Anda di halaman 1dari 3

1) a.

Zoon politicon memiliki arti bahwa manusia dikodratkan untuk hidup


bermasyarakat dan berinteraksi dengan manusia lain. Selain itu, manusia
sebagai makhluk sosial juga berarti dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia akan selalu bergantung pada orang lain. Dengan begitu, manusia
sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari kelompok masyarakat karena
manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Dalam
kehidupan bermasyarakat, diperlukan interaksi sosial yang dapat diwujudkan
dengan berbagai cara. Interaksi sosial dapat dilakukan dengan cara berbincang,
berjabat tangan, bertanya, bekerja sama, dan sebagainya.

b. Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk


melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat. Hukum lahir dari kehendak
manusia untuk menciptakan kondisi sosial yang aman, damai, dan tertib agar
tujuannya mudah dicapai. Begitupun sebaliknya, hukum yang merupakan
cerminan kehendak manusia tersebut mempunyai peranan penting dalam
melindungi manusia dari segala kemungkinan buruk yang timbul akibat interaksi
yang terjadi. Artinya, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan
keamanan dan ketertiban. Semua bahasan tentang hukum dimulai dengan
adanya masyarakat, karenanya sering dikatakan bahwa jika tidak ada masyarakat
maka hukum juga tidak diperlukan. Dengan bertitik tolak dari adanya masyarakat,
maka alasan keberadaan hukum berkaitan erat dengan keberadaan masyarakat.
Selain itu, alasan keberadaan hukum juga terkait dengan unsur definisi yang
dikemukakan oleh Van Kan yaitu “melindungi kepentingan manusia didalam
masyarakat”. Mengingat akan banyaknya kepentingan, tidak mustahil terjadi
konflik atau bentrokan sesama manusia, karena kepentingannya saling
bertentangan. Gangguan kepentingan atau konflik haruslah dicegah atau tidak
dibiarkan berlangsung terus, karena akan mengganggu keseimbangan tatanan
masyarakat. Oleh karena itu, keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu
haruslah dipulihkan ke keadaan semula (restitution in integrum).

2) Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan


kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi,
konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya
adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah
hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.
Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness). Tujuan hukum
bukan hanya untuk kepastian hukum dan keadilan, akan tetapi juga ditujukan
untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Tujuan hukum itu dapat dilihat
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).
Tujuan hukum seperti ini memberi landasan etis bagi aliran berpikir
Utilitarianisme. Jadi analisis saya tujuan hukum yang didasarkan oleh teori
utilitas menurut Jeremy Bentham dikaitkan dengan kasus pelanggaran UU ITE
mengandung banyak ambiguitas dalam penulisan pasalnya, sehingga dalam
penerapannya sering terjadi ketidaktepatan yang berujung banyak korban yang
dijatuhkan hukuman secara tidak adil. Salah satunya pada pasal terkait
penghinaan dan pencemaran nama baik, yaitu Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.” Bahwa perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai
penghinaan dan pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal tersebut
tidak dimuat secara rinci dan jelas sehingga banyak penerapan pasal tersebut
dinilai tidak tepat dan tekesan "semaunya". Contohnya pada kasus Baiq Nuril
yang dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) putusan hakim tidak dapat mewujudkannya, karena hukum disini tidak
menguntungkan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual, justru malah
menguntungkan pelaku perkara awal mengenai pelecehan yang dilakukan oleh
Haji Muslim dengan cara-cara yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN Mtr yaitu Haji Muslim, yang dalam
persidangan ditetapkan sebagai korban, menceritakan rahasia pribadinya
mengenai aktivitas seksual kepada Terdakwa melalui telepon. Namun, Terdakwa
tanpa sepengetahuan korban merekam pembicaraan tersebut menggunakan 1
(satu) unit HP Nokia warna hitam milik Terdakwa untuk menjadikan hasil
rekaman tersebut sebagai bukti pelecehan seksual yang dilakukan oleh Haji
Muslim. Rekaman yang ingin dijadikan barang bukti olehnya tersebut malah
menjadikannya tersangka yang dijerat Pasal 27 ayat (1)Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
3) Teori piramida hukum (stufentheorie) dari Hans Kelsen merupakan teori yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan
kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan
pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti
konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm). Teori hukum berjenjang (stufenbau) juga dikenal dengan hierarki
norma, dimana sebuah norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang
diatasnya. Kelsen menggambarkan suatu sistem hukum sebagai sebuah sistem
norma yang saling terkait satu sama lain (interlocking norms) yang bergerak dari
suatu norma yang umum (the most general ought) menuju ke norma yang lebih
konkret (the most particular or concrete). Teori stufenbau di Indonesia diadopsi
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai
berikut:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Anda mungkin juga menyukai