Anda di halaman 1dari 259

Prosiding Seminar Nasional Bagian II

Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan


Badan Keahlian DPR RI

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI


(EVIDENCE-BASED POLICY)
UNTUK LEGISLASI DPR RI DAN
DAYA SAING BANGSA
Judul
Prosiding Seminar Nasional Bagian II
Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI
Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) untuk Legislasi DPR RI
dan Daya Saing Bangsa

Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-623-92389-3-3
15,5 x 23 cm

Cetakan Pertama, 2020


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved

Desain Sampul dan Tata Letak:


Tim Kreatif Lingkar Muda Mandiri

Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI
Gedung Nusantara I Lt. 2
Jl. Gatot Subroto Jakarta 10270
Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Pada akhir tahun 1990-an, pembuatan kebijakan berbasis bukti


(evidence-based policy) semakin didorong oleh pemerintah dan
para akademisi. Penggunaan istilah evidence-based policy muncul
pada pemilihan Tony Blair sebagai Perdana Menteri Inggris, dengan
keinginan untuk mengeluarkan ideologi dan politik dalam proses
kebijakan. Fokus dari evidence-based policy adalah menggambarkan
bukti yang berasal dari riset untuk mempengaruhi pembuat
kebijakan mengenai apa yang akan dikerjakan dan selanjutnya
menghasilkan outcome kebijakan yang lebih baik. Evidence-
based policy mengadvokasi pembuat kebijakan untuk mengambil
kebijakan dengan lebih rasional, teliti, dan menggunakan pendekatan
sistematis.
Hubungan antara ilmu pengetahuan (knowledge), riset
(research), dan kebijakan (policy) sesungguhnya sudah menjadi
perhatian para pakar selama beberapa dekade, dikenal Annette
Boaz dan koleganya yang mulai memperkenalkan pada tahun
1895. Evidence-based policy sendiri secara literatur telah mendapat
kritikan khususnya mengenai kealamiahan sebuah proses kebijakan,
validitas dari bukti, kecenderungan yang mendukung jenis bukti
tertentu, dan potensial untuk berimplikasi pada tidak demokratis.
Namun demikian, dalam perkembangannya, evidence-based policy
terbukti menjadi sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan.
Evidence-based policy telah membantu masyarakat untuk memahami
sebuah kebijakan karena sangat terinformasikan (well-informed)
mengenai keputusan dalam penyusunan kebijakan, program dan
proyek, dengan menempatkan data terbaik yang tersedia dari
hasil riset sebagai jantung dari pembangunan dan implementasi
kebijakan. Evidence-based policy juga membuat jelas apa yang
diketahui melalui bukti ilmiah dan yang sangat penting, bahkan apa
yang tidak diketahui. Evidence-based policy dapat berperan dalam
siklus kebijakan, dalam menentukan agenda kebijakan, isu, berbagai
alternatif pilihan, pilihan tindakan, mengeksekusi kebijakan, hingga
memantau dampak dan keluaran. Dalam riset yang dilakukan
oleh Overseas Development Institute, penggunaan evidence-based

Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) iii


Kata Pengantar

policy secara baik telah membantu menyelamatkan kehidupan,


mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kinerja pembangunan
di negara berkembang.
Persoalan yang ditimbulkan oleh pembuatan kebijakan yang
dibuat tanpa bukti tampaknya semakin membuka lebar mata para
pembuat kebijakan untuk menerapkan evidence-based policy dalam
penyusunan kebijakan. Di Indonesia, Lembaga Administrasi Negara
(LAN) tengah mengembangkan aplikasi Indeks Kualitas Kebijakan
(IKK) yang diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan
di Indonesia memproduksi kebijakan yang dilahirkan dari kerangka
acuan dan basis pengetahuan yang kuat, implementatif, terkoordinir,
dan disosialisasikan dengan baik dalam struktur organisasi dari
level tertinggi sampai level operasional.
DPR RI sebagai lembaga penghasil kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang merupakan lembaga strategis yang
mengatur kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. DPR RI melalui
kebijakannya dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,
menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan angka harapan hidup,
meningkatkan pendidikan masyarakat, memperluas kesempatan
bekerja, dan masih banyak lagi yang diharapkan oleh masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya DPR RI dalam
kerja legislasinya didukung oleh bukti yang valid, yang dihasilkan
oleh berbagai hasil riset, agar menghasilkan produk legislasi
yang berkualitas. Hasil kebijakan yang berkualitas, telah terbukti
mendapat dukungan dari masyarakat luas. Dengan demikian, DPR
RI akan mendapatkan manfaat positif dari penggunaan evidence-
based policy.
Selanjutnya legislasi yang baik akan dapat merangsang daya
saing bangsa. Keluhan Presiden Joko Widodo yang disampaikan
dalam Pidato Pelantikan di hadapan anggota MPR RI pada
tanggal 20 Oktober 2019 terhadap puluhan produk legislasi yang
menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMKM,
telah memperlihatkan kualitas legislasi yang buruk. Pemangkasan
dan revisi regulasi akan segera dilakukan. Namun demikian, dalam
konteks evidence-based policy, para pembuat kebijakan harus
mendasarkan pemangkasan dan revisi pada bukti yang kuat. Riset
terhadap berbagai produk legislasi yang telah ada perlu digunakan.

iv Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kata Pengantar

Demikian pula riset terhadap rencana produk legislasi harus


didasarkan pada evidence-based policy.
Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo untuk mendukung
penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan
ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan
nasional, melalui pengintegrasian penelitian, pengembangan,
pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Ini artinya
evidence-based policy sudah harus diterapkan dalam perumusan dan
penetapan kebijakan di Indonesia.
Begitu pula dengan mengeluarkan kebijakan melalui alokasi
Dana Abadi untuk kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian,
dan penerapan. Dana Abadi ini dimaksudkan agar kegiatan
penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan dapat
menghasilkan invensi dan inovasi yang dapat digunakan untuk
pembangunan nasional berkelanjutan, meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta dapat meningkatkan
kemandirian, daya saing bangsa, dan daya tarik bangsa dalam rangka
memajukan peradaban bangsa melalui pergaulan internasional.
Dengan demikian, diharapkan mimpi yang disampaikan oleh
Presiden Joko Widodo bahwa pada tahun 2045 Indonesia keluar
dari jebakan pendapatan kelas menengah dan menjadi negara
maju dengan pendapatan Rp320 juta per kapita per tahun, Produk
Domestik Bruto mencapai 7 triliun dollar AS, dan masuk 5 besar
ekonomi dunia, dengan kemiskinan mendekati nol persen dapat
terwujud. Demikian pula membangun daya saing bangsa melalui
inovasi dan pembangunan SDM yang terampil, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi perlu digerakkan melalui evidence-based
policy.
Pada kesempatan yang baik ini, saya sampaikan selamat kepada
para peneliti yang dengan tekun dan inovatif telah menghasilkan
karya tulis ilmiah yang bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman
terkait dengan evidence-based policy. Saya juga menyampaikan
apresiasi dan terima kasih kepada Himpenindo pusat yang telah
bekerjasama dalam mencurahkan pikiran dan waktunya dalam
melakukan kegiatan editorial, sehingga buku ini layak untuk

Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) v


Kata Pengantar

diterbitkan. Semoga invensi dan inovasi yang tersaji dalam buku ini
bermanfaat bagi terciptanya kemajuan Indonesia.

Jakarta, Desember 2019


Kepala Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI
Dr. Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.

vi Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii


DAFTAR ISI..............................................................................................................vii
PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI
TERHADAP KEMISKINAN PADA 5 PROVINSI TERMISKIN
DI INDONESIA
Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho.................................................. 1
I. PENDAHULUAN...................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
III. METODOLOGI.......................................................................................... 6
IV. PEMBAHASAN......................................................................................... 6
V. PENUTUP................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10
PERSEPSI NELAYAN LOMBOK TENGAH DAN
LOMBOK TIMUR TERHADAP KEBERLIMPAHAN
BENIH LOBSTER UNTUK PEMANFAATAN DAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA BERKELANJUTAN
DAN MENYEJAHTERAKAN
Nurlaili, Bayu Vita Indah Yanti dan Tikkyrino Kurniawan....................11
I. PENDAHULUAN....................................................................................12
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................13
III. METODOLOGI........................................................................................16
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................17
V. PENUTUP.................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................27
KEBIJAKAN CERDAS PENGEMBANGAN
WILAYAH PENAJAM PASER UTARA – KUTAI KARTANEGARA
SEBAGAI CALON IBUKOTA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN
ANALISIS PEREKONOMIAN DAN LINGKUNGAN
Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara..........................................29
I. PENDAHULUAN....................................................................................30
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................31

Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) vii


Daftar Isi

III. METODOLOGI........................................................................................31
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................32
V. PENUTUP.................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................40
KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI
DI ERA IMPLEMENTASI DANA OTONOMI KHUSUS ACEH
Sitti Aminah..............................................................................................................43
I. PENDAHULUAN....................................................................................43
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................46
III. METODE PENELITIAN.......................................................................47
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................47
V. PENUTUP.................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................58
MANFAAT EKONOMI KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBAS
MELALUI PENGEMBANGAN MODEL HYBRID
SURPLUS PRODUKSI
Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah...........................................61
I. PENDAHULUAN....................................................................................62
II. METODOLOGI........................................................................................62
III. PEMBAHASAN.......................................................................................65
IV. PENUTUP.................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................70
PENERAPAN ACCRUAL BASE ACCOUNTING UNTUK
PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN
PEMERINTAH PROVINSI BANTEN
Venti Eka Satya........................................................................................................75
I. PENDAHULUAN....................................................................................75
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................76
III. METODOLOGI........................................................................................78
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................79
V. PENUTUP.................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................85

viii Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daftar Isi

TANTANGAN REGULASI DALAM PENINGKATAN


DAYA SAING INDUSTRI HALAL INDONESIA
Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin...................87
I. PENDAHULUAN....................................................................................88
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................90
III. METODOLOGI........................................................................................92
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................92
V. PENUTUP.................................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................97
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN SEKSUAL: MEWUJUDKAN KEBIJAKAN
BERBASIS BUKTI DALAM PROSES LEGISLASI
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan
Rais Agil Bahtiar..................................................................................................101
I. PENDAHULUAN.................................................................................102
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................103
III. METODOLOGI.....................................................................................104
IV. PEMBAHASAN....................................................................................104
V. PENUTUP..............................................................................................108
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................108
PERANCANGAN PRODUK LEGISLASI BERBASIS
SOFT SYSTEM METHODOLOGY
Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela..............................................111
I. PENDAHULUAN.................................................................................111
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................114
III. METODOLOGI.....................................................................................118
IV. PEMBAHASAN....................................................................................118
V. PENUTUP..............................................................................................122
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................123
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI
BADAN USAHA MILIK DESA GUNA MENGHADAPI
INDUSTRI 4.0. BERDASARKAN PERSPEKTIF
TEORI KEADILAN BERMARTABAT
Rizky P.P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan
Agrippina Ngadiman..........................................................................................125
I. PENDAHULUAN.................................................................................126
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................128

Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) ix


Daftar Isi

III. METODE PENELITIAN....................................................................130


IV. PEMBAHASAN....................................................................................130
V. PENUTUP..............................................................................................134
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................135
KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:
URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
BERBASIS PARADIGMA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Ratna Susanti dan Suci Purwandari............................................................137
I. PENDAHULUAN.................................................................................137
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................139
III. METODOLOGI.....................................................................................140
IV. PEMBAHASAN....................................................................................141
V. PENUTUP..............................................................................................147
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................148
LEGALISASI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDESA)
UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT DESA
Elita Lukminarti...................................................................................................151
I. PENDAHULUAN.................................................................................151
II. METODOLOGI.....................................................................................151
III. PEMBAHASAN....................................................................................152
IV. PENUTUP..............................................................................................157
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................158
REKONSTRUKSI NASKAH AKADEMIK SEBAGAI
DASAR PENYUSUNAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI
(EVIDENCE- BASE POLICY)
Sunny Ummul Firdaus........................................................................................159
I. PENDAHULUAN.................................................................................160
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................162
III. METODOLOGI.....................................................................................163
IV. PEMBAHASAN....................................................................................164
V. PENUTUP..............................................................................................169
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................170

x Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daftar Isi

POS PELAYANAN KEUANGAN UNTUK


DAYA SAING PENDIDIKAN
Rahayu Endang Pujiati......................................................................................173
I. PENDAHULUAN.................................................................................173
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................174
III. METODOLOGI.....................................................................................176
IV. PEMBAHASAN....................................................................................176
V. PENUTUP..............................................................................................182
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................182
SUPPORT MEKANISME UNTUK KEBIJAKAN
EVIDENCE-BASED DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Rahmad Agung Nugraha..................................................................................185
I. PENDAHULUAN.................................................................................186
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................188
III. METODOLOGI.....................................................................................191
IV. PEMBAHASAN....................................................................................191
V. PENUTUP..............................................................................................192
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................193
PEMBANGUNAN DAN PENGUATAN LEGISLASI
PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
Burhanudin Mukhamad Faturahman.........................................................195
I. PENDAHULUAN.................................................................................195
II. METODOLOGI.....................................................................................197
III. PEMBAHASAN....................................................................................197
IV. PENUTUP..............................................................................................202
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................202
KEBIJAKAN PENEGERIAN RAUDHATUL ATHFAL
(ANTARA KEBIJAKAN PEMERATAAN PENDIDIKAN
PRA SEKOLAH DAN KEBIJAKAN YANG TIMPANG)
Ibnu Salman...........................................................................................................205
I. PENDAHULUAN.................................................................................205
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................209
III. METODE PENELITIAN....................................................................210
IV. PEMBAHASAN....................................................................................211
V. PENUTUP..............................................................................................216
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................217

Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) xi


Daftar Isi

DAYA SAING PENINGKATAN KUALITAS


PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI)
DI DUNIA INTERNASIONAL MELALUI KINERJA LEGISLASI
KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI
Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih .............................................219
I. PENDAHULUAN.................................................................................220
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................222
III. METODOLOGI.....................................................................................226
IV. PEMBAHASAN....................................................................................226
V. KESIMPULAN......................................................................................233
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................235
SENSIBILITAS METODOLOGIS DALAM PERUMUSAN
KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:
STUDI KUALITATIF AKSES MASYARAKAT MISKIN
PADA LAYANAN KESEHATAN
Retna Hanani.........................................................................................................237
I. PENDAHULUAN.................................................................................238
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................240
III. METODOLOGI.....................................................................................243
IV. PEMBAHASAN....................................................................................243
V. PENUTUP..............................................................................................246
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................246

xii Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP


KEMISKINAN PADA 5 PROVINSI TERMISKIN
DI INDONESIA

Rangel Chris Eko Bieth


Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
rangelchris66@gmail.com

Kunto Nugroho
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
kunto.ekon@gmail.com

ABSTRAK
Keberhasilan kualitas pertumbuhan ekonomi umumnya terkait dengan
tingkat kemiskinan dan kesejahteraan di suatu negara. Lima dari 34
provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Gorontalo merupakan provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Semester I 2018, di sisi lain
empat dari lima provinsi tersebut mencatatkan pertumbuhan ekonomi
di atas pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2018. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan pertumbuhan ekonomi (PDRB)
terhadap kemiskinan di Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Gorontalo. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam
periode tahun 2010-2018. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis data panel yaitu metode analisis kuantitatif menggunakan
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel independen serta kemiskinan
sebagai variable dependen. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh
bahwa dalam 9 tahun pengamatan, pertumbuhan ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap kemiskinan di 5 provinsi yang diamati. Kenaikan 1
poin PDRB berdampak terhadap kenaikan 0,72 angka kemiskinan. Hasil
ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan pertumbuhan PDRB secara
kuantitas di 5 provinsi yang diteliti harus diikuti dengan upaya lebih
lanjut untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, agar pada
tahun mendatang pertumbuhan ekonomi memberikan dampak positif
dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
Kata kunci: pembangunan; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan;
disparitas; dan papua.

Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho 1


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

I. PENDAHULUAN
Sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, setiap daerah
mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/kota diharapkan
mampu menggali potensi daerahnya dalam upaya meningkatkan
pendapatan daerah sekaligus mampu menangani setiap masalah
yang timbul sebagai dampak aktivitas pembangunan. Pengenalan
terhadap potensi daerah baik yang bisa digali sebagai kekuatan
atau keunggulan maupun yang berpotensi sebagai kendala atau
kelemahan merupakan masukan yang sangat berharga guna
merancang strategi untuk mencapai tujuan pembangunan yang
telah ditetapkan.
Salah satu potensi yang dimiliki suatu daerah adalah penduduk.
Penduduk yang ada di suatu wilayah memegang peran ganda. Di
satu sisi, jumlah penduduk yang banyak merupakan modal potensial
sebagai subyek pembangunan, sedangkan di sisi lain, hal itu juga
berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Jumlah penduduk
yang banyak dapat menimbulkan masalah bila tidak ditangani
dengan tepat. Satu contoh yang bisa dikemukakan adalah terjadinya
urbanisasi penduduk dari desa ke kota akan dapat menimbulkan
masalah kependudukan yang berkaitan dengan munculnya
kantong- kantong pemukiman yang kumuh, ruwetnya pendataan
para pendatang, serta timbulnya permasalahan kriminal.
Masalah lain yang sering ditimbulkan oleh banyaknya jumlah
penduduk adalah berhubungan dengan rendahnya kualitas
penduduk tersebut. Seperti misalnya ketidakmampuan mengakses
kesempatan kerja karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat
keterampilan. Kondisi demikian berdampak pada makin tingginya
tingkat pengangguran yang pada akhirnya menciptakan kemiskinan.
Selain karena rendahnya kualitas penduduk atau sumber
daya manusia, kemiskinan juga sering muncul akibat terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan seiring dengan kemajuan
perekonomian di suatu Negara. Tambunan (2001) menyebutkan
bahwa ketimpangan hasil pembangunan mengakibatkan terjadinya
kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dan kelompok
masyarakat berpendapatan rendah yang diukur dalam garis
kemiskinan (poverty line).
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya

2 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

kesenjangan, terutama pada tahap awal proses pembangunan


ekonomi (Adelman dan Morris dalam Kuznet, 1996). Hasil penelitian
ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara
pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan pembangunan
terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan
membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan
dan hasil-hasilnya, sementara pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan
ekonomi yang relatif lambat. Berdasarkan penjelasan di atas penulis
ingin mengetahui bagaimana pengaruh dari Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Kemiskinan di 5 Provinsi Termiskin di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pertumbuhan Ekonomi
Wijono (2005), menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan suatu proses dari kenaikan output per kapita dalam
jangka panjang, pengertian ini menitik beratkan pada proses,
output per kapita dan jangka panjang. Proses menggambarkan
perkembangan perekonomian suatu negara dari waktu ke waktu
yang sifatnya lebih dinamis, output per kapita menggabungkan
aspek output total (PDB) dan aspek jumlah penduduk, sehingga
dalam jangka panjang akan terlihat kecenderungan dari perubahan
perekonomian dalam suatu jangka waktu tertentu yang didorong
oleh suatu proses self generating.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan prosesnya
yang bersinambungan merupakan kondisi ideal atau utama bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi suatu negara (Tambunan,
2001). Pertumbuhan ekonomi menurut Prof. Simon Kuznets (dalam
Irawan, 2009) adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan
suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-
barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh
sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan
dan ideologi yang diperlukannya
Sukirno (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan proses perkembangan dari kegiatan dalam suatu
perekonomian yang mengakibatkan barang dan jasa yang
diproduksikan dalam perekonomian suatu negara bertambah.

Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho 3


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Beberapa teori telah disampaikan oleh para ahli untuk menerangkan


hubungan antara faktor produksi dengan pertumbuhan ekonomi.
Berikut beberapa pandangan terkait teori tersebut:
a) Teori Klasik: menjelaskan pentingnya faktor-faktor produksi
dalam meningkatkan pendapatan nasional dan mewujudkan
pertumbuhan. Akan tetapi yang terutama diperhatikan adalah
peranan tenaga kerja. Menurut mereka tenaga kerja yang
berlebihan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
b) Teori Schumpeter: menjelaskan tentang suatu peranan
entrepreneur yang akan melakukan suatu investasi dan inovasi
dalam perwujudan pertumbuhan ekonomi.
c) Teori Harrod-Domar: menjelaskan tentang peranan investasi
sebagai faktor yang akan menyebabkan terjadinya pertambahan
pengeluaran agregat.
d) Teori Neo-Klasik: menunjukkan bahwa suatu perkembangan
teknologi dan peningkatan kualitas kreativitas masyarakat
merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam mewujudkan
pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi maka digunakan
tingkat pertumbuhan PDB. Ada beberapa alasan yang mendasari
pemilihan pertumbuhan PDB dan bukan indikator lainnya sebagai
pertumbuhan. Oleh Susanti et al (2007) menjelaskan beberapa
alasan tersebut adalah:
a) PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh
aktivitas produksi di dalam perekonomian suatu negara.
Artinya bahwa peningkatan produk domestik bruto juga dapat
mencerminkan peningkatan balas jasa kepada faktor produksi
yang telah digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.
b) PDB dihitung atas dasar flow concept. Artinya perhitungan
PDB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu
periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk
yang dihasilkan pada periode sebelumnya.
c) Batas wilayah perhitungan PDB adalah negara (perekonomian
domestik). Hal ini memungkinkan untuk mengukur sejauh mana
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah
mampu mendorong perekonomian domestik.

4 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

B. Kemiskinan
Tahun 1990, World Bank mengartikan kemiskinan sebagai
suatu ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi
standar hidup minimalnya. Pada tahun 2004, World Bank merincikan
kembali pengertian dari kemiskinan secara lebih detail yaitu
“Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah ketiadaan tempat
tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk periksa
ke dokter. Kemiskinan adalah tidak mempunyai akses ke sekolah
dan tidak mengetahui bagaimana caranya membaca. Kemiskinan
adalah tidak mempunyai pekerjaan dan khawatir akan kehidupan di
masa yang akan datang. Kemiskinan adalah kehilangan anak karena
penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan
adalah ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan”.
UNDP juga mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
kekurangan pendapatan dan kesulitan ekonomi dan juga dapat
dipandang sebagai suatu keadaan dimana kurangnya akses
terhadap pendidikan, kesehatan atau air minum yang bersih, atau
untuk mempengaruhi proses politik dan faktor lainnya yang penting
bagi manusia. Dengan kata lain, UNDP memandang kemiskinan
sebagai suatu masalah multidimensi yaitu tidak hanya terbatas pada
kekurangan pendapatan dan sumber daya ekonomi.
Adapun definisi kemiskinan yang banyak digunakan di
Indonesia terutama dalam pengukuran kemiskinan secara nasional
adalah definisi yang dikembangkan oleh BPS.
Rumusan komponen kebutuhan dasar menurut beberapa ahli
(dalam BPS, 2008) adalah sebagai berikut:
a) United Nations menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar
seseorang terdiri atas kesehatan, bahan makanan dan gizi,
pendidikan, kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan,
sandang, rekreasi, jaminan sosial, dan kebebasan manusia.
b) UNSRID menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar
manusia terdiri atas (i) kebutuhan fisik primer yang mencakup
kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan; (ii) kebutuhan
kultural yang mencakup pendidikan, rekreasi dan ketenangan
hidup; dan (iii) kebutuhan atas kelebihan pendapatan.
c) Ganguli dan Gupta menambahkan bahwa komponen kebutuhan
dasar manusia terdiri atas gizi, perumahan, pelayanan kesehatan
pengobatan, pendidikan, dan sandang.

Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho 5


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

d) Green (1978) menjelaskan sebagaimana seperti yang telah


dikutip oleh Thee Kian Wie (1981), bahwa komponen kebutuhan
dasar manusia terdiri atas: (i) personal consumption items yang
mencakup pangan, sandang, dan pemukiman; (ii) basic public
services yang mencakup fasilitas kesehatan, pendidikan, saluran
air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.
e) Esmara H (1986), menjelaskan bahwa komponen kebutuhan
dasar primer untuk negara Indonesia diantaranya adalah
pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

C. Kerangka Analisis

Pertumbuhan Ekonomi Kemiskinan

Keterangan:
= Pengaruh
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data
Pertumbuhan Ekonomi dan data Kemiskinan tahun 2010-2018
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data tersebut
kemudian dianalisis menggunakan metode atau teknik analisis Data
Panel. Metode analisis data panel merupakan suatu teknik analisis
kuantitatif yang menganalisis penggabungan antara data Times Series
dan Cross Section. Metode data panel digunakan untuk menganalisis
pengaruh dari pertumbuhan ekonomi (variabel independen)
terhadap kemiskinan (variabel dependen) di 5 Provinsi Termiskin
di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan
Gorontalo.

IV. PEMBAHASAN
Badan Pusat Statistik Indonesia merilis tingkat kemiskinan
Indonesia pada Semester I 2018 sebesar 9,82%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2017 pada periode yang sama sebesar 10,64%.
Hasil tersebut merupakan tingkat kemiskinan terendah yang
berhasil menyentuh angka dibawah 10% untuk pertama kalinya.

6 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Tabel 1. Kemiskinan dan PDRB Indonesia


Jenis PB Papua NTT MAL GOR IND
Tingkat
23,01 27,74 21,35 18,12 16,81 9,82
Kemiskinan (%)
Angka Kemiskinan
213,67 915,22 1.134,11 317,84 188,30 25.674,58
(000 jiwa)
PDRB
60,45 159,73 65,94 29,47 26,72 10.526,75
(triliun Rp)

Capaian tingkat kemiskinan dibawah 10% pada Semester I


2018 tidak diikuti dengan lima provinsi yaitu Papua Barat, Papua,
NTT, Maluku, dan Gorontalo yang menjadi provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi di Indonesia. Kelima provinsi tersebut
berkontribusi sebesar 3,25% dari total PDB Indonesia, dengan
pertumbuhan sebagai berikut; Papua (7,33%), Papua Barat (6,24%),
Nusa Tenggara Timur (5,13%), Maluku (5,94%), dan Gorontalo
(6,51%).
Hasil analisis data panel yang dilakukan memunculkan 3 model
utama yaitu Common Effect Model, Fixed Effect Model dan Random
Effect Model, kemudian dilakukan 3 uji untuk memilih model terbaik
dari ketiga model tersebut yaitu Uji Chow, Uji Hausman dan Uji
Lagrange Multiplier. Dari hasil pengujian menggunakan ketiga jenis
uji tersebut kemudian terpilihlah satu model terbaik yaitu Common
Effect Model, dengan hasil sebagai berikut:
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1.704132 1.220627 -1.396111 0.1698
X (PDRB) 0.727102 0.113972 6.379655 0.0000

R-squared 0.486260 Mean dependent var 6.067787


Adjusted R-squared 0.474313 S.D. dependent var 0.706726
S.E. of regression 0.512406 Akaike info criterion 1.544029
Sum squared resid 11.29009 Schwarz criterion 1.624325
Log likelihood -32.74065 Hannan-Quinn criter. 1.573963
F-statistic 40.70000 Durbin-Watson stat 0.023248
Prob(F-statistic) 0.000000

Dari hasil analisis data Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan


menggunakan Eviews 10 diatas, diperoleh model atau fungsi regresi

Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho 7


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

berupa pengaruh dari Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan


sebagai berikut:
Yit = -1,704132 + 0,727102 X + e ..................................................(1.1)
Keterangan:
Y = Kemiskinan
X = Pertumbuhan Ekonomi
i = Provinsi
t = Waktu/Tahun
e = Error
Fungsi regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel
Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap
Kemiskinan, artinya kenaikan 1 poin Pertumbuhan Ekonomi
akan menyebabkan kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,72.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa R2 sebesar 0,486 artinya
variabel X (Pertumbuhan Ekonomi) mampu menjelaskan variabel Y
(Kemiskinan) sebesar 49%.
Tabel. 2 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Variabel Dependen/
No Judul Penelitian Hasil Penelitian
Independen
1 ‘Dampak Pertumbuhan Variabel dependen: Berdasarkan hasil
Ekonomi Terhadap kemiskinan penelitian seluruh
Penurunan Jumlah Variabel independen: variabel independen
Penduduk Miskin’ PDRB, share sektor berpengaruh signifikan
oleh Hermanto Siregar pertanian, share sektor terhadap kemiskinan
dan Dwi Wahyuniarti industri, pendidikan
(2008)
2 ‘Analisis Kemiskinan Di Variabel dependen: Pendidikan,kesehatan,
Jawa Tengah’ kemiskinan pengeluaran
oleh Dicky Wahyudi Variabel independen: pemerintah, serta
(2013) pendidikan,kesehatan, pengangguran
pengeluaran berpengaruh terhadap
pemerintah, kemiskinan. Sedangkan
pengangguran, pertumbuhan ekonomi
pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh
terhadap kemiskinan.

8 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Variabel Dependen/
No Judul Penelitian Hasil Penelitian
Independen
3 ‘Pengaruh Variabel dependen: Berdasarkan hasil
kredit modal kerja penelitian kredit modal
Kredit Modal Kerja Variabel independen: kerja berpengaruh
Terhadap Pendapatan pendapatan bersih positif dan signifikan
Bersih Usaha terhadap pendapatan
Kecil Dan Menengah bersih
(UKM) Sektor Formal’
oleh Inayah,dkk (2014)

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan


ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya
kesenjangan, terutama pada tahap awal proses pembangunan
ekonomi (Adelman dan Morris dalam Kuznet, 1996). Hasil penelitian
ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara
pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan pembangunan
terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan
membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan
dan hasil-hasilnya, sementara pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan
ekonomi yang relatif lambat.

V. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil kesipulan, yakni:
pertama, Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
dan Gorontalo adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi
secara berturut-turut sebesar 27,74%; 23,01%; 21,35%; 18,12%;
16,81%. Kedua, Pertumbuhan PDRB kelima provinsi tersebut adalah
Papua (7,33%), Papua Barat (6,24%), Nusa Tenggara Timur (5,13%),
Maluku (5,94%), dan Gorontalo (6,51%). Ketiga, hasil analisis
pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap kemiskinan
di lima provinsi tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan dimana
kenaikan PDRB akan diikuti kenaikan kemiskinan. Keempat, hasil
analisis menunjukkan bahwa kenaikan PDRB pada kelima provinsi
tersebut membutuhkan upaya lebih lanjut untuk mendorong
pemerataan kesejahteraan.

Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho 9


Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2010-2019). Statistik Indonesia. Indonesia:


BPS Indonesia.
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 15 Tahun 2010 Tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 96 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Sukirno, Sadono. (2011). Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pasal 18 Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan
2.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32
Tahun 2004).

10 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

PERSEPSI NELAYAN LOMBOK TENGAH DAN


LOMBOK TIMUR TERHADAP KEBERLIMPAHAN
BENIH LOBSTER UNTUK PEMANFAATAN DAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA BERKELANJUTAN
DAN MENYEJAHTERAKAN

Nurlaili
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
lelykesa_antrop@yahoo.com
Bayu Vita Indah Yanti
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
bviy1979@gmail.com
Tikkyrino Kurniawan
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
tikkyrino.k@gmail.com

ABSTRAK
Persepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu
aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat
terhadap lingkungan sumber daya dibangun atas dasar persepsi yang
mereka miliki. Untuk kepentingan pembangunan sumber daya alam
berkelanjutan dan dapat mensejahterakan maka perlu membangun
persepsi masyarakat yang selaras dengan berbagai program kebijakan.
Belajar pada kasus tahun 2015, persepsi masyarakat nelayan terhadap
keberlimpahan sumber daya lobster (SDL) di Lombok Tengah dan
Lombok Timur menjadi sangat penting dalam rangka pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan agar tetap dapat
mensejahterakan masyarakatnya. Tulisan ini merupakan bagian dari
hasil Penelitian Penguatan Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis
Masyarakat pada tahun 2015. Penelitian dilakukan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Pembahasan mengenai persepsi masyarakat nelayan

Nurlaili, dkk. 11
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

terhadap keberlimpahan SDL di Lombok Tengah dan Lombok Timur


menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan
Teknik pengumpulan data wawancara mendalam (indepth interview)
diperkaya dengan studi kepustakaan, serta review terhadap hasil
penelitian terkait, dengan update informasi terkini, berdasarkan kondisi
setelah diberlakukannya kebijakan larangan aktifitas jual beli benih
lobster. Hasil penelitian menunjukkan baik nelayan dan pengepul benih
lobster di dua kabupaten memiliki persepsi bahwa laut merupakan
sumber daya milik bersama dan dapat dimanfaatkan secara bersama
oleh siapa saja. Fenomena keberlimpahan benih lobster bagi nelayan
dan pengepul dianggap merupakan suatu bentuk keberkahan dari Yang
Maha Kuasa untuk mereka karena mampu mengubah kondisi sosial
ekonomi masyarakat dalam waktu cepat. Ikatan hutang dengan para
pemberi pinjaman atau rentenir seketika hilang, kriminalitas berupa
perampokan juga menghilang dan para tenaga kerja yang bekerja di
luar negeri banyak yang kembali pulang dan beralih menjadi nelayan
penangkap benih lobster.
Kata kunci: persepsi; benih lobster; pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya; lombok tengah; lombok timur.

I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2015 pemerintah melalui Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 1 Tahun 2015 yang telah
direvisi dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016 telah melakukan
kebijakan yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak umum bagi
masyarakat nelayan penangkap benih lobster, dimana materi
kebijakan ini berisikan larangan pemanfaatan benih lobster.
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok
Timur, di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah yang
diperkirakan paling terdampak terhadap kondisi masyarakatnya,
terutama pada masyarakat nelayan penangkap benih lobster.
Menurut Irianto dan Sidharta (2011), hukum tidak hanya berisi
konsepsi normatif, yaitu hal-hal yang dilarang dan dibolehkan;
tetapi juga berisi konsepsi kognitif. Dalam aras normatif, “mencuri”,
“membunuh”, “korupsi” dilarang baik oleh hukum negara, agama
maupun adat dan kebiasaan. Namun kognisi tentang apa yang
disebut mencuri, membunuh dan korupsi bisa berbeda-beda dalam
konteks politik dan budaya. Pada penerapan peraturan menteri

12 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

terkait larangan pemanfaatan benih lobster, akan dibahas terkait


penerapan hukum berdasarkan konsepsi kognitif, dimana persepsi
masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu aspek
kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat
terhadap lingkungan sumber daya alam dibangun atas dasar persepsi
yang mereka miliki. Untuk kepentingan pembangunan sumber
daya alam yang berkelanjutan dan yang dapat mensejahterakan
maka perlu membangun persepsi masyarakat yang selaras dengan
berbagai program kebijakan.
Belajar pada kasus tahun 2015, persepsi masyarakat nelayan
terhadap keberlimpahan sumber daya lobster di Lombok Tengah dan
Lombok Timur menjadi sangat penting dalam rangka pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan juga tetap
dapat mensejahterakan masyarakatnya. Tulisan ini bertujuan
untuk menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat nelayan di
2 (dua) kabupaten di Nusa Tenggara Barat, yaitu di Kabupaten
Lombok Tengah dan di Kabupaten Lombok Timur, terkait dengan
keberlimpahan sumber daya lobster di wilayah perairan mereka.
Persepsi nelayan terhadap keberlimpahan sumber daya lobster
menjadi penting untuk diketahui karena persepsi merupakan dasar
bagi masyarakat dalam memperlakukan sumber daya yang mereka
miliki.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen
KP) Nomor 1 Tahun 2015 yang melarang kegiatan penangkapan
benih lobster telah membuat gejolak yang cukup meresahkan di
masyarakat, khususnya bagi nelayan penangkap benih lobster di
dua kabupaten di Nusa Tenggara Barat tersebut. Sebuah solusi yang
terbaik dan dapat diterima oleh berbagai pihak sangat dibutuhkan
untuk mengatasi gejolak yang ada di masyarakat. Tentunya, program-
program yang bertujuan untuk memberikan solusi haruslah tepat
dan berbasis pada masyarakat itu sendiri.
Peran masyarakat dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu bahasan
terkait dengan kategori budaya hukum masyarakat dalam menangani
permasalahan sumber daya alam (BPHN, tanpa tahun). Di mana
hal tersebut tidak pernah bisa tanpa berbicara tentang lingkungan

Nurlaili, dkk. 13
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

sosial termasuk di dalamnya masyarakatnya. Apapun yang terjadi


dengan lingkungan sumber daya alam di mana saja selalu terkait
dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar lingkungan
sumber daya alam tersebut. Hubungan antara masyarakat dengan
lingkungan sumber daya alamnya membentuk persepsi dan persepsi
menjadi titik tolak atau dasar bagi manusia dalam berbuat dan
bertindak. Persepsi juga mempengaruhi perilaku dan membentuk
suatu sikap. Persepsi masyarakat merupakan sebuah proses dimana
sekelompok individu yang hidup dan tinggal bersama dalam wilayah
tertentu, memberikan tanggapan terhadap hal-hal yang dianggap
menarik dari lingkungan tempat tinggal mereka.
Persepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah
satu aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku
masyarakat terhadap lingkungan sumber daya alamnya dibangun
atas dasar persepsi yang mereka miliki. Mengetahui persepsi
masyarakat nelayan di Lombok Tengah dan Lombok Timur terkait
dengan keberlimpahan sumber daya lobster sangat penting agar
pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan tetap dapat
mensejahterakan para pelaku usahanya. Membangun persepsi yang
sama antara masyarakat dengan berbagai program kebijakan dapat
meminimalisir konflik dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam program-program yang dijalankan khususnya dalam rangka
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Persepsi terhadap sumber daya menciptakan suatu sistem
pengelolaan sumber daya alam yang dianggap dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan.
Persepsi berkaitan dengan bagaimana mereka memaknai hubungan
mereka dengan lingkungannya.
Persepsi masyarakat merupakan proses kognitif yang dialami
oleh sekelompok individu yang berinteraksi (hidup dan tinggal
bersama dalam wilayah tertentu) di dalam memahami informasi
tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran
yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat,
sikap, intelegensi, di mana hasil atau penelitian terhadap apa yang
diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku (Robbins, 2003;
Thoha, 2007).
Persepsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh sosial budaya
masyarakat. Persepsi masyarakat satu dengan masyarakat lainnya

14 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

bisa jadi berbeda. Persepsi masyarakat juga pada umumnya


diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (Soejoeti, 1995).
Menurut Suhardin (2010), kebijakan negara in casu pemerintah
yang berpihak kepada warga yang miskin atau yang biasa disebut
option for the pro poor, seyogianya bersifat implementatif dari
Pancasila sebagai falsafah Negara, terutama sila ke-lima dan ke-
dua, Pembukaan Alinea ke empat Pasal 33 dan 34 UUD 1945
yang harus tercermin di dalam berbagai kebijakan publik dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Jika menghubungkan
pada pendapat tersebut, pada kasus kebijakan benih lobster sikap
pemerintah dapat memunculkan anggapan kurang berpihak pada
masyarakat di wilayah tersebut yang sedang berjuang mendapatkan
pendapatan yang layak dari penangkapan benih lobster.
Menurut Sarlito W. Sarwono dalam Listyana dan Hartono (2015)
persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami
yang menggunakan alat pengindraan. Persepsi mengandung suatu
proses dalam diri untuk mengetahui dan mengevaluasi sejauh mana
kita mengetahui orang lain. Pada proses ini kepekaan dalam diri
seseorang terhadap lingkungan sekitar mulai terlihat. Cara pandang
akan menentukan kesan yang dihasilkan dari proses persepsi. Proses
interaksi tidak dapat dilepaskan dari cara pandang atau persepsi
satu individu terhadap individu yang lain, sehingga memunculkan
apa yang dinamakan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat
akan menghasilkan suatu penilaian terhadap sikap, perilaku dan
tindakan seseorang di dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan penelitian Furqon et.al (2017), kebijakan
pelarangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster pada
implementasinya diharapkan mampu merubah persepsi dan
meningkatkan kesadaran stakeholder perikanan lobster dalam
menjaga keberlangsungan sumber daya, khususnya nelayan
lobster. Karena mengacu pada Wiyono dalam Furqon et.al (2017),
menyatakan bahwa persepsi nelayan terhadap sumber daya
perikanan merupakan proses pengorganisasian potensi daya yang
dimiliki nelayan dalam menafsirkan pengelolaan sumber daya
perikanan di perairan, Kebijakan pelarangan tersebut diharapkan
dapat menciptakan perikanan lobster yang bertanggungjawab.
Meskipun pada kenyataannya, masih terdapat praktik penangkapan
dan penyelundupan benih lobster di Palabuhan ratu masih marak

Nurlaili, dkk. 15
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

terjadi. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa jumlah


pengumpul benih lobster masih banyak di berbagai perkampungan
nelayan di Wilayah Perairan Teluk Palabuhanratu. Kegiatan
penyelendupan BL dari Palabuhanratu juga berlangsung hampir
setiap hari dengan jalur yang bervariasi, baik melalui jalur darat,
laut dan udara dengan tujuan akhir ke negara Singapura ataupun
langsung ke Vietnam.
Lebih lanjut, menurut Furqon et.al (2010), terkait persepsi
nelayan, secara umum tingkat pengetahuan nelayan terhadap
kebijakan sudah cukup. Namun demikian nelayan merasa bahwa
penangkapan benih lobster tidak mengganggu keberlanjutan lobster,
sehingga nelayan menolak kebijakan PERMENKP No. 1/2015 jo
PERMENKP No.56/2016.
Penerapan kebijakan ataupun hukum, jika menurut
Topatimasang (2000), sebaiknya harus melihat pada budaya hukum
(culture of law), yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan,
praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek isi
dan tata laksana hukum. Dalam pengertian ini termasuk tanggapan
masyarakat luas terhadap isi dan tata-laksana hukum tersebut.
Terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan secara
besar-besaran, menurut Lukman Adam (2012), pengelolaan sumber
daya perikanan harus dilakukan secara holistik, dan tidak bisa
dipisahkan antara pemanfaatan ekonomi semata; namun juga harus
ditinjau dari aspek lingkungan dan sosial. Eksploitasi sumber daya
perikanan tidak boleh dilakukan dengan cara merusak, dan harus
mempertimbangkan pemanfaatan secara berkelanjutan.

