-seeking

3. Apa itu Teori Redistributive Combines dan Keadilan

1.3 Tujuan Penulisan

1. Agar dapat mengetahui Apa itu Teori Pilihan Publik


2. Agar dapat mengetahui Apa itu Teori Rent-seeking
3. Agar dapat mengetahui Apa itu Teori Redistributive Combines dan Keadilan
BAB II
(PEMBAHASAN)

2.1 Teori Pilihan Publik

Pendekatan Ekonomi Politik baru yang menganggap negara/pemerintah ,polisi atau


birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri merupakan pemicu lahirnya
pendekatan public choice(PC) atau rational choice (RC).Teori pilihan publik melihat
Aktor-aktor individu sebagai anggota partai politik ,kelompok – kelompok
kepentingan,atau birokrasi baik yang berkuasa karena di pilih,maupun
ditunjuk.Namun,Teori pilihan publik ini berbeda dengan ilmu ekonomi
konvensional.Perbedaan itu bukan dalam hal rintangan dan kesemptan yang datang dari
sisi politik.Dalam pendekatan baru ini ekonomi dan politik dianggap sebagai aplikasi yang
khusus dari pada di anggap sebagai subjek yang saling tepisah
Dalam Level analisis ,Teori pilihan publik di bagi menjadi 2 Kategori :
1.Teori pilihan publik normatif
Teori ini memfokuskan pada isu-isu yang terkait dengan desain politik dan aturan
politik dasar,Pendeknya teori ini berhubungan dengan kerangka kerja konsitusi yang
mengambil tempat dalam proses politik
2. Teori pilihan publik positif
Teori ini mengonsentrasikan untuk menjelaskan perilaku politik yang dapat
diamati dalam wujud teori pilihan

Asumsi- Asumsi yang di pakai dalam teori pilihan publik setidaknya bisa di jelaskan
dalam 4 poin berikut :
1.Kecukupan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi
2.Motif kecukupan tersebut lebih muda dipahami dengan menggunakan teori
ekonomi neonklasik
3.Kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya
4.Dimana asumsi kecukupan tersebut lebih muda dipahami dengan menggunakan
Teori ekonomi neonklasik Oleh karena itu Konsentrasinya terhadap
individu,Teori pilihan publik mengikuti meteodologi individualisme sebagai
pendekatan analisis dan sekaligus menekankan pada manusia yang berorientasi
ekonmi semata.Pada titik inilah bisa di pahami adanya keinginan agar setiap
pejabat publik sebanyak mungkin dipilih langsung olek konsituen ( misalnnya
lewat pemilu) agar mereka sensitif dengan keiginan publik ,seperti yang di
angankan oleh bentuk pemerintahan demokrasi

2.2 Teori Rent-seeking

Teori pilihan publik dapat mentransformasikan lebih jauh konsep dasar ilmu ekonomi
klasik ke dalam bidang politik. Dalam kasus ini konsep pendapatan (income)
ditransformasikan menjadi konsep perburuan rente. Konsep ini sangat penting bagi ilmu
ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pengusaha, politisi, dan kelompok kepentingan
(Rachhini, 2002:118).

Teori rent-seeking sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Krueger (1974), yang
kemudian dikembangkan oleh Bhagwati (1982) dan Srinivasan (l99l). Pada saat itu Krueger
membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, di mana kuota dimaknai sebagai
perbedaan antara harga batas dan harga domestik. Secara teoritis, kegiatan mencari rente
(rent-seeking) harus dimaknai secara netral, karena individu (kelompok) bisa memeroleh
keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal (sah), seperti menyewakan tanah, modal
(mesin), dan lain-lain. Konsep rent-seeking dalam teori ekonomi klasik tidak dimaknai
secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan bisa berarti
positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang
yang ingin mendapatkan laba maupun upah. Dalam literatur ekonomi politik, konsep rent-
seeking tidak dimaknai netral karena pendekatan ilmu ekonomi politik cenderung melihat
perilaku mencari rente dari kacamata negatif.

Terlepas dari cara perilaku mencari yang postif atau negatif intinya kegiatan mencari
rente bisa didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan
pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Prasad (2003:755)
mendefinisikan rent-seeking sebagai proses di mana individu memeroleh pendapatan tanpa
secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah mengurangi produktivitas tersebut.

