Anda di halaman 1dari 1

Proses implementasi kebijakan terdiri dari 4 (empat) komponen berikut:

1. Kebijakan yang dinginkan adalah pola-pola interaksi yang diinginkan oleh mereka yang telah
mendefenisikan kebijakan.
2. Kelompok sasaran adalah mereka yang diminta oleh kebijakan untuk mengadopsi pola-pola
interaksi baru. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak terkena dampak kebijakan.
3. Organisasi pelaksana adalah unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab
melaksanakan kebijakan.
4. Faktor-faktor lingkungan adalah unsur-unsur atau komponen yang ada di lingkungan yang
berpengaruh terhadap atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan.

Menurut Quade, di masa yang lalu para analis kebijakan mengosentrasikan diri hanya pada
unsur/komponen pertama, yaitu tujuan kebijakan untuk memperkuat kebijakan yang
ideal/diinginkan, kurang pada unsur kedua (kelompok sasaran) dan hampir tidak ada pada
unsur ketiga (organisasi pelaksana) dan unsur keempat (faktor lingkungan). Tentunya,
sekarang telah berubah. Smith sebagai pembuat model ini memberikan catatan tersendiri atas
unsur ‘faktor lingkungan’ dengan mengatakan bahwa: “faktor lingkungan dapat dipandang
sebagai sisi penghambat pada proses implementasi kebijakan. Beda kebijakan maka beda pula
kondisi budaya, politik, sosial, ekonomi yang mempengharuhinya. Misalnya, kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah di negara berkembang, kehidupan sosial budaya
di tingkat pedesaan menjadi lingkungan yang sangat menghambat implementasi kebijakan”.
Kalau kita berbicara mengenai implementasi peningkatan kualitas pelayanan publik di
Indonesia. Maka pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, karena
perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung berjalan di tempat, sedangkan implikasinya
sangatlah luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan lain-lain. Kehidupan
ekonomi khususnya perlu adanya perbaikan pelayanan publik sehingga dapat memperbaiki
iklim investasi yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Pemberlakuan otonomi daerah
merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab secara serius dengan cara berupaya
memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat, penyediaan dan pengembangan infrastruktur perkotaan dan penciptaan peluang
pasar, membangun masyarakat industri yang berbasis agamais, membangun kepekaan dan
kepedulian terhadap kaum duafa, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan sesuai dengan semangat otonomi.
Saya berikan contoh implementasi peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Pelayanan publik yang berkualitas adalah indikator keberhasilan implementasi kebijakan.
Dalam perspektif pengguna layanan, maka apa yang disebut berkualitas adalah pelayanan
yang mampu memberi hasil dan manfaat yang besar bagi penggunanya. Cara pandang
demikian tentu tidak salah, meskipun tidak sepenuhnya tepat karena apa yang disebut
berkualitas itu memiliki banyak sudut pandang penilaian. Pelayanan yang berkualitas itu bisa
dicermati berdasarkan proses dan prosedur layanan sebagaimana yang diatur dalam kebijakan
atau berdasarkan sejumlah ukuran yang mengacu administrasi keuangan, seperti alokasi dan
serapan anggaran. Berkualitas di sini harus diartikan mencakup semua sisi dan jenis penilaian,
mulai dari proses atau prosedurnya dan juga hasilnya atau sesuatu yang bisa dirasakan
manfaatnya oleh penggunanya. Setidaknya ada dua sisi kepentingan yang harus diperhatikan
dan menjadi acuan penilaian, yaitu sisi internal organisasi pelaksana atau mereka yang menjadi
pelaksana kebijakan. Kedua adalah sisi pengguna layanan yaitu masyarakat dan khususnya
mereka yang menjadi sasaran atau target kebijakan. Kedua sisi sudut pandang dan
kepentingan harus menjadi pertimbangan penilaian sehingga muncul penilaian yang objektif.

Anda mungkin juga menyukai