III. METODOLOGI
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Penguatan
Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis Masyarakat. Penelitian
dilakukan pada tahun 2015. Lokasi penelitian berada di Provinsi
Nusa Tenggara Barat di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Lombok
Tengah dan di Kabupaten Lombok Timur.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
dengan Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam
(indepth interview) kepada informan kunci (key informan) yang
merupakan nelayan penangkap benih dan pedagang pengumpul
(pengepul) di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Tengah

16 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

dan Kabupaten Lombok Timur. Untuk memperkaya tulisan maka


dilakukan pendekatan kepustakaan, dengan berdasarkan pada objek
utama melakukan review (mempelajari kembali) hasil penelitian
pada tahun 2015, untuk selanjutnya memperbaharui informasi
terkait berdasarkan pada hasil studi literatur lain yang terkait.
Analisis data dilakukan secara kualitatif berdasarkan pada temuan
data dan informasi yang dihasilkan dalam pengumpulan data.

IV. PEMBAHASAN
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus
Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus
Spp.) merupakan kebijakan awal tahun 2015 yang mengejutkan
bagi masyarakat nelayan penangkap benih lobster di wilayah
Lombok Tengah dan Lombok Timur. Meskipun kebijakan ini
telah diperbaharui dengan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016,
konsekuensi penerapannya tetap memberikan keterkejutan bagi
masyarakat nelayan penangkap benih, dan bertambah juga ke para
pembudidaya lobster di wilayah tersebut.
Keterkejutan masyarakat dengan adanya kebijakan tersebut
dikarenakan menurut mereka, laut merupakan sumber daya yang
paling penting bagi masyarakat, dan mereka memiliki ketergantungan
yang tinggi bagi kehidupan mereka melalui pemanfaatan sumber
daya laut, dan semua orang dapat memanfaatkan sumber daya yang
tersedia di laut karena sumber daya tersebut merupakan pemberian
Yang Maha Kuasa.
Begitulah bagi sebagian besar masyarakat nelayan yang berada
di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Perubahan pada
sumber daya laut sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
mereka. Perubahan pada kebijakan dalam bidang sumber daya laut
juga menjadi dasar bagi perubahan kehidupan mereka.
Kebijakan Permen KP No. 1 Tahun 2015 yang selanjutnya
diubah dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016, melarang kegiatan
penangkapan benih lobster dengan tujuan keberlanjutan sumber
daya lobster telah mempengaruhi kehidupan nelayan di dua
kabupaten tersebut. Eksploitasi berlebihan atas benih lobster
menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan pelarangan
aktivitas penangkapan tersebut. Gejolak yang timbul di dalam

Nurlaili, dkk. 17
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

masyarakat dikarenakan kurangnya sosialisasi terkait dengan


kebijakan pemerintah tersebut. Perubahan secara tiba-tiba dianggap
kurang akomodatif terhadap realitas lokal. Agar program yang
diberikan di dalam masyarakat dapat menjadi solusi maka harus
berbasis masyarakat.

A. Gambaran Umum
Produksi benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah dan
Lombok Timur pada tahun 2014 yaitu 5.341.000 ekor (Lombok
Tengah) dan 5-6 juta ekor (Lombok Timur), dengan produksi rata-
rata 330.000-400.000 ekor/bulan (Lombok Tengah). Sentra nelayan
lobster di Kabupaten Lombok Timur terdapat di Teluk Jukung
(Telong Elong), Ekas Buana, dan Seriwe, ditambah beberapa lokasi
lainnya yaitu Batu nampar selatan, dan Ketapang Raya. Peningkatan
produksi benih lobster di Lombok Tengah selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Produksi Benih Lobster di Kabupaten Lombok Tengah Tahun
2010-2014
Tahun Jumlah Benih Lobster (ekor)
2010 2.700.000
2011 2.725.000
2012 3.150.000
2013 4.773.000
2014 5.497.400
Sumber: Dinas KP Kabupaten Lombok tengah, 2015

Hasil penelitian BBRSEKP (2015) menemukan bahwa ukuran


benih lobster yang dominan tertangkap adalah panjang total 2-5
cm dan ukuran 6-8 cm (ukuran jangkrik) dengan jenis dominan
yang ditangkap yaitu jenis mutiara dan pasir. Jumlah nelayan
penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah adalah
2.353 orang dengan sebaran 764 orang (Teluk Awang), 1.487 orang
(Teluk Bumbang dan Gerupuk) dan 200 orang (Selong Belanak).
Mereka merupakan nelayan penangkap benih tanpa melakukan
usaha budidaya pembesaran. Mereka menangkap benih lobster
dengan menggunakan alat tangkap pasif dari kantong semen berupa
atractor yang disebut “Pocong”. Pocong digantungkan pada KJA
(keramba jaring apung) ukuran 7x8 m dengan kapasitas 100-120

18 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

buah pocong per unit. Pocong dapat juga digantungkan pada longline
dengan panjang tali induk 50 meter yang dapat menampung 25 unit
pocong dengan kedalaman 1,5 – 10 meter dpl. Alat tangkap pocong
yang mereka gunkaan saat ini telah mengalami modifikasi dimana
sebelumnya mereka menggunakan karung bekas yang diikat diubah
menjadi bentuk kipas. Hal ini karena banyak kerusakan terumbu
karang. Waktu pemanenan dengan menggunakan “pocong” adalah
1-2 hari.
Pada umumnya masyarakat pesisir di Lombok Tengah dan
Lombok Timur terdiri dari suku Sasak (suku asli Lombok), Bugis,
Mandar dan Bajo. Kondisi masyarakat pada umumnya memiliki
pelapisan di dalam masyarakat yang didasarkan pada garis
keturunan, walaupun saat ini batas-batas pelapisan sudah tidak
dirasakan di dalam masyarakat. Realitanya masyarakat masih
menghormati gelar kebangsawanan pada suku Sasak “Lalu” untuk
laki-laki dan “Baiq” untuk perempuan, namun tidak menjadi dasar
pelapisan yang utama di masyarakat. Demikian halnya pada suku
Bugis, Mandar dan Bajo. Untuk tokoh adat Bajo, masih sangat
dihormati dalam masyarakat pesisir dan memiliki kedudukan
strategis dalam pengambilan keputusan demikian halnya dengan
Tuan Guru Haji. Selain kturunan, materi atau kekayaan juga menjadi
dasar dalam stratifikasi sosial pada masyarakat pesisir di Lombok
Tengah dan Lombok Timur.
Dalam sistem usaha lobster, posisi pedagang pengumpul
memiliki kedudukan yang sagat penting dalam masyarakat.
Pedagang pengumpul berada pada strata sosial yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nelayannya dan memiliki peran yang strategis
dalam setiap pengambilan kebijakan. Pedagang pengumpul pada
usaha lobster dapat diklasifikasi ke dalam pedagang pengumpul
skala kecil dan pedagang pengumpul skala besar. Pedagang
pengumpul skala kecil adalah pedagang pembeli lobster dari nelayan
dan menjual kembali kepada pedagang besar. Pedagang skala besar
adalah pedagang perantara dari pedagang pengumpul skala kecil
dengan eksportir. Peran pedagang pengumpul skala besar sangat
penting dalam keberlanjutan kegiatan usaha lobster di Lombok
Tengah dan Lombok Timur.
Pola hubungan kerja dalam pemanfaatan lobster di Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Timur bersifat patronase. Bentuk

Nurlaili, dkk. 19
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

patronase ini disebabkan karena adanya bentuk investasi modal dari


pedagang pengumpul sebagai investor kepada nelayan penangkap
benih lobster. Jumlah Pengumpul benih lobster di Kabupaten
Lombok Tengah berjumlah 60 orang yang tersebar di tiga kecamatan
yaitu Pujut (Desa Mertak dan Sengkol), Kecamatan Praya Timur
(Desa Bilelando), dan Praya Barat (Selong Belanak). Masing-masing
pedagang pengumpul menjadi pembeli kepada beberapa nelayan
penangkap benih lobster yang sudah diberikan modal awal dalam
pembuatan keramba. Jumlah nelayan penangkap benih lobster di
Kabupaten Lombok Tengah adalah 2.353 orang dengan jumlah
unit keramba jaring apung yang digunakan untuk menggantungkan
“pocong” adalah 6.449 buah dengan sebaran yaitu 4.165 unit (Teluk
Bumbang dan Gerupuk) dan 2.284 unit (Teluk Awang). Unit keramba
yang terdapat di Kabupaten Lombok Tengah pada umumnya
merupakan bentuk hubungan patronase antara nelayan penangkap
dan pedagang pengumpul benih lobster. Pada umumnya, nelayan
penangkap benih diberikan modal oleh pedagang pengumpul skala
kecil untuk membuat keramba. Besaran modal yang diberikan untuk
membuat satu unit keramba lengkap dengan alat tangkap “pocong”
bervariasi antara Rp10.000.000 - Rp20.000.000.
Nelayan penangkap benih lobster diharuskan menjual benih
hasil tangkapannya kepada pengumpul benih lobster sebagai
bentuk imbalan dari investasi yang telah diberikan. Pola hubungan
kerjasama ini membentuk jalur pemasaran benih lobster yang dapat
digambarkan pada skema di bawah ini.

Pengepul
Kecil di Pengepul
Nelayan
Lombok Besar di Eksportir di
Penangkap
Tengah dan Lombok Bali
Benih
Lombok Tengah
Timur

sumber: data primer diolah, 2015


Gambar 1. Jalur Pemasaran Benih Lobster
Lebih lanjut, jumlah nelayan penangkap benih lobster pada
tiap pengumpul berbeda-beda, umumnya puluhan hingga ratusan.
Harga beli yang diterapkan oleh pedagang pengumpul kepada

20 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

nelayan penangkap benih lobster tidak dibedakan dengan mereka


yang tidak memiliki hutang. Sistem bagi hasil hanya diberlakukan
antara pemilik keramba dengan pekerja keramba seperti penjaga
keramba. Para pekerja selain mendapatkan gaji juga mendapatkan
hak pendapatan sampingan di luar keramba pemilik modal. Salah
satu contoh pola hubungan kerjasama antara pedagang pengumpul
dan nelayan penangkap benih lobster di Lombok Tengah yaitu
antara sebut saja Pak Bedu (pedagang pengumpul) dengan 120
orang nelayan penangkap benih lobster. Pak Bedu memiliki
investasi keramba sebanyak 300 unit yang tersebar di Desa Mertak
dan Sengkol. Masing-masing KJA terdiri dari minimal 4 lokal dan
maksimal 9 lokal yang dikelola oleh nelayan penangkap benih
lobster.
Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat di situ ada
hukum), pendapat terkenal dari Cicero yang menunjukkan bahwa
keberadaan manusia sangat lekat dengan hukum, sehingga sukar
untuk melepaskan gejala hukum dari manusia, dan mungkin agak
sukar untuk mengadakan pengukuran tentang apa yang dipikirkan
dan diinterpretasi oleh manusia tentang hukum (konsepsi normatif
dan kognitif) (Irianto dan Sidharta, 2011). Terkait dengan kondisi
di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Timur, secara khusus tidak
ada organisasi kemasyarakatan yang mengatur tentang pengelolaan
dan pengawasan sumber daya lobster. Secara umum, masyarakat
telah memiliki bentuk kearifan lokal yang diwariskan secara turun
temurun untuk mengatur sumber daya alam dan keberlanjutannya
melalui awik awik. Aturan-aturan yang terdapat pada awik awik
merupakan hasil kesepakatan bersama yang bertujuan untuk
mengatur pengelolaan, pengawasan dan keberlanjutan sumber
daya sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan antara alam
dan manusianya. Aturan dalam awik awik disepakati oleh kumpulan
orang-orang dari anggota masyarakat pesisir dan pihak-pihak yang
terkait (stakeholder) seperti nelayan, tokoh masyarakat, pengusaha
perikanan, pemerhati lingkungan, yang bergerak dalam bidang
pengelolaan sumber daya perikanan, dalam rangka pengelolaan
perikanan laut di masing-masing kawasan.
Awik awik yang mengatur tentang sumber daya lobster antara
lain tentang pelarangan menangkap lobster indukan. Hal ini
diyakini bahwa lobster indukan merupakan sumber benih. Aturan

Nurlaili, dkk. 21
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

lainnya terkait penangkapan ikan adalah tentang aturan pelarangan


penggunaan lampu dalam kegiatan penangkapan. Aturan ini antara
lain berlaku untuk masyarakat nelayan di Perairan Teluk awang.
Pada kenyataannya, aturan dalam awik awik dapat mengalami
perubahan sesuai dengan kesepakatan para pendukungnya.
Sebagai contoh untuk masyarakat nelayan di Teluk Awang saat ini
diperbolehkan pemakaian lampu namun jumlahnya sangat dibatasi.
Selain awik awik, pemerintah Kabupaten Lombok Tengah juga
telah menetapkan zona konservasi antara lain kawasan konservasi
Teluk Bumbang. Zona konservasi tersebut berupa penetapan Taman
wisata perairan dan spot spot zonasi lainnya. Masyarakat nelayan
lobster di Lombok Tengah pada umumnya tidak berkelompok,
kalaupun ada kelompok umumnya kelompok pembudidaya. Untuk
di Desa Gerupuk, nelayan terbagi ke dalam 9 kelompok. Umumnya
kelompok yang ada terbentuk karena ikatan antara nelayan
penangkap benih dengan pengumpul benih lobster.

B. Persepsi Masyarakat Nelayan tentang Keberlimpahan


Sumber daya Lobster
Masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok
Timur umumnya memiliki pandangan bahwa laut merupakan sumber
daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh
siapa saja. Masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok tengah dan
Lombok Timur yang ada di wilayah perairan Teluk Awang, Teluk
Bumbang, Teluk Ekas pada mulanya merupakan nelayan penangkap
ikan skala kecil. Tingkat kesejahteraan mereka umumnya berada
pada tahap pra sejahtera dan merupakan nelayan subsisten. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka umumnya memiliki ikatan
hutang pada rentenir atau yang disebut “bank rontok” atau “bank
subuh”. Rata-rata besaran ikatan hutang pada “bank rontok” antara
Rp.3.000.000 – 5.000.000/ nelayan. Ikatan hutang ini membuat
masyarakat semakin berada pada kondisi yang terpuruk. Fenomena
maraknya benih lobster bagi masyarakat nelayan merupakan suatu
bentuk keberkahan yang didatangkan untuk mereka. Meningkatnya
permintaan benih lobster membuat harga semakin menjadi tinggi
dan telah mampu merubah kondisi ekonomi masyarakat nelayan di
dua kabupaten tersebut. Potensi pendapatan pada tingkat nelayan
penangkap benih lobster minimal Rp 100.000 sampai jutaan rupiah,

22 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

sedangkan pendapatan pada tingkat pengepul bisa mencapai


puluhan juta rupiah per hari.
Besarnya pendapatan yang diperoleh nelayan pada usaha
lobster dapat meningkatkan kondisi ekonomi nelayan dalam
waktu cepat. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat antara lain
hilangnya ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman seperti
“bank rontok” atau “bank subuh”. Selain nelayan penangkap ikan,
besarnya pendapatan yang diperoleh dari benih lobster membuat
petani sawah dan para TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga
kerja wanita) yang bekerja di luar negeri banyak yang kembali
pulang dan mulai beralih menjadi nelayan penangkap benih lobster.
Para pembudidaya rumput laut pun banyak yang mengalihfungsikan
longline nya untuk menangkap benih lobster.

Potensi pendapatan pada tingkat nelayan penangkap


Dampak Penangkapan Benih Lobster

benih lobster minimal Rp 100.000 sampai jutaan rupiah,


sedangkan pendapatan pada tingkat pengepul bisa
mencapai puluhan juta rupiah.
Oleh Masyarakat

hilangnya ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman


seperti “bank rontok” atau “bank subuh”

petani sawah dan para TKI/TKW (tenaga kerja


Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di luar
negeri banyak yang kembali pulang dan mulai beralih
menjadi nelayan penangkap benih lobster

Para pembudidaya rumput laut pun banyak yang


mengalihfungsikan longline nya untuk menangkap
benih lobster

Gambar 2. Gambaran Dampak dari Kegiatan Penangkapan Benih Lobster


Bagi Masyarakat Penangkap Benih Lobster

Nurlaili, dkk. 23
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

Mereka memiliki pengetahuan tentang kalender musim


lobster yaitu musim puncak dan paceklik sehingga mereka bisa
memanfaatkan sumber daya lobster. Untuk lobster jenis mutiara
mengalami puncak musim pada bulan Agustus, September, dan
Oktober, sedangkan untuk lobster pasir mengalami musim puncak
pada bulan Mei-Desember. Musim paceklik jatuh pada bulan
Februari-Juli. Pada musim puncak, nelayan akan memaksimalkan
penggunaan aat tangkap pocong dan sebaliknya (Tabel 2).
Tabel 2. Kalender Musim Lobster
Jenis Bulan
Lobster

Agustus
Maret

April

Sept
Juni

Nov

Des
Mei
Feb

Okt
Juli
Jan

L. Mutiara
L. Pasir
Sumber: Data primer, 2015.

Paceklik

Musim Puncak

Alokasi waktu kerja yang dibutuhkan untuk melakukan usaha


penangkapan benih lobster bagi nelayan tidak membutuhkan waktu
yang banyak sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan lain seperti
perbaikan alat tangkap. Hanya dibutuhkan waktu sebanyak 4 (empat)
jam per hari. Dua jam pada pagi hari dan dua jam pada sore/malam
hari. Pada malam hari nelayan turun ke laut untuk mengikatkan
pocong pocongnya di keramba. Jarak keramba tidak terlalu jauh
dari tepi pantai dibutuhkan waktu 15 menit saja untuk sampai ke
keramba. Setelah mengikatkan pocong di keramba maka nelayan
kembali ke rumah. Pocong baru diangkat pada keesokan harinya.
Waktu pemanenan biasanya pagi hari hingga sebelum zuhur.
2 jam sore/malam hari
Alokasi Waktu

• turun ke laut
• mengikat pocong di Karamba
2 jam pagi hari hingga sebelum zuhur
• pemanenan hasil tangkapan benih lobster

Gambar 3. Gambaran Alokasi Waktu Masyarakat Untuk Menangkap


Benih Lobster

24 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

Dalam usaha penangkapan benih lobster juga banyak menyerap


tenaga kerja. Pembagian tugas dalam usaha penangkapan benih
lobster dilakukan antara kaum laki-laki dan perempuan. Kaum
laki-laki umumnya mengerjakan tugas di laut sedangkan kaum
perempuan mengerjakan tugas di darat. Tugas kaum laki-laki yaitu
mengikatkan pocong ke keramba dan memanennya. Tugas kaum
perempuan adalah melepaskan lobster dari pocong dan memilah
lobster berdasarkan jenisnya. Tugas lainnya yang dilakukan oleh
kaum perempuan adalah membuat dan memperbaiki pocong
yang rusak. Etos kerja masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok
Tengah pada umumnya memiliki semangat kerja keras. Mereka mau
melakukan pekerjaan apapun agar dapat memberikan hasil atau
pendapatan bagi mereka. Hal ini berlaku baik pada kaum laki-laki
maupun perempuannya. Terdapat semboyan dalam masyarakat
“poro poro daripada momot” yang artinya “lebih baik ada yang
dikerjakan untuk menghasilkan uang daripada berdiam saja”. Dari
semboyan tersebut dapat dilihat bahwa mereka pada dasarnya mau
bekerja apapun yang penting dapat menghasilkan uang untuk dapat
memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Menjadi nelayan penangkap benih lobster merupakan suatu
pekerjaan alternatif yang dapat mengubah taraf kehidupan mereka.
Nelayan penangkap benih lobster di Lombok Tengah dan Lombok
Timur pada mulanya merupakan pembudidaya pembesaran
lobster, rumput laut dan kerapu. Selain itu, terdapat juga mereka
yang semula sebagai petani sawah dan para tenaga kerja yang
bekerja di luar negeri. Mahalnya harga benih lobster sejak tahun
2011 mengubah mereka menjadi nelayan penangkap benih lobster
dengan mengadopsi alat tangkap pocong. Potensi pendapatan
minimal Rp.100.000/hari sampai jutaan rupiah/hari.
Program-program responsif terkait dengan diterapkannya
kebijakan larangan penangkapan dan pemanfaatan benih lobster
dapat berangkat dari persepsi yang dimiliki oleh masyarakat
nelayan terkait dengan sumber daya lobster yang berlimpah di
wilayah perairan mereka. Upaya yang pertama kali harus dilakukan
adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan
keberlanjutan sumber daya lobster. Pemahaman yang mereka
peroleh akan mengubah persepsi mereka terkait dengan pengelolaan

Nurlaili, dkk. 25
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

sumber daya. Dengan demikian diharapkan tingkat partisipasi


terhadap program terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya yang berkelanjutan akan lebih efektif di masyarakat.

V. PENUTUP
Hasil penelitian menunjukkan baik nelayan dan pengepul
benih lobster di dua kabupaten memiliki persepsi bahwa laut
merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan
secara bersama oleh siapa saja. Fenomena keberlimpahan benih
lobster bagi nelayan dan pengepul dianggap merupakan suatu
bentuk keberkahan yang didatangkan untuk mereka karena mampu
mengubah kondisi ekonomi masyarakat dalam waktu cepat. Ikatan
hutang dengan para pemberi pinjaman atau rentenir seketika hilang,
kriminalitas berupa perampokan juga menghilang dan para TKI/
TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di
luar negeri banyak yang kembali pulang dan beralih menjadi nelayan
penangkap benih lobster.
Upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat nelayan
terkait dengan keberlanjutan sumber daya lobster akan dapat
mengubah persepsi mereka terkait dengan pengelolaan sumber
daya yang berkelanjutan, sehingga tingkat partisipasi terhadap
program akan lebih efektif di masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih atas dukungan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dan juga untuk masyarakat
lombok yang telah berkenan membantu memberikan data dan
informasi. Doa kami juga untuk almarhum Profesor Zahri Nasution
dan almarhum bapak Manadiyanto yang merupakan peneliti utama
pendamping tim kami pada saat penelitian, terimakasih untuk
diskusi, saran, dan kritik perbaikan untuk menghasilkan karya tulis
terkait penelitian lobster ini.

26 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Tengah. (2015).


Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Lombok Tengah, Lombok: Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Tengah.
Furqan, Tri Wiji Nurani, Eko Sri Wiyono, dan Deni Achmad Soeboer.
(2017). Tingkat Pemahaman Nelayan Terkait Dengan Kebijakan
Pelarangan Penangkapan Benih Lobster Panulirus Spp. di
Palabuhanratu. Jurnal ALBACORE, Volume I, No 3, Oktober 2017
Hlm. 297-308. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2017. Diunduh
pada link http://journal.ipb.ac.id/index.php/pspalbacore/
article/viewFile/19025/13285.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. (2011). Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kusumaatmadja, Sarwono. (1995). Sumbangan kearifan tradisional
terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup: sebuah pengantar.
Analisis CSIS, Tahun XXIV No.6 November-Desember 1995.
Centre for strategic and international studies; 413-416.
Listyana, R. dan Y. Hartono. (2015). Persepsi Dan Sikap Masyarakat
Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu
Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat
Kabupaten Magetan Tahun 2013). JURNAL AGASTYA, VOL 5 NO
1 Januari 2015 Hlm.118-138. Madiun: Universitas PGRI Madiun,
2015. Diunduh pada link http://e-journal.unipma.ac.id/index.
php/JA/article/download/898/810.
Lukman Adam. (2012). Kebijakan Pengembangan Perikanan
Berkelanjutan (Studi Kasus: Kabupaten Wakatobi, Provinsi
Sulawesi Tenggara Dan Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi
Maluku Utara). Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. II No. 2
Hlm.115-126. Desember 2012. Serang: Universitas Tirtayasa,
2012. Diunduh pada link http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/
jpk/article/viewFile/28/17.

Nurlaili, dkk. 27
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No.1


Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.),
Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No.56
Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan Dan/Atau
Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.),
Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik
Indonesia.
Robbins, S. P. (2003) Perilaku Organisasi: Konsep Kontroversi Aplikasi.
Edisi Kedelapan. Trans. Pujaatmaka, H & Molan, B., Jakarta: Pt.
Prenlindo.
Soejoeti, SZ. (1995). Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria
Hubungannya dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan.
Media Litbangkes, Vol.V No.02/1995.
Suhardin, Y. (2010). Peranan Negara dan Hukum Dalam Memberantas
Kemiskinan dengan Mewujudkan Kesejahteraan Umum. Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-40 No.3 Juli 2010 Hlm.390-
407. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2010.
Thoha, M. (2007). Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Implikasinya.
Yogyakarta: Fisipol UGM
Topatimasang, R. (2000). Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Insist Press, 2000.

28 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

KEBIJAKAN CERDAS PENGEMBANGAN WILAYAH


PENAJAM PASER UTARA – KUTAI KARTANEGARA
SEBAGAI CALON IBUKOTA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN
ANALISIS PEREKONOMIAN DAN LINGKUNGAN

Djoko Sunarjanto
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
djoko.sunarjanto@esdm.go.id
Afi Nursyifa
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
afi.nursyifa@esdm.go.id
Suliantara
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
suliantara@esdm.goid

ABSTRAK
Potensi sumberdaya alam Kabupaten Penajam Paser Utara – Kutai
Kartanegara Kalimantan Timur, sangat variatif untuk berfungsi sebagai
tulang punggung perekonomian wilayah regional dan nasional. Untuk
itu perlu kebijakan cerdas pengembangan Penajam Paser Utara – Kutai
Kartanegara menjadi ibukota yang baru Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maksud dan tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi
potensi sumberdaya alam, utamanya potensi mineral dan hutan untuk
penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan
Penajam Paser Utara – Kutai Kartanegara yang ramah ekonomi dan
berkelanjutan (green economy). Kajian difokuskan pada perekonomian
dan lingkungan, dengan pendekatan analisis kualitatif dan komparatif.
Hasil analisis komparatif menunjukkan posisi geografis dan adanya
sumber minyak dan gas bumi dan hutan menjadi peluang untuk dijadikan
modal kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian baru. Kelapa
sawit menjadi potensi energi baru dan terbarukan yang menghasilkan
energi pengganti premium dan diesel. Sumberdaya alam yang sudah
terbukti meningkatkan perekonomian, sebagai bahan diskusi rancangan
kebijakan pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang
baru. Peraturan perundangan terkait kebijakan fiskal harus menjadi
prioritas.Guna menunjang perencanaan hingga monitoring dan evaluasi

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 29


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

diperlukan aplikasi sistem informasi tentang wilayah pengembangan


Ibukota Negara.
kata kunci: kebijakan cerdas; penajam paser utara; kutai kartanegara;
ibukota baru

I. PENDAHULUAN
Dinamika yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah
pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan tentu menjadi tugas
bersama yang tidak ringan, termasuk menjadi tugas Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Beberapa hal penting terkait kebijakan yang melibatkan banyak
pihak tersebut yang melatarbelakangi pemikiran penyusunan kajian
(review) ini.
Oleh sebab itu terkait dinamika yang ada, DPR langsung
membentuk Panitia Khusus Pemindahan Ibukota Negara (IKN)
yang langsung bekerja (Buletin Parlementaria, 2019). Sementara
konsekuensi pemilihan lokasi untuk Ibukota NKRI adalah terjadinya
peningkatan perekonomian antara lain akan terjadi ekstraksi
sumberdaya alam berupa lahan, hutan, air, dan mineral. Meskipun
alam mampu melakukan siklus seperti siklus air, namun ada proses
dan waktu yang panjang. Kondisi ini membuat perlunya penanganan
yang tepat dan akurat dengan lebih baik lagi. Apabila tidak ditangani
secara bersama dan terintegrasi oleh pihak terkait stakehoder dan
sharehoder, pengembangan Penajam Paser Utara - Kutai Kartanegara
disingkat Penajam Pasut – KuKar, dikhawatirkan terganggu akibat
adanya benturan kepentingan.
Daerah memiliki variasi dan kompleksitas, terdapat banyak
stakeholder sehingga belum semuanya terakomodasi dalam proses
perencanaan dan penyusunan kebijakan. Penyusunan kebijakan
cerdas dikembangkan secara optimal dan terintegrasi sesuai realita
dan dinamika yang terjadi. Sehingga adanya kebijakan yang selama
ini masih terjadi kesenjangan antara pihak penyusun kebijakan
(Pemerintah) dan stakeholder, dijembatani secara cepat dan tepat
penyusunannya untuk diimplementasikan sesuai skenario.
Maksud kajian untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya alam
utamanya potensi mineral dan hutan guna mendukung penyusunan
kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan Penajam

30 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Pasut - Kukar yang ramah ekonomi (green economy) sehingga dapat


sebagai alternatif solusi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Tenaga Ahli dalam penyusunan kebijakan perencanaan Ibukota
Negara yang ramah lingkungan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Dalam pikiran sederhana orang tua kepada anak, ibu atau bapak
seharusnya memberikan aturan atau kebijakan berbasis bukti.
Misal, disesuaikan dengan tindakan sebelumnya yang dilakukan,
disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan dengan konteks yang
berlaku. Tentunya tidak boleh menerapkan kebijakan yang dicontek
dari rumah tangga orang lain untuk diterapkan di keluarga. Apalagi itu
untuk diterapkan di level kota, provinsi, dan negara (Fatonie, 2018).
Demikian juga pengembangan wilayah ibukota Negara Indonesia,
tidak hanya menyontek Malaysia, Brazil atau negara maju lain yang
sudah memindahkan ibukota negara/pusat pemerintahannya. Pada
kajian ini upaya inventarisasi potensi sumberdaya alam pada wilayah
ibukota baru, sebagai langkah awal menyusun kebijakan cerdas
berbasis bukti yang dimiliki Wilayah Penajam Pasut - Kukar.
Sedangkan sebagai bukti yang pernah dilakukan di wilayah dua
kabupaten ini dan lepas pantainya adalah operasi perusahaan hulu
sampai hilir migas internasional TOTAL. Pengalaman TOTAL antara
lain mengembangkan dan memproduksi migas, pada saat yang sama
juga mengoperasikan kegiatan tambang batubara serta pembangkit
tenaga listrik (TOTAL, 2011).
Pengelolaan kekayaan sumberdaya alam berwawasan
lingkungan merupakan kunci penting dalam pelestarianalam.
Pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) suatu wilayah sering
bersentuhan dengan wilayah perikanan, pariwisata, transportasi,
dan kawasan lingkungan yang dilestarikan dan dilindungi
(Sunarjanto dkk., 2017). Khusus dalam kajian ini pengelolaan
sumberdaya mineral dan hutan akan bersentuhan langsung dengan
pengembangan wilayah Ibukota Negara.

III. METODOLOGI
Metoda kajian menggunakan data terdahulu, studi literatur,
dan laporan penelitian/kajian. Kompilasi data untuk lebih

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 31


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

mengoptimalkan analisis, dilakukan analisis kualitatif dan


komparatif disusun dalam suatu matriks kegiatan terpilih –potensi
dampak lingkungan - potensi dampak sosial ekonomi budaya hingga
antisipasinya. Identifikasi pengisian masing-masing kotak dalam
matriks dengan pendekatan teknis menggunakan pendapat ahli
(Expert Judgement) di bidang kebijakan, sumberdaya alam dan
perencanaan kewilayahan. Konfigurasi hubungan antar baris dan
kolom dalam matriks tersebut disusun untuk analisis dan diskusi.

IV. PEMBAHASAN
A. Analisis Perekonomian
Analisis diawali dari data perekonomian Provinsi Kalimantan
Timur, dilanjutkan perekonomian dua kabupaten yang sebagian
wilayahnya menjadi calon lokasi Ibukota Negara.
1. Penajam Paser Utara
Upah Minimum Kabupaten Penajam Paser Utara adalah kedua
tertinggi di Kalimantan Timur setelah Kabupaten Berau (Kaltim.
tribunnews.com, 2019). Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Timur mencatat pertumbuhan ekonomi di Bumi Etam pada triwulan
I/2019 adalah 5,36% (y-o-y) tumbuh di atas rata-rata nasional yakni
5,07% (y-o-y). Pertumbuhan ini dipicu oleh semualapangan usaha
dibandingkan dengan triwulan I/2018 lalu. Pada triwulan I/2019
pertumbuhan tertinggi adalah konstruksi sampai 16,14% lalu
lapangan usaha jasa lainnya 9,20%, dan lapangan usaha pengadaan
listrik dan gas 8,37%. Pertumbuhan ekonomi tinggi karena struktur
perekonomian Kaltim, lima terbesar adalah pertambangan, industri,
konstruksi, pertanian, dan perdagangan. Pertumbuhan sektor
tambang dan penggalian cenderung stagnan, dan hanya pernah
turun drastis pada 2015-2016. Sektor konstruksi dipicu oleh
banyaknya proyek infrastruktur multi years yang masih berjalan
serta mulai tingginya tren pembangunan perumahan, termasuk juga
proyek tol Balikpapan-Samarinda dan proyek Jembatan Mahkota IV
(bisnis.com, 2019) .
Kinerja ekspor komoditas Kalimantan Timur diproyeksikan
masih melanjutkan tren kemerosotan hingga akhir tahun ini. Ekspor
utama Kaltim saat ini adalah batubara dan kelapa sawit. Namun,
dua komoditas ini juga sedang naik turun. Di sisi lain, komoditas

32 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

pertanian hingga saat ini belum mampu menopang nilai ekspor.


BPS mencatat nilai ekspor Provinsi Kalimantan Timur kembali
mengalami penurunan. Padabulan September 2019, nilai ekspor
turun sebesar 1,25%. Apabila dibandingkan dengan September 2018
mengalami penurunan sebesar 13,74%. Nilai ekspor barang migas
September 2019 mencapai US$0,14miliar, turun 5,82% dibanding
Agustus 2019. Secara kumulatif nilai ekspor Provinsi Kalimantan
Timur periode Januari-September 2019 mencapai USD 12,20 miliar
atau turun 9,81% dibandingkan dengan periode yang sama tahun
2018. Dari seluruh ekspor periode Januari-September 2019, ekspor
barang migas mencapai US$1,50 miliar atau turun 37,56% dan
barang non migas mencapai US$ 10,70 miliar atau turun sebesar
3,80% dibandingkan periode yang sama 2018 (bisnis.com,2019).
Sumberdaya alam hayati yang melimpah hasil dari pertanian
berupa padi, jagung, kedelai dan kacang tanah. Sedangkan hasil dari
perkebunan berupa kelapa sawit, karet, kelapa, dan lada. Sumber
daya alam non hayati berupa perikanan laut, perikanan tambak, dan
perikanan darat. Memiliki luas sekitar 3.333,06 km2, yang terdiri dari
3.060,82 km2 daratan dan 272,24 km2 lautan. Kabupaten Penajam
Pasut memiliki sumberdaya alam yang cukup banyak dan beragam,
baik sumber daya hutan berikut hasil ikutannya, perkebunan,
pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan serta kehutanan.
Potensi pariwisata di Kabupaten Penajam Paser Utara sangat
didukung oleh letak posisinya yang strategis sebagai pintu gerbang
trans Kalimantan serta menjadi lalu lintas perdagangan antar
provinsi.Hasil analisis perekonomian pada wilayah ini, termasuk
untuk peningkatan produksi sawit dan industri minyak sawit,
dengan tetap terus diupayakan optimasi blok migas lama (Blok
Mahakam dan Blok Sanga-sanga). Maka peraturan perundangan
terkait kebijakan fiskal harus menjadi prioritas dalam rangka
mendukung pengembangan wilayah ibukota baru Negara Republik
Indonesia.

2. Kutai Kartanegara
Luas wilayah Kabupaten Kukar adalah 27.263,10 km2 yang
terbagi menjadi 18 kecamatan. Kabupaten Kukar mempunyai belasan
sungai yang tersebar pada hampir semua kecamatan dan merupakan
sarana angkutan utama disamping angkutan darat, dengan sungai

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 33


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

terpanjang yaitu Sungai Mahakam dengan panjang sekitar 920 km.


Daratan Kabupaten Kukar tidak terlepas dari gugusan gunung dan
pegunungan yang terdapat hampir di seluruh kecamatan. Selain itu
juga terdapat 16 danau dengan luas yang beragam.
Penduduk Kabupaten Kukar pada tahun 2018 adalah 769.337
jiwa yang terdiri atas 403.825 laki-laki dan 365.512 perempuan.
Struktur perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara didominasi
oleh sektor minyak dan gas bumi, pertanian dan pertambangan.
Berbagai sumber data menerangkan ada empat sektor dominan
yang berpengaruh tinggi terhadap PDRB yaitu sektor pertambangan
(64,91%), sektor pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan
(12,98%), sektor bangunan (7,85%) dan sektor industri pengolahan
(4,06%). Minyak bumi dan gas alam merupakan komoditi ekspor
utama. Total produksi batubara tahun 2017 mencapai 86 juta ton.
Sektor pertanian merupakan sektor unggul dan memiliki
sumbangan terbesar kedua terhadap PDRB Kutai Kartanegara. Dari
berbagai komoditas perkebunan, kelapa sawit memiliki produksi
terbesar yaitu 299.200,36 ton, kemudian disusul karet, kelapa, dan
lada.Pada tahun 2018, luas fungsi hutan sebesar 2.631.998 ha, yang
terbagi menjadi fungsi kawasan hutan lindung (201.646 ha), hutan
produksi tetap (760.537 ha), hutan produksi terbatas (486.116 ha),
hutan produksi yang dapat di konversi (22.737 ha), kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam (134.284 ha), areal penggunaan
lain (961.687 ha dan tubuh air (64.987 ha). Air minum merupakan
suatu kekayaan alam di Kukar. Produksi air minum pada tahun 2018
sebanyak 33.931.014 m3 dan terjual sebanyak 22.786.888 m3 senilai
Rp. 111.258.262.050,- .
Dari sisi potensi geologi sumberdaya mineral untuk
pengembangan wilayah, sumberdaya mineral suatu daerah
dikaji/diinventarisasiguna menggerakkan roda perekonomian
dan pembangunan wilayah. Dalam kajian ini diutamakan analisis
potensi mineral termasuk migas untuk perekonomian. Penajam
Pasut – Kukar Provinsi Kalimantan Timur termasuk dalam
cekungan sedimen Kutei, merupakan cekungan produksi migas.
Sebaran KKS migas dapat dilihat pada Lampiran1. Kondisi ini
harus diperhitungkan dalam perencanaan wilayah ibukota negara.
Tercatat perusahaan minyak nasional termasuk PERTAMINA dan
perusahaan asing mempunyai wilayah kerja aktif pada wilayah dua

34 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

kabupaten ini baik onshore maupun offshore, termasuk di dalamnya


blok kaya migas, antara lain Blok Mahakam dan Blok Sanga-sanga.
Upaya peningkatan produksi migas bukan hanya dari blok baru
saja, tetapi juga dari blok lama yang dioptimasikan(SKK Migas, 2019).
Termasuk blok migas lama sudah seharusnya diperhitungkan ulang
oleh semua pihak penanganan peningkatan produksinya apabila
Wilayah Penajam Pasut – Kukar menjadi ibukota
Dari pengusahaan batubara, total penerbitan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Kalimantan Timur; Kabupaten Kutai
Kartanegara paling sering menerbitkan IUP hingga mencapai 625
IUP. Total produksi batubara di Kutai Kartanegara pada 2017
mencapai 86,98 juta ton hanya dari 100 perusahaan tambang
batubara. Aktivitas pertambangan juga ramai di Kabupaten Panajam
Pasut. Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Penajam Pasut mencatat
dana bagi hasil sumber daya alam mencapai Rp 496,8 miliar, lebih
tinggi dari target Rp 485,63 miliar (Katadata.co.id, 2019). 

B. Analisis Dampak Pengembangan Berkelanjutan Wilayah


Penajam Pasut-Kukar
Analisis perekonomian berbagai sumber data menerangkan ada
empat sektor dominan yang berpengaruh tinggi terhadap PDRB yaitu
sektor pertambangan, sektor pertanian, peternakan, kehutanan &
perikanan, sektor bangunan dan sektor industri pengolahan. Minyak
bumi dan gas alam merupakan komoditi ekspor utama. Struktur
perekonomian dua kabupaten didominasi oleh sektor minyak dan
gas bumi, pertambangan dan pertanian.
Aspek yang paling sensitif terhadap dampak era industri seperti
sekarang ini adalah lingkungan. Kegiatan pengembangan ibukota
pasti akan berdampak pada kualitas lingkungan. Dengan demikian,
manusia sebagai pelaku utama lingkungan harus senantiasa
mengendalikan dan menjaga lingkungan agar tidak mengalami
kerusakan.Guna menciptakan Penajam Pasut - Kukar yang ramah
ekonomi dan berkelanjutan (green economy), akan terkait erat
dengan lingkungan.
Berikut uraian umum dampak yang akan ditimbulkan suatu
pengembangan wilayah pada kawasan mineral dan hutan Penajam
Pasut-Kukar dan sekitarnya;

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 35


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

1. Dampak Lingkungan
Implementasi kegiatan pengembangan berkelanjutan memiliki
berbagai macam jenis dan orientasi yang berbeda sehingga sangat
mempengraruhi kondisi lingkungan baik sifatnya positif ataupun
negatif. Beberapa bentuk kegiatan yang memiliki dampak positif
terhadap lingkungan adalah konservasi mangrove dan pelestarian
keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati juga
bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan memberi ruang
untuk tumbuhan dan hewan agar dapat berkembang. Guna antisipasi
dampak negatifkegiatan hulu dan hilir migas di area ibukota negara
barudiperlukan pengawasan/monitoring dan evaluasi yang kuat.