Pada intinya semakin besar perluasan pemerintah untuk menentukan alokasi


kesejahteraan (allocation of wealth), maka semakin besar kesempatan bagi munculnya para
pencari rente (Little, 2002:128). Contoh kasus rent-seeking : Dapat diambil dari kasus
korupsi. Korupsi merupakan permasalahan yang dialami banyak negara, dan hingga saat ini
amat sulit untuk ditangani, tidak terkecuali di Indonesia. Korupsi dapat dilakukan dengan
berbagai cara,salah satunya adalah penyuapan. Banyak politisi di Indonesia yang terjerat
kasus korupsi dengan modus penyuapan. Politisi tersebut mendapatkan rente ekonomi
(suap) dari para pengusaha atau investor yang memiliki kepentingan tertentu. Semakin
mudah penyuapan dilakukan, maka semakin korup negara tersebut.

Krueger menerangkan bahwa aktivitas mencari rente seperti lobi untuk mendapatkan
lisensi atau surat izin, akan mendistorsi alokasi sumber daya sehingga membuat ekonomi
menjadi tidak efisien. Dari argument tersebut Krueger, merekomendasikan mengganti
kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tarif untuk meminimalkan munculnya perilaku
mencari rente. Apabila kebijakan lisensi impor yang digunakan, maka proses pembuatan
kebijakan tersebut akan mudah dimasuki oleh pemburu rente, sehingga hanya individu yang
memiliki akses terhadap pembuat kebijakan yang akan mendapat keuntungan dari kebijakan
tersebut, seperti mendapatkan izin lisensi impor. Lisensi impor juga berpotensi untuk
mengagalkan tujuan dari kebijakan tersebut (misalnya menyediakan barang dengan jumlah
dan harga tertentu) akibat pemilik lisensi yang tidak kompeten untuk menjalankannya.
Sebaliknya, bila kebijakan tarif impor yang digunakan, maka setiap pelaku ekonomi
memiliki peluang yang sama untuk melakukan impor sesuai dengan kebijakan (tarif) yang
telah ditentukan pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan tarif tidak memberi kesempatan
pemburu rente untuk memasuki wilayah kebijakan itu.

Dari penjelasan tentang perilaku mencari rente dari Krueger tersebut dapat disimpulkan :
Pertama, masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang hak
milik (property rights) yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada titik ini, kemungkinan
munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Kedua, setiap kelompok atau individu pasti
akan berupaya mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan. Implikasinya,
keseimbangan politik (political equilibrium) mungkin tidak dapat bertahan dalam jangka
panjang karena akan selalu muncul kelompok penekan baru yang mencoba mendapatkan
fasilitas istimewa pula. Ketiga, kepentingan pemerintah tidaklah tunggal atau dapat disebut
juga di dalam pemerintah sendiri terdapat kepentingan yang berbeda-beda. Misalnya, setiap
pemerintah cenderung akan memperbesar pengeluaran (government expenditure) untuk
melayani kelompok-kelompok kepentingan, sementara kementerian keuangan justru
berkonsentrasi meningkatkan pendapatan (revenue). Dalam konteks ini, ideologi menjadi
determinan penting yang akan menuntun bentuk kepentingan pemerintah.

Untuk mencegah munculnya pemburu rente, Buchanan mengajukan proposisi dengan


membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna, yakni melalui
peniadaan halangan masuk (no barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dan peningkatan
persaingan (competition). Bila kedua syarat terpenuhi, maka pemburu rente akan lenyap
dengan sendirinya. Tetapi jika jalan masuk ke pasar dihalangi sehingga tanpa sadar
memunculkan pasar baru bagi pencari rente, maka pemburu rente akan merajalela. Lebih
dari itu, perilaku mencari rente bisa dikurangi -jika tidak bisa dihapuskan- melalui kebijakan
yang tepat (suitable), seperti mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tarif,
membuka aliran informasi, mengaplikasikan sanksi moral, dan menerapkan kebijakan
liberalisasi dan privatisasi yang terukur (Grindle, 1991:57-58; dalam Dasgupta, 1998:27).

