Anda di halaman 1dari 4

A.

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK


Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Sebagaimana diungkapkan oleh Gerston bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada
semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan
berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Menurut Anderson, terdapat
tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan yaitu :
a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan
sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif dengan mempelajari
permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.
b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap
permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat
diambil dalam membuat kebijakan.
c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara teori
rasionalkomprehensif dengan teori inkremental.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam
memilih kebijakan, yaitu: nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan
maupun ideologi; afiliasi partai politik; kepentingan konstituen; opini publik; penghormatan
terhadap pihak lain; serta aturan kebijakan. Menurut Jann dan Wegrich, di dalam tahap
perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat
ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga
adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran, yaituapa yang akan dicapai melalui kebijakan
serta pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda. Perumusan
kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor
negara maupun aktor non-negara atau yang disebut sebagai pembuat kebijakan resmi (official
policy-makers) dan peserta nonpemerintahan (non-governmental participants). Pembuat
kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam
perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas legislatif, eksekutif, badan administratif, serta
pengadilan. Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan
yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan) untuk
menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya
akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan.
Jann dan Wegrich mengemukakan dua faktor utama yang menentukan alternatif kebijakan akan
diadopsi menjadi kebijakan, yaitu:
a. Penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter susbtansial
dasar, misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan.
Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik yang didapat
dalam proses pembuatan kebijakan.
b. Alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan penting
dalam penentuan kebijakan.
B. PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Hood memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna (implementation as
perfect administration). Hood menggambarkan bahwa administrasi sempurna merupakan
sistem admistrasi tunggal, dimana setiap kebijakan dilaksanakan seolah-olah sebagai proses
administrasi yang berjalan lurus dan lancar. Sehingga terdapat pemaksaan yang bersifat
uniform, dengan aturan-aturan, kaidah atau prinsip tunggal agar tujuan dapat tercapai dengan
tersedianya sumber-sumber yang terbatas. Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Hom (dalam
P. Sabatier dan D. Mazmanian, 1979) menyatakan bahwa implementasi meliputi suatu proses
linier yang terdiri dari 6 (enam) variebel yang menghubungkan antara kebijakan dan kerja
variabel tersebut adalah: standar dan tujuan-tujuan, sumber-sumber, komunikasi antar
organisasi aktivitas pemberdayaan, karakteristik dari agen/actor pelaksanaan implementasi,
kondisi sosial, ekonomi dan politik, disponsi agen pelaksana implementasi. Hubungan atau
perubahan pada setiap variabel tersebut dapat mempengaruhi kinerja. Implementasi kebijakan
tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut,
namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,
implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas
beberapa tahapan yakni:
1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan;
2. Pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
5. Dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1. Penyiapan sumber daya, unit dan metode;
2. Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
3. Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan
operasional implementasi sebuah kebijakan:
Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang
bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat
manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun
undang-undang.
Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa
peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional
berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun
keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran
dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi
dan sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak maupun operasional – kepada
para pemangku kepentingan.
Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan
(policy implementor) – yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi
pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat.
Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan
yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai
pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah.
Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan
minimal (SPM).
Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan.
Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain
(swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang
diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan kebijakan
C. PROSES EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau mengukur kinerja pelaksanaan suatu
kebijakan. Selain itu evaluasi kebijakan juga dapat digunakan untuk melihat apakah sebuah
kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang
telah ditentukan.
Di dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program/kebijakan, dapat digunakan sejumlah
pendekatan yang berbeda yang tentunya akan mempengaruhi indikator yang digunakan, antara
lain:
1. Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu.
2. Pendekatan berdasarkan dasar evaluasi.
3. Pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi.
Pendekatan Berdasarkan Sistem Nilai yang Diacu
Pendekatan berdasarkan sistem nilai yang diacu ada tiga jenis, yaitu evaluasi semu, evaluasi
teori keputusan dan evaluasi formal.
a. Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation)
Sifat dari Evaluasi semu ini adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter tertentu yang
secara umum disepakati (self evident) dan tidak kontroversial (uncontroversial). Hasil
evaluasinya mudah diterima oleh publik dan tidak terlalu rumit (complicated). Penilaiannya
berkisar antara gagal atau berhasil. Pseudo evaluation ini seringkali dijadikan sebagai salah
satu metode monitoring.
b. Evaluasi Teori Keputusan (Decision Theoretic Evaluation/ DTE)
Sifat dari DTE adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang disepakati oleh pihak-
pihak yang terkait secara langsung/pihak yang bersitegang. Sistem nilainya juga berdasarkan
kesepakatan antara pihak yang bersitegang. Biasanya berkisar antara benar atau salah.
c. Evaluasi Formal (Formal Evaluation)
Sifat dari evaluasi formal adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter yang ada pada
dokumen formal seperti tujuan dan sasaran yang tercantum dalam dokumen kebijakan rencana
tata ruang, peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
Dalam evaluasi formal, metode yang ditempuh untuk menghasilkan informasi yang valid dan
reliable ditempuh dengan beberapa cara antara lain:
a. Merunut legislasi (peraturan perundang-undangan);
b. Merunut kesesuaian dengan kebijakan yang tercantum pada dokumen formal yang memiliki
hierarki diatasnya;
c. Merunut dokumen formal (kesesuaian dengan hasil yang diharapkan /tujuan dan sasaran);
dan
d. Interview dengan penyusun kebijakan atau administrator program.

Anda mungkin juga menyukai