2. Dampak Sosial, Ekonomi dan Budaya


Strategi implementasi pengembangan berkelanjutan yang telah
dilakukan di wilayah dua kabupaten ini melalui berbagai kegiatan
telah mampu memberikan dampak positif dari perspektif ekonomi
yakni meningkatnya pendapatan daerah maupun pendapatan
perkapita penduduk.Selain itu kegiatan yang berorientasi industri
dan ekonomi seperti perkebunan sawit dan idustri hilirisasi sawit,
pengembangan kawasan industri batubara Baluminung di Wilayah
Penajam Pasut diharapkan menjadi kutub perekonomian baru yang
berdampak positip pada sosial budaya masyarakat.

C. Hasil Analisis
Melihat posisi geografis Penajam Pasut – Kukar terletak pada
wilayah kaya sumberdaya alam (khususnya minyak dan gas bumi
serta hutan dan lahan). Hal ini dapat menjadi peluang untuk
dijadikan kekuatan dan pendorongberbasis lahan atau kewilayahan.
Ibu Kota Negara menjadi kota yang compact, mengandalkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk mencapai tujuan SGs
(CNBC, 2019). Teknologi diperlukan dalam banyak bidang/sektor.
Selain itu perlu dibuat industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan agar menjadi barang yang bernilai tinggi sebagai barang
ekspor. Kerjasama dengan pihak swasta adalah suatu upaya dalam
memajukan bidang pertanian. Perkebunan kelapa sawit dapat
dijadikan industri strategis energi terbarukan yang berkelanjutan.
Kelapa sawit dapat diolah menjadi biodiesel dan bioethanol dengan

36 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

pengolahan modern. Keduanya dapat menjadi pengganti energy


fosil yang berupa diesel dan premium. Perkebunan kelapa sawit
menghasilkan dua bentuk energi yakni CPO dan bentuk biomas
(pelepah daun, batang, tandan kosong, cangkang, serat buah,
bungkil inti sawit) Melalui proses lanjutan CPO dapat dihasilkan
biodiesel (FAME), yang sering disebut sebagai biofuel generasi
pertama. Sedangkan biomas melalui proses lanjutan dapat diperoleh
bioethanol sebagai pengganti premium fosil. Limbah pabrik kelapa
sawit melalui teknologi biogas dapat diperoleh energi gas metan
sebagai pengganti gas bumi. Dengan membangun basis ketahanan
energi maka akan memberi manfaat ganda yaitu meningkatkan
kedaulatan energi, menghemat devisa, dan mengurangi emisi gas
rumah kaca.
Pada kenyataannya tak dapat dipungkiri bahan bakar fosil
merupakan bahan bakar yang paling melimpah saat ini, sehingga
banyak digunakan hingga beberapa tahun ke depan tetap menjadi
primadona (Nataliani, 2012). Batubara yang dihasilkan dari
pertambangan dapat dijadikan sumber utama listrik di Penajam
Pasut-Kukar. Saat ini hampir semua aktifitas kehidupan manusia
membutuhkan listrik, mulai dari bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, pemerintahan dan transportasi. Dengan menggunakan
teknologi efisiensi tinggi, maka PLTU batubara dapat menjadi solusi
kebutuhan listrik masa depan. Namun tetap diperlukan teknologi
agar asap yang dihasilkan PLTU diupayakan tidak mencemari
lingkungan.

D. Diskusi
Diperlukan perundangan yang dapat diimplementasikan semua
pihak (stakeholder dan shareholder) sesuai bidangnya, konsisten
atau tidak dilakukan beberapa kali revisi perundangan tersebut, dan
konsisten menciptakan ramah lingkungan.
Disusun matriks kegiatan terpilih berdasar pendapat ahli (expert
judgement) dan potensi dampak beserta antisipasi, khususnya
terkait kebijakan dan sistem yang direkomendasikan, pada Tabel 1.

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 37


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Tabel 1. Matriks Kegiatan dan Potensi Dampak beserta Antisipasinya


Potensi Dampak Potensi Dampak
Kegiatan Antisipasi
Lingkungan Sosekbud
Pembukaan 1. Resapan 1. Peningkatan 1. Antisipasi
Lahan (land air tanah lapangan kerja terbentuk
clearing) berkurang. 2. Perubahan menjadi kutub
2. Berkurangnya fungsi lahan perekonomian
lahan 3. Kekurangan baru.
perkebunan material/bahan 2. Disiapkan
dan pertanian bangunan regulasi,
3. Kualitas udara 4. Peningkatan perundangan
menurun dan kegiatan dengan
penurunan ekonomi dan mengutamakan
keaneka menjadi kutub tanpa revisi
ragaman hayati perekonomian perundangan
baru tersebut.
5. Percampuran 3. Disiapkan
budaya dari sumberdaya
pekerja proyek. manusia yang
Pemaprasan 1. Aliran air 1. Peningkatan sesuai dengan
dan permukaan lapangan kerja. kebutuhan
penimbunan terganggu. 2. Peningkatan ibu kota dan
tanah (cut and 2. Kedudukan air kegiatan sekitarnya.
fill) tanah dangkal ekonomi. 4. Secara khusus
terganggu. 3. Percampuran disusun
3. Terjadi budaya dari perundangan
genangan air pekerja proyek. berbasis
secara lokal. Daerah Aliran
4. Penurunan Sungai, yang
keaneka meliputi daerah
rahaman hilir hingga
hayati. hulu.
5. Disiapkan
perundangan
yang mengatur
zonasi
pengembangan
wilayah yang
sinkron dengan
kawasan ibu
kota.

38 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Potensi Dampak Potensi Dampak


Kegiatan Antisipasi
Lingkungan Sosekbud
Pembangunan 1. Lingkungan 1. Lingkungan 6. Diperlukan
infrastruktur modern yang ramah aplikasi
terstruktur. lingkungan sistem tentang
2. Tersedia fasilitas 2. Peningkatan Pengembangan
keamanan, sarana Ibukota
kesehatan, prasarana Negara, untuk
pendidikan, 3. Peningkatan perencanaan,
perdagangan perekonomian implementasi,
dan hiburan. daerah dan monitoring
3. Penataan evaluasi.
zonasi kawasan
budidaya dan
non budidaya
Pemanfaatan 1. Permukaan 1. Penambahan
air tanah airtanah peralatan untuk
menurun mengambil
2. Penurunan airtanah
kuantitas 2. Potensi
dan kualitas kekurangan
airtanah pasokan air
3. Daya dukung bersih bagi
lahan masyarakat
turun yang 3. Potensi
menyebabkan kerusakan
amblas bangunan dan
permukaan timbul bencana
tanah lainnya

Dari matriks tersebut terlihat antisipasi yang sudah disusun


untuk rancangan kebijakan, namun sangat mungkin masih banyak
yang belum teridentifikasi. Akan terjadi dinamika pada era
globalisasi dan keterbukaan seperti saat ini, dan terus berkembang
pada masa mendatang. Diperlukan kompilasi data menggunakan
teknologi sistem informasi. Selanjutnya disarankan dikembangkan
suatu aplikasi sistem informasi cerdas tentang data kewilayahan,
potensi mineral, hutan dan lahan. Aplikasi yang dibangun tersebut
diharapkan akan mempercepat dan pengkinian data input dalam
penyusunan kebijakan, perencanaan, implementasi dan monitoring
evaluasi secara berkelanjutan oleh parlemen, pemerintah ataupun
stakeholder dan shareholder.

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 39


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

V. PENUTUP
Paper ini memberikan kesimpulan, pertama, posisi geografis
kabupaten kaya minyak gas bumi dan hutan menjadi peluang dan bukti
untuk perencanaan kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian
baru. Kedua, terdapat blok minyak dan gas bumi aktif energi tidak
terbarukan (non-renewable energy) menjadi bagian dari wilayah ibukota
baru. Ketiga, kelapa sawit dapat menjadi energi baru dan terbarukan
yang menghasilkan dua bentuk energi pengganti premium dan diesel.
Keempat, batubara dari pertambangan setempat dan sekitarnya dapat
dijadikan sumber pembangkit listrik, dengan mengutamakan teknologi
agar ramah lingkungan. Kelima, peraturan/perundangan kebijakan
fiskal harus menjadi prioritas dalam rangka mendukung pengembangan
wilayah ibukota baru Negara Republik Indonesia.
Untuk itu beberapa hal yang disarankan dalam paper ini adalah,
pertama, perlu disiapkan kebijakan untuk perundang-undangan
yang mengutamakan tanpa banyak dilakukan revisi. Kedua,
diperlukan aplikasi sistem informasi cerdas tentang Pengembangan
Ibukota Negara, untuk mempercepat dan pengkinian data input
penyusunan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan monitoring
evaluasi pembangunan berkelanjutan. Ketiga, materi kajian
khususnya potensi sumberdaya alam yang terbukti meningkatkan
perekonomian, dapat sebagai bahan rancangan kebijakan untuk
pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2019). Kabupaten Kutai Kertanegara Dalam


Angka. Kabupaten Kutai Kertanegara: BPS.
Badan Pusat Statistik. (2019). Kabupaten Panajem Paser Utara
Dalam Angka. Kabupaten Panajem Paser Utara: BPS.
Fatonie, Iskhak. (2018). Mengapa, Apa, dan Bagaimana Kebijakan Berbasis
Bukti dan Relevansinya di Sulawesi Selatan, Seminar, Knowledge
Sharing Tentang Pentingnya Kebijakan Publik Berbasis Bukti yang
Berpihak pada Masyarakat Miskin, Makassar, 18 Juli 2018.

40 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Heriani AM. (2019). UMK Penajam Paser Utara 2020, Tertinggi


Kedua di Kalimantan Timur Diprediksi Rp 3.270.441, (online),
(https://kaltim.tribunnews.com/2019/11/01/umk-penajam-
paser-utara-2020-tertinggi-kedua-di-kalimantan-timur-
diprediksi-rp-3270441?page=3, diakses 4 November 2019)
Nataliani, Ratna. (2012). Diversifikasi Energi di Indonesia. Jurnal
Energi. Edisi Sepuluh, Juli – September 2012.
Noname. (2019). Gagasan Rencana dan Kriteria Desain Ibu Kota
Negara (IKN), (online), (https://www.cnbcindonesia.com/
news/, diakses 6 November 2019).
Tim Penulis. (2019). Pansus IKN Pantau Kesiapan Kaltim. Buletin
Parlementaria, September.
Ratna Iskana, Abdul Azis Said. (2019). Ibu Kota Baru Berlokasi di
Sekitar Lahan Tambang dan Potensi Gempa, (online), (https://
katadata.co.id/berita/2019/08/27/ibu-kota-baru-berlokasi-
di-sekitar-lahan-tambang-dan-potensi-gempa, diakses, 4
Januari 2019)
Rinaldi Muhammad Azka. (2019). Persiapan Kalimantan Timur
Jadi Ibukota Baru, (online), (https://kabar24.bisnis.com/
read/20191011/15/1158067/ini-persiapan-kalimantan-
timur-jadi-ibu-kota-baru, diakses 4 November 2019)
SKK Migas. (2019). Laporan Kuartal 3 Tahun 2019. FGD SKK Migas –
LEMIGAS, Serpong, 14 November 2019 (tidak dipublikasikan).
Sunarjanto. D. Dkk. (2017). Antisipasi Penurunan Kualitas
Lingkungan Kawasan Migas Cekungan Salawati, Papua Barat,
Joint Convention Malang, “Natural Resources and Infrastructures
Development for National Sovereignty”, Malang 25 – 28
September 2016.
TOTAL E&P INDONESIE. (2011). Komitmen Terhadap Pembangunan
Yang Berkelanjutan. Jakarta: BP Migas – TOTAL.

Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara 41


Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Lampiran 1: Peta Wilayah Kerja Migas Kabupaten Penajam Pasut dan


Kukar, (dikompilasi LEMIGAS, 2019).

42 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI


DI ERA IMPLEMENTASI DANA OTONOMI
KHUSUS ACEH

Sitti Aminah
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri
sittiaminah.kemendagri@gmail.com

ABSTRAK
Kebijakan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) telah diimplementasikan
lebih dari satu dekade. Dalam kurun waktu 2008 -2018 sekitar 58 Triliun
dikucurkan untuk Pemerintah Aceh. Kajian bertujuan menganalis
kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh selama implementasi
DOKA periode 2012-2017. Pendekatan kualitatif digunakan dengan
menganalisis secara deskriptif data sekunder yang bersumber dari
instansi Pemerintah dan hasil penelitian terdahulu. Hasil kajian
menunjukkan dalam kurun waktu 2012-2017 selama implementasi
DOKA, kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh belum mengalami
peningkatan secara signifikan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Implementasi DOKA belum mampu mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran serta mengurangi
ketimpangan pendapatan. DOKA telah berperan dalam menurunkan
angka kemiskinan, namun angka kemiskinan masih tergolong tinggi,
berada diatas rata-rata nasional dan tertinggi kedua di wilayah Pulau
Sumatera, IPM juga meningkat meskipun masih berada dibawah rata-
rata nasional. Rekomendasi kebijakan diantaranya adalah Pemerintah
Pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi
DOKA mulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan evaluasi.
Pemerintah Aceh melalui Bappeda perlu mengoordinasikan perencanaan
pembangunan untuk integrasi program dan kegiatan antar Satuan
Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/
Kota (SKPK).
kata kunci: dana otsus; pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUAN
Ciri utama desentralisasi asimetris adalah adanya sifat istimewa
dan kewenangan khusus. Salah satu bentuk keistimewaan adalah
pemberian dana otonomi khusus. Pemberian dana otonomi khusus

Sitti Aminah 43
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

ke pemerintah Aceh atau Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dimulai


sejak Tahun 2008 sebagai tindak lanjut Undang Undang Nomor
11 Tahun 2018 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Pasal
179 Ayat (2) hurup c menyebutkan bahwa, salah satu pendapatan
Aceh dan Kabupaten di Aceh adalah dari Dana Otsus. Juga dalam
Pasal 183, disebutkan bahwa Dana Otonomi Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c merupakan penerimaan
Pemerintah Aceh yang bertujuan untuk membiayai pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentasan kemiskinan serta pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Dalam kurun Tahun 2008-2018 jumlah DOKA yang dikucurkan
untuk Pemerintah Aceh terus meningkat seiring dengan peningkatan
DAU secara nasional, hingga Tahun 2018 telah mencapai kurang
lebih 58 Triliun. Tahun 2008, kucuran DOKA sebesar 3,590
Trilyun meningkat setiap tahun hingga tahun kelima (Tahun 2012)
mencapai realisasi sebesar 5,476 Trilyun hingga mencapai realisasi
8,30 Trilyun di lima tahun berikutnya yakni di Tahun 2018.

Sumber: Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri, 2018 (data diolah)


Gambar 1. Dana Otonomi Khusus Aceh, 2008-2019
Pemberian DOKA yang meningkat menimbulkan pertanyaan
sejauhmana kontribusi DOKA untuk mendorong kinerja
pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh. Kajian implementasi
DOKA dan implikasinya terhadap percepatan kinerja pembangunan
ekonomi pembangunan kinerja ekonomi bersifat penting karena:
pertama, DOKA merupakan amanat UUPA bagi peningkatan taraf
hidup masyarakat pasca konflik dan bencana tsunami. Kedua,
kucuran DOKA yang meningkat secara signifikan seharusnya
mampu mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah. Ketiga,
DOKA diberikan dalam limit waktu terbatas sebagaimana diatur

44 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

dalam ayat (2) Pasal 183 UUPA, yaitu untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun, dan berakhir di Tahun 2022, ini berarti Pemerintah
Daerah penerima dana otonomi khusus harus bersungguh-sungguh
dalam pengelolaannya.
Kajian terdahulu tentang pemanfaatan dana otsus Aceh
dilakukan Pradmayanti (2015) meneliti tentang dampak otonomi
khusus di Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak dana
otonomi khusus, PAD dan belanja modal terhadap kemiskinan. Hasil
penelitian menemukan bahwa adanya pemisahan antara belanja
yang digunakan untuk belanja publik dan untuk kepentingan
aparatur. Peningkatan belanja publik dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin di tiga lokasi penelitian tersebut. Cahyono (2016)
menggunakan metode kualitatif menemukan bahwa dana otonomi
khusus tidak berdampak perbaikan kondisi masyarakat Aceh.
Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh
segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan sehingga menimbulkan
fenomena orang-orang kaya baru. Selanjutnya Suharyo (2016:
323-327) mengkaji efektivitas dana otsus Aceh dari perspektif
ilmu hukum. Kajian ini menemukan bahwa lemahnya perhatian
terhadap efektivitas Dana Otsus yang belum mampu menurunkan
angka kemiskinan, justru tertutupi oleh perseteruan mengenai
simbol-simbol bendera, lambang dan Hymne Aceh. Kompak (2018)
melakukan evaluasi pemanfaatan Dana Otsus, meggunakan metode
kualitatif menemukan bahwa pemanfaatan Dana Otsus dinilai tidak
efektif peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Rumusan masalah yang diajukan adalah: Bagaimana
kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh dalam kurun waktu
implementasi Dana Otsus 2012-2017. Pertanyaan ini diuraikan lebih
lanjut dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) Apakah keberadaan
DOKA telah mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi? (2)
Apakah keberadaan DOKA telah mempercepat penurunan angka
kemiskinan? (3) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi angka
pengangguran? (4) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi
ketimpangan pendapatan antar penduduk? (5) Apakah keberadaan
DOKA telah mendorong peningkatan IPM?

Sitti Aminah 45
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA


Konsep dana otonomi khusus tidak terlepas dari pemahaman
tentang desain kebijakan desentralisasi asimetris. Menurut Pratikno
(2010:3) desentralisasi asimetris didasari pertimbangan bahwa suatu
negara semestinya memiliki kerangka administrasi yang mampu
mengelola segala keragaman lokalnya baik yang tercermin pada
variasi latar sosial-budaya, potensi ekonomi, kebutuhan administrasi,
hingga yang terekspresikan dalam tuntutan politik tertentu.
Meskipun sebagian ilmuwan berpendapat bahwa otonomi sendiri
sudah mengandung makna kekhususan, tetapi tingginya tingkat
keragaman kondisi lokal jelas tetap memerlukan format pengaturan
desentralisasi yang tidak berlandaskan desain kebijakan tunggal (one
size fits all) (Pratikno, 2010:3). Sidik et.al (2004) menyatakan dana
otonomi khusus diberikan untu membiayai pelaksanaan otonomi
khusus dalam bentuk transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
daerah yang memiliki status daerah otonomi khusus.
Dasar pemberian dana otonomi khusus adalah UU No 21 Tahun
2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang selanjutnya
dipertegas dalam UU No 1 Tahun 2008 serta diperbaharui dengan
UU No 35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No 21 Tahun
2001 serta sesuai dengan yang tercantum dalam UU No 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh atau dikenal dengan UUPA. Secara
politik, tujuan pemberian dana otsus adalah untuk menjaga keutuhan
NKRI, mengingat setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda-
beda, sehingga dengan ditentukannya satu aturan dari Pemerintah
Pusat, belum tentu dapat menyelesaikan tuntutan dan keinginan
dari semua elemen masyarakat yang berbeda-beda. Secara historis,
pemberian otonomi khusus untuk Pemerintah Aceh dan Papua
merupakan salah satu alat untuk meredam keinginan memisahkan
diri dari NKRI.
Konsep pembangunan ekonomi mengacu pada Todaro dan
Smith (2006). Istilah pembangunan diartikan sebagai kapasitas
dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya
kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama
untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan
nasional bruto atau Gross National Product (GNI). Keberhasilan
proses pembangunan memiliki tujuan: (1) Peningkatan
ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan

46 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan


dan perlindungan keamanan; (2) Peningkatan standar hidup
yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga
peningkatan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas
pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki
kesejahteraan materiil tetapi juga menumbuhkan harga diri pada
pribadi dan bangsa yang bersangkutan; (3) Perluasan pilihan-
pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu atau bangsa secara
keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap
menghambat dn ketergantungan bukan hanya terhadap orang atau
negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang
berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Jika
pengeluaran Pemerintah diarahkan pada pembangunan ekonomi
maka pembangunan kualitas manusia menjadi isu penting untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, mengatasi kemiskinan dan
pengangguran, meningkatnya pendapatan perkapita, naiknya IPM
diiringi pemerataan pendapatan dan pembangunan antar daerah.

III. METODE PENELITIAN


Kajian ini memperkuat kebijakan berbasis bukti dengan fokus
mengetahui kinerja pembangunan ekonomi dalam kurun waktu
implementasi DOKA. Pendekatan kualitatif digunakan dengan
menganalisis secara deskriptif data sekunder yang diperoleh dari instansi
Pemerintah dan hasil kajian tentang dampak dana otsus terhadap
kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh. Analisis deskriptif
terhadap data sekunder dan hasil penelitian untuk mengungkap
kondisi pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan
pengangguran, ketimpangan pendapatan dan peningkatan IPM selama
implementasi DOKA. Rumusan implikasi kebijakan diarahkan untuk
perbaikan penyelenggaraan DOKA kedepan.

IV. PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Ekonomi.
Kinerja pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh periode 2012-
2017 tergolong rendah. Implementasi DOKA tidak paralel dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh yang dalam 5 (lima)

Sitti Aminah 47
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

tahun terakhir (2012-2017) hanya tumbuh rata-rata 2,73 persen,


merupakan pertumbuhan terendah nomor dua di wilayah Sumatera,
setelah Provinsi Riau dengan rata-rata pertumbuhan 2,44 persen,
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh dan Provinsi
Lainnya di Pulau Sumatera 2012-2017

Rata-Rata
Provinsi

Provinsi
2017***
2017**
2017*
2012

2013

2014

2015

2016
No

1 Aceh 3,85 2,61 1,55 -0,72 3,31 3,40 3,75 4,10 2,73
2 Sumatera Utara 6,45 6,07 5,23 5,08 5,18 4,50 5,11 5,21 5,35
3 Sumatera Barat 6,31 6,08 5,86 5,52 5,26 4,99 5,33 5,38 5,59
4 Riau 3,76 2,48 2,70 0,22 2,23 2,83 2,41 2,85 2,44
5 Jambi 7,03 6,84 7,35 4,20 4,37 4,25 4,32 4,76 5,39
6 Kepulauan Riau 7,63 7,21 6,62 6,01 5,03 2,02 1,04 2,41 4,75
7 Sumatra Selatan 6,83 5,31 4,68 4,42 5,03 5,14 5,26 5,56 5,28
8 Bengkulu 6,83 6,07 5,47 5,13 5,30 5,23 5,13 4,83 5,50
9 Lampung 6,40 5,77 5,08 5,13 5,15 5,13 5,03 5,12 5,35
10 Kep. Babel 5.50 5,20 4,68 4,08 4,11 6,40 5,29 3,69 4,87
Rata-Rata
6,06 5,36 4,92 3,91 4,50 4,39 4,27 4,39 4,72
Sumatera
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017
Keterangan *Triwulan I, ** Triwulan 2, *** Triwulan 3

Selain itu, meningkatnya DOKA tidak sejalan dengan


kemampuan daerah dalam menggali sumber penerimaan daerah.
Ini dilihat dari besaran kontribusi Dana Otsus sebesar 59,20 persen
dari total penerimaan daerah (Tabel 2). Di sisi lain kontribusi PAD
hanya sebesar 14,39 persen, sehingga dapat dikatakan kemandirian
fiskal Aceh selama implementasi Otsus tergolong rendah.
Tabel 2. Proporsi Total Pendapatan Aceh 2012 - 2017
Rata-
Jenis Proporsi terhadap Total Pendapatan (%)
Rata
Penerimaan
2012 2013 2014 2015 2016 2017 (%)
Pendapatan 9,82 12,42 14,92 16,88 16,66 15,90 14,43
Asli Daerah
Dana 25,71 25,07 21,99 13,37 12,72 26,57 20,90
Perimbangan

48 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Rata-
Jenis Proporsi terhadap Total Pendapatan (%)
Rata
Penerimaan
2012 2013 2014 2015 2016 2017 (%)
Dana 59,65 58,31 58,80 60,42 62,33 55,69 59,20
Otonomi
Khusus
Lain-Lain 4,82 4,20 4,30 9.32 8,29 2,10 5,50
Pendapatan
Aceh yang
Sah
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Laporan keuangan Pemerintah Aceh Tahun 2012-2017 (diolah)

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh dibawah target


RPJMD 2012-2017 (Tabel 3), padahal didalam dokumen perencanaan
tersebut ditetapkan target pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen.
Tabel 3. Target dan Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh Tahun
2012-2017
Capaian
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Sasaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
RPJMA 2008-2012 2012-2017
Target
5,5- 5,5- 5,5- 5,6- 5,8- 6,2- 6,5- 7,0-
Pertumbuhan 4,5 4,5
6,0 6,0 6,0 6,0 6,3 6,7 6,9 7,5
Ekonomi
Realisasi -5,24 -5,51 2,74 4,84 5,14 2,61 1,55 -0,72 3,31 4,1*
Sumber: RKPA dan RPJMA Tahun 2012-2017

Hasil penelitian yang menemukan bahwa kehadiran DOKA


tidak signifikan memicu percepatan pertumbuhan ekonomi
Provinsi Aceh adalah penelitian Kompak (2018) yang menyatakan
bahwa berdasarkan hasil evaluasi kehadiran DOKA dalam 10
tahun terakhir belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi,
bahkan pertumbuhan ekonomi Aceh mengalami pelambatan
sejak Tahun 2012 disebabkan oleh rendahnya investasi. Selain itu
penelitian Safrizal (2019) juga menemukan bahwa implementasi
DOKA berdampak pada aspek tata kelola politik tetapi tidak secara
signifikan meningkatkan perekonomian Aceh.

Sitti Aminah 49
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

B. Tingkat Kemiskinan
Kondisi kemiskinan di Aceh merupakan fakta yang
memprihatinkan karena Aceh merupakan satu-satunya daerah di
Sumatera yang mendapat kucuran Dana Otsus termasuk didalamnya
transfer dana tambahan untuk infrastruktur melalui berbagai
saluran dana transfer.
Meskipun data statistik menunjukkan angka kemiskinan di Aceh
menurun dalam 5 tahhun terakhir, yakni turun dari 19,46 persen
di Tahun 2012 menjadi 15,92 di Tahun 2016 (Gambar 2). Namun
dalam skala nasional, angka kemiskinan Aceh dan Kabupaten/Kota,
lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional.

Sumber: Bappeda Aceh, 2018


Gambar 2. Persentase Kemiskinan Aceh Tahun 2012-2017
Kota Banda Aceh merupakan satu-satunya Kota di Aceh yang
memiliki angka kemiskinan lebih rendah dari rata-rata nasional,
yakni sebesar 7,44 persen. Kabupaten Gayo Lues, Pidie, Aceh
Singkil, Bener Meriah dan Pidie Jaya adalah Kabupaten dengan
kondisi kemiskinan yang parah mencapai lebih dari 21 persen.
Perkembangan tingkat kemiskinan nasional, Aceh dan Kabupaten/
Kota disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Angka Kemiskinan di Tingkat Nasional dan Aceh
dan Kabupaten/Kota 2012-2017
Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Nasional 11,66 11,47 11,96 11,13 10,70 10,64
Aceh 18,58 17,72 16,98 17,11 16,43 16,89
Simeulue 21,88 20,57 19,92 20,43 19,93 20,20

50 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Aceh Singkil 17,92 18,73 17,77 21,72 21,60 22,11
Aceh Selatan 14,81 13,44 12,79 13,24 13,48 14,07
Aceh Tenggara 15,64 14,39 13,75 14,91 14,46 14,86
Aceh Timur 17,19 16,59 15,88 15,85 15,06 15,25
Aceh Tengah 18,78 17,76 16,99 17,51 16,64 16,84
Aceh Barat 22,76 23,70 22,97 21,46 20,39 20,28
Aceh Besar 17,50 16,83 16,13 15,93 15,55 15,41
Pidie 22,12 21,12 20,29 21,18 21,25 21,43
Bireuen 18,21 17,65 16,94 16,94 15,95 15,87
Aceh Utara 21,89 20,34 19,58 19,20 19,46 19,78
Aceh Barat Daya 18,51 18,92 17,99 18,25 18,03 18,31
Gayo Lues 22,31 22,33 21,43 21,95 21,86 21,97
Aceh Tamiang 16,70 15,13 14,58 14,57 14,51 14,69
Nagan Raya 22,27 21,75 20,85 20,13 19,25 19,34
Aceh Jaya 18,30 17,53 16,52 15,93 15,01 14,85
Bener Meriah 24,50 23,47 22,45 21,55 21,43 21,14
Pidie Jaya 22,35 22,70 21,79 21,40 21,19 21,92
Kota Banda Aceh 8,65 8,03 7,78 7,72 7,41 7,44
Kota Sabang 20,51 19,30 17,02 17,69 17,33 17,66
Kota Langsa 13,93 12,62 12,08 11,62 11,09 11,24
Kota Lhoksumauwe 13,06 12,47 11,93 12,16 11,98 11,32
Kota Subulussalam 22,64 20,69 19,72 20,39 19,57 19,71
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2018

Sesuai Data BPS, Tahun 2016 jumlah penduduk miskin Aceh


sebanyak 848,44 jiwa atau 16,73 persen dari total penduduk Aceh.
Sebaran jumlah penduduk miskin lebih banyak di wilayah perdesaan
(81,2 persen) dibandingkan perkotaan. Demikian pula di tahun
2017, dari total penduduk miskin 872.610, sebanyak 80,2 persesn
di perdesaan dan 19,8% di perkotaan (Tabel 5).

Sitti Aminah 51
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Tabel 5. Jumlah Penduduk Miskin Aceh Berdasarkan Wilayah


(Dalam ribu Jiwa) Tahun 2012-2017
Penduduk
2012 2013 2014 2015 2016 2017*
Miskin
1 2 3 4 5 6 7
Perkotaan 171,8 156,69 161,94 157,57 159,5 172,35
Perdesaan 737,24 685,73 719,31 694,01 688,94 700,26
Jumlah 909,04 842,42 881,26 851,59 848,44 872,61
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018
*Hingga Maret 2017

Kemiskinan di Aceh telah berada pada tahap yang cukup


mengkhawatirkan dilihat dari indeks kedalaman kemiskinan dan
indeks keparahan kemiskinan yang jauh lebih tinggi dari rata-
rata nasional (Tabel 6). Indeks kedalaman kemiskinan digunakan
untuk melihat rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan
digunakan untuk melihat sebaran pengeluaran diantara penduduk
miskin. Dalam kurun waktu Tahun 2012- 2017 indeks kedalaman
dan keparahan kemiskinan di Aceh lebih tinggi diatas rata-rata
nasional.
Tabel 6. Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan kemiskinan Aceh
Tahun 2010-2017
Tahun
Persoalan Kemiskinan
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Indeks kedalaman Kemiskinan 1,90 1.89 1,75 1,84 1,74 1,79
Nasional
Indeks Kedalaman Kemiskinan 3,07 3,2 3,14 3,1 3,06 2,97
Aceh
Indeks keparahan Kemiskinan 0,48 0,48 0,44 0,51 0,44 0,46
Nasional
Indeks Keparahan Kemiskinan 0,83 0,83 0,86 0,84 0,87 0,8
Aceh
Sumber: BPS Aceh, 2018

Selain itu, garis kemiskinan perdesaan di Aceh lebih tinggi dari


garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan adalah batas bawah
pengeluaran yang diperlukan seorang untuk hidup miskin, yakni

52 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

membeli makanan setara 2100 kilo kalori dan membeli keperluan


non makanan. Tahun 2017, garis kemiskinan di Aceh sebesar Rp.
442.869 lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional sebesar Rp.
370.910 Persentasi kenaikan garis kemiskinan perdesaan juga lebih
tinggi di Aceh yaitu sebesar 5,43 persen dibanding nasional yaitu
5,22 persen. Kedua indikator garis kemiskinan tersebut memberikan
tekanan hidup bagi penduduk berpendapatan rendah di Aceh,
sehingga lebih banyak penduduk hidup dikategorikan penduduk
miskin.
Hasil penelitian yang menemukan bahwa DOKA tidak berdampak
terhadap penurunan kemiskinan dilakukan oleh Suharyo (2016)
yang menyatakan bahwa lemahnya perhatian terhadap efektivitas
dana otsus yang belum mampu menurunkan angka kemiskinan.
Kompak (2018) juga menemukan bahwa pemanfaatan dana Otsus
belum berkontribusi mengatasi kemiskinan di Aceh. Pemanfaatan
dana otsus dinilai tidak efektif karena: (1) dana otsus kurang fokus
mendanai program/kegiatan yang berdampak besar dan jangka
panjang; (2) Rencana Induk Pemanfaatan Dana Otsus 2008-2027
baru disusun Tahun 2015 dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor
78 Tahun 2015 sehingga belum efektif menjadi pedoman dalam
mengarahkan pemanfaatan dana Otsus melalui berbagai program
dan kegiatan yang berdampak luas bagi peningkatan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat Aceh.

C. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Aceh Tahun 2015 sebesar
9,93 persen yang merupakan TPT tertinggi di wilayah Sumatera.
Namun seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Aceh
dalam dua tahun terakhir, TPT juga mengalami penurunan menjadi
hanya sebesar 6,57% pada tahun 2017, menjadikan Aceh sebagai
provinsi dengan TPT tertinggi kedua di wilayah Sumatera setelah
Provinsi Kepulauan Riau sebesar 7,16 persen. Meskipun demikian,
TPT Aceh tetap lebih tinggi dibanding TPT nasional tahun 2017 yang
besarnya 5,5 persen. Secara rinci disajikan pada Tabel 7.

Sitti Aminah 53
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Tabel 7. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi di Wilayah


Sumatera, Tahun 2012-2017 (%)
Provinsi 2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Aceh 9,06 10,1 2 9,02 9,93 7,57 6,57
Sumatera Utara 6,28 6,45 6,23 6,71 5,84 5,60
Sumatera Barat 6,65 7,02 6,50 6,89 5,09 5,58
Riau 4,37 5,48 6,56 7,83 7,43 6,22
Jambi 3,20 4,76 5,08 4,34 4,00 3,87
Sumatera Selatan 5,66 4,84 4.96 6,07 4,31 4,39
Bengkulu 3,62 4,61 3,47 4,91 3,30 3,74
Lampung 5,20 5,69 4,79 5, 14 4,62 4,33
Bangka Belitung 3,43 3,65 5.14 6,29 2,60 3,78
Kepulauan Riau 5,08 5,63 6.69 6,20 7,69 7,16
Indonesia 6,13 6,17 5,94 6,18 5,61 5,50
Sumber: BPS, 2018

D. Ketimpangan Pendapatan
Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk di Aceh mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan meningkat (Gambar 3). Tahun 2013
ketimpangan pendapatan turun menjadi 0,305 dari 0,325 di tahun
2012, namun angka ketimpangan kembali tinggi di Tahun 2013 dan
2014 menjadi 0, 233, hanya turun 0,1 menjadi 0,329 di Tahun 2017.
Penelusuran terhadap RPJMA 2012-2017, memperlihatkan program
pembangunan belum berhasil menacapai target penurunan angka
ketimpangan sebesar 0,25 pada tahun 2017.

Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2018


Gambar 2. Indeks GINI Ratio Tahun 2012-2017

54 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

E. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Berbeda dengan indikator pertumbuhan ekonomi, kemiskinan
dan pengangguran, perkembangan IPM Aceh menunjukkan kondisi
yang menggembirakan dengan angka sebesar 70,60, atau 0,3 lebih
tinggi dari IPM Sumatera Utara (70,57) di Tahun 2017. Namun
angka ini masih di bawah angka nasional yaitu 70,81, dapat dilihat
pada grafik Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh Tahun 2012
– 2017.

Sumber: BPS, 2018 (data Diolah)


Gambar 4. Perbandingan IPM Nasional, Aceh dan Sumatera Utara
IPM Aceh mengalami peningkatan secara teratur dari tahun
2012 (67,81) meningkat menjadi 70,60 pada tahun 2017. IPM yang
baik tersebut didukung oleh nilai indikator pendidikan di Aceh
yang sudah tinggi sebelum masuknya Dana Otsus Tahun 2008,
contohnya Angka harapan lama sekolah (AHLS) dan rata-rata lama
sekolah Aceh pada tahun 2017 sudah tinggi (lebih tinggi dari AHLS
dan RLS Nasional) dengan nilai masing-masing 12,90 dan 8,208
tahun, masuknya dana otsus berkontribusi pada peningkatan angka
dimaksud masing-masing 13,89 dan 8,86 tahun.
Tabel 8. Indeks Pembangunan Manusia Aceh 2012-2017
Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Nasional 67,70 68,31 68,90 69,55 70,18 70,81
Aceh 67,81 68,30 68,81 69,45 70,00 70,60
Simeulue 61,25 61,68 62,18 63,16 63,82 64,41
Aceh Singkil 64,23 64,87 65,27 66,05 66,96 67,37

Sitti Aminah 55
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Aceh Selatan 61,69 62,27 62,35 63,28 64,13 65,03
Aceh Tenggara 64,99 65,55 65,90 66,77 67,48 68,09
Aceh Timur 63,93 63,27 63,57 64,55 65,42 66,32
Aceh Tengah 70,18 70,51 70,96 71,51 72,04 72,19
Aceh Barat 66,66 66,86 67,31 68,41 69,26 70,20
Aceh Besar 70,10 70,61 71,06 71,70 71,75 72,00
Pidie 67,30 67,59 67,87 68,68 69,06 69,52
Bireuen 67,57 68,23 68,71 69,77 70,21 71,11
Aceh Utara 64,82 65,36 65,93 66,85 67,19 67,67
Aceh Barat Daya 62,15 62,62 63,08 63,77 64,57 65,09
Gayo Lues 62,85 63,22 63,34 63,67 64,26 65,01
Aceh Tamiang 65,21 65,56 66,09 67,03 67,41 67,99
Nagan Raya 64,91 65,23 65,58 66,73 67,32 67,78
Aceh Jaya 66,42 66,92 67,30 67,53 67,70 68,07
Bener Meriah 69,14 69,74 70,00 70,62 71,42 71,89
Pidie Jaya 68,90 69,26 69,89 70,49 71,13 71,73
Kota Banda Aceh 81,30 81,84 82,22 83,25 83,73 83,95
Kota Sabang 70,84 71,07 71,50 72,51 73,36 74,10
Kota Langsa 72,75 73,40 73,81 74,74 75,41 75,89
Kota Lhoksumauwe 73,55 74,13 74,44 75,11 75,78 76,34
Kota Subulussalam 59,76 60,11 60,39 61,32 62,18 62,88
Sumber: BPS Aceh, 2018 (Data Diolah)

Berdasarkan peringkat, Aceh menempati peringkat ke-11 dari


34 Provinsi di tahun 2013. Bila diperhatikan IPM per Kabupaten/
Kota, IPM Kota Banda Aceh mempunyai nilai yang sangat tinggi
sebesar 83,95 disusul dengan Kota Lhokseumawe (76,34) Kota
Langsa (75,89). Kabupaten yang paling kecil angka IPM adalah Kota
Subulussalam (62,88) yaitu, disusul Kota Simeulue (64,41) dan gayo
Lues (65,01), secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8.
Dalam kurun 2012-2015 masa implementasi DOKA terlihat
bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih tergolong tinggi,
juga terjadi ketimpangan pendapatan ditinjau dari Gini Rasio serta

56 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

IPM yang berada di bawah rata-rata nasional pengimplementasi


DOKA. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Abrar (2018) yang
menyimpulkan bahwa DOKA belum berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan peningkatan IPM.

V. PENUTUP
Kesimpulan yang bisa diambil pada kajian ini adalah, pertama,
kinerja pembangunan ekonomi belum menunjukkan peningkatan
yang signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Aceh pada periode implementasi DOKA 2012-2017. DOKA telah
diimplementasikan sejak Tahun 2008 hingga saat ini, namun hasil
analisis menunjukan implementasi DOKA belum mampu mendorong
peningkatan pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran
serta mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, DOKA telah
berperan dalam menurunkan angka kemiskinan, namun angka
kemiskinan di Aceh masih tergolong tinggi diatas rata-rata nasional
dan tertinggi kedua di wilayah Pulau Sumatera, IPM juga meningkat
meskipun masih berada dibawah rata-rata nasional.
Rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah dan Pemerintah Aceh
untuk perbaikan pengelolaan DOKA mencakup:
(1) Kemendagri membentuk Tim untuk melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap pengelolaan DOKA mulai dari tahap
perencanaan, penganggaran dan evaluasi.
(2) Kemendagri melakukan evaluasi terhadap formula untuk
menentukan besaran alokasi Kabupaten/Kota, mengingat
formula yang digunakan saat ini adalah formula untuk
menentukan DAU yang berlaku umum dan kurang menjawab
isu dan masalah pembangunan yang khas Aceh. Hal ini penting
dilakukan mengingat data menunjukan IPM di Kabupaten/Kota
berada jauh dibawah rata rata nasional, demikian pula dengan
angka kemiskinan yang tergolong tinggi.
(3) Kemendagri membentuk tim pengawasan pengelolaan DOKA
yang melibatkan multistakeholder baik dari unsur pemerinntah
(Kemendagri, BPK, BPKP dan Inspektorat), unsur akademisi/
perguruan tinggi, unsur masyarakat dan LSM yang menjamin
pengelolaan DOKA berjalan efektif.