2.3 Teori Redistributive Combines dan Keadilan


Teori ini dekat dengan teori regulasi ekonomi yang dikembangkan oleh Joseph Stigler,
dimana teori ini memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapatkan
manfaat dan siapa yang menanggung beban akibat adanya suatu regulasi atau aturan
ekonomi yang dikeluarkan pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi yang
terjadi di dalam masyarakat. Menurut Stigler, ada dua alternatif pandangan tentang
bagaimana sebuah peraturan diberlakukan. Pertama, peraturan dilembagakan terutama
untuk memberlakukan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik atau sebagian sub-
kelas dari publik tersebut. Kedua, suatu tipe analisis di mana proses politik dianggap
merupakan suatu penjelasan yang rasional.
Kembali kepada masalah pemanfaatan hukum bagi kepentingan kelompok tertentu, saat
ini perkembangannya sudah sedemikian memuncak sehingga pembentukkan organisasi
untuk memperoleh pendapatan dengan Cuma-Cuma yang dibagikan oleh Negara atau
disalurkan melalui system hukum atau setidaknya untuk melindungi sendiri dari proses ini
dengan membentuk apa yang dinamakan redistributive combines. Perubahan-perubahan
pada susunan dan pimpinan puncak direksi perusahaan sering disebabkan oleh perubahan
dalam pemerintah. Kelompok-kelompok ini sering bertarung satu sama lain untuk menjaga
jangan sampai suatu peraturan baru mengancam kepentingan mereka tetapi juga dapat
menguntungkan.
Menurut Rachbini (1996:96), dalam pola redistributive combines ini sumber-sumber
ekonomi. aset produktif, dan modal didistribusikan secara terbatas hanya di lingkungan
segelintir orang. Dengan demikian, di dalam suatu negara korporatis kesejahteraan dan
hasiI-hasil pembangunan ekonomi hanya bergulit di lingkungan terbatas -puncak kekuasaan
dan segelintir pengusaha besar yang mendapat previlege khusus.
Dalam kerangka pemikiran Hernando de soto berlakunya pola redistributive combine
terjadi akibat sistem politik yang tertutup karena dilindungi sistem hukum yang kabur dan
ketiadaan rule of law dibidang ekonomi. dengan demikian sistem ekonomi bersedia
mengabdi pada sistem politik dengan pola redistributive combines. Disamping itu juga
terhubungnya teori redistributive combines yang dekembangkan oleh Hernando de soto
dengan teori keadilan yang dibangun oleh John Rawls. Relasi antara dua relasi ini bisa
dilack dari 2 logika, yaitu : Pertama , teori redistributive combines mengandaikan adanya
otoritas penuh dari Negara/pemerintah untuk mengalokasikan kebijakan kepada kelompok-
kelompok ekonomi yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut. Akibatnya kebijakan
yang muncul sebagai hasil dari interaksi antara kelompok kepentingan ekonomi dan
pemerintah kerapkali cuma menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain,
jadi disini muncu isu ketidakadilan. Kedua, kelompok kepentingan ekonomi yang eksis
tidak selamanya mengandaikan tingkat kemerataan seperti yang diharapkan, khususnya
masalah kekuatan ekonomi.
Dengan pemahaman tersebut, Rawls mengonseptualisasikan teori keadilan yang bertolak
dari dua prinsip: (i) setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema
kebebasan dasar yang sejajar (equal basic liberties). yang sekaligus kompatibel dengan
skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain; dan (ii) ketimpangan sosial dan ekonomi
harus ditangani sehingga keduanya: (a) diekspektasikan secara logis (reasonably expected)
menguntungkan bagi setiap orang; dan (b) dicantumkan posisi dan jabatan yang terbuka
bagi seluruh pihak (Rawls, 1999:53). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian membawa Rawls
pada sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya keadilan (justice) itu tidak lain sebagai
kepatutan/kepantasan (fairness).
Melalui cara berpikir tersebut, Rawls percaya bahwa suatu kebaikan datang dari sesuatu