Sitti Aminah 57
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

(4) Pemerintah Aceh melakukan perbaikan manajemen DOKA,


meliputi:
• Bappeda mengoordinasikan perencanaan pembangunan
untuk integrasi program dan kegiatan antar Satuan Kerja
Perangkat Aceh (SKPA) dan Satuan Kerja Perangkat
Kabupaten/Kota (SKPK).
• Menyusun Master Plan atau Road Map untuk menjamin
program dan kegiatan yang didanai DOKA bersifat jangka
panjang dan berkelanjutan.
• Menciptakan transparansi dan akuntabilitas perencanaan
dan penganggaran DOKA dengan membangun sistem IT
mencakup e-planning, e-budgeting, e-monev dan e-reporting.
• Alokasi anggaran difokuskan di sektor non migas, pertanian
dan industri hilir dalam rangka mengurangi ketergantungan
terhadap sektor migas dan dana otsus.
• Menyediakan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah dan dana otsus serta membentuk Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang melaksanakan fungsi pengawasan
internal.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Muhammad. (2018). Dampak Otonomi Khusus terhadap


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Provinsi Aceh, Disertasi,
Yogyayakarta: UGM
Bappeda, Pusat Pengkajian Keuangan Daerah. (2015). Laporan Hasil
Kajian Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus Aceh. Banda Aceh:
PPKD.
Badan Pusat Statistik. (2017). Kemiskinan, (online), (www.bps.
go.id).
Badan Pusat Statistik. (2018). Data PDRB Provinsi Aceh, (online),
(www.bps.go.id).

58 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Badan Pusat Statistik. (2018). IPM, (online), (www.bps.go.id).


Badan Pusat Statistik. (2018). Tingkat Pengangguran Terbuka,
(online), (www.bps.go.id).
Badan Pusat Statistik. (2017). Gini Ratio, (online), (www.bps.go.id).
Cahyono, Heru. (2016). Evaluasi Atas Pelaksanaan Khusus Aceh:
Gagal Menyejahterakan Rakyat. E-Jurnal Politik LIPI, E journal.
(online), (http://Jurnal politik lipi.go.id).
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri. (2018).
Laporan Alokasi Dana Otsus Aceh, Jakarta: Kemendagri.
Kompak, Ausaid. (2018). Evaluasi Pemanfataan Dana Otsus Aceh.
Jakarta: Kompak Ausaid-Indonesia.
Pradmayanti, Ira Z. (2015). Analisis Pengaruh Dana Otonomi
Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Modal terhadap
kesejahteraan di Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat, tesis,
Yogyakarta: UGM..
Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian
tambahan dana minyak dan gas bumi penggunaan dana otonomi
khusus.
Qanun Nomor 2 Tahun 2013 tentang perubahan atas Qanun nomor
2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana
minyak bumi dan gas bumi penggunaan dana otonomi khusus.
Safrizal, ZA. (2019). The Management Model of Aceh’s Special
Autonomy Fund. Jurnal Bina Praja Vol 11 (2) (2019), P. 159-170
Sidik M, Djoko H Tjip I, Kadjatmiko A, Pakpahan T, Andriansyah.
(2004). Bunga rampai desentralisasi fiscal, Jakarta: Ditjen Bina
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Suharyo. (2016). Otonomi Khusus di Papua dan Aceh Sebagai
perwujudan Implementasi Peran Hukum dalam Kesejahteraan
masyarakat. Jurnal Rechts Vindin Vol 5 (3). P. 323-327.
Todaro MP. Smith SC. (2006). Pembangunan Ekonomi. Jilid I, Edisi 9,
Jakarta: Universitas Airlangga.

Sitti Aminah 59
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang status otonomi
khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

60 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

MANFAAT EKONOMI KAWASAN KONSERVASI


PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBAS
MELALUI PENGEMBANGAN MODEL HYBRID
SURPLUS PRODUKSI

Leny Dwihastuty
Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir pada Direktorat Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Supriyadi
Analis Konservasi dan Rehabilitasi Wilayah Pesisir pada Direktorat
Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan
Umi Muawah
Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat ekonomi dan sosial
perikanan karang di KKPN Anambas. Metode dalam penelitian ini
adalah metode survei. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai keuntungan
maksimum lestari atau pada titik MEY. Sementara untuk manfaat sosial
dihitung dengan pendekatan jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan
sumberdaya ikan karang. Sumberdaya ikan yang menjadi fokus penelitian
adalah 4 (empat) jenis sumberdaya ikan karang yang ditangkap di
dalam kawasan yakni ikan kerapu karang, ikan kakap merah, ikan kurisi
bali, dan ikan kuwe/manyuk. Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang
yang dikaji dalam penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per
tahun. Keuntungan (profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang
dianalisis dalam penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun
Pada JTB 50% jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya
ikan karang sebanyak 1.019 orang, sementara pada JTB MEY jumlah
nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan karang sebanyak
3.646 orang.
Kata kunci: konservasi; MEY; anambas; JTB

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 61


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

I. PENDAHULUAN
Sebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah
ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN)
sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN KP Nomor 37 Tahun
2014 dengan total luasan 1.262.686,2 ha. Kawasan Konservasi
Perairan Nasional Kepulauan Anambas merupakan sebuah kawasan
perlindungan laut yang dikelola berdasarkan prinsip konservasi
dengan azas pemanfaatan sumberdaya perikanan terbatas karena
diatur dalam beberapa kluster zona yang telah ditetapkan.
Hal mendasar dalam pengelolaan sumber daya ikan (SDI)
adalah pemanfaatan sumber daya yang menghasilkan manfaat
ekonomi tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
Pengelolaan SDI mengandung makna ekonomi dan biologi, yang
pemanfaatan optimalnya harus mengakomodasi kedua hal tersebut,
sehingga pendekatan bionomi harus dipahami oleh pelaku yang
terlibat dalam pengelolaan SDI (Fauzi dan Anna, 2005). Kondisi
bionomi sumber daya ikan penting untuk dikaji agar kondisi
baseline SDI dan keberlanjutan SDI dapat diketahui, sehingga
memudahkan upaya pengelolaan berkelanjutan, melalui analisis
ini maka dapat dikembangkan manfaat ekonomi dan sosial KKPN
Anambas pada Sumberdaya ikan tangkap, khususnya ikan karang
yang dengan armada tangkap yang terbatas, akan memudahkan
upaya pengelolaan berkelanjutan.

II. METODOLOGI
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan terhadap
manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai
ekonomi dan keuntungan (profit) dari jumlah tangkapan ikan
maksimum lestari per tahun. Manfaat sosial dihitung dari jumlah
individu nelayan yang menjadi nelayan pancing dari jumlah upaya
maksimum yang dapat memanfaatkan biomasa maksimum lestari
ikan karang. Konsep spill over yang digunakan adalah kelebihan
besaran biomasa ikan dari selisih biomasa maksimum potensial
dengan biomasa faktual yang berpeluang dilimpahkan dari kawasan
konservasi perairan ke luar kawasan konservasi perairan. Adapun
besaran biomasa ikan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 4
jenis sumberdaya ikan karang yaitu ikan Kerapu karang (Ephinephelus

62 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

fuscoguttatus), ikan Kuwe/Manyuk (Caranx sexfasciatus), ikan Kurisi


bali (Pristipomoides filamentosus), ikan Kakap merah (Lutjanus
bitaeniatus). Biomasa 4 jenis ikan karang dianalisis dari data biomasa
hasil tangkapan ikan karang yang di tangkap oleh nelayan pancing
yang melakukan kegiatan penangkapan di subzona perikanan tangkap
berkelanjuan KKPN Kepulauan Anambas.
Penelitan ini dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2019 di KKPN
Kepulauan Anambas di subzona perikanan tangkap berkelanjutan
KKPN Nelayan pancing yang menjadi objek peneltian dipilih dari
beberapa kecamatan yang tersebar di Kepulauan Anambas. Dari 7
kecamatan yang menjadi lokasi kegiatan penangkapan sumberdaya
ikan karang yang tersebar di Kepulauan Anambas, dipilih 3 kecamatan
sebagai lokasi pengamatan yakni Kecamatan Siantan, Kecamatan
Siantan Timur, dan Kecamatan Jemaja. Responden nelayan yang
menjadi objek penelitian yang berasal dari 4 desa/kelurahan, yakni
Tarempa, Batu Belah, Nyamuk, dan Letung yang secara proposional
mewaikili masyarakat nelayan pancing di 3 kecamatan tersebut.
Data hasil tangkapan tahunan dan upaya penangkapan tahun
dikumpulkan dari data sekunder Dinas Perikanan, Pertanian dan
Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas.

A. Model Walter – Hilborn (1976)


Untuk mendapatkan nilai koefisien penangkapan atau
catchibility (q) digunakan Model Walter – Hilborn (1976), yakni :

..................................................................(1)
Persamaan (1) merupakan persamaan Regresi Linier Berganda
antara sebagai Y dengan sebagai X1 dan sebagai X2
(Pasisingi, 2011), atau dapat ditulis :
Y = a – bX1 – CX2 ..........................................................................................(2)
Persamaan (2) adalah Regresi Linier Berganda dengan : a = r , b
= r/kq, c = q
keterangan :
Ut+1 : CPUE tahun ke- t+1 (ton per unit)
Ut : CPUE tahun ke t (ton per unit)

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 63


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Et : Upaya penangkapan tahun ke-t (unit)


r : Koefisien pertumbuhan
K : Koefisien daya dukung
q : Koefisien penangkapan atau catchibility (per unit)

B. Model Hibrid Surplus Produksi Kawasan Konservasi


Perairan
Modifikasi Model Surplus Produksi KKP dari Model Surplus
Produksi Schaefer seperti yang dikembangkan pula oleh Hayani-
Fauzi 2010 adalah dengan menyisakan besaran produksi biomasa
ikan berupa perkalian antara koefisien spill over (ε) dengan
biomasa aslinya (X). Secara sederhana Model Surplus Produksi GWA
menjelaskan bahwa upaya penangkapan terhadap biomasa ikan
sebagai hasil dari laju pertumbuhan populasi masih menyisakan
(surplus) sebesar εX karena upaya penangkapan masih berada
di bawah upaya penangkapan maksimumnya. Artinya, data hasil
tangkapan (C) dan upaya penangkapan (E) yang dianalisis adalah
biomasa total yang masih menyisakan biomasa sebesar εX akibat
upaya penangkapan yang berada dibawah upaya penangkapan
maksimumnya yang mengikuti aturan penangkapan ikan
berkelanjutan di dalam kawasan konservasi perairan setelah adanya
penetapan kawasan konservasi perairan.

C. Model Hibrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi Perairan


Model Gordon-Schaefer disusun dari model fungsi produksi
biologis dari Schaefer, biaya penangkapan, dan harga ikan. Model ini
dinyatakan sebagai fungsi dari upaya penangkapan.

D. Analisis Sosial
Analisis sosial ekonomi Perhitungan CPUE bertujuan untuk
mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya
perikanan pada suatu daerah perairan tertentu (Gulland, 1983),
dengan formulasi: CPUE = Catch/ Effort, dimana: CPUE = hasil
tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip), Catch = hasil tangkapan
(kg), effort= upaya penangkapan (trip). Peramalan manfaat ekonomi
dihitung langsung dari nilai tangkapan per upaya dengan harganya,
seperti yang dijelaskan oleh Bene dan Tewfik (2000) : RPUE = CPUEj

64 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

III. PEMBAHASAN
A. Model Surplus Produksi (MPS)
Model MPS dibangun dengan asumsi bahwa sumberdaya ikan
berada pada ‘steady state or equilibrium condition’ dan ‘constant
catchability’ (Gulland, J. A. 1983). Berikut tabel dan grafik jumlah
analisis data skunder berupa data jumlah tangkapan tahunan untuk
4 (empat) jenis ikan karang dengan jumlah total unit perahu yang
beroperasi di KKPN Anambas setiap tahunnya.

ikan kerapu karang ikan kakap merah

ikan kurisi bali ikan kue/manyuk

Gambar 1. Jumlah tangkapan tahunan untuk 4 (empat) jenis ikan karang


dengan jumlah total unit perahu yang beroperasi di kkpn
anambas setiap tahunnya (sumber: data primer diolah,2019)

B. Model Schefer
Prosedur pendugaan MSY optimal dalam kawasan konservasi
perairan nasional Anambas dilakukan melalui model Schaefer. Data
yang digunakan berupa data hasil tangkapan dan upaya tangkapan
pada tahun 2015-2018 (setelah penetapan KKPN Anambas).
Menurut model tersebut hubungan antara CPUE (c/f) dengan total

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 65


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

effort mengikuti persamaan regresi : Y = A – b X , dimana: Y = C/f,


dan X = f. Menurut model Schaefer:C/f =a – bf C = af - bf 2 . Pada
titik effort maksimum (Fmax), maka hasil tangkapan akan menjadi
Nol. C = af – bf 2 = 0; Jika demikian pada titik tersebut a = bf; atau f =
a/b. Pada Catch maksimum (MSY), maka tingkat effort (Fopt) berada
pada setengah tingkat effort maksimum (1/2 . a/b = a/2b).

Ikan Kerapu Karang Ikan Kakap Merah

Ikan Kurisi Bali Ikan Kuwe/Manyuk


Gambar 2. Pendugaan MSY optimal dalam KKPN Anambas melalui model
Schaefer ( sumber: data sekunder diolah, 2019)

C. Model Walter Hirborn


Berdasarkan indikator statistik yang paling memuaskan
diperoleh model WH. Nilai Pendugaan Parameter Regresi dari Model
WH ini diperoleh hasil untuk ikan Kerapu Karang adalah a= 26,1974,
b1 = 13,5050, b2 = 0,0072.

66 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

D. Model Hybrid Surplus Produksi Kawasan Konservasi


Perairan
Model Hibrid Surplus Produksi dengan memasukkan nilai
koefisien spill over (ε) menggunakan data hasil tangkapan dan data
upaya penangkapan dari tahun 2015 sampai dengan 2018 (setelah
penetapan KKPN Anambas). Dalam grafik parabolic tersebut dapat
dilihat grafik Model Schaefer tanpa ada komponen koefisien spill
over (factual) dan grafik Model Schaefer dengan komponen koefisien
spill over (potensial).

Ikan Kerapu Karang


Ikan Kakap Merah

Ikan Kursi Bali


Ikan Kue/manyuk
Gambar 3. Pendugaan MSY Hybrid terhadap MSY Aktual 4 jenis ikan
karang di KKPN anambas ( sumber: data primer diolah, 2019)

E. Model Hybrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi Perairan


Model Hybrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi Perairan
Setelah Penetapan menggunakan Model hibrid Surplus Produksi dan

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 67


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

mengadopsi Model Bio-Ekonomi Gordon Schaefer. Perbedaannya


adalah parameter a dan parameter b dalam Model Surplus Produksi
sudah mengalami substitusi (hybrid). Selanjutnya perhitungan nilai
Total Revenue (TR) dalam model ini adalah dengan memasukkan
variable harga, dan untuk nilai Total Cost (TC) dengan memasukkan
variable biaya.
Tabel 1. Nilai MSY Hybrid, MEY, Nilai Ekonomi, Profit, Nilai Ekonomi
Ideal, dan Nilai Ekonomi Potensial
MSY
MEY NILAI NILAI
Jenis Hybrid
(ton/ Nilai Ekonomi Profit EKONOMI EKONOMI
Ikan (ton/
tahun) IDEAL POTENSIAL
tahun)
Kerapu
1,762.38 1,761.98 38,247,299.86 37,119,599.86 19,123,649.93 19,123,649.93
Karang
Kakap
1,025.13 1,024.99 50,110,736.11 48,956,576.11 25,055,368.06 25,055,368.06
Merah
Kurisi
1,329.67 1,329.57 35,712,250.20 34,331,290.20 17,856,125.10 17,856,125.10
Bali
Manyuk/
3,867.73 3,867.70 177,411,399.00 176,386,389.00 88,705,699.50 88,705,699.50
Kue

Sumber : data primer diolah,2019

Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam


penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
50.110.736.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 35.712.250.200
rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 177.411.399.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk. Sementara nilai keuntungan
(profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam
penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
48.956.576.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 34.331.290.200
rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 176.386.389.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk.

IV. PENUTUP
Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam
penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
50.110.736.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 35.712.250.200

68 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 177.411.399.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk. Sementara nilai keuntungan
(profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam
penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
48.956.576.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 34.331.290.200
rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 176.386.389.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk.
Kegiatan perikanan tangkap harus dikelola semaksimal
mungkin untuk membatasi dampak pada ekosistem sehingga
mendorong upaya penangkapan yang lebih selektif. Untuk mencapai
penangkapan yang lebih selektif, manajemen perikanan perlu
memakai satu atu lebih dari 6 “S” strategi selektif, yakni species (jenis
ikan), stock (stok ikan), size (ukuran ikan) sex (jenis kelamin ikan),
seasons (musim penangkapan ikan), dan space (lokasi penangkapan
ikan). Namun demikian, Zhou et al. (2010) berargumentasi bahwa
seleksi 6 “S” akan memperburuk daripada mengurangi dampak
penangkapan pada ekosistem laut, dan justru berdampak negative
pada kapasitas produksi dari system tersebut untuk melestarikan
hasil tangkapan. Hutubessy et al. (2016) menyatakan bahwa semakin
besar ikan yang menjadi target penangkapan, semakin besar upaya
kita untuk merusak populasi ikan dengan hanya meninggalkan ikan
yang berukuran kecil di perairan. Penurunan kapasitas produksi
salah satu indikasi terjadinya overfishing.
Tangkap lebih atau overfishing vertebrata dan ikan berukuran
besar telah diketahui berakibat pada masalah lingkungan dan sosio-
ekonomi dalam perairan yang sesungguhnya dengan mengurangi
biodiversitas dan modifikasi fungsi ekosistem (Worm et al., 2009).
Laju mortalitas penangkapan pada ikan yang tertangkap harus
lebih rendah daripada produktivitas yang ada agar dapat dipastikan
bahwa penangkapan ikan akan lestari secara ekologi (Hutubessy et
al., 2016).

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 69


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

DAFTAR PUSTAKA

Boer, M. dan K. A. Aziz. (2007). Rancangan Pengambilan Contoh


Upaya Tangkap dan Hasil Tangkap untuk Pengkajian Stok Ikan.
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Jilid 14,
Nomor I: 67-71.
BPS Kabupaten Kepulauan Anambas. (2012). Kepulauan Anambas
Dalam Angka Tahun 2011. Anambas: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kepulauan Anambas dan Pemerintah Kabupaten
Kepulauan Anambas.
Cohen, P. J., Simon, J. F. (2013). Sustaining small-scale fisheries with
periodically harvested marine reserves. Marine Policy, 37, 278–
287.
Dahuri, R. (2003). Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Dahuri, R. (2008). 14 Jurus Membangun Perikanan Tangkap di
Indonesia. Majalah Samudra, Edisi 59. Jakarta.
Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan
Anambas. (2016). Data dan Informasi Perikanan Tangkap
Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2015, Anambas:
Pemerintah Kabupaten Anambas.
Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan
Anambas. (2017). Data dan Informasi Perikanan Tangkap
Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2016, Anambas:
Pemerintah Kabupaten Anambas.
Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan
Anambas. (2018). Data dan Informasi Perikanan Tangkap
Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2017, Anambas:
Pemerintah Kabupaten Anambas.
Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan
Anambas. (2019). Data dan Informasi Perikanan Tangkap
Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2018, Anambas:
Pemerintah Kabupaten Anambas.

70 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Fauzi, A. (2002). A Note Surplus Production Model. Bogor: IPB Darmaga.


Fauzi, A., and Suzy Anna. (2002). Natural Resource Accounting
Melalui Penilaian Depresiasi: Aplikasi Pada Sumberdaya
Perikanan (Natural Resource Accounting through Resource
Depreciation Analysis: An Application forFisheries Resources).
Paper, disampaikan pada Seminar Nasional Resource
Accounting. Kerjasama Universitas Gadjah Mada dan CEPI
Canada. Jogjakarta, 20-21 September.
Fauzi, A dan Suzy Anna. (2005). An Optimization Model of Marine
Protected Area and its Social Impacts on Fishing Communities
of Seribu Island, Indonesia. Paper, presented at the First
International Marine Protected Areas Congress (IMPAC 1).
Geelong, Australia. October 23 until 28 th.
Georgina M. Tinungki, Mennofatria Boer, Daniel R. Monintja, Johanes
Widodo dan Akhmad
Fauzi. (2004). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia,
Jilid 11, Nomor 2: 135-138.
Gulland, J.A. (1969). Manual of methods for fish stock assessment. Part
1. Fish population analysis. FAO Manual Fisheries Science.
Gulland, J. A. (1983). Fish Stock Assessment: A Manual of Basic
Methods. Singapore: John Wiley and sons.
Haryani, E.B.S., (2010). Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk
Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Pulau Kecil.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 98-175.
Haryani, E.B.S., A. Fauzi, D.R. Monintja. (2009). Analisis Bionomi
Ikan Karang di Perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua
Barat. Buletin PSP, Vol. XVIII, No. 3, Desember 2009.
Hilborn, R. dan C. J. Walters. (1992). Quantitative Fisheries Stock
Assesment, Choice, Dynamics and Uncertainty. New York:
Chapman and Hall..
Hutubessy, B.G., J.W. Mosse, G.V. Limmon. (2016). Implementasi
Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem
pada Program Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku. Jurnal
Amanisal PSP FPIK Unpatti-Ambon, Vol. 5 No. 1.

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 71


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Ikawati, Y. Dkk. (2001). Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta:


Mapiptek.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya
Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 37 tahun 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan
Nasional Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya di Provinsi
Kepulauan Riau.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 53 tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan dan
Zonasi Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas dan Laut
Sekitarnya 2014-2023.
King. (1996). Introduction to Fisheries Biology and Stock Assessment.
London: Fishing News.
Kunarso, (2008). Terumbu Karang dalam Masalah dan Terancam
Bahaya. Jurnal Bahari Jogja, 8 (13).
Loka KKPN Pekanbaru. (2018). Laporan Monitoring Ekosistem
Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas. Pekanbaru: Loka
KKPN.
McClanahan T.R. dan Mangi S. (2000). Spillover of Exploitable Fishes
from A Marine Park and Its Effect on The Adjacent Fishery.
Ecological Application, 10 (6): 1792-1805.
Muchtar, A.S., B. Sadarun, dan R.D. Siang. (2014). Analisis Manfaat
Upaya Penangkapan Ikan Karang di Desa Wawatu Kecamatan
Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Bisnis
Perikanan, 1 (1): 63-74.
Myers, R. A., & Worm, B. (2003). Rapid worldwide depletion of
predatory fish communities. Nature, 15, 280- 283.
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

72 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Pasisingi, N. (2011). Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan


Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Pauly, D. (1984). Fish Population Dynamics in Tropical Waters:
A Manual For Use With Programmable Calculators. Manila.
ICLARM Studies and Review 8: 325.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Pemanfaatan Kawasan
Konservasi Perairan.
Pusriskel BRSDMKP. (2019). Data suhu rata-rata Perairan Kepulauan
Anambas Provinsi Kepulauan Riau Bulan Mei, Juni, dan Juli 2019
dari Analisis Foto Citra Satelit tanggal 20 Agustus 2019.
Saraj, B.S., Yachkaschi, A., Oladi, D., F. Teimouri, Latifi, H. (2009). The
Recreational Valuation of A Natural Forest Park Using Travel
Cost Method in Iran. Journal of iForest: Biogeosciences and
Forestry, 2: pp. 85-92.
Schaefer, M. B. (1954). Some Aspects of Dynamics of Populations
Important to the Management of the Commercial Marine
Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna Comm I: 27-56
Schaefer, M. B. (1957). A Study of the Dynamics of the Fishery for
Yellofin Tuna in the Eastern Tropical Pasific Ocean. Bull. Inter-
Am. Trop. Tuna Comm., 2: 247-248. Spare, P. dan S. C.
Sparre, P. dan S.C. Venema. (1999). Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis Buku-I Manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi
Pertanian dan Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Supriyadi. (2008). Dampak Perikanan Payang terhadap Kelestarian
Stok Ikan Teri Nasi (Stolephorus spp.) di Perairan Kabupaten
Cirebon dan Alternatif Pengelolaannya. Skripsi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Supriyadi dan W. Andrito. (2019). Panduan Teknis Pengkajian Stok
Ikan Tropis dan Aplikasi FISAT II. Kediri: FAM Publishing.

Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah 73


Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Susanto, H. (2006). Biologi Reproduksi Ikan Tunisi (Pristipomoides


filamentosus, Valenciennes 1830) di Perairan Palabuhanratu,
Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Venema. (1992). Introduction to Tropical Fish Stock Assessment Part
I. FAO DANIDA. 376p.
Walpole, R. E. (1992). Pengantar Statistika (diterjemahkan oleh
Bambang Sumantri). Edisi ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Widodo, J. (1986). Surplus Production Models and Analysis of
Exploited Population in Fisheries. A Serial Seminars Published by
Oceana XI(3): 119-130.
Widodo, J. (1987). Modified Surplus Production Methods of Gulland
(1961), and Schnute (1977). A Serial Seminars Published by
Oceana XII(2):119-130.
Zhou, S., Anthony A., Smith DM, Punt AE, Richardson AJ, Gibbs M,
Fulton EA, Pascoe S, Bulman C, Bayliss P and Sainsbury K.
(2010). Ecosystem-based Fisheries Management Requires A
Change to The Selective Fishing Philosophy. PNAS, Vol 107 No.
21: 9485-9489.

74 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

PENERAPAN ACCRUAL BASE ACCOUNTING UNTUK


PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN
PEMERINTAH PROVINSI BANTEN

Venti Eka Satya


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,
ventieka@y7mail.com

ABSTRAK
Akuntansi berbasis akrual (accrual base accounting) merupakan
international best practice dalam pengelolaan keuangan negara karena
bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait biaya jasa
layanan, efisiensi, dan pencapaian tujuan. Sampai tahun 2015 Laporan
Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh opini
WTP, bahkan pada tahun 2011-2013 dan 2015 memperoleh opini TMP
dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP setelah
diterapkannya akuntansi berbasis akrual. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di Pemerintah
Provinsi Banten dilihat dari perspektif Komitmen Pimpinan, Regulasi,
SDM, serta Teknologi. Selain itu juga ingin mengetahui dampak penerapan
sistem akuntansi berbasis akrual terhadap kualitas laporan keuangan
instansi serta kendala dan permasalahan yang dihadapi. Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh yang
diperoleh melalui observasi langsung, wawancara, maupun dokumentasi.
Hal utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual ini adalah komitment pemimpin, regulasi, teknologi informasi
dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti
sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual
di pemprov Banten. Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem
akuntnasi berbasis akrual ini adalah kurangnya kualitas dan kuantitas
SDM yang kompeten terutama di bidang akuntansi disamping belum
terintegrasinya sistem aplikasi yang digunakan serta sistem pengelolaan
aset yang selama ini tidak dikelola dan dicatat sesuai dengan kebutuhan.
Kata kunci: akuntasi berbasis akrual; akuntansi berbasis kas;
keuangan negara; akuntansi pemerintahan.

Venty Eka Satya 75


Penerapan Accrual Base Accounting

I. PENDAHULUAN
Penerapan akuntansi berbasis akrual pada sistem akuntansi
pemerintahan merupakan salah satu tindak lanjut dari penerapan
New Public Management (NPM). Menurut Mulyana (2017),
reformasi dalam sistem pengelolaan keuangan daerah telah di
indonesia telah dilakukan sejak tahun 2005, hal ini ditandai dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan
pentapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pelaporan
keuangan yang lebih transparan dan akuntabel, maka pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP), yang diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010.
Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa dalam rentang waktu 2010
sampai 2015 seluruh elemen dalam sistem pemerintahan pusat
dan daerah harus mampu mempersiapkan diri untuk menerapkan
sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual.
Berdasarkan hasil audit BPK, sampai tahun 2015 Laporan
Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), bahkan pada tahun 2011-
2013 dan 2015 memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat
(TMP) dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP
setelah diterapkannya accrual base accounting. Untuk itu peneliti
tertarik untuk meneliti bagaimana provinsi menerapkan sistem
akuntansi berbasis akrual pada instansinya. Selain itu peneliti juga
ingin mengatahui dampak penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual terhadap kualitas laporan keuangan instansi serta kendala
dan permasalahan yang dihadapi.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Dalam PP Nomor 71 Tahun 2010, dinyatakan bahwa laporan
keuangan yang dihasilkan dari penerapan SAP berbasis akrual
dimaksudkan untuk memberi manfaat lebih baik bagi para
pemangku kepentingan, baik para pengguna maupun pemeriksa
laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip akuntansi

76 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang


diperoleh. Laporan keuangan yang disajikan haruslah memenuhi
Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan
upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu
periode pelaporan untuk kepentingan: Akuntabilitas, Manajemen,
Transparansi, Keseimbangan Antar generasi (intergenerational
equity) serta Evaluasi Kinerja.

A. Basis Akuntansi Pemerintahan


Basis akuntansi yang pernah digunakan di pemerintahan
Indonesia yaitu basis kas, basis kas menuju akrual dan basis akrual.
Basis kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi
dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar. Basis kas menuju akrual merupakan basis akuntansi yang
mengakui pendapatan, belanja dan pembiayaan berbasis kas serta
mengakui aset, utang dan ekuitas dana berbasis akrual. Sedangkan
basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa
itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima
atau dibayar.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014:1)
menyatakan Akuntansi berbasis akrual merupakan international
best practice dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu
hasil studi International Federation of Accounting (IFAC) Public
Sector Commitee (2002) menyatakan bahwa pelaporan berbasis
akrual bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait
biaya jasa layanan, efisiensi, dan pencapaian tujuan. Dengan
pelaporan berbasis akrual, posisi keuangan pemerintah daerah
dan perubahannya serta bagaimana pemerintah daerah mendanai
kegiatannya dapat diidentifikan dan diukur secara tepat. Selain
itu, dengan akuntansi berbasis akrual pemerintah daerah dapat
mengidentifikasi kesempatan dalam menggunakan sumber daya
masa depan dan mewujudkan pengelolaan yang baik atas sumber
daya tersebut.

Venty Eka Satya 77


Penerapan Accrual Base Accounting

B. Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Akuntansi Berbasis


Akrual
Menurut International Federation of Accountants (IFAC) (2003)
terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapan
basis akrual pada akuntansi pemerintahan. Kelebihannya antara
lain:
1. Memberikan gambaran bagaimana pemerintahan membiayai
aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan pendanaannya;
2. Memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi
kemampuan pemerintah saat ini untuk membiayai aktivitasnya
dan untuk memenuhi segala kewajiban dan komitmen-
komitmen yang ada;
3. Menunjukkan posisi keuangan pemerintah dan perubahan
posisi keuangannya;
4. Menyediakan ruang bagi pemerintah untuk menunjukkan
keberhasilan pengelolaan sumber daya yang dikelolanya; dan
5. Memberikan manfaat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah.
Adapun kekurangan dalam penerapan basis akrual, antara lain:
1. Biaya yang cukup besar yang harus disiapkan untuk menangani
biaya untuk penilaian aset, penyiapan kebijakan akuntansi,
pembangunan sistem akuntansi, serta penyiapan sumber daya
manusia yang memadai dan mumpuni;
2. Basis akrual pada dasarnya didesain untuk mengukur laba
sehingga kurang memberikan arti pada sektor publik atau
pemerintahan;
3. Basis akrual lebih kompleks dibandingkan dengan basis kas
sehingga ada kemungkinan parlemen kurang memberikan
perhatian dalam penelaahan sehingga mengurangi akuntabilitas
laporan keuangan;
4. Memerlukan ruang yang lebih luas dalam hal pertimbangan
profesioanal (profetional judgement) baik oleh penyedian
laporan keuangan (entitas pelaporan/entitas akuntansi)
maupun auditor pemerintah.

III. METODOLOGI
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif dikarenakan dalam penelitian ini,

78 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

peneliti bertujuan untuk menginterpretasi pemerintah daerah


menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual dan apa saja kendala
serta permasalahan yang dalam penerapan standar akuntansi
pemerintahan baru yaitu standar akuntansi pemerintahan berbasis
akrual.
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer. Data
diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu pemerintah daerah
Provinsi Banten tertutama bagian akuntansi dan pelaporan Badan
Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), yang memerlukan
pengolahan lebih lanjut oleh peneliti. Data ini diperoleh melalui
observasi langsung, wawancara, maupun dokumentasi.

IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan informasi dari BPKAD provinsi Banten, pemerintah
Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual dalam laporan
keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Sistem pelaporan
keuangan berbasis akrual ini mengharuskan pemerintah untuk
meninggalkan pola pelaporan yang lama dan menyesuaikan dengan
pola baru tersebut.
Dengan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini,
penyesuaian serta pemahaman sistem perlu dilakukan agar aturan
yang tertuang dalam sistem tersebut bisa diimplementasikan
dengan baik. Menyadari hal itu, Pemprov Banten terus melakukan
upaya perbaikan serta peningkatan kualitas, baik dari SDMmaupun
sisi lainnya seperti perangkat atau fasilitas penunjang seperti sistem
informasinya. Dalam rangka penerapan akuntansi berbasis akrual
Pemprov Banten terus diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Hal-hal yang paling berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi
berbasis akrual ini adalah komitmen pimpinan, teknologi informasi,
sumber daya manusia serta regulasi.

A. Komitmen Pimpinan
Pimpinan daerah terutama Gubernur Banten sangat mendukung
penerapan SAP berbasis akrual akan mampu menciptakan sistem
pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel
serta mampu memenuhi unsur-unsur kewajaran dan kecukupan.
Pimpinan daerah menunjukkan komitmennya dalam penerapan

Venty Eka Satya 79


Penerapan Accrual Base Accounting

SAP berbasis akrual dengan mempersiapkan kelembagaan, regulasi


serta sarana dan prasarana untuk membantu penerapan sistem ini.
Penataan lembaga dilakukan melalui penataan struktur organisasi
dan tata kerja (SOTK) terkait tugas dan fungsi akuntansi pada SKPD
dan PPKD. Regulasi Pemda yang terkait juga disesuaikan dengan SAP
yang baru. Gubernur juga memahami bahwa upaya implementasi
SAP ini membutuhkan komitmen dari segenap aparatur pemda,
untuk itu Pemprov juga telah melakukan upaya sosialisasi sistem ini
kepada para kepala SKPD di provinsi Banten dan mendorong untuk
memberikan pelatihan kepada tenaga akuntansi yang menangani
pengelolaan keuangan daerah untuk meningkatkan kompetensinya.

B. Regulasi
Sejak tahun 2013 Pemprov Banten telah menyusun draft
kebijakan akuntansi yang akhirnya diterbitkan menjadi Peraturan
Gubernur nomor 18 tahun 2014 tentang Kebijakan Akuntansi
Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Peraturan Gubernur Banten nomor 68 tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Pergub nomor 18 tahun 2014
dan Pergub nomor 19 tahun 2014 tentang Sistem dan Prosedur
Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diganti
dengan Pergub nomor 51 tahun 2015 tentang Sistem dan Prosedur
Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten (Pergub 51/2015).
Dalam Pergub 51/2015 tersebut diatur mengenai sistem dan
prosedur (Sisdur) akuntansi yang harus diterapkan. Sisdur ini
melingkupi kerangka konseptual, penyajian laporan keuangan,
laporan realisasi anggaran, laporan operasional, laporan perubahan
ekuitas, catatan atas laporan keuangan serta keterangan mengenai
akun-akun yang digunakan dalam sistem akuntansi pemprov Banten.
Pada BPKAD pemprov Banten juga dilakukan perubahan struktur
organisasi. Sejak tahun 2017, Pendapatan tidak lagi dikelola oleh
BPKAD akan tetapi oleh Adan Pendapatan Daerah sedangkan Aset
dan Keuangan tetap dikelola oleh BPKAD.

C. Sumber Daya Manusia


Banyak pihak-pihak yang terkait dengan implementasi
akuntansi berbasis akrual, diantaranya adalah bendahara pada

80 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

OPD, baik bendahara penerimaan maupun bendahara pengeluaran,


termasuk bendahara pengeluaran pembantu. Untuk itu para
bendahara diberikan bimbingan teknis akuntansi berbabasis akrual.
Melalui pelatihan-pelatihan teknis akuntansi yang dilakukan baik
on the job training maupun off the job training diharapkan dapat
memberikan penyegaran kembali mengenai pemahaman akuntansi
berbasis akrual, pemahaman kebijakan akuntansi, serta pemahaman
sistem dan prosedur akuntansi Pemerintah Provinsi Banten di unit
akuntansi OPD yang ada di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten.
Salah satu upaya perbaikan SDM dilakukan dengan peningkatan
kompetensi SDM melalui penyelenggaraan Bimbingan Teknis
Pelaksanaan Akuntansi. Dengan adanya kegiatan tersebut
diharapkan pemahaman dan kemampuan pegawai dapat meningkat
serta efektif untuk diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan sesuai
tugasnya di OPD masing-masing.

D. Teknologi Informasi
Untuk optimalisasi penggunaan sistem akuntansi berbasis akrual
ini perlu didukung oleh sistem aplikasi yang berbasis komputer agar
proses pelaksanaannya lebih mudah dan cepat. Sejak tahun anggaran
2012 pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem aplikasi
pengelolaan keuangan yang terintegrasi mulai dari penganggaran,
penatausahaan sampai pada pelaporannya (termasuk didalamnya
proses akuntansi), yaitu menggunakan Sistem Aplikasi Manajemen
Daerah (SIMDA) Keuangan yang dibangun dan dikembangkan oleh
BPKP.
Untuk membangun dan mengembangkan sistem aplikasi
akuntansi berbasis komputer, pemerintah provinsi Banten
melibatkan akademisi, BPK dan BPKP. Akan tetapi penerapan sistem
informasi akuntansi SIMDA belum dapat diterapkan secara penuh
dalam sistem akuntansi pemprov Banten, sebagian proses akuntansi
masih dilakukan secara manual. Hal ini dikarenakan keterbatasan
pemahaman dan pengetahuan SDM terhadap sistem informasi ini
serta keterbatasan data dan belum terintegrasipenuhnya sistem
tersebut.
SIMDA merupakan sistem pengelola keuangan daerah berbasis
teknologi inforamasi server-client yang terdiri dari 26 aplikasi
terpisah yang dapat didistribusikan di setiap SKPD dengan sistem

Venty Eka Satya 81


Penerapan Accrual Base Accounting

database terintegrasi, sehingga outputnya dapat dipergunakan oleh


pimpinan daerah untuk membantu proses pengambilan keputusan.
Di sisi lain pihak legislatif dapat menggunakannya untuk melakukan
monitoring terhadap kinerja pemerintah daerah. SIMDA merupakan
salah satu upaya dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi
secara cepat, tepat, lengkap, akurat, dan terpadu, untuk menunjang
proses administrasi pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan
memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan
kebijakan.
Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah yang
dikembangkan oleh Badan BPKP dan dikenal dengan Aplikasi SIMDA
merupakan salah satu produk dari teknologi sistem informasi yang
digunakan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia dalam
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerahnya. SIMDA
merupakan aplikasi database yang bertujuan untuk mempermudah
pengelolaan keuangan daerah di lingkungan SKPD. Aplikasi SIMDA
dikembangkan dengan memperhatikan dan mengimplementasikan
SPIP. Oleh sebab itu pengendalian terhadap aplikasi menjadi
suatu keharusan untuk menjadi pedoman bagi pemerintah daerah
dalam mengimplementasikan Aplikasi SIMDA untuk menghasilkan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Adapun Output
yang dihasilkan dari SIMDA Keuangan adalah: a) Penganggaran,
terdiri dari: Rencana Kerja Anggaran (RKA); Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA) dan Surat Penyediaan Dana (SPD); b) Penatausahaan,
terdiri dari: Surat Permintaan Pembayaran (SPP); Surat Perintah
Membayar (SPM); Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D); Surat
Tanda Setoran (STS); Register; dan Surat pengendalian lainnya;
c) Akuntansi dan Pelaporan, terdiri dari: Jurnal; Buku besar; Buku
pembantu; Laporan realisasi anggaran; Laporan arus kas; dan
Neraca.
Penerapan program Aplikasi SIMDA Keuangan didukung
dengan: Buku manual sistem dan prosedur penganggaran; Buku
manual sistem dan prosedur penatausahaan; Buku manual
sistem dan prosedur akuntansi dan pelaporan; dan Buku
pedoman pengoperasian aplikasi SIMDA Keuangan. Fungsi
utama pengimplementasian SIMDA Keuangan adalah: Membantu
pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan
daerah (penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban);

82 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

Menyusun laporan keuangan lebih efisien dan akurat; Menyimpan


data keuangan untuk keperluan manajemen lainnya; Menyajikan
informasi yang akurat secara efektif dan efisien yang akan digunakan
oleh pengguna laporan; dan Mempermudah proses audit bagi
Auditor dengan merubah tata cara audit manual menjadi Electronic
Data Processing (EDP) audit.