yang benar (good comes from what is right) dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu dia
memfokuskan seluruh pemikirannya untuk menciptakan sistem prinsip-prinsip politik yang
berbasis kontrak dan kesetaraan. Prinsip inilah yang kemudian membedakan konsep
keadilan procedural dengan prinsip keadilan sosial yang di kembangkan oleh Rawls.
Keadilan sosial ini diarahkan pada penyiapan penilaian terhadap sebuah standar aspek
distribusi dari struktur dasar masyarakat. Hal ini terjadi karena prinsip- prinsip keadilan
tersebut seperti yang di klaim oleh rawls akan menghasilkan kesepakatan dan negosiasi
yang imparsial, yakni situasi yang di desain untuk memperkuat ketiadaan kepentingan
perwakilan yang dapat dibebankan kepada pihak lain (Little, 2002: 59-60). Poin inilah yang
menjadi kunci dari teori keadilan yang digagas oleh Rawls.
Selain itu, dalam kaitannya dengan pasar bebas (liberalisasi), teori keadilan rawls
merupakan kritik terhadap teori keadilannya Adam Smith. Rawls sependapat bahwa sistem
tentang pasar bebas sejalan dengan prinsip pertama keadilannya yakni ‘sejalan dengan
kebebasan yang sama dan kesamaan kesempatan yang fair’. Rawls juga setuju dengan
konsep Smith mengenai perwujudan diri manusia sesuai dengan pilihan bebas dan usaha
setiap orang. Ia juga sepakat dengan smith bahwa pasar bebas menyediakan kemungkinan
terbaik bagi perwujudan penentuan diri manusia. Oleh karena itu menurut Rawls, pasar
bebas justru menimbulkan ketidakadilan. Bagi Rawls ketidakadilan paling jelas dari sistem
kebebasan kodrati adalah bahwa sistem ini mengizinkan pembagian kekayaan dipengaruhi
secara tidak tepat oleh kondisi-kondisi (alamiah dan sosial yang kebetulan) ini, yang dari
sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang. Menurut rawls, karena setiap orang
masuk kedalam pasar dengan bakat dan kemampuan alamiah yang berlainan, peluang sama
yang diberikan pasar tidak akan menguntungkan semua peserta. Keadilan ini justru akan
menimbulkan distribusi yang tidak adil atas kebutuhan-kebutuhan hidup, justru karena
perbedaan bakat dan kondisi-kondisi sosial yang kebetulan tadi. Terlepas dari perbaikan
kondisi sosial yang ada, pasar bebas akan melahirkan kepincangan karena perbedaan bakat
dan kemampuan alamiah antara satu orang dengan yang lainnya.
BAB III
(PENUTUP)
A.Kesimpulan
.
Penempatan pada pemuasan kepentingan individu melalui “pilihan publik” memiliki
dampak positif dan negatif, secara kenyataan lebih bernuansa normatif idiologis sebagai
ukuran alat untuk mengakaji apa yang benar dan apa yang salah dari dilaksanakannya
pilihan publik, baik dalam tataran kebijakan negara maupun yang melandasi sebuah pilihan
yang dilakukan oleh individu. Karena secara terapan “pilihan publik” tidak bisa menjamin
secara benar-benar dapat memberikan pencerahan yang berpihak pada “kepentingan publik”
atau keinginan dari sebagian besar “the voter” pada praktik kenegaraan. Konsep rent-
seeking dalam teori ekonomi klasik tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi
yang menimbulkan kerugian, bahkan bisa berarti positif karena dapat memacu kegiatan
ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun
upah. Dalam literatur ekonomi politik, konsep rent-seeking tidak dimaknai netral karena
pendekatan ilmu ekonomi politik cenderung melihat perilaku mencari rente dari kacamata
negatif. Teori ini dekat dengan teori regulasi ekonomi yang dikembangkan oleh Joseph
Stigler, dimana teori ini memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang
mendapatkan manfaat dan siapa yang menanggung beban akibat adanya suatu regulasi atau
aturan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi
yang terjadi di dalam masyarakat. Menurut Stigler, ada dua alternatif pandangan tentang
bagaimana sebuah peraturan diberlakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik: kajian teoretis dan analisis empiris. Malang :
Pustaka pelajar.

Anda mungkin juga menyukai