E. Kendala Penerapan SAP berbasis Akrual di Pemerintah


Provinsi Banten
Yang menjadi kendala terbesar dalam penerapan SAP berbasis
Akrual di Pemprov Banten adalah kurangnya kualitas dan kuantitas
SDM. SDM dilingkungan pemprov khususnya yang melakukan
tugas-tugas yang berkaitan dengan akuntansi, kebanyakan bukan
lulusan akuntansi dan tidak paham mengenai akuntansi. Sehingga
ketika SAP berbasis Akrual diterapkan sangat sulit bagi mereka
untuk memahaminya apalagi melaksanakan tugas-tugas terkait
pencatatan transaksi, penyiapan dokumen maupun penyusunan
laporan keuangan.
Kesulitan dalam menginventarisir aset juga menjadi kendala
yang cukup serius dalam pelaksanaan sistem akuntansi ini. Hal
ini karena selama penggunaan sistem akuntansi berbasis kas,
pencatatan aset tersebut tidak dilakukan dengan tertib. Banyak
hal tentang aset yang tidak terdokumentasi dengan baik seperti
harga perolehan, nilai penyusutan serta pertambahan nilai aset
akibat perbaikan dan renovasi yang tergolong dalam kapitalisasi
aset. Bahkan untuk aset-aset tertentu ada yang perlu revaluasi
atau dihapusbukukan karena nilai ekonomisnya sudah habis atau
sudah tidak ada, akan tetapi hal ini tidak dilakukan. Revaluasi aset
seringkali tidak dilakukan karena kekhususan sifat aset sehingga
tidak ada pihak yang mampu melakukannya atau karena kurang
pahamnya pihak pengelola aset atau pemprov akan proses revaluasi
aset tersebut. Hal tersebut mengakibatkan aset-aset yang ada sulit
untuk dicatat sesuai dengan nilai yang sesungguhnya.
Teknologi sistem manajemen keuangan daerah (SIMDA) yang
dipergunakan oleh pemprov Banten belum didukung perangkat
yang memadai dan keterpaduan perencanaan dan penganggaran
serta ketepatan waktu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sistem
belum terintegrasi secara penuh yang mengakibatkan sebagian

Venty Eka Satya 83


Penerapan Accrual Base Accounting

proses pencatatan sampai pelaporan keuangan masih dilakukan


secara manual. Hal ini tentu saja rawan akan kesalahan dan
memakan waktu.

V. PENUTUP
Dasar hukum penerapan sistem akuntansi berbasis akrual pada
instansi pemerintahan di Indonesia adalah PP Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintah. PP tersebut selanjutnya
diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. PP ini selanjutnya menjadi
landasan teknis akuntansi pemerintah berbasis akrual yang harus
dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2015. Penerapan sistem
akuntansi ini bukanlah hal yang mudah, penerapannya tidak hanya
membutuhkan persiapan teknis, akan tetapi juga faktor-faktor lain
seperti aturan-aturan pendukung, komitmen organisasi (lembaga),
kapasitas SDM serta sistem dalam organisasi. Memahami tentang
permasalahan tersebut, pemerintah tidak serta merta menerapkan
sistem ini, melainkan dilakukan secara bertahap.
Pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual
dalam laporan keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Hal
utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual ini adalah komitmen pemimpin, regulasi, teknologi informasi
dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti
sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual di pemprov Banten. Hal utama yang paling menentukan
adalah komitmen pimpinan.
Laporan Keuangan Pemprov Banten yang selama ini belum
pernah memperoleh opini WTP dari BPK. Pada tahun 2016 laporan
keuangan provinsi ini memperoleh opini WTP. Selain itu berdasarkan
hasil penelitian terbukti akuntansi berbasis akrual sangat bermanfaat
dalam penyusunan anggaran periode selanjutnya karena dengan
sistem ini realisasi anggaran dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa
menunggu laporan realisasi anggaran disusun. Dan data realisasi
anggarannya juga lebih akurat.
Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem ini adalah
kurangnya kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten terutama di
bidang akuntansi. Selain itu belum terintegrasinya sistem aplikasi
yang digunakan juga menjadi kendala tersendiri. Pengelolaan
aset yang selama ini dilakukan terpisah serta tidak dikelola dan

84 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Penerapan Accrual Base Accounting

dicatat sesuai dengan kebutuhan pengadministrasian akuntansi


juga menjadi kendala dalam penyusunan laporan keuangan yang
berbasis akrual.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yusuf, dkk. (2017). Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual.


Sejarah Penerapan di Beberapa Negara. Makalah Seminar
Akuntansi Pemerintahan, (online) (https://www.academia.
edu/11634805/Akuntansi_Pemerintah_Berbasis_Akrual._
Sejarah_Penerapan_di_Beberapa_Negara, diakses 3 Maret
2017).
Budi Mulyana. (2017). Penggunaan Akuntansi Akrual di Negara-
Negara Lain: Tren Di Negara-Negara Anggota OECD, (online),
(http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/akuntansi-
berbasis-akrual.pdf, diakses 27 april 2017).
International Federation of Accountants (IFAC). (2003). Transition
to The Accrual Basis of Accounting: Guidance for Governments
and Government Entities (second edition). New York: Public
Sektor Committee Study 14
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014) .Modul
Gambaran Umum Akuntansi Berbasis Akrual, Program Percepatan
Akuntabilitas Pemerintah Pusat, Jakarta: Kementerian Keuangan
Republik Indonesia.
Marwanto Harjowiryono, dkk. (2014). Modul Gambaran Umum
Akuntansi Berbasis Akrual pada Program Percepatan
Akuntabilitas Pemerintah Pusat, Jakarta: Kementrian Keuangan
Republik Indonesia.
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan, Penjelasan Umum.

Venty Eka Satya 85


Penerapan Accrual Base Accounting

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar


Akuntansi Pemerintahan, Lampiran I.01 tentang Kerangka
Konseptual, Paragraf 25.

86 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

TANTANGAN REGULASI DALAM PENINGKATAN


DAYA SAING INDUSTRI HALAL INDONESIA

Ernawati
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
erna_unhalu@yahoo.com
Ambo Wonua Nusantara
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
La Tondi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
Nuddin
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo

ABSTRAK
Daya saing beberapa industri halal Indonesia masih tertinggal dengan
negara lain, padahal Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar yang
dapat dijadikan peluang pasar industri halal. Paper ini bertujuan untuk
mengkaji tantangan regulasi yang dihadapi oleh industri halal Indonesia
dalam peningkatan daya saing global. Data penelitian bersumber dari
data sekunder hasil publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional. Data dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. Hasil
kajian menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai target lima besar
dalam daya saing industri halal global. Meskipun demikian segmen
industri makanan halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan
kosmetik halal masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya
saing tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri.
Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari aspek
regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal yaitu: (1)
belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen halal industri
tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan
pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya komitmen dukungan dari
industri terkait, khususnya pendanaan dari lembaga keuangan Islam.
Kata kunci: regulasi; daya saing; industri halal; ekosistem halal; global

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 87


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

I. PENDAHULUAN
Industri halal global tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun 2019,
dan diperkirakan bahwa masyarakat Muslim menghabiskan US $ 2,2
triliun pada 2018 untuk makanan, sektor farmasi dan gaya hidup.
Selain itu, aset industri keuangan syariah dilaporkan mencapai $ 2,5
triliun pada tahun 2018 (Thomson Reuters, 2019). Share industri
keuangan Islam terkosentrasi pada kawasan GCC sebesar 42 persen,
disusul oleh kawasan MENA sebesar 29,1 persen. Sementara pada
kawasan Asia sebesar 24.4 persen (Islamic Financial Services Board,
2018). Meskipun demikian, berdasarkan data Thomson Reuter
(2019) daya saing industri keuangan Islam tertinggi dimiliki oleh
Malaysia, yang berada pada kawasan Asia. Pada tahun 2019 Malaysia
juga menempati peringkat pertama dalam daya saing industri halal
global. Namun berdasarkan kelompok industri, UEA menempati
urutan pertama dalam industri makanan, fashion, farmasi, dan
media halal.
Pada sisi lain, daya saing Indonesia dalam industri halal global
masih tertinggal dibanding negara lain. Dari enam segmen industri
halal, Indonesia berada pada kelompok sepuluh besar di tiga segmen
industri, yaitu keuangan Islam, modest fashion, dan halal travel.
Bahkan pada industri makanan halal, Indonesia kalah bersaing
dengan Brazil dan Australia. Begitu pula pada Industri halal media
dan halal farmasi, peringkat Indonesia masih di bawah peringka
Singapura. Jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk
Muslim, maka potensi ini berbanding terbalik dengan peringkat
daya saing. Laporan Global Islamic Economic Indicator tahun
2019 menunjukkan, peringkat pertama ditempati oleh Malaysia,
selanjutnya UEA, Bahrain, dan Saudi Arabia, sementara Indonesia
menduduki peringkat berikutnya atau kelima. Hasil estimasi
populasi penduduk Muslim di dunia yang dilakukan oleh Kettani
(2010) untuk tahun 2020, menunjukkan bahwa negara Malaysia
memiliki sekitar 19 juta populasi muslim, sementara UEA 5,4 juta
jiwa. Adapun Indonesia memiliki sekitar 240 juta penduduk muslim.
Dengan demikian, besarnya potensi penduduk yang merupakan
perwujudan dari luasnya pasar (permintaan) bukanlah faktor utama
dalam menentukan keunggulan bersaing negara.
Hasil empiris menunjukkan bahwa permintaan suatu produk
barang dan jasa pada halal industri bukan semata-mata faktor

88 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

agama. Faktor utama dalam memilih bank Islam bukan karena


agama, namun karena faktor lain seperti profitabilitas dan
pengembalian investasi (Khattak dan Rehman, 2010). Umat Islam
mengetahui bank-bank Islam, tetapi tingkat penggunaannya
rendah, karena pelanggan Muslim menganggap efisiensi, biaya
bank yang lebih rendah, ketersediaan mesin teller otomatis dan
jaringan cabang yang luas sebagai faktor penting ketika datang
untuk memilih bank, daripada motivasi agama (Saini, Bick &
Abdulla, 2011). Pada sisi lain, kesadaran industri halal pada sektor
produk farmasi halal juga masih rendah (Annabi & Wada, 2016).
Persepsi produk halal dipengaruhi oleh perbedaan pengetahuan
produk yang juga akan berdampak pada berbagai tingkat kesadaran
produk kosmetik halal (Mohezar, Zailani & Zainuddin, 2017).
Responden mengkonsumsi kosmetik halal karena beberapa alasan.
Alasan menggunakan kosmetik halal karena pemikiran Islam 62,3
persen; rekomendasi keluarga / teman/ dokter, 22,3 persen; dan
kualitas dan keamanan 15,4 persen (Hajipour dkk, 2015). Pengaruh
pemahaman berdampak positif terhadap pemilihan produk-produk
dalam sektor halal industri (Buchari, Rafiki & Al Qassab, 2015).
Kesadaran berkontribusi terhadap pertumbuhan perbankan Islam
(Bodibe, Chiliya & Chikandiwa, 2016; Aziz & Afaq, 2018). Untuk itu
diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
industri halal di Indonesia. Chappra dkk (2018) merekomendasikan
kepada stakeholder terkait untuk menciptakan kesadaran akan
industri halal.
Beberapa temuan empiris menunjukkan terdapat pengaruh
regulator secara positif signifikan dengan kinerja bank syariah di
wilayah Asia (Alam, Zainuddin &Rizvi, 2018). Peran pemerintah
juga dapat medorong efisiensi teknis pada perbankan Islam (Alam,
2013). Selanjutnya, semua pemerintah dapat mempengaruhi pilihan
proyek yang akan dibiayai dan dapat mempengaruhi keuangan
negara (Heremans & Pacces, 2011). Oleh karena itu studi ini
mengkaji kondisi existing peranan pemerintah dalam hal ini regulasi
sebagai salah satu tantangan dalam mendorong daya saing global
industri halal di Indonesia. Rumusan masalah yang diajukan pada
paper ini yaitu bagaimana bentuk tantangan regulasi yang dihadapi
oleh industri halal Indonesia dalam peningkatan daya saing global.

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 89


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

II. TINJAUAN PUSTAKA


Porter (1990) berpandangan bahwa suatu negara memperoleh
keunggulan bersaing jika industri yang ada pada negara tersebut
kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan
industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya.
Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi
peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Diamond
model yang diajukan oleh Porter (1990) sebagai determinan
keunggulan bersaing negara yaitu:
a. Kondisi Faktor: yaitu faktor produksi yang digunakan dalam
industri.
b. Kondisi Permintaan, yaitu tersedianya pasar domestik dari
industri yang bersangkutan. Bukan hanya ukuran permintaan
domestik yang penting, tetapi juga kecanggihan (sophistication)
pembeli domestik. Hal ini akan memaksa perusahaan untuk
terus berinovasi dan meningkatkan posisi kompetitif mereka
untuk memenuhi standar tinggi dalam hal kualitas produk, fitur,
dan tuntutan layanan (Smit, 2010).
c. Industri pendukung dan terkait lainnya, yaitu ketersediaan
serangkaian dan keterkaitan kuat antara industri pendukung
dan perusahaan.
d. Struktur, persaingan, dan strategi perusahaan, yaitu strategi
dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan
dan intensitas persaingan industri. Struktur dibangun guna
menjalankan strategi, sementara intensitas persaingan yang
tinggi akan mendorong inovasi bagi industri. Kehadiran
pemasok mempercepat proses inovasi dan meningkatkan
bisnis cluster. Kehadiran industri terkait memberikan peluang
yang lebih baik bagi perusahaan yang berlokasi di cluster untuk
berbagi informasi dan mengidentifikasi kesempatan baru
(Jhamb, 2016).
Porter selanjutnya menambahkan faktor chance dan government
dalam model keunggulan bersaing tersebut, dimana kedua faktor
berpengaruh terhadap keempat atribut penentu keunggulan
bersaing. Faktor-faktor tersebut membentuk sebuah sistem
yang berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi yang lain, sehingga
beberapa industri hanya berhasil di suatu lokasi tertentu (Porter,

90 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

2000). Secara jelas, model keunggulan bersaing negara disajikan


sebagaimana gambar 1.

Sumber: Porter (1990)


Gambar 1. Model Diamond Keunggulan Bersaing Porter
Peran pemerintah dalam keunggulan bersaing bukan sebagai
pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki
memberikan fasilitas bagi industri. Dalam model berlian tersebut,
kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events) dan
pemerintah terkait dengan hal-hal di luar kemampuan perusahaan,
seperti adanya penemuan murni, diskontinuitas teknologi yang
besar, diskontinuitas dalam biaya input, perubahan yang signifikan
dalam pasar keuangan dunia atau nilai tukar, berkembangnya
permintaan regional atau dunia, keputusan politik pemerintah
asing, dan peperangan (Papilo dan Batacut, 2016).
Peran pemerintah bagi Porter terdiri dari: (1) Peran paling
mendasar adalah untuk mencapai stabilitas makro ekonomi dan
politik; (2) Peran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mikro
secara umum melalui peningkatan kualitas dan efisiensi input untuk
bisnis dan lembaga-lembaga yang menyediakannya seperti tenaga
kerja terdidik, infrastruktur fisik yang sesuai, dan infrastruktur
ekonomi yang akurat dan tepat waktu; (3) Peran menetapkan aturan
ekonomi mikro secara keseluruhan dan insentif yang mengatur
persaingan yang akan mendorong pertumbuhan produktivitas; (4)
Peran dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 91


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

tindakan ekonomi positif, khas, jangka panjang, atau proses


perubahan, yang memobilisasi pemerintah, bisnis, lembaga, dan
warga negara; (5) Memfasilitasi pengembangan dan peningkatan
gugus. Meskipun lingkungan bisnis umum penting untuk daya saing,
keadaan kluster menjadi semakin penting untuk memungkinkan
suatu ekonomi bergerak melampaui persaingan faktor biaya.
Kebijakan pemerintah pasti mempengaruhi peluang untuk
meningkatkan klaster. Pada saat yang sama, banyak keunggulan
produktivitas dan inovasi dari cluster terletak pada limpahan dan
eksternalitas yang melibatkan entitas publik. Selain itu, selain
memodifikasi kebijakan dan praktiknya sendiri, pemerintah dapat
memotivasi, memfasilitasi, dan memberikan insentif untuk tindakan
kolektif oleh sektor swasta (Porter, 2000).

III. METODOLOGI
Data penelitian bersumber dari data sekunder yang diperoleh
melalui Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Thomson Reuter. Thomso Reuter melakukan publikasi atas indikator
daya saing industri halal global. Tantangan regulasi diperoleh melalui
publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional yang
terdapat pada dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia
2019-2014. Data di analisis secara deskriptif dengan bantuan grafik.

IV. PEMBAHASAN
A. Capaian Daya Saing Industri Halal Indonesia
Masterplan pengembangan industri syariah di Indonesia 2019-
2024 memiliki target peningkatan daya saing pada beberapa bidang,
sebagaimana di sajikan pada tabel 1. Pada lima tahun ke depan, yaitu
2024 diharapkan terjadi peningkatan skala usaha industri halal di
Indonesia. Bahkan pasar keuangan syariah yang hingga akhir tahun
2018 belum mencapai 10 persen, ditargetkan pada tahun 2024
mencapai 20 persen. Pada sisi lain, program peningkatan daya
saing industri halal di Indonesia tampak pada bidang target no. 2,
yang diharapkan bahwa dalam jangka waktu lima tahun, Indonesia
menempati lima besar daya saing industri halal global.

92 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Tabel 1. Indikator Capaian Masterplan Industri Halal Indonesia


No Bidang Target Indikator Utama Capaian
1 Peningkatan skala • Peningkatan skala usaha di bidang ekonomi
usaha ekonomi syariah syariah (produksi dan aset) sebesar 100%
(atau menjadi dua kali lipat kondisi saat ini)
dalam lima tahun ke depan.
• Kenaikan pangsa pasar keuangan syariah
menjadi 20 persen dalam lima tahun ke
depan.
2 Peningkatan peringkat • Masuk ke dalam peringkat lima besar Global
dalam Islamic Economic Islamic Economic Index (GIEI) dalam lima
Index global dan tahun ke depan.
nasional • Mencapai kinerja memuaskan dalam indeks
ekonomi dan keuangan syariah nasional
dalam lima tahun ke depan.
3 Peningkatan • Peningkatan kontribusi atau share ekspor
kemandirian ekonomi industri halal terhadap PDB Indonesia
sebesar 100 persen (atau menjadi dua kali
lipat kondisi saat ini) dalam 10 tahun ke
depan
• Peningkatan swasembada pangan dan energi
melalui penurunan share impor industri
strategis tersebut sebesar 25 persen dalam
10 tahun ke depan.
4 Peningkatan indeks • Pengembangan indeks maqasid syariah baik
kesejahteraan nasional maupun global pada tahun 2020
• Peningkatan kesejahteraan dengan
menggunakan ukuran-ukuran tersebut.
Sumber: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (2018)

Capaian peringkat lima besar dalam industri halal global


ditargetkan dicapai pada tahun 2024. Namun berdasarkan publikasi
GIEI 2019 bahwa Indonesia telah masuk pada peringkat lima
besar industri halal global, yang melompat tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya (2014-2017) yang masih berkisar pada peringkat 10.
Lompatan terbesar dialami oleh 3 industri halal, yaitu: keuangan
Islam, halal travel, dan modest fashion. Industri keuangan Islam
berada pada peringkat kelima, sementara halal travel memposisikan
dirinya pada peringkat 4. Industri modest fashion yang sebelumnya
(periode 2014-2017) belum pernah masuk dalam top-ten, namun
pada tahun 2018 menduduki peringkat kedua, dan tahun 2019

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 93


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

peringkat ke tiga. Meskipun ketiga industri tersebut mengalami


lompatan tinggi, namun tiga segmen industri lainnya masih
tertinggal dibanding negara lain, sebagaimana gambar 2 yang
menyajikan indeks daya saing industri makanan halal, farmasi dan
kosmetik halal, serta industri halal media, yang dibandingkan dengan
empat pesaing utama industri halal Indonesia di pasar global yaitu
UEA, Malaysia, Bahrain, dan Sudi Arabia. Industri halal media di
Indonesia memiliki indeks paling rendah dibanding industri sejenis
di negara pesaing. Begitupun halnya dengan industri farmasi dan
kosmetik halal di Indonesia memiliki indeks terendah dibanding
negara pesaing utama. Untuk industri makanan halal, tampak bahwa
Indonesia masih lebih unggul di banding Bahrain.

Sumber: Thomson Reuter (2019), diolah


Gambar 2. Skor Daya Saing Indonesia terhadap pesaing utama pada
Segmen Makakan Halal, Halal Media dan Rekreasi, serta
Farmasi dan Kosmetik Halal Tahun 2019
Lemahnya daya saing ketiga industri tersebut tentunya
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Indonesia memiliki keuntungan
besar dalam biaya rendah industri farmasi dan kosmetik halal
(Ernawati, 2019) yang dapat menjadi kekuatan tumbuhnya industri
farmasi dan kosmetik halal, namun berbagai faktor seperti kondisi
input lain, permintaan, persaingan, maupun industri terkait atau
ekosistem halal perlu saling mendukung. Secara umum, terdapat
beberapa tantangan dalam pengembangan ekonomi syariah
khususnya industri halal di Tanah Air, yaitu: produksi, tata kelola
manajemen dan risiko serta teknologi. Pada sisi lain, regulasi

94 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

industri halal juga belum memadai, lemahnya literasi dan kesadaran


masyarakat serta interlinkage industri halal dan keuangan syariah
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2018).

B. Tantangan Regulasi dalam Industri Halal Indonesia


Regulasi terkait industri halal yang belum memadai menjadi
tantangan dalam pengembangan daya saing halal industri di
Indonesia. Adapun bentuk regulasi yang menjadi pekerjaan rumah
bagi pemerintah secara rinci disajikan sebagaimana tabel 2. Secara
umum, selain pengembangan industri halal masih diperhadapkan
pada persoalan birokrasi dan asymmetric information kerjasama
antara sektor, tantangan yang dihadapi dari aspek regulasi dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu: (1) belum adanya induk
hukum tertinggi terkait segmen halal industri tertentu; (2) Belum
adanya komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya
pendanaan dari lembaga keuangan Islam, serta (3) belum sinerginya
kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan pemerintaah-OJK-BI.
Porter (2000) mengemukakan bahwa kemajuan ekonomi seringkali
digagalkan oleh kelambanan dan kurangnya konsensus tentang
langkah-langkah apa yang diperlukan, sehingga proses perubahan
yang sehat harus melibatkan semua konstituensi kunci dan harus
naik di atas kepentingan administrasi atau pemerintah tertentu
tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat negara bagian
dan kota.
Tabel 2. Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektor
Industri Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektor
Makanan • Kebijakan pemerintah pusat dan daerah masih belum selaras.
• Asymmetric information antar sektor
• Birokrasi kerja sama antar sektor
Keuangan • Berbagai kebijakan/rencana induk pemerintah dan otoritas
Islam terkait belum terintegrasi dan tersinergikan dengan baik.
• Belum ada keselarasan visi dan misi dari regulasi yang
terdapat pada masing-masing master plan/blue print yang
dibuat antar departemen atau regulator.
Travel • Belum terdapat induk hukum tertinggi yang mengatur
(pariwisata) pelaksanaan pariwisata halal di Indonesia
• Belum ada regulasi khusus yang mewajibkan lembaga keuangan
syariah memberikan pembiayaan kepada industri halal

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 95


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Industri Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektor


Modest • Kebijakan pemerintah pusat dan daerah masih belum selaras
Fashion
Farmasi dan • Kebijakan antar kementerian dan lembaga pemerintah masih
Kosmetik belum selaras.
• Belum adanya panduan dan ketentuan untuk infrastruktur
yang dapat menunjang produksi farmasi halal.
• Asymmetric information antar sektor
• Birokrasi kerja sama antar sektor
Sumber: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (2018)

Lemahnya dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan


syariah didorong oleh beberapa permasalahan. Misalnya, pada
industri makanan halal, lembaga keuangan kurang memahami seluk
beluk industri kreatif, pada sisi lain, lembaga pembiayaan masih
membutuhkan jaminan yang tangible, seperti: ijazah, sertifikat, dan
terutama business plan, yang kebanyakan belum bisa dipenuhi oleh
para pelaku usaha (Kementrian Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, 2018). Bagaimanapun juga, lembaga keuangan syariah
memegang prinsip kehati-hatian dalam pengalokasian pembiayaan.

V. PENUTUP
Indonesia menempati peringkat lima dalam daya saing industri
halal global. Meskipun demikian 3 segmen industri, yaitu: makanan
halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetik halal
masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya saing
tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri.
Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari
aspek regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal
yaitu: (1) belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen
halal industri tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah
pusat-daerah; dan pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya
komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya pendanaan
dari lembaga keuangan Islam.

96 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Nafis. (2013). Impact of banking regulation on risk and


efficiency in Islamic banking, Journal of Financial Reporting and
Accounting, Volume 11 Number 1, June.
Alam, Nafis., Zainuddin, Sara Sophia & Rizvi, Syed Aun. (2018).
Ramifications of varying banking regulations on performance of
Islamic Banks. Istanbul Review, Volume 19 Number 1, Mei.
Annabi, Carrie Amani & Wada, Suhayr Mustapha. (2016). Halal
pharmaceutical industry in Nigeria: A bitter pill to swallow.
Journal of Emerging Economies and Islamic Research, Volume 4
Number 1, July.
Aziz, Shahab & Afaq, Zahra. (2018). Adoption of Islamic banking
in Pakistan an empirical investigation. Cogent Business &
Management, Volume 5, November.
Hajipour, Bahman., Gharache, Manizheh., Hamidizadeh , Mohammad
Reza & Mohammadian, Fereshteh. (2015). Raising halal cosmetic
awareness among the respective consumers, International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences,
Volume 5 Number 7, July.
Bodibe, Seipati., Chiliya, Norman & Chikandiwa, Christopher Tarisayi
(2016). The factors affecting customers’ decisions to adopt
Islamic banking, Banks and Bank Systems, Volume 11 Number
4, December.
Buchari, Iman., Rafiki, Ahmad & Al Qassab, Mahmood Abdullah Hadi.
(2015). Awareness and attitudes of employees towards Islamic
banking products in Bahrain, Procedia Economics and Finance,
Volume 30.
Chhapra, Imran Umer., Ahmed, Afzal., Rehan, Raja & Hussain, Farasat.
(2018). Consumer’s preference and awareness: comparative
analysis between conventional and Islamic ijarah auto financing
in Pakistan, Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of
Islamic Economics), Volume 10 Number 2, July.

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 97


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Ernawati (2019). The global competitiveness study of halal


pharmaceuticals and cosmetics industry. Mega Aktiva: Jurnal
Ekonomi dan Manajemen, Volume 8 Number 1, April.
Heremans, D. and Pacces, A.M. (2011). Regulation of banking and
financial markets. SSRN Electronic Journal (online). (https://
www.researchgate.net/publication/228126773_Regulation_of_
Banking_and_Financial_Markets, diakses 15 Oktober 2019)
Islamic Financial Service Board (2018). Stability Report Islamic
Financial Service Industry. Malaysia: IFSB.
Jhamb, Priya. 2016. An application of Porter’s Diamond framework:
A case of sports goods cluster at Jalandhar. Pacific Business
Review International Volume 8 Number 8, February.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2018).
Indonesian Sharia Economics Master Plan 2019-2024. Eds I.
Jakarta: Bapenas.
Kettani, Houssain. (2010). Muslim Population in Asia: 1950 – 2020,
International Journal of Environmental Science and Development,
Volume 1 Number 2, June.
Khattak, Naveed Azeem & Rehman, Kashif-Ur. (2010). Customer
satisfaction and awareness of Islamic banking system in
Pakistan. African Journal of Business Management, Volume 4
Number 5, Mei.
Mohezar, S., Zailani, Suhaiza & Zainuddin, Zainorfarah. (2017).
Halal cosmetics adoption among young Muslim consumers in
Malaysia: Religiosity Concern. GJAT, Volume 6 Number 1, June.
Papilo, Petir & Bantacut, Tajuddin. (2016). Klaster industri sebagai
strategi peningkatan daya saing agroindustri bioenergi berbasis
kelapa sawit. Jurnal Teknik Industri, Voume 11 Number 2, Mei.
Porter, Michael. (2000). Local, competition and economic
development: local cluster in a global economy. Jurnal Economic
Development Quarterly, Volume 14 Number 1, February.
Porter, Michael. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New
York: The Free Press.

98 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Saini, Yvonne., Bick, Geoff & Abdulla, Loonat. (2011). Consumer


awareness and usage of Islamic banking products in South
Africa, SAJEMS NS, Volume 14 Number 3, Agustus.
Smit, A.J. (2010). The competitive advantage of nations: is Porter’s
Diamond framework a new theory that explains the international
competitiveness of countries? Southern African Business Review,
Volume 14 Number 1.
Thomson Reuter. (2019). State of Global Islamic Economy
Report 2019/2020. Thomson Reuters, In Collaboration With
Dinarstandard (online) (https://ceif.iba.edu.pk/pdf/state-of-
global-islamic-economy-report-2019-20.pdf, diakses tanggal 18
Oktober 2019).

Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin 99


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL:
MEWUJUDKAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI
DALAM PROSES LEGISLASI

Yosephus Mainake
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
yosephus.mainake@dpr.go.id
Noverdi Puja Saputra
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
noverdi.saputra@dpr.go.id
Rais Agil Bahtiar
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
rais.bahtiar@dpr.go.id

ABSTRAK
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia. Makauntuk mewujudkan tujuan
tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga
negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok
berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Salah satu bentuk
perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak
bebas dari ancaman dan kekerasan. UUD 1945 telah menekankan hak
ini sebagai salah satu hak konstitusional, namun tidak setiap warga
bebas dari berbagai macam kekerasan terutama kekerasan seksual.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, permasalahan yang diuraikan
disini adalah bagaimana peran DPR terkait dengan Kebijakan Berbasis
Bukti Randangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS), mengarah kepada permasalahan tersebut, pembahasan
pendukung dalam tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya
RUU PKS dan peran DPR. Pendekatan yang digunakan dalam menulis
makalah ini adalah kualitatif dengan metode tinjauan literatur. RUU PKS
dinilai sangat penting. Karena sampai dengansaat ini belum adaregulasi
hukumdi Indonesia yang memberikan jaminan perlindungansecara
spesifikatas kasus kekerasan seksual.Sehingga dapat dikatakan bahwa
RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. DPR sebagai lembaga
yang memiliki fungsi legislasi yaitu pembentuk undang-undang telah

Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 101
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

melakukan pembahasan panjang dengan presiden yang diwakili oleh


kementerian hukum dan ham. Namun saat ini RUU PKS masih ditunda
karena imbas dari ditundanya RKUHP yang memiliki keterkaitan
dengan RUU ini serta gejala politik yang berkembang sampai saat ini.
Sehingga DPR akan kembali melakukan pembahasan, pendalaman dan
pengkajian berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat serta
melakukan harmonisasi mengenai RUU ini agar dapat berjalan dengan
baik dan tidak terjadi tumpang tindih ketentuan dalam penerapannya.
Kata kunci: penghapusan kekerasan seksual; kebijakan berbasis bukti;
legislasi.

I. PENDAHULUAN
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia salah
satunya bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara wajib memberikan
perlindungan kepada seluruh warga negara terutama kelompok
rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus
seperti penyandang disabilitas. salah satu bentuk perlindungan
terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari
ancaman dan kekerasan. Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945) telah menekankan hak ini sebagai salah satu
hak konstitusional, namun tidak setiap warga bebas dari berbagai
macam kekerasan terutama kekerasan seksual. (Moerdijat, 2019).
Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan
dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek
substansi, struktur, dan budaya hukum. RancanganUndang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual) ini merupakan upaya pembaruan
hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. (Khaiya, 2019).
Pembentukan RUU PKS berawal dari Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (selanjutnya disingkat DPD RI) kemudian
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat DPR RI). DPR RI melihat RUU PKS itu sebagai
upaya inisiatif. Draf RUU PKS kemudian diselaraskan oleh Badan
Legislatif DPR lalu diserahkan ke Komisi VIII DPR. Kemudian,pada
tahap inilah RUU PKS mulai bermasalah karena komisi ini mengatur
persoalan norma sehingga hal itu turut memengaruhi penanganan
kasus kekerasan seksual. (Eddyono, 2019).

102 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Pemerintah tidak melihat bahwa RUU PKS ini penting. Kacamata


politik transaksional dalam proses perumusan kebijakan masih
sangat kuat. Proses perumusan undang-undang terkait isu gender
memang tidak pernah lepas dari proses politik. Selalu ada pihak-
pihak yang tidak setuju dengan ide RUU PKS. Hal itu sangat mungkin
terjadi dan bahkan selalu terjadi di setiap pembuatan kebijakan.
Di Indonesia, pemerintah baru akan bergerak apabila ada desakan
massa. Walaupun begitu, desakan yang kuat sering kali berbenturan
dengan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu, gerakan yang
mengusung kebijakaniniharus kuat terorganisir dan senantiasa
mendesak. (Eddyono, 2019).
Berkaitan dengan deskripsi kondisi diatas, permasalahan utama
yang akan diuraikan disini adalah bagaimana peran DPR terkait
dengan Kebijakan Berbasis Bukti RUU PKS, mengarah kepada
permasalahan utama tersebut, pembahasan pendukung dalam
tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya UU PKS dan peran
DPR dankebijakan berbasis buktidalam untuk kinerja legislasi DPR
RI dan daya saing bangsa.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan
sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen
dalam usaha mencapai sasaran. Produk dari analisis kebijakan
ialah nasihat yang dapat berbentuk informasi dalam pengambilan
keputusan (Weimer dan Vining, 2011). Kebijakan memiliki peran
krusial dalam menentukan arah dari suatu organisasi pemerintah
maupun dalam menentukan keputusan yang berdampak lebih
luas bagi kelompok sasaran. Menghasilkan kebijakan publik yang
berkualitas serta mampu menjawab tantangan riil di masyarakat
sudah menjadi tuntutan saat ini. Situasi di mana perumusan
kebijakan hanya berdasarkan kepentingan politik menyebabkan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah malah menyisakan
sejumlah persoalan karena proses penyusunannya tidak didasarkan
pada bukti yang kuat sebagai pondasi dasar yang harus dibangun di
dalam menghasilkan kebijakan publik.

Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 103
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Bukti dalam dunia akademis merupakan suatu keahlian


dan keadilan/ketidakperpihakanyang dipersyaratkan untuk
menghasilkan komoditas yang berharga (precious). Pawson (2006)
mengartikan bukti sebagai pendekatan modern rasional yang dapat
memecahkan masalah dengan fokus pada diagnosis dan pengetahuan
yang akurat dari hubungan sebab akibat. Bukti juga merupakan
aspirasi untuk menghasilkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menyesuaikan secara baik suatu program dan merancang panduan/
arahan guna mengatasi masalah-masalah yang diketahui (Head,
2008). Dengan demikian bukti dapat didefinisikan sebagai suatu
informasi yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan di dalam
pemanfaatannya kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Bukti tidak hanya berasal dari kajian empiris/studi/riset
ilmiah saja, melainkan juga memperluas makna tersebut sebagai
pernyataan/masukan/pendapat dari para ahli/pakar di bidangnya
masing-masing baik yang berasal dari akademisi/perguruan tinggi,
lembaga riset, perusahaan, maupun unit lain yang telah memiliki
keahlian di bidang tertentu. Dari penjelasan-penjelasan di atas,
kebijakan berbasis bukti dapat didefinisikansebagai suatu kebijakan
yang mendasarkan pada bukti (informasi aktual, hasil riset, dan
temuan-temuan lain yang kredibel, terkini, dan jelas) sebagai salah
satu bagian utama dalam proses pembuatan kebijakan dan menjadi
input yang berharga bagi para pembuat kebijakan (Asmaradan
Handoyo, 2015).

III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam mempersiapkan artikel ilmiah ini
adalah tinjauan literatur. Tinjauan literatur yang relevan dengan judul
tulisan ini adalah pada buku-buku teknis, jurnal ilmiah, media massa,
dan dokumen studi atau lembaga survei yang sudah ada. Atas dasar
teori, data dan studi sebelumnya dikompilasi dengan logika deduktif
untuk menjelaskan masalah yang menjadi studi makalah ini.

IV. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Posisi perempuan dalam kehidupan sosial ternyata belum
sejajar dengan laki-laki meskipun upaya ke arah itu telah lama dan

104 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

terus dilakukan. Kekuatan faktor sosial, kultural dan institusional


yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki
menjadi penyebab pokok kenyataan itu. Analisis gender selalu
menemukan bahwa sebagian perempuan mengalami subordinasi,
marginalisasi, dominasi, dan bahkan kekerasan.Hasil penelitian di
empat propinsi menunjukkan bahwa sekitar 90 persen perempuan
pernah mengalami kekerasan di wilayah publik. Lebih lanjut
disebutkan bahwa di rumah sendiri pun perempuan tidak bebas
dari kekerasan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan
adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual sering disamakan
dengan pelecehan seksual. Dari perspektif perempuan sebagai
korban, keduanya memang tidak berbeda. (Sri Kurnianingsih,2003).
Kekerasan seksual pada saat ini menjadi salah satu isu
hangat yang dianggap penting sebagian kalangan. Bahkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat draft Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga sampai dengan saat ini
masih ditunda pengesahannya. Banyaknya kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan dianggap oleh banyak pihak bahwa saat ini
Indonesia mengalami darurat perlindungan seksual.

Sumber: https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunan
Gambar 1. Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dari Tahun 2017-2018

Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 105
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa tren mengenai kenaikan
kasus kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi di setiap tahun.
Hanya pada tahun 2010 dan tahun 2016 mengalami penurunan
jumlah kasus. Namun pada tahun berikutnya terjadi kembali
peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
menunjukan bahwa tingkat kekerasan di Indonesia masih sangat
tinggi dan mengkhawatirkan.
Melihat data diatas, bahwa kekerasan terhadap perempuan
selalu meningkat maka Undang-undang penghapusan kekerasan
seksual dinilai penting.RUU PKS ini dibentuk atas dasar belum
adanya regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan
perlindungan secara spesifik atas kasus kekerasan seksual. RUU
PKS ini merespon darurat kekerasan seksual dan memperbaiki
penanganannya agar lebih manusiawi dan bermartabat (yang
menjadi prinsip universal seluruh agama). (fh,unpad.ac.id, 2019)
Di dalam Hukum Pidana terdapat asas “Lex Specialis Derograt
Legi Generali” yang berarti aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum umum. Menurut Menurut Bagir
Manan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
asas tersebut, yaitu: (Bagir Manan, 2004)
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan  lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan
hukum keperdataan.
RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. Karena RUU PKS
mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang belum seluruhnya
terdapat didalam KUHP. Selain itu RUU PKS merumuskan pula
macam-macam pemidanaan sebagai suatu pidana pokok atuapun
tambahan yang bisa dibilang berbeda dengan yang terdapat
didalam KUHP. RUU PKS tidak memasukan denda sebagai suatu
ancaman pidana, karena denda yang dibayarkan tersebut pasti akan

106 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

masuk kedalam kas negara dan tidak berimplikasi terhadap korban


dari kekerasan seksual. Selain itu RUU PKS ini memperkenalkan
rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasana seksual
tertentu. Pidana tambahan dalam RUU PKS ini pun dijatuhkan sesuai
dengan perbuatannya, contohnya saja pidana tambahan perampasan
keuntungan yang didapat dari suatu tindak pidana, kerja sosial,
pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik,
pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan
profesi atau jabatan dan pengumuman putusan hakim.

B. Peran DPR Dalam Proses Pembentukan RUU PKS


Dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen,
menyebutkan bahwa:
a) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang;
b) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama;
c) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan
persetujuan bersama, rancangan undang-undang tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
Peran DPR dalam pembentukan suatu undang-undang amat
penting karena merupakan suatu bentuk perwujudan salah satu fungsi
yang dimiliki oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang yaitu Fungsi Legislasi. Dalam hal ini Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Ham
telah melakukan pembahasan bersama sejak lama. Namun belum
mendapatkan persetujuan bersama karena dampak dari penundaan
RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Kekerasan Seksual. Sehingga diperlukan pengkajian
kembali dalam perumusannya yang harus terlebih dahulu melihat
perubahan-perubahan apa saja yang terdapat didalam RKUHP sehingga
nantinya diharapkan Undang-undang ini dapat berjalan dengan baik
dan tidak mendapatkan penolakan dari semua kalangan. DPR pula
akan kembali melakukan harmonisasi terhadap ketentuan ketentuan
yang terdapat didalam RUU PKS sehingga tidak terjadinya tumpang

Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 107
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

tindih antara suatu ketentuan yang terdapat didalam undang-undang


ini dengan undang-undang lainnya.

V. PENUTUP
RUU PKS dibentuk untuk merespon darurat kekerasan seksual
yang terjadi di Indonesia dan memperbaiki penanganannya agar
lebih manusiawi dan bermartabat. RUU PKS dinilai sangat penting.
Karena sampai dengan saat ini belum ada regulasi hukum di
Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik
atas kasus kekerasan seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa RUU
PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP.
DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi yaitu
pembentuk undang-undang telah melakukan pembahasan panjang
dengan presiden yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Namun saat ini, RUU PKS masih ditunda karena imbas
dari ditundanya RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan RUU ini
serta gejala politik yang berkembang sampai saat ini. Sehingga DPR
akan kembali melakukan pembahasan, pendalaman dan pengkajian
berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat serta melakukan
harmonisasi mengenai RUU ini agar dapat berjalan dengan baik dan
tidak terjadi tumpang tindih ketentuan dalam penerapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A.Y. dan Handoyo, S. (2015). Pembuatan Kebijakan Berbasis


Bukti: Studi Pada Proses Pembuatankebijakan Standardisasi Alat
Dan Mesin Pertanian Di Indonesia. STI Policy and Management
Journal, 13 (1), hal. 43-64.
Eddyono, Sri Wiyanti. (2019). RUU PKS penting untuk hukum yang
berprespektif korban, (online), (http://www.balairungpress.
com/2019/02/sri-wiyanti-eddyono-ruu-pks-penting-untuk-
hukum-yang-berperspektif-korban/, diakses pada tanggal 12
November 2019).

108 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. (2017). Mendorong


rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan
seksual, (online), (http://www.dpr.go.id/doksetjen/
dokumen/minangwan-Seminar-Indonesia-Darurat-
Kekerasan-Seksual-Mendorong-rancangan-Undang-Undang-
Tentang-Penghapusan-Kekerasan-Seksual-1494216994.
pdf#page=1&zoom=auto,-100,938, diakses pada tanggal 12
November 2019).
Kurnianingsih, Sri. (2003). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan
Di Tempat Kerja. Jurnal Buletin Psikolog, Vol. XI, No. 2.
Komnas Perempuan. (2018). Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen
Negara, dalam Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
2018.
Lestari Moerdijat, M. Lestari. (2019). Latar Belakang Penghapusan
Kekerasan Seksual. (online), (http://lestarimoerdijat.com/
berita/page/43/, diakses pada tanggal 12 November 2019).
Manan, Bagir. (2004). Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII
Press.
(2019). Polemik RUU PKS dan perlunya nalar kritis, (online),
(https://news.detik.com/kolom/d-4415917/polemik-ruu-pks-
dan-perlunya-nalar-kritis, diakses pada tanggal 14 November
2019).
(2019). Dilema RUU PKS: hak asasi manusia dan gejolak masyarakat,
(online), (http://fh.unpad.ac.id/dilema-ruu-pks-hak-asasi-
manusia-dan-gejolak-masyarakat/, diakses tanggal 11
November 2019).

Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 109
Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

PERANCANGAN PRODUK LEGISLASI BERBASIS


SOFT SYSTEM METHODOLOGY

Adi Asmariadi Budi


Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung,
adi.asmariadi@gmail.com
Dian Sera Fauzela
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung,
tamajunio@gmail.com

ABSTRAK
Perancangan suatu produk legislasi berupa Undang-Undang yang
diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai aktor utamanya
saat ini telah dianggap konvensional jika dilihat dari perkembangan
zaman yang terjadi saat ini. Revolusi digital yang masif menggerus
segala lini telah memaksa berbagai sektor untuk berubah. Demikian pula
halnya dengan pola pemerintahan, khususnya lembaga legislasi yang
memiliki wewenang membentuk undang-undang juga perlu merubah
pola pembentukan produk legislasi. Konsep Soft System Methodology
(SSM) yang mulai muncul secara ilmiah sebagai konsep baru dalam
perancangan suatu kebijakan dapat menjadi model baru untuk
digunakan dalam perancangan produk legislasi. Penelitian ini bertujuan
untuk membangun rancangan model konsep perancangan produk
legislasi yang berbasiskan pada konsep SSM melalui metode penelusuran
pustaka. Penyandingan dan modifikasi pola pembentukan produk
legislasi yang digunakan saat ini dengan konsep SSM menghasilkan
suatu model konsep baru yang dapat digunakan dalam perancangan
undang-undang. Model konsep tersebut diharapkan mampu menjadi
pola baru dalam penyusunan produk legislasi secara lebih optimal
karena kemampuannya dalam berpikir secara sistem.
Kata kunci: perancangan; produk legislasi; evidence based policy; soft
system methodology

I. PENDAHULUAN
Undang-undang didefinisikan sebagai produk hukum yang
dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
dari Presiden (UU Nomor 12 Tahun 2011). Undang-undang berisi

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 111


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

kumpulan-kumpulan aturan yang mengatur permasalahan di antara


pemerintah dan masyarakat. Kehadiran undang-undang sebagai
produk hukum menjadi hal yang penting mengingat bahwasanya
setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
harus sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku untuk memudahkan
setiap hal yang akan dilakukan.
Pentingnya keberadaan undang-undang untuk mengatur
hubungan antara pemerintah dan masyarakat menyebabkan jumlah
undang-undang yang dibuat oleh DPR seharusnya menjadi lebih
banyak. Hal ini untuk memudahkan setiap proses dalam hubungan
antara pemerintah dan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya,
jumlah undang-undang yang dihasilkan oleh DPR tidak sesuai
dengan harapan masyarakat. Jumlah undang-undang yang
dihasilkan masih minim. Pada masa pemerintahan DPR 2014-2019
menjadi masa yang terburuk setelah era reformasi. Pemerintahan
DPR lebih banyak mengesahkan undang-undang yang tidak masuk
dalam dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas
sendiri didefinisikan menjadi pedoman dan pengendali penyusunan
peraturan perundang-undangan. Prolegnas merupakan instrumen
perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat
pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka
Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu
dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam
rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan
amanat konstitusi.
Pada kurun waktu 2014-2019 jumlah Rancangan Undang-
Undang (RUU) yang disahkan sekitar 84 undang-undang atau setara
dengan 67% dari capaian DPR periode sebelumnya. Pada periode
sebelumnya jumlah undang-undang yang dihasilkan adalah 125
undang-undang. Selain masalah kuantitas, masalah kualitas juga
menjadi hal yang penting. Kualitas undang-undang yang dihasilkan
oleh DPR seringkali dipertanyakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat
dari banyaknya gugatan yang disampaikan oleh masyarakat ke
Mahkamah Konstitusi, bahkan terdapat undang-undang yang
harus melewati proses tiga kali revisi. Kenyataan ini memberikan
gambaran bahwasanya DPR tidak fokus dalam menghasilkan RUU
sesuai dengan target Prolegnas.

112 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


(APBN) berusaha untuk memberi dukungan lewat keberadaan
anggaran. Pemerintah setiap tahunnya dalam kurun waktu 2015-
2019 terus meningkatkan jumlah anggaran untuk DPR. Hal ini
terlihat dalam anggaran tahun 2015 sebesar 3,6 triliun dan menjadi
4,6 triliun pada tahun 2019. Masalah peningkatan anggaran ini
seharusnya diikuti dengan peningkatan kuantitas serta kualitas
undang-undang yang dihasilkan. Banyaknya jumlah anggaran
yang telah disiapkan oleh DPR dalam pembuatan undang-undang
memberikan harapan besar terhadap masyarakat untuk hasil
produk hukum yang lebih baik.
Proses pembentukan undang-undang sendiri telah dilegalkan
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian
dirubah melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Mekanisme
pembentukan undang-undang yang tergambarkan dalam regulasi
tersebut masih sangat konvensional dengan menggunakan tahapan-
tahapan yang dapat dikatakan biasa (business as usual). Padahal
jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, revolusi digital tidak
hanya mengobrak-abrik sektor industri atau swasta, namun juga
akan berdampak pada sektor-sektor lain termasuk pemerintahan.
Ada beberapa konsep atau metode perancangan kebijakan baru
yang mulai muncul saat ini, di antaranya Kebijakan Berbasis Bukti
(evidence based policy) dan juga Metode Sistem Lunak (Soft System
Methodology). Konsep Soft System Methodology (SSM) menjadi
menarik untuk dibahas dalam riset ini karena kemampuannya
untuk dapat melihat masalah secara nyata dan secara sistem (real
world and systems thinking). Apakah konsep SSM dapat digunakan
untuk perancangan produk legislasi? Hal ini menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model
perancangan produk legislasi berbasis konsep SSM. Konsep SSM yang
biasa digunakan dalam riset ilmiah untuk perancangan kebijakan ini
disandingkan untuk digunakan dalam proses perancangan produk
legislasi. Lingkup penelitian ini dibatasi pada perancangan model
konsep melalui penelusuran dan peninjauan pustaka.

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 113


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Perancangan Undang-Undang Saat Ini (Existing)
Peraturan perundang-undangan didefinisikan oleh Manan
(1987, 13) sebagai “Setiap putusan tertulis yang dibuat,
ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat Negara
yang mempunyai fungsi legislatif sesuai tata cara yang berlaku”.
Pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup pada
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau
penetapan pengundangan. Sesuai Pasal 1 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-
Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden.
Proses perancangan kebijakan berupa undang-undang secara
garis besar diatur dalam UUD 1945. Pada Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 dinyatakan bahwa (1) DPR memegang kekuasaan untuk
membentuk Undang-Undang (UU); (2) Setiap RUU dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat memperoleh persetujuan bersama;
(3) Apabila RUU tidak memperoleh persetujuan bersama, maka
RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4)
Presiden mengesahkan RUU yang telah disepakati menjadi Undang-
Undang; (5). Apabila RUU tidak disahkan oleh Presiden dalam kurun
waktu 30 hari setelah RUU tersebut disepakati, maka RUU tersebut
sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Secara garis
besar tahapan pembentukan undang-undang sebagai berikut:
a. Tahapan Perencanaan Undang-Undang
Tahapan ini berisi kegiatan DPR dan Presiden dalam hal
menyusun daftar RUU yang akan disusun. Proses ini dikenal
dengan penyusunan Prolegnas. Hasil akhirnya berupa Prolegnas
tahunan dan Prolegnas jangka menengah. Selain berasal dari
Prolegnas, DPR ataupun Presiden juga dapat mengajukan RUU
diluar Prolegnas.
b. Tahapan Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Tahapan ini merupakan tahap persiapan sebelum sebelum RUU
dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Dengan tahapan
sebagai berikut :
• Penyusunan rancangan undang-undang.
• Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konseptual

114 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

• Pembuatan naskah akademik


c. Tahapan Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Tahapan ini dibagi atas 2 tingkatan pembicaraan. Tingkat
1 adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, dan sejenisnya. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam
rapat paripurna.
d. Tahapan Pengesahan Undang-Undang
Berdasarkan Pasal 72 UU Nomor 12 Tahun 2011, penyampaian
RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
tanggal persetujuan yang dilakukan bersama. Setelah menerima
RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat
Negara akan menuliskannya dalam kertas kepresidenan dan
akhirnya dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi
UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama tersebut
dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut
disetujui oleh DPR dan Presiden.

B. Evidence Based Policy


Kebijakan didefinisikan sebagai pernyataan umum tentang
suatu tujuan, sasaran, dan kriteria untuk memilih beberapa
alternatif dan memberi pengarahan (Handoyo, 2009). Kebijakan
memiliki peranan yang penting, mengingat dampak yang diperoleh
akibat diputuskannya suatu kebijakan. Oleh karena itu, setiap
kebijakan yang disusun harus memerhatikan banyak aspek dalam
pengambilan keputusannya. Keputusan yang telah tertuang dalam
kebijakan akan lebih baik jika disertakan bukti yang mendukung.
Bukti didefinisikan sebagai pendekatan modern rasional yang
dapat memecahkan masalah dengan fokus pada diagnosis dan
pengetahuan yang akurat dari hubungan sebab akibat (Head, 2008).
Sehingga bukti dinyatakan sebagai informasi yang memiliki tingkat
ketepatan dan kepercayaan yang tinggi.
Istilah evidence based policy (kebijakan berbasis bukti) pada
awalnya muncul di Inggris pada tahun 1997 yang awalnya disuarakan
oleh Perdana Menteri Inggris yaitu Tonny Blair “Evidence-based
where vested interests sprawl, and the central issue is the compass
and generalizability of research findings” (Parson, 2006). Kebijakan

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 115


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

berbasis bukti merupakan program-program kebijakan yang berjalan


efektif apabila diikuti hasil-hasil evaluasi yang tepat. Selanjutnya
Sundari (2007) memberikan tiga cara bagaimana menerjemahkan
bukti menjadi suatu kebijakan, yaitu (1) identifikasi kebutuhan
termasuk informasi tentang pemanfaatan untuk kebijakan; (2)
merancang dan melaksanakan strategi penelitian yang tepat dan
sesuai kebutuhan; serta (3) melakukan diseminasi informasi yang
bermanfaat.
Perkembangan kebijakan dari waktu ke waktu menuntut
keberadaan bukti untuk melengkapi perubahan kebijakan. Secara
spesifik Turner (2013) menyatakan bahwa bukti diperlukan oleh
pembuat kebijakan dalam rangka:
a. membantu mereka untuk mendiagnosa masalah dan sebab-
sebab pokok;
b. mendesain opsi kebijakan dan akses yang mungkin bagi
pemberian alternatif lain;
c. menunjukkan dan mengevaluasi dampak dari modal dan
program baru;
d. memonitor implementasi program, mengukur biaya dan kinerja
dan sensitivitas mereka ke setting berbeda; serta
e. mengevaluasi dampak jangka panjang dan biaya keefektifan
program-program yang ada.
Pada kebijakan berbasis bukti diartikan sebagai suatu
kebijakan yang mendasarkan pada bukti (informasi aktual, hasil
riset, dan temuan-temuan lain yang sangat kredibel, terkini, dan
jelas manfaatnya) sebagai salah satu bagian utama dalam proses
pembuatan kebijakan dan menjadi input yang sangat berharga bagi
para pembuat kebijakan (Asmara & Handoyo, 2015).

C. Soft System Methodology


Sebagaimana evidence based policy, Soft System Methodology
(SSM) merupakan metode penelitian dengan pendekatan soft system
atau berpikir secara terstruktur dalam melihat permasalahan
kompleks. Konsep SSM dikembangkan dari konsep systems
engineering dalam menyelesaikan masalah-masalah teknik yang
kompleks (Checkland, 1989). Cara berpikir engineering adalah cara
berpikir secara teleological, yaitu berpikir dengan menentukan

116 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

tujuan akhir yang akan dicapai kemudian berbalik ke belakang


untuk menemukan cara atau solusi untuk mewujudkan tujuan akhir
tersebut. Konsep systems engineering kemudian dikembangkan oleh
Peter Checkland sebagai konsep untuk menganalisis sistem sosial.
Untuk membedakan antara sistem engineering dengan sistem sosial,
kemudian cara berpikir untuk sistem sosial dinamakanlah dengan
soft systems thinking, dimana untuk sistem engineering dinamakan
dengan hard systems thinking. SSM memiliki kemiripan dengan
evidence based policy dalam hal perancangan sebuah kebijakan.
Pendekatan SSM ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan
melalui sudut pandangnya dalam melihat permasalahan kompleks
(Novani, S., et.al., 2014). Dalam pelaksanaan penelitian tindakan
(action research), SSM sangat tepat digunakan sebagai alat dalam
metode pelaksanaannya (Rose, J., 1997). SSM dalam tahapan
pelaksanaannya terdiri dari tujuh tahap proses (Wilson, 1984 dalam
Novani, S., et.al., 2014):
• Tahap 1: permasalahan belum terstruktur
• Tahap 2: kondisi permasalahan sudah tergambarkan
• Tahap 3: membangun akar definisi dari sistem
• Tahap 4: membangun model konsep
• Tahap 5 & 6: kembali ke dunia nyata dan definisikan perubahan
yang akan diterapkan
• Tahap 7: tindakan untuk menyelesaikan atau memperbaiki
masalah

Sumber: Checkland, 1981 dalam Rose, J., 1997.


Gambar 1. Tahapan Proses dalam SSM

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 117


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Novani, S., et.al., (2014) dalam makalahnya menerapkan SSM


pada klaster industri batik di Kota Solo. Berikut adalah tahapan
penerapan SSM tersebut:
• Tahap 1: mengambil data melalui wawancara kepada para
pelaku usaha batik
• Tahap 2: menggambarkan permasalahan-permasalahan dalam
rich picture
• Tahap 3: pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan analisis
CATWOE
• Tahap 4: membangun model konsep dalam penerapan
perubahan
• Tahap 5 & 6: membangun saran pengembangan/penyelesaian
masalah
• Tahap 7: berupa rekomendasi untuk tindakan yang perlu
dilakukan
Analisis CATWOE merupakan analisis untuk mengetahui
dampak perubahan apa yang dapat diterapkan dalam suatu sistem.
CATWOE merupakan singkatan dari Clients, Actors, Transformations,
Worldviews, dan Environmental constraints (Mills-Packo, P., et.al.,
1991).

III. METODOLOGI
Penelusuran dan peninjauan terhadap pustaka menjadi basis
metode dalam pelaksanaan riset ini. Tiga elemen pustaka utama
yaitu proses perancangan undang-undang yang digunakan saat
ini, konsep evidence based policy, dan konsep SSM dieksplorasi
dalam upaya untuk mendapatkan rancangan model baru dalam
proses perancangan suatu produk legislasi. Pembangunan model
konsep atau konstruksi baru dalam perancangan produk legislasi
menjadi tujuan utama dalam riset ini melalui proses penyandingan,
penyesuaian, dan modifikasi konsep.

IV. PEMBAHASAN
Berdasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan
juga perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019,
pembentukan suatu produk undang-undang dilakukan melalui
beberapa tahapan proses. Rangkuman tahapan tersebut dalam riset

118 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

ini digambarkan melalui sebuah diagram alir sebagaimana Gambar


2 dengan tujuan untuk mengetahui struktur atau pola perancangan
suatu undang-undang.

Gambar 2. Pola Perancangan Produk Legislasi yang Digunakan Saat Ini


Struktur perancangan produk legislasi yang digunakan saat
ini tersebut menjadi sandingan dalam perancangan model konsep
perancangan produk legislasi yang berbasiskan pada konsep SSM.
Tahap-tahap dalam konsep SSM sebagaimana tergambarkan dalam
Gambar 1 kemudian disandingkan dengan struktur perancangan
produk legislasi saat ini, dan juga disandingkan pula dengan konsep

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 119


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

evidence based policy. Merujuk pada pola perancangan undang-


undang existing, maka tahapan penyusunan undang-undang tersebut
dijadikan sebagai pola rujukan dalam proses penyandingan dengan
konsep evidence based policy maupung SSM. Berikut ini adalah
proses penyandingan tersebut:
1. Penyusunan RUU
Tahap ini merupakan proses pengumpulan aspirasi dalam
menetapkan rancangan produk legislasi.
Proses penyandingan:
a. konsep evidence based policy pada dasarnya dapat
diterapkan pada tahapan ini dalam upaya untuk menyerap,
menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat.
b. Tahapan awal pada konsep SSM digunakan dalam proses
perancangan RUU, yaitu pada SSM tahap 1 sampai 3:
• Tahap 1 (situation considered problematic): tahap ini
berguna dalam proses pengumpulan masalah-masalah
yang terjadi namun masalah tersebut masih sangat
acak.
• Tahap 2 (problem situation expressed): dalam tahap ini,
masalah-masalah yang acak sudah mulai tergambarkan
dalam rich picture yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk penyusunan RUU.
• Tahap 3 (root definition of relevant systems): disinilah
proses pembangunan akar definisi dari sistem
dilakukan, dan dalam penerapannya untuk rancangan
produk legislasi, tahap ini merupakan awalan dalam
penyusunan suatu RUU yang berbasis masalah maupun
bukti.

2. Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konseptual


Tahap ini proses pembangunan atau pembentukan konsep
RUU dilakukan dengan keluaran yang dihasilkan berupa naskah
akademik.
Proses penyandingan:
Konsep tahap 4 dari SSM (conceptual models of systems described
in root definitions) digunakan dalam tahap ini, yaitu membangun
model konsep dengan berdasar dari akar definisi dari sistem.

120 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Pada penyusunan RUU, tahap ini dilakukan untuk membangun


model konsep RUU.

3. Pembuatan naskah akademik


Naskah akademik merupakan bagian dari usulan RUU sebelum
dibahas oleh legislatif dan eksekutif.
Proses penyandingan:
Jika disandingkan dengan konsep SSM, tahapan ini dikategorikan
ke dalam bagian dari tahap 4 SSM yaitu proses pembangunan
model konsep namun sudah dalam bentuk naskah akademik.

4. Pembahasan RUU
Proses pembahsan RUU dilakukan oleh legislatif bersama
eksekutif dengan pembagian pada pembicaraan tingkat I sampai
tingkat II.
Proses penyandingan:
a. Tahap 5 hingga 7 dari SSM dapat disandingkan ke dalam proses
pembicaraan tingkat I, yaitu:
• Tahap 5 SSM (comparison of models and real world), yaitu
melakukan validasi model konsep dengan kondisi nyata,
yang dalam hal ini proses validasi dilakukan melalui
pembicaraan oleh DPR maupun presiden atau yang
mewakili.
• Tahap 6 SSM (changes: systematically desireable, culturally
feasible), di tahap inilah perbaikan model konsep dilakukan
dengan merujuk pada masukan-masukan yang diberikan
pada tahap validasi model (tahap 5 SSM).
• Tahap 7 SSM (Action to improve the problem situation),
rencana-rencana aksi untuk mengeksekusi model dilakukan
pada tahap ini, dalam perancangan RUU dapat dimodifikasi
melalui pola uji publik. Proses ini merupakan proses transisi
sebelum masuk ke tahap pembicaraan tingkat II.
b. Pembicaraan tingkat II merupakan tahap penentuan persetujuan
atau penolakan dari suatu RUU, di tahap inilah hasil keluaran
dari tahap 7 SSM dalam hal ini hasil uji publik dari model konsep
akan dibahas untuk ditentukan proses persetujuannya.

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 121


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

5. Pengesahan Undang-Undang (UU)


Pengesahan UU dilakukan setelah RUU mendapat persetujuan
dari DPR bersama Presiden.
Penyandingan tersebut menghasilkan sebuah model konsep
baru yang merupakan hasil modifikasi dari pola perancangan
produk legislasi existing sebagaimana tergambarkan dalam Gambar
3 yang merupakan kombinasi antara konsep evidence based policy
dengan konsep SSM untuk perancangan suatu produk legislasi.
Penyerapan, penghimpunan, dan
Pembangunan model konsep
penampungan aspirasi
berdasar transformasi sistem
masyarakat

Penentuan dan pemahaman Validasi model konsep dengan


situasi masalah kondisi nyata

Penggambaran situasi masalah Perumusan tindak perbaikan,


(akar masalah tergambarkan) penyempurnaan, dan perubahan

Transformasi sistem berdasar


Proses simulasi atau uji coba
gambaran situasi masalah

Gambar 3. Model Konsep Perancangan Produk Legislasi Berbasis SSM

V. PENUTUP
Penyandingan diagram alir proses perancangan produk legislasi
dengan konsep SSM menghasilkan suatu model konsep baru dalam
perancangan suatu produk legislasi yang dapat dilakukan oleh DPR
sebagai institusi yang menyelenggarakan pembentukan undang-
undang. Modifikasi konsep berpikir secara sistem dalam SSM dan
juga konsep evidence based policy telah berhasil dibentuk untuk
proses perancangan suatu produk legislasi. Model konsep ini
diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses perancangan
produk legislasi maupun juga bagi penelitian selanjutnya untuk
diujicoba pada skala lebih lanjut. Penelitian lanjut tentunya sangat
diperlukan guna menguji model baru ini agar dapat layak digunakan
untuk perancangan produk legislasi.

122 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A. Y. & S. Handoyo. (2015). Pembuatan Kebijakan Berbasis


Bukti: Studi pada Oroses Pembuatan Kebijakan Standardisasi
Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia. STI Policy and
Management Journal, Vol. 13, No. 1.
Checkland, P. B. (1989). Soft Systems Methodology. Human Systems
Management, Vol. 8, No. 4.
Dalimunthe, D. (2017). Proses Pembentukan Undang-Undang
Menurut UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Jurnal Yurisprudentia, Vol. 3, No. 1, Juni.
Handoyo, S. (2009). Analisis Kebijakan Inovasi Bagi Pengembangan
Bioteknologi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Head, B. W. (2008). Research and Evaluation: Three Lenses
of Evidence-Based Policy. The Australian Journal of Public
Administration, Vol. 67, No. 1.
Manan, B. (1987). Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam
Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Armico.
Mills-Packo, P., et.al. (1991). Highlights from the Use of the Soft
Systems Methodology to Improve Agrotechnology Transfer in
Kona, Hawaii. Agricultural Systems, Elsevier, Vol. 36, No. 4.
Novani, S., et.al., (2014). An Application of Soft System Methodology
in Batik Industrial Cluster Solo by using Service System Science
Perspective. Procedia Social and Behavioral Sciences, Vol. 115, No. 1.
Parson, R. (2006). Evidence Based Policy: A Realist Perspective.
London-UK: Sage.
Rose, J. (1997). Soft Systems Methodology as a Social Science
Research Tool. Behavioral Science, DOI: 10.1002/(SICI)1099-
1743(199707/08)14:43.0.CO;2-S.
Sundari, S. (2007). Menerjemahkan Hasil Penelitian Ke Dalam
Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan. Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 35, No. 4.

Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela 123


Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Turner, M. A. (2013). Evidence-Based Policymaking Requires A


Portfolio Of Tools. Testimony Submitted or the Record to the
Subcommittee on Human Resources Committee on Ways and
Means United States House of Representatives July 17, 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183.

124 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA


MELALUI BADAN USAHA MILIK DESA GUNA
MENGHADAPI INDUSTRI 4.0. BERDASARKAN
PERSPEKTIF TEORI KEADILAN BERMARTABAT

Rizky P.P. Karo Karo


Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
rizky.karokaro@uph.edu
Debora Pasaribu
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
debora.pasaribu@uph.edu
Agrippina Ngadiman
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
agrippinangadiman27@gmail.com

ABSTRAK
Desa adalah satuan negara terkecil dan ujung tombak untuk kemajuan
bangsa Indonesia. Dalam rangka melakukan pengembangan dan
pembangunan desa, masyarakat desa harus mengikuti perkembangan
industri 4.0. untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing bangsa
yang kuat. Cara tersebut dengan membentuk “Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes)”. Bumdes sudah diatur dengan baik melalui “Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan
dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa”. Bumdes
dibentuk berdasarkan Peraturan Desa untuk kemakmuran masyarakat
desa. Rumusan masalah yang diangkat pada penulisan kali ini berawal
dari data yang menunjukkan masih banyaknya desa yang tertinggal, yang
sebenarnya memiliki potensi untuk memajukan daya saing bangsa. Metode
yang digunakan adalah yuridis normatif, menganalisis menggunakan
data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa jurnal, tulisan
ilmiah dan bahan hukum tersier berupa kamus. Hasil penelitian adalah
Bumdes memiliki urgensi tinggi untuk segera dibentuk, Bumdes memiliki
manfaat untuk menyejahterakan masyarakat desa. Namun, beberapa
perangkat desa di Indonesia tidak memiliki pengetahuan hukum terkait
penyusunan Peraturan Desa tentang Bumdes. Saran peneliti adalah

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 125


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

DPR harus lebih giat dan rutin lagi masuk desa bersama stakeholders
terkait untuk berkontribusi menyusun Bumdes dan memberi pelatihan
bagi para pengurus Bumdes, membuat dan mensosialisasikan peraturan
terkait dalam rangka mengefektifkan dan pembangunan Bumdes
dengan prinsip keadilan bermartabat sesuai dengan kebijakan berbasis
bukti dalam meningkatkan daya saing bangsa.
kata kunci: desa; Bumdes; Perdes; pemberdayaan masyarakat;
keadilan bermartabat

I. PENDAHULUAN
Penulisan karya ilmiah ini berangkat dari telah terlaksananya
kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan (FH UPH) yang didukung oleh Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM UPH) dengan judul
kegiatan “Pelatihan Pembuatan Peraturan Desa di Desa Surya Bahari,
Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang, Prov. Banten” pada 19 Maret 2019.
Adapun hasil kegiatan PkM adalah mensosialisasikan pentingnya
dan teknis singkat dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dan
manfaat serta legalitas Bumdes bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Desa adalah satuan terkecil bangsa Indonesia. Menurut Soetardjo
Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum dimana
bermukim suatu masyarakat yang berkuasa dan masyarakat tersebut
mengadakan pemerintah sendiri (Kartohadikoesoemo,1984).
Payung hukum yang mengatur mengenai desa sudah disusun
dengan sangat baik dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (UU Desa). Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Desa,
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/
atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 1 Angka
2 UU Desa menyebutkan, “Suatu desa memiliki pemerintahan desa
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades)”. Pasal
1 Angka 3 UU Desa, didefinisikan Pemerintah Desa adalah “Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa

126 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa”. Selain Kades,


dalam suatu desa memiliki “Badan Permusyawaratan Desa (BPD)”.
Pasal 1 Angka 4 UU Desa mendefinisikan “BPD adalah lembaga yang
melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan
wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis”.
Suatu desa memiliki karakteristik tertentu dan keunikan.
Keunikan itu tercipta baik karena kondisi geografis desa, sejarah
desa, dan hasil alam suatu desa. Keunikan desa tersebut seyogyanya
dimanfaatkan oleh masyarakat desa (masyarakat). Desa yang terus
berkembang maju akan membuat masyarakat untuk tetap tinggal
sehingga mengurangi tingkat urbanisasi, yang artinya beban di
kota-kota besar akan berkurang. Selain itu hasil dari pemanfaatan
sumber daya yang ada di desa dapat menjadi produk yang memenuhi
kebutuhan rumah tangga Indonesia dan bahkan dapat menghasilkan
sebuah produk yang memiliki daya saing tingkat internasional
sehingga turut serta dalam meningkatkan daya saing bangsa. Sebagai
contoh, kualitas produk lokal juga tidak kalah dibandingkan dengan
kualitas produk luar negeri, salah satunya adalah kasus menarik
yang belum lama terjadi dimana tas lokal berbahan kulit dan goni
dengan label “Roro Kennes” asal Semarang karya desainer lokal
Syanaz Nadya Winanto Putri yang ditahan petugas bandara Rusia
karena dianggap setara dengan merk branded (Erwanti, 9 Agustus,
2019). Selain itu juga seharusnya setiap desa dapat mengembangkan
potensi desanya melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Bumdes sudah diatur dengan baik dalam Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan
dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Saat ini
terdapat banyak Bumdes yang sudah berhasil salah satunya seperti
Bumdes “Karya Jaya Abadi (KJA) yang berhasil mengukuhkan diri
sebagai Bumdes paling kreatif tingkat nasional”. Alasannya karena
Bumdes KJA ini dinilai aktif, inovatif, serta memiliki langkah yang
cukup berani dalam memajukan perekonomian masyarakat desa
setempat. Bumdes KJA memposisikan diri sebagai pembeli sawit dari
warga secara langsung. Hasilnya, masyarakat desa yang sebagian
besar warganya hidup dari kelapa sawit menjadi lebih sejahtera
lantaran tidak lagi dilindas tengkulak sawit yang masih merajalela

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 127


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

(Belajar, 9 Oktober, 2018). Hal ini perlu dicontoh oleh desa-desa


lainnya dengan mengutamakan potensi usaha ekonomi desa.
Namun, sangat disayangkan belum semua desa dapat
mengembangkan potensi dan memanfaatkan dengan optimal
sumber daya yang ada. Belum semua desa yang terdapat di Indonesia
memiliki dan mengembangkan Bumdesnya. Hal ini tentu dapat
diatasi agar setiap desa memiliki kesempatan yang sama untuk
dapat mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini didasari dengan
fakta bukti di lapangan dan menurut Menteri Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, meyatakan
bahwa pada tahun 2018 Bumdes sudah mencapai 39.000 dari yang
sebelumnya berada di angka 30.000 (Dewo, 24 September, 2018)
angka ini masih jauh dibandingkan dengan jumlah desa yang menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 terdapat 75.436 desa.
Sehingga masih diperlukan peranan aktif dari Pemerintah serta dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dapat mensosialisasikan
regulasi yang ada mengenai Bumdes dan membuat regulasi-
regulasi lainnya agar pelaksanaan Bumdes menjadi efektif, sehingga
masyarakat desa dapat memahami secara utuh mekanisme Bumdes
karena salah satu permasalahan dari belum meratanya Bumdes
karena masyarakat yang belum dapat memahami secara keseluruhan
segala peraturan yang terdapat untuk mengelola Bumdes. Sehingga
pelaksanaan kegiatan ekonomi di Indonesia dapat dilakukan merata,
bukan saja memajukan kota-kota tetapi juga desa-desa sesuai dengan
prinsip keadilan bermartabat.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Badan Usaha Milik Desa
Payung hukum Bumdes adalah Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa (Permen DPTT 4/2015). Berdasarkan Pasal
1 Angka 2 Permen DPTT 4/2015, Bumdes adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang
dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

128 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

Dalam Pasal 1 ayat (2) Permen DPTT 4/2015, pendirian Bumdes


mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (a) inisiatif Pemerintah
Desa dan/atau masyarakat Desa; (b) potensi usaha ekonomi Desa; (c)
sumber daya alam di Desa; (d) sumber daya manusia yang mampu
mengelola Bumdes; dan (e) penyertaan modal dari Pemerintah Desa
dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan Desa yang diserahkan untuk
dikelola sebagai bagian dari usaha Bumdes. Bumdes dikelola dengan
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bumdes dapat juga
menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal
87 ayat (2) dan (3) UU Desa). Pendirian Bumdes disepakati melalui
musyawarah desa dan ditetapkan dengan peraturan desa (Pasal 88
ayat (1) dan (2) UU Desa).

B. Tinjauan Umum Perdes Berdasarkan Perspektif Prinsip


Keadilan Bermartabat
Jenis peraturan di desa terdiri atas Peraturan Desa (Perdes),
Peraturan Bersama Kepala Desa (PBKepala Desa) dan Peraturan
Kepala Desa (Perkades) (Pasal 69 ayat (1) UU Desa). Peraturan
Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 68 ayat (3) UU
Desa). Peraturan pelaksanaan tentang peraturan desa diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa (Permendagri 111/2014).
Definisi PB Kepala Desa adalah Peraturan yang ditetapkan oleh
dua atau lebih Kepala Desa dan bersifat mengatur (Pasal 1 Angka
7 Permendagri 111/2014). Sedangkan definisi Perkades adalah
Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dan bersifat mengatur
(Pasal 1 Angka 8 Permendagri 111/2014).
Penyusunan rancangan Peraturan Kepala Desa dilakukan oleh
Kepala Desa (Pasal 27 ayat (1) Permendagri 111/2014). Rancangan
Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa
(Pasal 69 ayat (9) UU Desa). Masyarakat Desa berhak memberikan
masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa (Pasal 69 ayat (10)
UU Desa). Materi muatan Peraturan Kepala Desa meliputi materi
pelaksanaan Peraturan di Desa dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (Pasal 27 ayat (2) Permendagri 111/2014).
Pembiayaan pembentukan Peraturan di Desa dibebankan pada

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 129


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

APB Desa (Pasal 28 Permendagri 111/2014). Segala upaya untuk


pemberdayaan masyarakat ini harus sejalan dengan prinsip keadilan
bermartabat.
Pembentukan Peraturan Desa wajib berpedoman dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan
Undang-undang No. 15 Tahun 2019 (UU PPU) dan berisikan
keadilan bermartabat. Keadilan Bermartabat itu bukan suatu
jenis konsep keadilan seperti yang sudah sangat umum dipahami
selama ini, maka ada baiknya deskripsi singkat mengenai Keadilan
Bermartabat itu saya gambarkan secara singkat sebagai berikut.
Keadilan Bermartabat adalah suatu Grand Teori Hukum. Sebagai
Teori Hukum yang baru, Keadilan Bermartabat bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945, berfungsi untuk menjelaskan dan memberi
justifikasi suatu sistem hukum yang berlaku, yang berbeda dengan
teori-teori barat yang selama ini dirujuk. Teori Keadilan Bermartabat
menjelaskan dan memberi justifikasi suatu sistem hukum dengan
antara lain suatu postulat bahwa hukum itu ada dan tumbuh dalam
jiwa bangsa atau Volksgeist (Prasetyo, 2016).

III. METODE PENELITIAN


Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis
normatif. Peneliti menggunakan data sekunder berupa bahan
hukum primer antara lain peraturan perundang-undangan terkait
topik penulisan, bahan hukum sekunder antara lain jurnal, artikel
ilmiah, dan bahan hukum tersier. Peneliti menggunakan metode
kualitatif dan metode deduktif untuk menarik suatu kesimpulan.
Fokus dari penulisan ini adalah keberadaan Bumdes, pemberdayaan
masyarakat dengan pengembangan dan mengefektifkan Bumdes
dalam rangka menghadapi industri 4.0. Dan meningkatkan daya
saing bangsa dengan mengutamakan prinsip keadilan bermartabat.

IV. PEMBAHASAN
A. Urgensi Pembentukan Bumdes Menghadapi Industri 4.0.
Berdasarkan Pasal 3 Permen DPTT 4/2015 bahwa pendirian
Bumdes bertujuan untuk: (a) meningkatkan perekonomian Desa;
(b) mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan

130 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

Desa; (c) meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan


potensi ekonomi Desa; (d) mengembangkan rencana kerja sama
usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga; (e) menciptakan
peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan
umum warga; (f) membuka lapangan kerja; (g) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum; (h)
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan (i) meningkatkan
pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.
Bumdes di Landungsari dibentuk dengan Peraturan Desa
Landungsari No. 2 Tahun 2008 tentang Pembentukan Bumdes
yang juga berpedoman dengan Perda Kabupaten Malang No. 20
Tahun 2006 tentang Badan Usaha Milik Desa dan terdapat 7 (tujuh)
bidang yakni pertanian, peternakan, simpan pinjam, pengelolaan
sampah, jasa basis, home industry, dan pasar. Kontribusi Bumdes
berkontribusi dalam penguatan ekonomi desa, yaitu untuk
peningkatan pendapatan desa; pemenuhan kebutuhan masyarakat
desa; dan pembangunan desa secara mandiri (Coristya dkk, 2013).
Desa Bleberan, Gunungkidul, DIY memiliki obyek wisata yang
indah, wisata gua, Rancang Kencana, dan air terjun Sri Gethuk. Desa
Bleberan juga menyediakan homestay sebanyak 30 unit yang dapat
menampung sekitar 150 pengunjung. Namun demikian, keberadaan
homestay ini belumlah efektif, Desa Bleberan memiliki BUMDES
Desa Bleberan untuk mengelola simpan pinjam, air bersih, dan
pariwisata. BUMDES Desa Bleberan menjadi bagian lembaga yang
dapat menopang kesejahteran warga desa (Fatimah, 2018).
Pemkab/Pemkot seyogyanya mendorong perkembangan
Bumdes. Hal tersebut sebagaimana diatur dan diamanatkan
dalam Pasal 90 UU Desa yakni Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa mendorong perkembangan Bumdes dengan: (a) memberikan
hibah dan/atau akses permodalan; (b) melakukan pendampingan
teknis dan akses ke pasar; dan (c) memprioritaskan Bumdes dalam
pengelolaan sumber daya alam di Desa.
Desa yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan industri
4.0. maka akan menjadi desa yang tertinggal, sehingga desa harus
adaptif dengan perkembangan dan harus kreatif. Masyarakat desa
seyogyanya tidak berhenti untuk belajar dan berkembang. Namun
di satu sisi, pembelajaran ini memiliki beberapa hambatan dalam

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 131


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

pelaksanaannya. Tidak dapat dipungkiri dari sekian desa yang


sukses untuk maju dan mengelola Bumdes, masih terdapat sangat
banyak desa yang tertinggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan data
BPS mencatat bahwa masih ada 14.461 desa tertinggal di Indonesia.
Angka tersebut setara 19,17% dari total desa di Indonesia yang
berjumlah 75.436 (Hamdani, 10 Desember, 2018).
Nantinya, Bumdes dapat bekerja sama dengan penyedia
layanan transportasi online misalnya untuk memasarkan dan
mengirimkan hasil produksi daerahnya ke kota, pemerintah juga
harus terus melakukan pembangunan untuk memudahkan akses
transportasi sehingga daerah mudah dijangkau. Tujuannya adalah
dengan mudahnya akses transportasi maka biaya pengiriman akan
mengecil sehingga tidak terjadi perbedaan harga yang signifikan
antara desa dan kota. Contoh, dalam bidang pertanian petani bisa
langsung melakukan jual beli dengan konsumen. Bumdes dapat
meningkatkan pendapatan/keuangan desa, Keuangan desa adalah
semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban (Nurcholis, 2011).

B. Relevansi Pembentukan Bumdes dengan Pemberdayaan


Masyarakat Desa
Pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa (Pasal 1 Angka
12 UU Desa). Saat ini Berdasarkan data BPS terdapat 83.931 wilayah
administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Jumlah tersebut
terdiri atas 75.436 desa. Pelatihan kepada masyarakat desa,
perangkat Bumdes guna menghadapi industri 4.0. harus diberikan
karena berkaitan erat dengan transaksi daring/online.
“Online transactions are based on mutual trust. Such trust is assumed
by both seller and buyer to continue on with the transaction. In the
case where seller and buyer are both acquainted with each other,

132 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

trust can be built as they negotiate and conduct sales and purchase
transactions. More often than not, parties to the transaction may
not know of eachother. Considering that online sellers and buyers
are strangers to each other, there should be prudential measures
taken not only by sellers but also by the buyers (Karo & Sebastian,
2019).
Pembentukan Bumdes dan dengan efektifnya Bumdes tentu
akan berpengaruh pada pemberdayaan desa. Dimana Bumdes
dibangun atas prakarsa (inisiasi masyarakat), serta mendasarkan
pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif, dengan
dua prinsip yang mendasari, yaitu member base dan self help. Hal
ini penting mengingat bahwa profesionalisme pengelolaan BUMDes
benar-benar didasarkan pada kemauan (kesepakatan) masyarakat
banyak (member base), serta kemampuan setiap anggota untuk
mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (self help) (Coristya
dkk, 2013) sehingga jika Bumdes ini efektif akan memacu semangat
masyarakat untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi
sesuai dengan daerahnya dan apabila dilakukan sungguh-sungguh
dengan pengarahan yang tepat tentu dapat menghasilkan suatu
produk yang memiliki kualitas tinggi yang memiliki daya saing
tinggi.
Sebagai contoh program untuk meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat desa, pemerintah provinsi Jawa Barat mencanangkan
One Vilage One Company (OVOC) atau satu desa satu perusahaan.
Upaya itu ditempuh untuk memangkas ketimpangan kesejahteraan
masyarakat desa dan kota. Menurut Ridwan Kamil, persoalan
utama ketimpangan kesejahteraan masyarakat desa, akibat
belum optimalnya pemerintah desa mengembangkan potensi
daerahnya(Strategi, 2 September, 2019). Dengan majunya seluruh
desa yang ada maka akan menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia
khususnya dalam bidang ekonomi.
Pemberdayaan masyarakat desa juga bertujuan untuk
pembangunan bangsa Indonesia. Pembangunan adalah terbentuknya
dan berfungsinya sistem hukum nasional yang bersumberkan
Pancasila dan UUD 1945 dengan memerhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku, mampu menjamin, perlindungan
hukum yang didukung oleh aparat penegak hukum, sarana dan
prasarana yang memadai (Mertokusumo, 2019). Kesenjangan

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 133


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

antara masyarakat desa dan kota ini harus dihapuskan, hal ini telah
sinkron dengan amanat Sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Setiap masyarakat Indonesia harus
mendapatkan keadilan tanpa ada yang dipandang sebelah mata,
artinya stigma-stigma negatif terhadap masyarakat Desa haruslah
dihapuskan. Masyarakat Desa bukanlah masyarakat yang tertinggal,
masyarakat Desa juga harus mendapatkan kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensi diri, kelompok dan daerahnya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena
itu, pentingnya peran pemerintah dalam memberikan fasilitas
penunjang agar setiap masyarakat Desa juga mendapat kesempatan
untuk berkembang tanpa perlu meninggalkan Desanya.

V. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis mengangkat
kesimpulan sebagai berikut: Bumdes adalah cara untuk
mensejahterakan masyarakat desa yang bermuatan keadilan
bermartabat, cara untuk memanusiakan manusia dengan
berprinsipkan Pancasila. Ketiadaan Bumdes di Desa di Indonesia
karena tidak tahu dan mengerti tentang bagaimana dasar hukum
pembuatan Bumdes, bagaimana pengelolaan atau manajemen
Bumdes tersebut. DPR melalui komisi terkait, Kementerian terkait
wajib mendorong pengembangan Bumdes. Bumdes adalah subyek
hukum yang dilindungi dan diakui oleh Undang-undang. Seluruh
pihak terkait wajib mengembangkan Bumdes dan manajemennya.
Masyarakat desa ataupun pengelola Bumdes wajib diberikan
pelatihan tentang tata cara pemanfaatan internet yang baik untuk
menjual produk khas Bumdes.
Bumdes memiliki banyak manfaat dan relevansi untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa karena
pengelolaannya berdasarkan asas kegotong-royongan dan barang
yang diperdagangkan adalah barang yang menjadi ciri khas dari
desa tersebut. Serta masyarakat desa yang sudah terbiasa untuk
mengelola suatu usaha seperti Koperasi Desa, dapat dikembangkan
lagi kemampuannya untuk memimpin dalam mengelola Bumdes
nantinya, dan juga dibutuhkan pendidikan yang memadai terutama
di bidang teknologi dalam rangka memasuki Industri 4.0. yang
didukung oleh peran aktif pemerintah dan institusi terkait lainnya.

134 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

DAFTAR PUSTAKA

________. Strategi Ridwan Kamil Bikin Masyarakat Desa di


Jawa Barat Sejahtera, (online), (https://ovoc.jabarprov.
go.id/?route=moreart&artid=15>, diakses 13 November 2019).
_________. Belajar dari Bumdes yang Terbukti Berhasil Mensejahterakan
Masyarakat, (online), (http://www.berdesa.com/belajar-dari-
bumdes-bumdes-yang-terbukti-berhasil-mensejahtrakan-
masyarakat/, 10 November 2019).
Coristya, B. R., Ribawanto, H., dan Suwondo. (2013). Keberadaan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sebagai Penguatan Ekonomi
Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kab. Malang).
Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1, No. 6.
Dewo, P. Saat ini Jumlah Bumdes telah Meningkat Menjadi 39.000,
(online), (https://nasional.kontan.co.id/news/saat-ini-jumlah-
bumdes-telah-meningkat-menjadi-39000, 10 November 2019).
Fatimah, P. L. R. (2018). Mengembangkan Kualitas Usaha Milik
Desa (Q-BUMDES) untuk Melestarikan Ketahanan Ekonomi
Masyarakat dan Kesejahteraan Adaptif: Perancangan Sistem
Kewirausahaan Desa dengan Menggunakan Model Tetrapreneur.
Jurnal Studi Pemuda, Vol. 7, No. 2.
Hamdani, T. Masih ada 14.000 Desa Tertinggal di RI, (online), (https://
finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4336391/masih-
ada-14000-desa-tertinggal-di-ri, 11 November 2019).
Karo, R. K. & Sebastian, A. (2019). Juridical Analysis on the Criminal
Act of Online Shop Fraud in Indonesia. Lentera Hukum, Vol. 6,
No. 1.
Kartohadikoesoemo, S. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka.
Mertokusumo, S. (2019). Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia.
Yogyakarta: GENTA Publishing.
Nurcholis, H. (2011). Pertumbuhan dan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Jakarta: Erlangga.

Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman 135


Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

Oktavia, M. Dianggap Terlalu Bagus tas Buatan Semarang ini Ditahan


Petugas Bandara Rusia, (online), (https://wolipop.detik.com/
fashion-news/d-4658380/dianggap-terlalu-bagus-tas-buatan-
semarang-ini-ditahan-petugas-bandara-rusia, 10 November
2019).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Tertinggal dan Transmigrasi
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan
Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Prasetyo, T. (2016). Kejahatan Pertambangan Dalam Perspektif
Keadilan Bermartabat. Jurnal PERSPEKTIF, Vol. XXI, No. 1,
Januari.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan
Undang-undang No. 15 Tahun 2019.

136 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:


URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
BERBASIS PARADIGMA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Ratna Susanti
Politeknik Indonusa Surakarta,
ratnasusanti19@poltekindonusa.ac.id
Suci Purwandari
Politeknik Indonusa Surakarta,
suci.indonusa@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi dilakukannya revisi
Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah tidak revelan dengan
perubahan zaman secara masif yang telah memasuki era Revolusi Industri
4 .0. Guru dan Dosen wajib memiliki berbagai kompetensi dan kreativitas
yang tinggi berbasis internet of thing. Paradigma era Revolusi Industri
4.0 sebagai basis bukti bagi pemangku kepentingan dalam pembuatan
kebijakan. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder
sebagai bukti penguat dengan menggunakan analisis data sekunder dan
analisis konten dari media massa. Penelitian ini menghasilkan kerangka
kerja (framework) bagi lembaga legislatif (DPR-RI) dan pemerintah
melalui kementerian terkait perlu bersinergi untuk menyusun kebijakan
baru dengan merevisi Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah
mengakomodasikan berbagai tuntutan kompetensi yang selaras dengan
paradigma Revolusi Industri 4.0. Kesimpulannya adalah pentingnya
penguasaan internet bagi guru dan dosen dalam era digitalisasi dalam
rangka mewujudkan pendidikan yang maju. Kebijakan terkait tugas
tugas pokok guru dan dosenSaran yang dapat diberikan adalah guru
dan dosen lebih fokus untuk pengembangan kompetensi dan dapat
dibebaskan dari kegiatan yang bersifat administratif.
Kata kunci: guru; dosen; revolusi industri 4.0; kebijakan berbasis bukti

I. PENDAHULUAN
Era Revolusi Industri 4.0 ditandai adanya peran teknologi
yang mengambil alih hampir sebagian besar aktivitas kehidupan.
Pemerintah Indonesia bergerak cepat menyambut Revolusi

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 137


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Industri 4.0 dengan membuat peta jalan (roadmap) Making


Indonesia 4.0 (Prasetyo, 2018). Era Revolusi Industri 4.0 di satu
sisi memang melenyapkan sejumlah jenis pekerjaan, namun di sisi
lain menghadirkan berbagai jenis pekerjaan baru. Revolusi Industri
4.0 ini ditandai dengan meningkatnya konektivitas, interaksi, batas
antar manusia, mesin dan sumber daya lainnya semakin converge
melalui teknologi informasi dan komunikasi. Setiap revolusi industri
ditandai sejumlah momentum yang menunjukkan perkembangan
kehidupan manusia dari waktu ke waktu.
Paradigma revolusi yang terus berkembang secara berkala
diprakarsai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
pendukung pembaharuan itu. Dunia pendidikan dalam perkembangan
era revolusi terus dituntut untuk memperbaiki sistemnya. Salah
satu investasi yang menunjang kemajuan peradaban manusia
yaitu pendidikan. Seperti yang dikatakan (Shahroom &Hussin,
2018), pendidikan di masa depan akan mengalami perubahan yang
signifikan. Proses pembelajaran tak perlu lagi dilakukan di dalam
kelas. Prancis, sebagai salah satu negara yang berinvestasi di Dunia
Pendidikan telah meluncurkan 42 dengan alamat https://www.42.
fr sebagai universitas masa depan pertama di dunia. Universitas
yang digagas Xavier Niel (Presiden 42) merupakan pusat pendidikan
yang berfokus dibidang teknologi komputer, di mana pedagoginya
didasarkan pada peer-to-peer atau operasi partisipatif, tanpa kelas
dan dosen/guru yang memungkinkan para siswa/mahasiswanya
bekerja sesuai dengan kreativitasnya melalui pembelajaran berbasis
proyek (D. Adiputri, 2014). Perlu adanya penyesuaian antara
sistem pendidikan berasaskan paradigma lama ke paradigma baru.
Pendidikan di Era Revolusi Digital ini menuntut adanya pemanfaatan
teknologi digital sebagai alat bantu peningkatan mutu akademik
(Syamsuar dan Reflianto, 2018).
Berbicara tentang pendidikan tidak lepas dari peranan guru
maupun dosen, kehadirannya mempunyai peran yang sangat
strategis dalam melahirkan generasi Era Revolusi 4.0, 5.0, 6.0, dan
seterusnya. Berdasarkan tuntutan tersebut, makalah ini menjelaskan
perlunya dilakukan revisi Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor
14 Tahun 2005 dalam menjawab tantangan dan peluang dalam era
Revolusi Industri 4.0 (Sedana, 2019). Untuk itu, diperlukan sinergitas
kebijakan antara para legislatif dengan pemerintah (Kementerian

138 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian,


Kementerian Tenaga Kerja, serta Kementerian Riset dan Teknologi)
yang selaras dan saling mendukung demi menciptakan sumber daya
yang bersaing dan berkarakter. Pada kenyataannya, pengambilan
kebijakan di Indonesia pada umumnya masih belum berdasarkan
hasil riset kebijakan atau riset sosial (Asmara & Handoyo, 2015).
Dalam menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 di bidang
pendidikan, motivasi saja tidak cukup dalam mewujudkan cita-cita
Making Indonesia 4.0, harus ada wujud konkret dan usaha yang keras
untuk pemerintah Indonesia dalam menyongsong era digitalisasi.
Tantangan pasti akan dihadapi dalam setiap transisi inovasi dan
teknologi. Kementerian Perindustrian telah merancang Making
Indonesia 4 .0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi
untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki
era Revolusi Industri 4 .0. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu
langkah kolaboratif yang melibatkan para pemegang kepentingan
mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi, dan pelaku industri
hingga unsur akademik. Atas dasar itulah, rumusan permasalahan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana peran
guru dan dosen dalam era Revolusi Industri 4.0 sebagaimana
tercantum dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005? Masih
relevankah? (2) Bagaimana bentuk penyusunan kebijakan berbasis
bukti melalui sinergi antara lembaga legislatif bersama pemerintah
dalam menyikapi perubahan dunia pendidikan di era Revolusi
Industri 4 .0 ini?

II. TINJAUAN PUSTAKA


Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat (1)
dan (2) dijelaskan bahwa guru adalah pendidik professional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Dosen adalah pendidik profesional dan
ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan,
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (DPR,
2005).

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 139


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Atas dasar pengertian di atas, menurut UU Nomor 14 Tahun


2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa profesi adalah pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi (Nurkholis & Badawi, 2019). Payung
hukum bagi guru dan dosen tersebut, saat ini sudah selayaknya
untuk ditinjau ulang atau direvisi kembali mengingat perubahan
zaman dan perkembangan teknologi digital yang semakin maju dan
masif sehingga profesi guru dan dosen harus mampu menyelaraskan
kebutuhan akan pemanfaatan teknologi di dunia pendidikan.
Revolusi Industri 4.0 saat ini ditandai dengan perkembangan
digitalisasi dalam segala lini kehidupan secara masif. Untuk
menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0, maka Undang-
Undang Guru dan Dosen perlu direvisi sehingga mampu menjawab
revolusi industri 4.0 yang bercirikan industri menyentuh dunia
virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data. Semua
sudah ada di mana-mana (internet of things/IoT) yang merambah
berbagai bidang. Dengan dilakukannya perevisian UU Guru dan
Dosen diharapkan mampu memfasilitasi perbaikan kompetensi,
integritas, kreativitas, kesejahteraan guru dan dosen sehingga
dapat menyiapkan peserta didik menghadapi revolusi industri 4.0.
Oleh karenanya, guru dan dosen wajib melek iptek (Sedana, 2019);
(Nurkholis & Badawi, 2019); (Syamsuar dan Reflianto, 2018); dan
(Yusnaini & Slamet, 2019).

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder dan analisis
konten dari media massa. Literatur yang dipublikaskan dalam jurnal
dan kertas kerja (working papers) merupakan hasil penelitian dari
berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pendidikan tinggi.
Sementara itu, media massa yang menjadi referensi adalah media
online yang secara intensif mengulas berbagai peluang dan tantangan
Revolusi Industri 4.0 bagi dunia pendidikan di Indonesia. Analisis
deskriptif digunakan untuk mengungkap berbagai persoalan dalam
pembuatan kebijakan para pemangku kepentingan yang belum
menggunakan riset terdahulu sebagai dasar penyusunan kebijakan.

140 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Makalah ini mengulas berbagai hal terkait dengan paradigma era


Revolusi Industri yang berdampak masif terhadap dunia pendidikan
di Indonesia, sehingga menjadi bukti yang kredibel dalam proses
pembuatan kebijakan. Selanjutnya, penulis berupaya menarik
pembelajaran dari referensi yang ada untuk mengungkap akan
pentingnya dilakukan revisi terhadap isi Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengakomodasikan
kepentingan para pembuat kebijakan dengan basis bukti-bukti
fenomena perubahan dan perkembangan teknologi yang terjadi di
masyarakat dalam era Revolusi Industri 4.0 saat ini.

IV. PEMBAHASAN
A. Peran Guru dan Dosendalam Era Revolusi Industri 4 .0
Pada tahun 2019 ini Undang Undang (UU) Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen sudah berumur 14 tahun. Dalam
mengimplementasikannya, banyak sekali permasalahan, khususnya
di bidang pendidikan, secara keseluruhan di bidang profesi guru
dan dosen. Untuk itu, perlu adanya revisi atau perubahan dalam
pengaturan UU Guru dan Dosen. Mengingat, karena keduanya
adalah jabatan yang diemban orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap kemajuan bangsa dan negaranya. Selaras dengan
perkembangan teknologi yang begitu pesat, saat ini mungkin sudah
masanya untuk meninjau kembali UU Guru dan Dosen ini. Tujuannya,
agar tugas pokok dan fungsi guru maupun dosen itu selaras dengan
Revolusi Industri 4 .0.
Revolusi Industri 4.0 ditandai pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi secara optimal, tidak hanya sebatas proses produksi,
tetapi juga seluruh mata rantai industri sehingga menghasilkan model
bisnis yang baru berbasis digital. Untuk dapat menyiapkan tenaga
kerja yang bisa beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan
oleh Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah pekerjaan rumah tersendiri
bagi pemerintah. Beruntung, pemerintah dalam hal ini Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemenaker), terus mempersiapkan tenaga kerja
yang mampu beradaptasi, berdaya saing, dan bertahan di tengah
perubahan dunia kerja. Pihak Kemenaker telah mengeluarkan
sejumlah kebijakan dan program berkaitan peningkatan akses
dan mutu pelatihan vokasi sebagai upaya mencetak sumber daya

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 141


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

manusia (SDM) yang kompeten dan berdaya saing. Sementara itu,


pihak Kemenperin mengandalkan sejumlah program pendidikan
dan pelatihan vokasi. Pendidikan vokasi yang link and match antara
industri dan sekolah menengah kejuruan.
Kompetensi SDM dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0
tidak bisa ditawar lagi. Kompetensi SDM terkait perubahan dunia
kerja adalah kunci sukses bila tidak ingin menjadi penonton dalam
Revolusi Industri 4.0 di mana terjadi perubahan yang begitu cepat
dan masif. Dengan kehadiran roadmap Making Indonesia 4.0 yang
sudah menjadi agenda nasional bisa menjadi pegangan yang
konsisten. Saat ini bangsa Indonesia hidup pada era knowledge
based economy. Artinya sistem ekonomi secara global berjalan
berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dampaknya, negara yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan
yang kuat akan menguasai ekonomi. Sebuah bangsa akan memiliki
daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain. Jika sebuah
bangsa memiliki daya saing yang tinggi, ia dapat dipastikan bisa
menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara seperti Cina,
Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia
memiliki perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk dalam bidang pembaharuan
pendidikan. Indonesia pendidikan di negara maju sangat berdampak
pada inovasi pendidikan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia berusaha melakukan berbagai inovasi
pendidikan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berimplikasi pada upaya meningkatkan profesionalisme guru
dan dosen di bidang pendidikan. Dengan profesionalisme yang tinggi,
pendidikan akan bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan
yang baik pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa melalui
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk bisa menjamin
terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa
Indonesia tidak saja meningkatkan profesionalisme guru dan dosen,
tetapi juga perbaikan mempercepat tercapainya sebagaimana Houle
(dalam Zen, 2018) menyatakan bahwa profesionalisme dapat dicapai
dengan cepat melalui penguatan kompetensi individual, memiliki
sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan kompetisi yang
sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi,

142 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi


profesi, ada militansi individual, dan memiliki organisasi profesi.
Untuk mencapai ini semua, maka pemerintah mencanangkan sistem
peningkatan pengetahuan bagi guru dan dosen secara tersistem dan
berkelanjutan melalui in service training. Program ini dapat dilakukan
dalam bentuk tukar-menukar guru dari satu daerah dengan daerah
lain atau tukar-menukar guru atau di tingkat internasional agar
terjadi transfer nilai-nilai positif yang diperoleh akibat perbedaan
budaya sekolah dan budaya kampus.
Tantangan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 akan menuju
perubahan cara belajar, pola berpikir, serta cara bertindak para
siswa maupun mahasiswa dalam mengembangkan inovasi kreatif
berbagai bidang. Dalam hal ini akan menekan angka pengangguran
di Indonesia khususnya dalam persaingan pasar global. Peran guru
maupun dosen di era digital, justru semakin kompleks dan saling
melengkapi seiring dengan perkembangan zaman, serta lompatan
kecerdasan generasi milenial yang mereka hadapi di kelas sebagai
siswa maupun mahasiswa. Tantangan ini merupakan peluang
berharga untuk menstimulus munculnya guru dan dosen era digital
yang cerdas dan melek teknologi terkini. Menyiasati hal itu, guru dan
dosen era digital sebaiknya tidak saja sebagai sumber pengetahuan
belaka, tidak boleh hanya berhenti sebagai agen transfer of
knowledge, namun juga sebagai agen transfer of value, di mana nilai-
nilai karakter serta moral dapat ditularkan dan diinternalisasikan
kepada siswa maupun mahasiswa (Yusnaini & Slamet, 2019).
Dalam meningkatkan kemampuan profesionalismenya di
era Revolusi Industri 4.0, seorang guru dan dosen harus memiliki
beberapa kompetensi dasar yang harus dikuasainya, diantaranya
adalah sebagai berikut. (1) Kompetensi dasar kependidikan, yaitu
kemampuan dasar dalam mendidik atau menerapkan suatu metode
pembelajaran yang berbasis teknologi, terutama penggunaan
internet sebagai kemampuan dasar. Guru dan dosen harus mampu
mengoperasikan komputer, karena suatu saat nanti pembelajaran
berbasis komputer dan internet akan lebih di kedepankan. (2)
Kompetensi dalam bidang teknologi komersil, yaitu kemampuan
guru dan dosen untuk membawa dan mendorong peserta didik untuk
menumbuhkan sikap entrepreneurship dalam bidang teknologi. (3)
Kompetensi dalam era globalisasi, seorang guru dan dosen harus

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 143


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

memiliki pemahaman dan sudut pandang yang luas terhadap segala


sesuatu namun pada dirinya tertanam jiwa nasionalisme yang tinggi
dan mampu mentransfer kompetensi tersebut dengan baik kepada
siswa maupun mahasiswanya. (4) Kompetensi dalam menyiasati
masa depan, artinya bahwa seorang guru dan harus memiliki
pemikiran yang jauh ke depan dalam menyikapi setiap perubahan
dan kejadian yang terjadi di kehidupan ini sehingga mampu
membekali siswa/mahasiswanya untuk mempertimbangkan suatu
keputusan yang baik bagi masa depannya. (5) Kompetensi dasar
psikologi manusia, bahwa objek yang diajarkan seorang guru dan
dosen adalah manusia yang memiliki perasaan dan kondisi psikis
yang harus dipahami latar belakangnya, maka wajib bagi seorang
guru dan dosen untuk menguasai kompetensi ini. Karena selain
sebagai pendidik, guru dan dosen juga berperan sebagai pengganti
orang tua di sekolah maupun di kampus.
Pendidikan setidaknya harus mampu menyiapkan peserta
didiknya menghadapi tiga hal: (1) menyiapkan untuk bisa bekerja
yang pekerjaannya saat ini belum ada; (2) menyiapkan untuk bisa
menyelesaikan masalah yang masalahnya saat ini belum muncul,
dan (3) menyiapkan untuk bisa menggunakan teknologi yang
sekarang teknologinya belum ditemukan. Setidaknya terdapat
lima kualifikasi dan kompetensi guru dan dosen yang dibutuhkan
di era Revolusi Industri 4.0, yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
(1) Educational competence, kompetensi mendidik/pembelajaran
berbasis internet of thing sebagai basic skill. (2) Competence for
technological commercialization, kompetensi membawa anak
didik memiliki sikap entrepreneurship (kewirausahaan) berbasis
teknologi dan hasil karya inovasi siswa/mahasiswa. (3) Competence
in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai
budaya, kompetensi hybrid dan keunggulan memecahkan masalah
(problem solver competence). (4) Competence in future strategies,
dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga harus memiliki
kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di
masa depan berikut strateginya. (5) Conselor competence, mengingat
kedepan masalah anak bukan pada kesulitan memahami materi ajar,
tetapi lebih terkait masalah psikologis, stres akibat tekanan keadaan
yang makin kompleks dan berat, dibutuhkan guru dan dosen yang
mampu berperan sebagai konselor/psikolog.

144 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Performa guru dan dosen era Revolusi Industri 4.0 adalah


guru dan dosen yang melek dengan digital economy, artificial
intelligence, big data, robotic, tanpa mengesampingkan pentingnya
tugas mulia penumbuhan budi pekerti luhur bagi anak didik.
Melalui guru dan dosen, dunia pendidikan mesti mengkonstruksi
kreativitas, pemikiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi
informasi dan komunikasi serta kemampuan literasi digital. Guru
dan dosen dituntut menguasi kompetensi kognitif, kompetensi
social-behavioral, dan kompetensi teknikal. Kompetensi kognitif
mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Kompetensi social-behavioral, mencakup
keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang
stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan
keterampilan interpersonal. Kompetensi teknikal yang merupakan
keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang digeluti, dan
ini terkait dengan pendidikan vokasi.

B. Kebijakan Berbasis Bukti Melalui Sinergi Lembaga Legislatif


dan Pemerintah Dalam Menyikapi Paradigma Revolusi
Industri 4.0
Kehadiran era Revolusi Industri 4.0 membawa dampak
perubahan yang signifikan, cepat, dan masif dalam berbagai lini
kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Ketua DPR,
Bambang Soesatyo, memaparkan hasil riset lembaga Internasional
McKinsey yang memperkirakan hingga 2030, Revolusi Industri 4.0
akan berdampak pada hilangnya 45 juta-50 juta pekerjaan. Dampak
dari Revolusi Industri 4.0 adalah banyak pegawai di seluruh dunia
akan kehilangan pekerjaan. Untuk itu, diperlukan inovasi untuk
menciptakan lapangan kerja baru serta sumber daya manusia (SDM)
yang handal, kompeten, serta memiliki kemampuan yang dibutuhkan
dalam dunia kerja. Lebih lanjut Bambang Soesatyo mengatakan
bahwa dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, Tri Dharma
Perguruan Tinggi perlu dikuatkan dan diarahkan pada bagaimana
perguruan tinggi dapat mempersiapkan dan meningkatkan kualitas
SDM yang siap mengisi era ini dengan tantangan semakin berat.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPR periode 2019-2014
ketika mengisi Kuliah Umum di Universitas Islam Atthahiriyah,
Jakarta , pada hari Sabtu, 7 September 2019 yang lalu. Selain itu,

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 145


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Kementerian Tenaga Kerja melalui Staf Ahli Bidang Ekonomi dan


SDM Kemnaker, Aris Wahyudi, menyampaikan bahwa dalam rangka
menghadapi era Revolusi Industri 4.0 perguruan tinggi yang ada
di Indonesia perlu meninjau kembali kurikulum yang digunakan
di kampus dengan metode bermuatan adaptif yang menyiapkan
mahasiswa responsif dan survive. Hal itu dilakukan agar generasi
muda ini siap menghadapi tantangan di luar dan menjadi pemenang
di era kompetisi revolusi industri 4 .0. Generasi muda, khususnya
mahasiswa, harus memiliki jiwa petarung, sikap optimistis, berpikir
positif dan bekerja keras dalam menghadapi persaingan di masa
mendatang.
Berdasarkan data BPS pada bulan Februari 2019, angkatan
kerja Indonesia saat ini berjumlah 136 juta orang dengan jumlah
pengangguran 6,82 juta orang atau 5,01% (Badan Pusat Statistik,
2019). Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pidatonya
menyatakan bahwa Revolusi Industri 4.0 sebagai topik yang
sedang hangat dibicarakan oleh berbagai sektor, seperti ekonomi,
manufaktur, dan pendidikan. Jika revolusi industri pertama
membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah tatanan
kehidupan masyarakat, maka revolusi industri 4.0 yang berasaskan
digitalisasi hanya membutuhkan waktu kurang dari satu dekade
untuk melakukanya. Beberapa industri yang disurvei oleh WEF
bahkan menunjukkan penggunaan teknologi cloud dan mobile
internet menjadi fokus model bisnis mereka di masa depan. Itu
kemudian disusul oleh teknologi pemrosesan data dan penggunaan
big data ke dalam proses produksi, di mana pelaku industri akan
mulai beradaptasi hingga 2025 mendatang .
Namun, persoalan revolusi industri 4.0 bukan sekadar
perubahan pola produksi semata. Ada bahaya laten yang mengintai
dan membuat hal ini menjadi topik yang harus disikapi serius oleh
masyarakat dan pemerintah. Ancaman itu muncul dalam bentuk
hilangnya beberapa lapangan pekerjaan di masa depan . Tak
ketinggalan, pekerja di bidang manufaktur sebanyak 1,6 juta orang
juga berpotensi kehilangan pekerjaannya. Di sisi lain, permintaan
tenaga kerja yang membutuhkan ahli dan keterampilan tinggi akan
semakin membludak di masa depan, misalnya ahli matematika, ahli
komputer, hingga ahli pemasaran. Ini lantaran pekerjaan yang punya
tingkat keterampilan rendah sudah digantikan oleh otomatisasi .

146 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah keniscayaan, semua negara


tentu akan memasuki fase tersebut. Namun, itu juga mengundang
ancaman serius, yakni jutaan tenaga kerja bisa menganggur dengan
seketika. Terlebih, Indonesia dipandang rentan terpapar hal tersebut
karena profil ketenagakerjaan Indonesia didominasi tenaga kerja
berpendidikan rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus
lalu mencatat jumlah penduduk bekerja sebanyak 88,43 juta. Hanya
saja, 40,69 persen diantaranya hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD).
Kemudian sebanyak 22,4 juta orang atau 18,09 persen penduduk
bekerja merupakan lulusan SMP (Badan Pusat Statistik, 2019).
Indonesia juga tengah memasuki masa bonus demografi. Jika angkatan
kerja terus bertambah sementara pekerja hanya memiliki tingkat
pendidikan rendah, kenaikan tingkat pengangguran tentu bisa menjadi
ancaman. Atas dasar itulah perlunya sebuah kebijakan yang didasarkan
atas bukti-bukti yang didapati di masyarakat sehingga dapat dihasilkan
suatu kebijakan baru yang mengakomodasikan kepentingan bersama.
Dengan menempatkan bukti terbaik sebagai dasar untuk membantu
pengambil keputusan memperoleh informasi penuh mengenai
kebijakan, program, dan kegiatan sesuai dengan paradigma Revolusi
Industri 4.0 dapat digambarkan dalam kerangka berikut ini.
KEBIJAKAN LAMA

Bukti STAKEHOLDER STAKEHOLDER


PARADIGMA
LEGISLATIF REVOLUSI PEMERINTAH
INDUSTRI
4.0
KEMENDIKBUD
KOMISI VI
KEMNAKER
KOMISI VII
KEMRISTEK
KOMISI IX
KEMEN
KOMISI X
PERINDUSTRIAN
Desain Implementasi
Kebijakan Kebijakan
KEBIJAKAN BARU

Gambar 1. Skema kebijakan Gambar 2. Framework kebijakan


berbasis bukti

V. PENUTUP
Kemajuan teknologi ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan
abad ke-21, di mana pendidikan harus mampu mengembangkan

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 147


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

kemampuan dan keterampilan siswa untuk memecahkan masalah


dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan tersebut secara tidak
langsung juga mengharuskan guru maupun dosen untuk terus
meng-upgrade kemampuannya agar mampu menghasilkan siswa/
mahasiswa yang berdaya saing dan mampu berpikir tingkat tinggi.
Perubahan-perubahan yang sejalan dengan Revolusi Industri 4.0
sangatlah cepat. Tugas manusia sudah banyak yang digantikan
dengan robot. Keadaan tersebut menimbulkan beberapa tantangan
terutama di bidang pendidikan yang menjadi dasar dari setiap
pemikiran.
Guru dan dosen dalam menghadapi tantangan tersebut juga
harus memiliki kompetensi yang mumpuni, karena mempunyai
peran yang sangat strategis dalam perkembangan pergerakan
nasional. Pendidikan zaman sekarang lebih berfokus dalam
melahirkan generasi yang mampu menciptakan perubahan, bukan
generasi yang menunggu perubahan. Generasi yang memiliki
karakter dan berdaya saing. Untuk itu, perlunya sinergitas antara
badan legislatif (DPR-RI), terutama Komisi VI, VII, IX, dan X untuk
duduk bersama pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan
Teknologi, serta Kementerian Tenaga Kerja untuk menyusun dan
mengesahkan sebuah payung hukum bagi guru dan dosen dalam
rangka menjawab tantangan maupun peluang dalam menghadapi
Revolusi Industri 4.0 segala sesuatu berbasis internet of thing (IoT).

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A. Y., & Handoyo, S. (2015). Pembuatan Kebijakan


Berbasis Bukti: Studi Pada Proses Pembuatan Kebijakan
Standardisasi Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia. STI
Policy and Management Journal, 13(1), hal. 38–57. https://doi.
org/10.14203/STIPM.2015.38

148 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Badan Pusat Statistik. (2019). Berita Resmi Statistik,


(online), (https://www.bps.go.id/website/materi_ind/
materiBrsInd-20190506113732.pdf)
D Adiputri, R. (2014). The Dutch Legacy in the Indonesian Parliament.
Journal of Political Sciences & Public Affairs, Vol. 2, hal. 1–9.
https://doi.org/10.4172/2332-0761.1000118
Nurkholis, M. A., & Badawi. (2019). Profesionalisme Guru di Era
Revolusi Industri 4.0., Prosiding, Seminar Nasional Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas PGRI Madiun 12 Januari
2019, 12 Januari, 491–498.
Prasetyo, B. dan U. T. (2018). Revolusi Industri 4.0 Dan Tantangan
Perubahan Sosial. Prosiding, SEMATEKSOS 3 Strategi
Pembangunan Nasional Menghadapi Revolusi Industri 4.0, 0(5),
22–27. https://doi.org/10.12962/j23546026.y2018i5.4417.
Sedana, I. M. (2019). Guru Dalam Peningkatan Profesionalisme,
Agen Perubahan dan Revolusi Industri 4.0. Jurnal Penjaminan
Mutu LPM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Vol. 5(2), hal.
179–189.
Shahroom, A. A., & Hussin, N. (2018). Industrial Revolution 4.0
and Education. International Journal of Academic Research in
Business and Social Sciences, Vol. 8(9), hal. 314–319. https://doi.
org/10.6007/ijarbss/v8-i9/4593
Sindonews.com. (2019). Revolusi Industri 4.0, Ancaman dan Peluang,
(online), (https://nasional.sindonews.com/read/1439542/16/
revolusi-industri-40-ancaman-dan-peluang-1568407320,
diakses 5 November 2019).
Syamsuar dan Reflianto. (2018). Pendidikan dan Tantangan
Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi di Era Revolusi
Industri 4.0. E-Tech: Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, Vol.
6(2), hal. 1–13.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.

Ratna Susanti dan Suci Purwandari 149


Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Yusnaini, & Slamet. (2019). Era Revolusi Industri 4.0:


Tantangan dan Peluang dalam Upaya Meningkatkan Literasi
Pendidikan, Prosiding, Seminar NasionalPendidikan Program
PascasarjanaUniversitas PGRI Palembang, 2, 1073–1085,
(online), (https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/
Prosidingpps/article/view/2668).
Zen, Z. (2018). Inovasi Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi:
Menuju Pendidikan Masa Depan. E-Tech: Jurnal Ilmiah Teknologi
Pendidikan, Vol. 6(2), hal. 1–12., (online), (http://www.dpr.
go.id/berita/detail/id/23327/t/UU+Guru+dan+Dosen+Perlu+
Perubahan).

150 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

LEGALISASI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDESA)


UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT DESA

Elita Lukminarti
Universitas Bina Sarana Informatika,
elita_l@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam pelaksaanaan pembentukan BUMdesa mewajibkan beberapa
tata cara dan langkah yang menyangkut proses legalisasi sebuah badan
usaha. Dibalik seluruh aturan dan tata tertib yang harus dilakukan
pemerintah desa dalam proses ada banyak cara yang berujung
bermaksud untuk demi tercapainya kesejahteraan masyarakat di desa.
Dalam konteks komersial dari berbagai bentuk perusahaan yang ada
di Indonesia, seperti firma, koperasi, BUMN, persekutuan komanditer,
persekutuan perdata dan Perseroan terbatas, landasan hukum Badan
Usaha Milik Desa bagaimana pun berada pada wilayah yang tidak
jelas. Karena itu, legalisasi BUMDesa menjadi prasyarat penting untuk
memastikan pendirian dapat mencapai tujuan yang diharapkan untuk
kesejahteraan masyarakat desa.
Kata kunci: APBDesa; BUMDesa; evaluasi; legalisasi BUMDesa.

I. PENDAHULUAN
Badan Usaha Milik desa sebagai alat untuk mewujudkan cita
bangsa yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum.
Dalam mewujudkannya bukanlah tanpa tantangan. Pastinya
banyak tantanga yang ada dalm pelaksanaanya. Peran pemerintah
desa cukup dominan dengan menguasai seluruh atau sebagian
besar modal BUMDesa melalui penyertaan modal secara langsung
yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya
kesejahteraan masyarakat desa.

II. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature
research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan

Elita Lukminarti 151


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang


objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan
seperti buku, jurnal ilmiah, koran maupun dokumen-dokumen lain
yang relevan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam tulisan
ini adalah analisis deksriptif, yaitu menggambarkan secara naratif
data-data yang didapatkan serta menguraikannya secara sistematis,
kemudian diberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.

III. PEMBAHASAN
Badan Usaha Milik Desa atau disingkat BUMDesa merupakan
amanat dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa,
yang mana adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa, apakah itu untuk menggali potensi
desa ataukah mengadakan seperti simpan pinjam yang berupa
koperasi atau tetapi ada pula menyesuaikan dengan kondisi riil
desa dalam artian menyesuaikan potensi-potensi apa saja yang bisa
dikelola dan kemudian diangkat untuk dikelola oleh BUMDesa.
Sedang pengertian Aset desa sesuai Peraturan Mendagri Nomor
1 tahun 2016 pasal 1 angka 5 adalah “merupakan barang Milik Desa
atau yang berasal dari kekayaan asli milik desa, dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
atau perolehan Hak lainnya yang sah”. Jadi jelas bahwa aset desa
merupakan murni kepunyaaan desa, dalam hal pengelolaan aset
desa, kegiatan-kegiatan yang meliputi dalam hal ini adalah apakah itu
perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan,
pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, danpengendalian
aset desa, kesemua ini adalah ragkaian dari pengelolaan aset desa.
Adapun jenis aset desa sesuai pasal 10 Permendagri Nomor 1 tahun
2016 terdiri dari;
• Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBDesa.
• Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau
yang sejenis.

152 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

• Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari


perjanjian/kontrak dan/atau diperoleh berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
• Kekayaan asli desa.
• Hasil kerjasama dan kekayaan desa yang berasal dari perolehan
lain yang sah.
Pendirian BUMDesa mengacu pada Perda (Peraturan Daerah)
kabupaten dan diatur berdasarkan Perdes (Peraturan Desa). Dalam
setiap kecamatan terdiri dari beberapa desa. Satu desa hanya
terdapat satu BUMDesa untuk di kelola yang difasilitasi oleh Pemkab
(Pemerintah Kabupaten). Dalam bentuk badan usahanya BUMDesa
dapat didirikan dalam bentuk Usaha Bersama (UB) atau Bentuk
lainnya tetapi bukan koperasi, PT, Badan Usaha Milik Daerah, CV,
UD atau lembaga keuangan (BPR).

A. Tahapan pembentukan BUMDesa.


Adanya Peraturan Desa (Pemdes) dan masyarakat bersepakat
mendidirkan BUMDesa. Ide atau gagasan awal pendirian BUMDesa
bisa bersumber dari perorangan atau kelompok masyarakat dan
dibahas dalam rapat desa atau rembug desa. Tahapan aktivitasnya
dapat berupa:
• Rapat Desa/rembug desa guna membuat kesepakatan pendirian
BUMDesa.
• Melakukan identifikasi potensi dan inovasi terhadap produk
(barang dan jasa) yang akan di tawarkan BUMDesa.
• Menyususn AD/ART (Anggaran dasar/Anggaran Rumah
Tangga)
• Pembentukan Dewan komisaris (yang terdiri dari tokoh
masyarakat dan aparat pemerimtah desa).
• Mengajukan legalisasi badan hukum ke notaris untuk
memperoleh pengesahan.
BUMDesa harus bersifat professional dan mandiri sehingga
diperlukan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk
mengelolanya. Pada proses rekrutmen SDM diperlukan sistem
penggajian dan pengupahan juga harus dibahas pada rapat/rembug
desa. Untuk menetapkan orang-orang yang bakal menjadi pengelola
BUMDesa dapat dilakukan secara musyawarah yang harus

Elita Lukminarti 153


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

didasarkan pada kriteria tertentu. Persyaratan pemegang jabatan


didalam BUMDesa menjadi tanggung jawab Dewan komisaris.

B. Kegiatan pada BUMDesa


Kegaiatan bersifat lintas desa perlu koordinasi dan kerjasama
antar Pemerintah Desa dalam pemanfaatan sumber-sumber
ekonomi. Kerjasama pihak ketiga harus oleh pengelola harus di
konsultasikan dan persetujuan Dewan Komisaris BUMDesa. Untuk
kegiatan harian, maka pengelola harus mengacu pada tata aturan
yang sudah di sepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang
dalam AD/ART BUMDesa serta sesuai prinsip-prinsip tata kelola
BUMDesa. Segala pengeloalaan AD/ART BUMDesa harus bersifat
transparan dan terbuka antara masyarakat desa dan pemerintah
desa.

C. Anggaran Dasar (AD)


AD adalah anggaran dasar yaitu peraturan tertulis memuat
dan terdiri dari aturan-aturan pokok saja dalam organisasi yang
berfungsi sebagai pedoman dan kebijakan untuk mencapai tujuan
serta menyusun aturan-aturan lain. Biasanya aturan ini dibentuk
sebelum kepengurusan terbentuk. Langkah- langkah penyusunan
anggaran dasar:
• Aparat Pemerinatah Desa mengundang pimpinan atau pengurus
lembaga-lembaga masyarakat desa, pemuda desa, dan tokoh
masyarakat untuk merancang AD.
• Pemdes membentuk Tim Perumus (sebaiknya melibatkan
golongan miskin/kurang mampu).
• Tim perumus AD menggali ide, aspirasi dan merumuskan
pokok-pokok aturannya dalam bentuk draft AD.
• Pemdes mengadakan pertemuan desa untuk membahas draft
AD.
• Pemdes membuat berita acara pengesahan draft AD menjadi
AD.
• Penyusunan dan pembentukan pengelola BUMDesa.
• Pemdes membuat berita acara pengesahan pembentukan dan
penetapan pengelola BUMDesa.

154 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

D. Anggaran Rumah Tangga (ART)


ART adalah anggaran rumah tangga (ART) yaitu peraturan
tertulis sebagai bentuk operasioanl yang lebih terisi dari aturan-
aturan pokok Anggaran Dasar, disusun setelah pengola terbentuk
dan disahkan melalui rapat amggota. Langkah-langkah penyusunan
ART yaitu:
• Pengelola mengundang masyarakat pengguna kelembagaan
dan pemerintah desa dan tokoh masyarakat.
• Membentuk tim perumus.
• Tim perumus menggali ide aspirasi dan merumuskan pokok-
pokok aturannya dalam bentuk draft ART
• Rapat/Rembug Desa untuk membahas draft ART
• Dibuat berita acara pengesahan draft ART menjadi ART.

E. Monitoring dan evaluasi


Pada pembentukan BUMDesa perlu dibuat prosedur
pengawasan. Untuk keperluas pengawasan disamping dilakukan
oleh Dewan Komisaris sebaiknya ditambah unsur dari pemerintah
kabupaten. Sebab Pemerintah Kabupaten berperan dalam
memfasilitasi usaha BUMDesa. Proses monitoring dilakukan secara
berkelanjutan sehinga memantau kegiatan BUMDesa secara baik.
Evaluasi dilakukan per-Triwulan atau sewaktu-waktu jika dianggap
perlu sesuai dengan ketentuan AD/ART. Pertanggung jawaban
Pengelola dalam prosesnya meliputi:
• Setiap akhir periode anggaran pengelola wajib menyusun
laporan pertanggungjawaban untuk disampaikan dalam
musyawarah desa yang megikutsertakan elemen pemerintah
desa, masyarakat, pemuda, serta seluruh kelengkapan struktur
organisasi BUMDesa.
• Laporan pertangguang jawaban antara lain membuat laporan
kinerja pengelola selama satu periode/tahunan kinerja usaha
yang menyangkut realisasi usaha upaya pengembangan
pencapaain indikator keberhasilan dan lainnya laporan keuangan
termasuk rencana-rencana pengembangan usaha yang belum
terealisasi. Proses pertanggungjawaban dilakukan sebagai
upaya evaluasi tahunan serta upaya-upaya pengembangan yang
akan datang.

Elita Lukminarti 155


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

• Mekanisme dan tata tertib pertanggungjawaban ini disesuaikan


dengan anggaran.
BUMDesa harus memuat prinsip prinsip demokrasi ekonomi
sesuai pasal 33 UUD 1945. Sehingga hal-hal yang sangat perlu
diperhatikan adalah perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hayat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah pemerintah desa; bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (masyarakat desa); perekonomian nasional di selenggarakan
berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
berkeadilan dan kesatuan ekonomi.
Pemerintah Desa dapat membentuk sebuah organisasi
bernama Badan Usaha Milik Desa yang diatur dalam Pasal 87 Ayat
1 UU Desa. BUMDesa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Namun di lain sisi muncul dari segi legalitas,
yakni merupakan badan hukum. Jika kita memaknai badan hukum
adalah orang berbadan hukum. Kita lihat bahwa pada Pasal 1 angka
6 UU Desa yang menyatakan bahwa Badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan
guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. BUMDesa bukan
badan hukum, melainkan badan usaha.
Pada pasal 1653 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhinpunan-
perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan itu
diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum,
maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai
diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu
yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan
yang baik.
Terminologi badan hukum dalam pasal 1653 Perdata
mengandung dua dimensi, yakni badan hukum publik dan badan
hukum perdata. Contoh badan hukum publik adalah badan hukum
orisinal, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah

156 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

kota, perguruan tinggi, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.


Adapun contoh badan hukum perdata antara lain terdiri dari
perkumpulan (Pasal 1653 KUH Perdata, Stb,1870-64, Stb. 1939-
570), Perseroan terbatas (Pasal 36 KUHD dan UU No. 1 tahun 1995
jo. UU No, 40 tahun 2007). Rederij Pasal 323 No. 12 Tahun 1967,
dan Yayasan (UU No.28 tahun 2004).
Dalam konteks komersial dari berbagai bentuk perusahaan
yang ada di Indonesia, seperti firma, koperasi, BUMN, persekutuan
komanditer, persekutuan perdata dan perseroan terbatas. Ketentuan
hukum ini menyebabkan Badan Usaha Milik Desa berada pada
wilayah yang tidak jelas. Di sinilah terjadi disharmonisasi peraturan
antara Pasal 87 Ayat 1 UU Desa dengan Pasal 1653 KUH Perdata.
Salah satunya dampaknya ketika BUMdesa mencari sumber-sumber
pembiyaan, baik utang maupun investasi dari pihak ketiga, selalu
ditolak karena status hukumnya belum jelas.
Dalam hal pembubaran BUMDesa juga belum ada atau tidak
diaturnya pembubaran tersebut. Hal ini dapat menyebabkan
BUMDesa tumbuh besar dan gagah perkasa tanpa adanya kontrol
dari pihak lain. Dalam hal kepailitan pun, tidak dijelaskan pula
bagaimana proses dan siapa saja yang berhak untuk membubarkan
dan mempailitkan BUMDesa ini. Jika dibiarkan tidak teratur
bukannya tidak mungkin, BUMDesa yang bertujuan menyejahterakan
masyarakat desa justru beralih menguntungkan elite capture di
lingkungan kekuasaan saja.

IV. PENUTUP
Elite capture dapat dilihat dari dua sisi yaitu kesengajaan dan
ketidaksengajaan. Kesengajaan yaitu jika yang mendapatkan lingkaran
ekonomi yang berafiliasi dengan kepala desa saja. Sebagai contoh
kepala desa dengan direktur BUMDesa memiliki hubungan saudara
bahkan suami istri. Hal ini bisa menjadi faktor penghambat karena
adanya konflik kepentingan antara kepala desa dan direktur BUMDesa
tersebut. Ketidaksengajaan adalah jika dalam implementasi program
tertentu desa yang hanya warga desa yang memiliki kemampuan
lebih. Sebagai contoh ketika desa membangun jalan desa maka yang
merasakan manfaat lebih adalah yang mempunyai kendaraan. Bisa
dikatakan bahwa badan usaha milik desa, dapat berupa badan hukum
publik, tetapi bukan badan hukum privat.

Elita Lukminarti 157


Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. (2006). Pembangunan Pedesaan dan


Perkotaan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Kessa, Wahyudin. (2015). Perencanaan Pembangunan Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Kurniawan, Boni. (2015). Desa Mandiri, Desa Membangun. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Risadi, Aris Ahmad. (2012). Badan Usaha Milik Desa. Jakarta: Dapur
Buku.
Setiawan, Danny. (2011). Wajah Desa Kita Dimensi SDM, Politik,
Ekonomi. Jakarta: Pusat Kajian Pemberdayaan Desa.
Soejito, Irawan. (1984). Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah. Jakarta: Bina Aksara.

158 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

REKONSTRUKSI NASKAH AKADEMIK SEBAGAI


DASAR PENYUSUNAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI
(EVIDENCE- BASE POLICY)

Sunny Ummul Firdaus


Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
firdaussunny@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam kultur penyusunan produk hukum di Indonesia, naskah
akademik di konstruksikan sebagai syarat wajib sebelum mendesain
sebuah kebijakan atau produk hukum. Naskah akademik merupakan
pertanggungjawaban ilmiah mengenai suatu rancangan produk hukum
yang di dalamnya memuat hasil penelitian, kajian ataupun telaah
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Kewajiban
penyusunan nasakah akademik ini seharusnya dimaknai sebagai sistem
yang dapat menggambarkan bahwa produk hukum yang dihasilkan
telah melalui proses penelaahan yang matang. Namun struktur naskah
akademik yang ada belum mampu memberikan gambaran yang jelas
terkait dengan kondisi empirik kebutuhan masyarakat atas suatu
produk hukum. Naskah akademik hanya sekedar justifikasi yang dibalut
oleh kajian yang bersifat teoritis, namun seringkali minus gejala-gejala
sosiologis di masyakat yang seharusnya menjadi parameter dalam
pembentukan produk hukum. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk menelaah kedudukan naskah akademik dalam penyusunan
kebijakan serta bagaimana naskah akademik dapat dijadikan
sebagai kajian ilmiah yang menghasilkan bukti-bukti atas kebutuhan
dalam penyusunan kebijakan. Konsep evidence-based policy perlu
dikembangkan sebagai metode dalam mengukur keberhasilan suatu
kebijakan. Hal ini diperlukan terutama bagi Indonesia yang memiliki
keanekaragaman sosial, politik, dan budaya, sehingga kebijakan yang
dihasilkan tidak mungkin bersifat generalisir. Pada kondisi inilah,
naskah akademik sebagai dasar evidence-based policy diharapkan
mampu menjawab permasalahan hukum yang ada saat ini.
Kata kunci: naskah akdemik; evidence-based policy; pembentukan
kebijakan.

Sunny Ummul Firdaus 159


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

I. PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
PUU), keberadaan naskah akademik merupakan suatu keharusan
dalam setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD. Pasal 43 ayat (3) UU PUU menyebutkan
bahwa: “rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden,
atau DPD harus disertai naskah akademik”. Rumusan kata “harus“
dalam pasal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal
ini dikarenakan naskah akademik merupakan pertanggungjawaban
ilmiah atas suatu RUU yang akan dilakukan pembahasan
kedepannya. Dalam naskah akademik setidaknya memuat secara
sistematis, yaitu: pertama, mengenai teori dan praktik empiris;
kedua, analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan terkait;
ketiga, landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis, serta; keempat,
sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan, dan
ruang lingkup pengaturan (DPR RI, 2017).
Naskah akademik berfungsi untuk memberikan gambaran
mengenai hasil penelitian ilmiah yang mendasari norma-norma
yang diusulkan dalam rancangan. Naskah akademik juga merupakan
pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk membahas
dan menetapkan apakah substansi atau materi yang terkandung
dalam naskah akademik layak diatur atau dimasukkan dalam
peraturan perundang-undangan (Marwan, 2017). Bahkan dalam
perkembangannya, naskah akademik dapat dijadikan sebagai
salah satu bukti dalam persidangan judicial review di Mahkamah
Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu norma. Kendati
tidak bersifat mengikat bagi Hakim Konstitusi, naskah akademik
dapat menjadi referensi untuk memutus konstitusionalitas suatu
norma tersebut (Eko Supriyanto, 2016).
Keberadaan naskah akademik saat ini dipandang sebagai
bagian penting dari rulemaking process. Kendati UU PUU hanya
mengharuskan penyusunan naskah akademik pada RUU dan
Raperda, namun tidak sedikit lembaga negara yang mengeluarkan
peraturan dengan berdasarkan pada proses pengkajian secara
tertulis yang mereka namakan naskah akademik. Dengan kata lain,
struktur naskah akademik yang digunakan oleh setiap lembaga

160 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

negara bisa berbeda, namun khusus dalam penyusunan RUU dan


Raperda harus mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU
PUU. Penggunaan naskah akademik oleh lembaga-lembaga ini
menunjukan bahwa naskah akademik dibutuhkan sebagai tolo-ukur
dari suatu kebijakan yang akan dihasilkan, sekaligus sebagai bentuk
pertanggungjawaban bahwa produk hukum tidak keluar melalui
proses transaksi politik atau ‘serampangan’, melainkan melalui
tahapan penelaahan secara mendalam.
Dengan melihat rasionalitas suatu naskah akademik tersebut di
atas, seyogianya suatu aturan harus berdasarkan pada kehendak dan
kebutuhan masyarakat. Penyusunan naskah akademik yang dilakukan
dengan melihat gejala-gejala sosial di masyarakat seharusnya dapat
dimaknai bahwa aturan yang dibentuk nantinya akan memberikan
kepastian, keadilan dan kebermanfaatan bagi masyarakat. Akan tetapi,
tidak sedikit RUU atau Raperda yang ‘mendadak’ disahkan tanpa
melalui proses penyusunan naskah akademik. (https://radarcirebon.
com/banyak-raperda-kota-cirebon-belum-punya-naskah-akademik.
html) Bahkan tidak jarang pula terdengar kasus bahwa naskah
akademik yang dibuat hanya berdasarkan pada copy-paste pada
peraturan yang pernah ada sebelumnya, atau tidak memiliki kejelasan
substansi yang bersumber dari keinginan masyarakat.
Sebagai suatu produk penelitian ilmiah, naskah akademik
seharusnya mengandung bukti-bukti ilmiah kesesuaian antara
kebutuhan masyarakat dengan kebijakan yang akan dikeluarkan.
Dalam pendekatan yang lebih modern, istilah yang digunakan
adalah “evidence-based policy” yang merujuk pada suatu kebijakan
yang dihasilkan berdasarkan bukti. Konsep ini mengidentifikasi
apa yang berhasil, menyoroti kesenjangan di mana bukti efektivitas
program kurang, memungkinkan para pembuat kebijakan untuk
menggunakan bukti dalam anggaran dan keputusan kebijakan,
dan bergantung pada sistem untuk memantau implementasi
dan mengukur hasil kunci, menggunakan informasi untuk terus
meningkatkan kinerja program. Melalui pendekatan ini, suatu
kebijakan diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Sehingga penulisan makalah ini diarahkan untuk mengkaji mengenai
kedudukan naskah akademik dalam penyusunan kebijakan, dan
bagaimana menkonstruksi naskah akademik sebagai sumber
evidence-based policy kedepannya?

Sunny Ummul Firdaus 161


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

II. TINJAUAN PUSTAKA


Menurut Sutcliffe dan Court (2005), EBP merupakan
serangkaian metode yang menginformasikan proses kebijakan yang
tidak bertujuan untuk secara langsung mempengaruhi tujuan akhir
kebijakan tersebut. Konsep ini menganjurkan pendekatan yang
lebih rasional, ketat dan sistematis. Pengambilan EBP didasarkan
pada premis bahwa keputusan kebijakan harus mendapat informasi
lebih baik dari bukti yang ada dan harus mencakup analisis rasional.
Hal ini karena kebijakan yang didasarkan pada bukti yang sistematis
dianggap menghasilkan hasil yang lebih baik. EBP merupakan
kebalikan dari kebijakan berbasis opini (opinion-based policy) yang
bergantung pada penggunaan “selective evidence” atau pandangan-
pandangan yang belum teruji (untested views) yang sering kali
terinspirasi oleh ideologi, prasangka, atau spekulasi (Harry Seldadyo,
2011).
Secara konseptual, EBP juga perlu dibedakan dengan
Information-Based Policy (IBP). Menurut Sumner et al. (2009), IBP
melihat kebijakan berdasarkan dari banyaknya informasi yang
dihimpun sehingga cenderung melihat pengetahuan dari aspek
kuantitasnya, sedangkan EBP melihat kebijakan sebagai sesuatu yang
bersumber dari kualitas pengetahuan dan relevansi kontekstualnya.
Oleh sebab itu, EBP menekankan pentingnya bukti yang diperoleh
dari hasil penelitian. Dalam hal ini, definisi bukti dapat mengacu
pada UK Government Cabinet Office (1999), bahwa bukti mencakup
“expert knowledge, published research, existing statistics, stakeholder
consultations, previous policy evaluations, the Internet, outcomes from
consultations, costing of policy options, and output from economic and
statistical modeling”. Sedangkan penelitian adalah “any systematic
effort to increase stock of knowledge”, termasuk penyelidikan dan
evaluasi kritis; penyusunan teori; pengumpulan, analisis, dan
kodifikasi data, serta riset berorientasi aksi. Meskipun demikian,
prinsipnya ialah bahwa bukti harus dikumpulkan secara cermat dan
sistematis.
Penelitian dalam pengambilan kebijakan di Indonesia dapat
dilihat pada naskah akademik. Sebagai suatu penelitian, Jazim
Hamidi (2011) menyebutkan bahwa naskah akademik menjadi
tolak ukur ilmiah yaitu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan

162 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan,


objek atau arah pengaturan rancangan peraturan daerah. Naskah
akademik akan memberikan arah kepada pemangku perancangan
(drafter). Bagi pemangku kepentingan, terutama yang menduduki
posisi sebagai pengambil kebijakan, akan mendapatkan informasi
yang memadai dalam pengambilan keputusan.
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
(law making process) naskah akademik merupakan bahan awal
(first draft) suatu rancanan atau sebagai suatu pemikiran baru.
Naskah akademik diharapkan dapat mempermudah perancang
dalam menentukan orientasi kebijakannya. Dengan menggunakan
pendekatan fungsi, naskah akademik memiliki empat fungsi,
yaitu: pertama, naskah akademik sebagai media harmonisasi dan
sinkronisasi pertemuan konsep hukum negara (state law) dan
hukum yang hidup dalam masyarakat; kedua, naskah akademik
sebagai media nyata partisipasi masyarakat untuk mewujudkan
penerimaan dan keberlakuan hukum; ketiga, naskah akademik
sebagai rekomendasi hasil pemikiran ilmiah yang sistematik
dan komprehensif; keempat, naskah akademik sebagai dokumen
kebijakan kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan suatu
kebijakan.

III. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research).
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan
kerangka konsep pada hukum positif (hukum tertulis). Penelitian
hukum disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)
yaitu penelitian dengan cara mencari dan meneliti bahan pustaka
yang merupakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian
ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang ditulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Penelitian ini menggunakan metode penalaran
(silogisme). Metode ini berpangkal dari pengajuan premis mayor
kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan.

Sunny Ummul Firdaus 163


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

IV. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Naskah Akademik dalam Pembentukan
Kebijakan
The Habibie Center (dalam Saldi Isra, 2009) pada tahun
2007 melakukan kajian mengenai kualitas legislasi di Indonesia.
Berdasarkan executive summary diskusi, terdapat tujuh faktor yang
mempengaruhi penurunan kualitas peraturan perundang-undang
di Indonesia. Salah satu di antara tujuh faktor tersebut adalah
terabaikannya naskah akademik dalam proses penyusunan suatu
rancangan peraturan. Dalam executive summary ditegaskan bahwa:
“Dengan NA, setidak-tidaknya suatu rancangan undang-undang
(RUU) dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah terutama
mengenai konsepsi yang berisi: latar belakang, tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek atau
arah pengaturan. Bagaimanapun, dalam proses penyusunan suatu
RUU, NA merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau
permasalah yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang
akan dibentuk atau disahkan”.
Keberadaan naskah akademik dalam pembentukan kebijakan
adalah wajib hukumnya sebagai konsekuensi logis bahwa dalam
proses legislasi harus memperhatikan pula kadiah-kaidah akademik
yang dapat dipertanggungjawabkan. Naskah akademik merupakan
salah satu bentuk dari perwujudan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya asas tujuan
yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling), asas perlunya
pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel), serta asas dapat
dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). Dengan NA,
dapat dilihat bahwa setiap rancangan peraturan tidak disusun
karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau
karena pemikiran yang tidak mendalam, melainkan didorong oleh
kebutuhan yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengkajian.
Naskah akademik merupakan kumpulan argumentasi
yang memenuhi standar akademik. Jimly Asshiddiqie (2006)
menyebutkan bahwa sebagai suatu hasil kajian yang bersifat
akademik, tentu naskah akademik sesuai dengan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, yaitu: rasional, kritis, objektif, dan impersonal.
Karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya

164 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

tentulah berisi ide-ide normatif yang mengandung kebenaran


ilmiah dan diharapkan terbebas dari kepentingan-kepentingan
yang bersifat pribadi atau kelompok, kepentingan politik golongan,
kepentingan politik kepartaian, dan sebagainya. Hal ini juga
ditegaskan oleh Siedman (2001) bahwa dalam proses penelitian
ilmiah untuk suatu rancangan peraturan yang disebut the concept
paper, menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.
Menurut Ann dan Bob Seidman (2009), untuk memperkuat
justifikasi terhadap substansi rancangan peraturan perundang-
undangan, perancang membutuhkan suatu laporan penelitian
(dalam hal ini naskah akademik), karena tiga alasan yakni: Pertama,
naskah akademik akan memberikan pembenaran bagi proses
pembentukan kebijakan yang sedang berlangsung. Kedua, naskah
akademik juga berfungsi sebagai peta yang akan memandu perancang
(drafter) dalam menghimpun dan mensistematisir kerangka besar
kebijakan yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang tersedia.
Ketiga, kehadiran naskah akademik juga akan memastikan bahwa
perancang akan menyusun serangkaian norma yang erstruktur
secara logis. Dengan kata lain, naskah akademik cenderung bersifat
ex-ante, yakni sebagai quality control dari pembentukan kebijakan
karena memuat koherensi kebutuhan yang digali secara sistematis
dan komprehensif.
Naskah akademik harus diartikan sebagai dokumen kebijakan
(policy paper), yang berarti bahwa naskah akademik berfungsi
untuk menjembatani komunikasi mengenai kebijakan yang akan
dibuat di antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pembuat kebijakan,
perancang, dan pemangku kepentingan (stakeholders). Kebijakan
yang dimaksud adalah keputusan pejabat publik dalam struktur
penyelenggara negara atas nama kepentingan warga negara yang
diformulasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Pembentukan kebijakan di sini diartikan sebagai politisi yang
mempunyai peran mengambil keputusan. Perancang peraturan
dipahami sebagai pelaksana teknis yang melakukan tugas
perancangan berikut analisis kebijakan. Dan pemangku kepentingan
adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan
terkena dampak langsung dari suatu kebijakan.
Pasal 1 angka (11) UU PUU menyebutkan bahwa “Naskah
Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum

Sunny Ummul Firdaus 165


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang


dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat”. Pengertian ini menandakan bahwa
dalam rezim penyusunan peraturan perundang-undangan saat ini,
naskah akademik telah ditetapkan secara tegas sebagai bagian dari
undang-undang tersebut. Bahkan dalam Pasal 43 ayat (3) UU PUU,
naskah akademik diikat dengan frasa “harus” sebagai kewajiban
bagi DPR, Presiden, atau DPD dalam menyusun suatu RUU.
Dasar filosofis penyusunan naskah akademik merujuk pada
hakekat hukum sebagai sesuatu yang berasal dari masyarakat atau
sesuatu yang sengaja dibentuk untuk mempengaruhi masyarakat.
Naskah akademik merupakan potret yang memberikan gambaran
atau penjelasan tentang apa yang dikehendaki masyarakat yang
kemudian diformulasikan dalam suatu kebijakan/peraturan
(Delfina Gusman, 2011). Oleh sebab itu, melembagakan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat dalam pembentukan hukum merupakan
hal yang mutlak. Dengan menggunakan pendekatan bottom-up,
naskah akademik tidak akan lagi dianggap sebagai syarat formal
yang terkadang bisa diabaikan oleh pemrakarsa yang masih
menggunakan parameter kebijakan top-down, melainkan sebagai
dokumen hidup yang didalamnya memuat nilai-nilai dan kehendak
masyarakat. Oleh sebab itu, muatan yang terkandung dalam naskah
akademik juga harus memuat hasil riset yang memadai, mengingat
Indonesia memiliki keragaman yang tentu mempengaruhi kebijakan
yang akan dikeluarkan.

B. Konstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Evidence-


Based Policy
Salah satu penyebab keberhasilan pada negara maju adalah
perumusan kebijakan yang berdasarkan bukti (Evidence-Based
Policy/EBP). Hasbullah (2018) menyatakan bahwa negara maju
semakin kuat dengan kebijakan pembangunan yang berdasarkan
bukti sehingga menghasilkan dampak yang efektif. Konsep EBP
menekankan pada pencapaian kinerja dengan memperhatikan
efektivitas dan efisiensi. Dengan menerapkan EBP, para pembentuk

166 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

regulasi akan bersumber pada data-data empirik yang diperoleh


dari hasil penelitian, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan
kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan yang bersifat jangka
panjang. The Pew Charitable Trusts (2014) menyebutkan bahwa
EBP dikatakan lebih efektif karena akan mengurangi pengeluaran
biaya, memperluas program yang inovatif, dan dapat memperkuat
aksesibilitas.
Gagasan mengenai penggunaan bukti sebagai sumber dalam
pembentukan kebijakan bukanlah hal yang baru. Sejak masa Yunani,
Aristoteles menempatkan berbagai ilmu pengetahuan sebagai
kerangka berpikir dalam merumuskan kebijakan. Idealnya, suatu
kebijakan dihasilkan dari kombinasi antara pengetahuan ilmiah,
pengetahuan pragmatik, dan pengetahuan yang berbasis nilai
(Flyvbjerg, 2001). Di Inggris, gerakan yang mendesak parlemen
untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti dapat ditelusuri
sebagai kritik atas aturan-aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan kehendak masyarakat. Florence Nightingale (dalam Gary Banks,
2009) pernah mengkritik parlemen Inggris dengan mengatakan
bahwa, “you change your laws and your administering of them so
fast, and without inquiry after results past or present, that it is all
experiment, seesaw, doctrinaire; a shuttlecock between battledores”.
Penerapan EBP didasarkan pada premis bahwa kebijakan
harus didasarkan pada bukti yang akurat dan telah melewati
tahapan analisis yang rasional. David Blunkett dalam (Young et.al.,
2002) menyebutkan bahwa “evidence is central to development and
evaluation of policy”. Menurut Blunkett, pemerintah berkomitmen
untuk menerapkan open-minded approach guna memahami apa dan
mengapa kebijakan itu bisa berhasil. Kebijakan berbasis bukti tidak
hanya memungkinkan pembuat keputusan untuk memilih program
yang sesuai dengan kebijakannya atau dia memberikan tujuan
tetapi juga mempersenjatai mereka dengan bukti untuk meyakinkan
orang lain. Dengan berkembangnya penerapan EBP, Nutley (2003)
menyebutkan bahwa “that policy will now be shaped by evidence;
thereby implying that the era of ideologically driven politics is over”.
Secara konseptual, konsep EBP dapat diterapkan pada negara-
negara berkembang. Penting untuk diingat bahwa di negara
berkembang terdapat keragaman budaya, ekonomi dan politik
yang membuatnya sangat sulit untuk menerapkan kebijakan yang

Sunny Ummul Firdaus 167


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

sifatnya generalisir. Sutcliffe dan Court (2005) menyebutkan bahwa


kondisi politik di negara berkembang cenderung tidak stabil. Ada
banyak negara yang belum menjamin kebebasan politik meskipun
mengklaim sebagai negara demokrasi. Kebijakan cenderung
terpusat tanpa memperhatikan artikulasi kepentingan yang tumbuh
di masyarakat. Namun demikian, seiring meningkatnya kesadaran
masyarakat dalam berpolitik, gagasan mengenai kebijakan yang
diambil dari ruang-ruang di masyarakat perlu diterapkan di negara
berkembang. Hal ini dikarenakan banyak bukti yang menunjukan
bahwa masyarakat dapat menjadi penghubung antara penelitian
yang dibutuhkan dan formulasi kebijakan yang akan dibuat.
Kultur pembentukan kebijakan di Indonesia sebenarnya sudah
diarahkan untuk menggunakan instrumen penelitian sebagai
dasar penentuan muatan kebijakan. Naskah akademik yang oleh
UU diwajibkan satu paket dengan RUU dan Raperda seharusnya
memuat bukti-bukti empirik. Ria Casmi (2013) menyebutkan bahwa
lemahnya kebijakan, khususnya yang terjadi di daerah, dikarenakan
kurangnya pemahaman mengenai pembentukan peraturan dan
belum adanya pemberdayaan budaya riset dalam setiap menyusun
naskah akademik-nya. Hal ini dapat terjadi karena dua hal, yakni:
pertama, bahwa pendekatan yang digunakan dalam membuat
kebijakan masih bersifat top-down, berdasarkan kepentingan
semata, sehingga mengabaikan aspirasi-aspirasi yang ada di
masyarakat; kedua, bahwa naskah akademik yang ada saat ini belum
sepenuhnya menjadi instrumen pertanggungjawaban ilmiah karena
hanya memuat hal-hal yang bersifat teroritis dan konseptual, belum
menyentuh pada permasalahan-permasalahan di masyarakat.
Materi muatan dalam naskah akademik seharusnya lebih
banyak menguraikan fakta empirik di masyarakat, sehingga fokus
kajian akan lebih banyak bersinggungan dengan kepentingan
masyarakat. Political will selanjutnya menjadi aktivitas pengambil
keputusan yang bersumber pada bukti-bukti yang terkandung dalam
naskah akademik tersebut. Hal ini agar suatu kebijakan diambil
berdasarkan pada apa yang seharusnya diatur. Kedepannya, perlu
ditegaskan bahwa naskah akademik bukan hanya sebagai bagian
dari suatu rancangan undang-undang, melainkan sebagai suatu
syarat perlunya suatu peraturan baru atau perubahan terhadap
kebijakan tertentu. Dengan demikian, akan ada konsekuensi hukum

168 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

apabila suatu rancangan peraturan tidak disertai dengan naskah


akademik.
Suatu kebijakan dibuat atas dasar pemenuhan kepentingan dari
masyarakat. Oleh karenanya kebijakan harus diambil berdasarkan
pada apa yang dikehendaki masyarakat. Rasio ini baru akan diperoleh
apabila naskah akademik dikonstruksikan sebagai dasar dalam
penyusunan kebijakan. Adapun naskah akademik yang dimaksud
adalah yang memuat fakta-fakta ilmiah yang relevan dan rasional
yang digali dari masyarakat secara langsung. Suatu kebijakan atau
peraturan sebagai a command of the lawgiver yang disusun disertai
dengan kajian yang memadai akan menjadi sebuah peraturan yang
baik, aplikatif dan futuristik serta mengarah kepada cita kedamaian
hidup (het recht wil de urede).

V. PENUTUP
Naskah akademik memiliki kedudukan yang strategis dalam
proses penyusunan suatu kebijakan atau peraturan. Ia diletakkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rancangan
peraturan, karena di dalamnya memuat alasan mengapa perlunya
suatu peraturan itu dibentuk. Namun dengan fakta bahwa naskah
akademik masih sering dianggap sebagai formalitas semata,
maka kedepannya perlu ditegaskan bahwa naskah akademik
merupakan suatu dokumen yang berkesinambungan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Oleh sebab itu, naskah
akademik harus dikonstruksikan sebagai dasar evidence-based policy,
dengan maksud bahwa naskah akademik tidak hanya memuat hal-
hal yang bersifat teoritis dan konseptual, melainkan memiliki bobot
lebih pada hal-hal yang sifatnya empirik dan dapat dibuktikan dari
apa yang ada dan terjadi di masyarakat. Substansi dan sistematika
Naskah Akademik harus di tata ulang sebagai sebuah dokumen riil
yang lebih banyak mengeksplorasi kondisi empiris suatu keadaan
yang akan di elaborasi sebagai sebuah kebijakan.

Sunny Ummul Firdaus 169


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

DAFTAR PUSTAKA

Flyvbjerg, B. (2001). Making social science matter: why social inquiry


fails and how it can succeed again. Cambridge, UK: University
Press.
Banks, Gary. (2009). Evidence-based policy making: What is it? How
do we get it?. (ANU Public Lecture Series, presented by ANZSOG,
4 February).
Sutcliffe, Sophie dan Julius Court. (2005). Evidence-Based
Policymaking: What is it? How does it work? What relevance for
developing countries?. Overseas Development Institute.
Young, K, et.al. (2002). Social science and the Evidence-based Policy
Movement. Social Policy and Society, Vol. 1.
Nutley, S. (2003). Bridging the policy/research divide: Reflections
and Lessons from the UK”. Keynote paper, National Institute
of Governance Conference; ‘Facing the Future: Engaging
stakeholders and citizens in developing public policy’, Canberra,
Australia 23/24 April 2003.
The Pew Charitable Trusts. (2014). Evidence-Based Policymaking: A
guide for effective government. A report from the Pew-MacArthur
Results First Initiative.
Seldadyo, Harry. (2011). Research and Policy: An Empirical Note.
SMERU Newsletter No. 32, Sep–Dec/2011.
Sumner, Andy, Nick Ishmael-Perkins, and Johanna Lindstrom.
(2009). Making Science of Influencing: Assessing the Impact of
Development Research, Institute of Development Studies.
Cabinet Office. (1999). Modernising Government White Paper.
London: Center for Management and Policy Studies.
DPR RI. (2017). Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang. Jakarta: Pusat Perancangan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.

170 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

Marwan. (2017). Hakikat Naskah Akademik dalam Pembentukan


Peraturan Daerah yang Responsif. Disertasi. Makassar: Fakultas
Hukum UNHAS.
Supriyanto, Eko. (2016). Kedudukan Naskah Akademik dalam
Penafsiran Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang. Jurnal
Yuridika. Volume 31 No. 3, September-Desember.
Hamidi, Jazim dan Kemilau Mutik. (2011). Legislative Drafting.
Yogyakarta: Total Media.
Isra, Saldi. (2019). Urgensi Naskah Akademik dalam Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan. Makalah, Disampaikan dalam
Diklat Legal Drafting Lembaga Administrasi Negara (LAN), di
Pusat Diklat LAN, Jakarta, 18 Maret 2009.
Asshiddiqie, Jimly. (2006). Perihal Undang-Undang. Jakarta:
Konstitusi Press.
Seidman, et.al (2001). Legislative Drafting for Democratic Social
Change : A Manual for Drafters. Boston : Kluwer Law International.
Seidman, Ann dan Robert B. Seidman. (2009). ILTAM: Drafting
Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change.
Boston University Law Review, Vol. 89, 2009.
Gusman, Delfina. (2011). Urgensi Naskah Akademik dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik.
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 40, No. 3, Juli.
Arrsa, Ria Casmi. (2013). Restorasi Politik Legislasi Pembentukan
Peraturan Daerah Berbasis Riset. Jurnal Rechtsvinding. Volume
2 Nomor 3, Desember 2013.
Radarcirebon.com. Banyak Raperda Kota Cirebon Belum Punya
Naskah Akademik, (online), (https://radarcirebon.com/banyak-
raperda-kota-cirebon-belum-punya-naskah-akademik.html)

Sunny Ummul Firdaus 171


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

POS PELAYANAN KEUANGAN


UNTUK DAYA SAING PENDIDIKAN

Rahayu Endang Pujiati


Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY
ratuberuk@yahoo.com

ABSTRAK
Pembiayaan untuk pendidikan sebesar 20 persen dari Pemerintah
Indonesia ternyata belum menghasilkan sumber daya manusia yang
maju, unggul, menguasai ilmu & teknologi, memiliki jiwa kewirausahaan
yang mampu bersaing dengan dunia internasional. Pembiayaan tersebut
baru ada pada kebutuhan akademik. Endowment fund dan Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga belum bisa menjawab pendidikan
yang berdaya saing. Pembiayaan tersebut baru ada pada kebutuhan
akademik dan pemerataan pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendiskripsikan perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan
pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
yang diperoleh dari informan maupun dokumen-dokumen pendukung..
Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa belum ada pendanaan untuk
masyarakat memperoleh pendidikan yang berdaya saing. melalui proses
pembelajaran :kepribadian, berakar pada budaya, pola hidup sehat,
kepeduliaan hidup bermasyarakat dengan aturan-aturannya; keunggulan
akademik; KeungguIan lokal, nasional dan internasional.
Kata kunci: pos pelayanan; keuangan; daya saing; pendidikan

I. PENDAHULUAN
Salah satu program kerja Presiden Jokowi-Ma’ruf 2019-2024
adalah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Presiden
Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan SDM akan menjadi
prioritas utama. Upaya tersebut dilakukan untuk merespons bonus
demografi yang menciptakan peluang tersendiri. Presiden Jokowi
ingin menciptakan generasi pekerja keras yang dinamis, menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden Joko Widodo mengatakan
Indonesia memerlukan endowment fund yang besar untuk
manajemen SDM serta optimalisasi kerja sama dengan industri
(tribunnews.com, 2019).

Rahayu Endang Pujiati 173


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Rahayu (2016) pernah menulis di blognya www. merubahmental.


com berjudul Bendera Setengah Tiang Untuk Pendidikan, yang
menyatakan bahwa pendanaan 20 persen dari APBN, APBD Tingkat
Provinsi dan APBD Kabupaten Kota belum mampu menopang
kebutuhan pendidikan. Hal ini terlihat dengan masih banyak
anak putus sekolah pada tingkat SD. Biaya pendidikan di lembaga
pendidikan formal masih sangat membebani masyarakat. Bertolak
dari keadaan ini, pemerintah diharapkan dapat Pos Pelayanan
Pendidikan khususnya pelayanan keuangan untuk meningkatkan
daya saing pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Daya Saing
Daya saing adalah kemampuan makhluk hidup untuk dapat
tumbuh (berkembang) secara normal di antara makhluk hidup
lainnya sebagai pesaing di satu habitat (di satu bidang usaha ). Daya
saing adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang
dihasilkan oleh seseorang. Daya saing ditentukan oleh keunggulan
bersaing suatu lembaga dan sangat bergantung pada tingkat sumber
daya yang dimilikinya/keunggulan kompetitif.

B. Konsep Pendidikan
Menurut Miarso (2004:9-10), konsep pendidikan adalah: 1)
Pendidikan pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh anak didik yang berakibat terjadinya perubahan pada diri
pribadinya; 2) Pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur
hidup; 3) Pendidikan dapat berlangsung kapan dan di mana
saja; 4) Pendidikan dapat berlangsung secara mandiri dan dapat
berlangsung secara efektif dengan dilakukannya pengawasan dan
penilikan berkala; 5) Pendidikan dapat berlangsung secara efektif
baik di dalam kelompok yang homogen, kelompok yang heterogen,
maupun perseorangan; 6) Belajar dapat diperoleh dari siapa dan apa
saja, baik yang sengaja dirancang maupun yang diambil manfaatnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

174 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,


pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

C. Pos
Pos disini adalah tempat terselesaikanya transaksi. Dalam dunia
dagang Point Of Sales (POS) merujuk dalam pengertian tempat kasir
(check-out counter) dengan mesin kasir (Cash Register). Sesuai
dengan namanya, POS merupakan titik penjualan (Check-out)
tempat di mana transaksi selesai. Ini adalah titik di mana pelanggan
melakukan pembayaran dalam pertukaran barang atau jasa.

D. Pelayanan
Pelayanan adalah tindakan yang dilakukan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan orang lain. Pada perkembanganya, pelayanan
dijadikan parameter dalam proses berproduktivitas antara
penyedia dan pengguna. Pendapat Zeitami kata pelayanan sebagai
penyampaian secara cerdas atas harapan konsumen.

E. Keuangan
Konsep dasar keuangan adalah nilai pendapatan bersih. Cara
menghitungnya adalah dengan mengurangi total aset dengan jumlah
total utang. Keuangan merupakan ilmu dan seni dalam mengelola
uang yang mempengaruhi kehidupan setiap orang dan setiap
organisasi. Keuangan berhubungan dengan proses, pasar, lembaga,
dan instrumen yang terlibat dalam transfer uang di antara individu
maupun antara bisnis dan pemerintah. Lain halnya pengertian
keuangan menurut pemerintah, menurut Pemerintah Indonesia
keuangan adalah untuk menentukan anggaran keuangan negara,
kebijakan fiskal, dan mengontrol keuangan.
Berdasarkan pengertian keuangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa keuangan pasti memiliki hubungan yang erat dengan dunia
moneter. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui dasar-
dasar yang dimiliki keuangan agar kita paham. Dasar-dasar keuangan
pertama nilai pendapatan bersih, kedua adalah inflasi, ketiga yang
dimiliki keuangan likuiditas (liquidity), keempat adalah bear market,

Rahayu Endang Pujiati 175


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

kelima toleransi risiko adalah sebuah ukuran dari ketidak pastian


yang tersedia, keenam alokasi asset dan diversifikasi.

III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti ingin mendiskripsikan
perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan pendidikan.
Pendapat Nawawi dan Martini (1996: 73). penelitian deskriptif
kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang
ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. Mukhtar (2013: 28). Sumber data dalam penelitian ini
adalah rekapitulasi program kegiatan pendidikan tahunan dan
buku evaluasi kinerja pembangunan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka (library
research), simak, dan catat. Sebagai instrumen utamanya adalah
peneliti sendiri, dalam hal ini peneliti sudah melakukan pembiayaan
pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang
peneliti cermati, dan mencatat hal yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Adapun langkah pengumpulan data penelitian adalah (1)
membaca, (2) menguasai teori, (3) menguasai metode, (4) mencari
dan menemukan data, (5) menganalisis data yang ditemukan
secara mendalam, (6) melakukan perbaikan secara menyeluruh, (7)
membuat simpulan penelitian. Pengumpulan data juga dilakukan
dengan kuisioner. Kuisioner (questionnaire) atau angket, merupakan
serangkaian (daftar) pertanyaan tertulis ditujukan kepada
responden mengenai masalah-masalah tertentu, yang bertujuan
untuk mendapatkan tanggapan dari orang tua (responden) tersebut.
Kuesioner yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
angket yang bersifat terbuka. Teknik analisis data dalam penelitian
ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu dengan
melakukan analisis secara langsung terhadap responden kemudian
peneliti menyimpulkan dari hasil analisis.

IV. PEMBAHASAN
A. Anggaran Pendidikan 20 persen
Amademen Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan
pengalokasian dana pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran

176 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Pendapatan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut ternyata


tersebar ke 20 kementerian. Di antaranya Kementerian Agama
yang mengurus Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), keagamaan
dan madrasah serta. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang menaungi universitas. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan hanya mengelola 9 persen dari 20 persen anggaran
pendidikan. Dari 20 persen APBN itu dibagi ke 20 kementerian dan
ditambah transfer ke daerah sebesar 65 persen lebih. Anggaran
pendidikan 20 persen bukan hanya berlaku pada APBN, tetapi juga
untuk APBD. Hanya ada lima pemerintah daerah yang masih kurang
dari 20 persen dalam mengalokasikan APBD murninya.

B. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)


LPDP bertugas untuk menempatkan dana tersebut pada
instrumen investasi yang aman seperti surat berharga negara.
Kemudian, hasil penempatan tersebut akan digunakan untuk
membiayai program pendidikan seperti penyaluran beasiswa
pendidikan tinggi di luar negeri. Program beasiswa dari LPDP
sendiri hanya ada dua yaitu untuk program Magister atau S2, baik
dalam maupun luar negeri, serta program Doktor atau S3 untuk
dalam maupun luar negeri juga. Jadi tidak ada program beasiswa
untuk tingkat sarjana atau S1. Maksimal masa studi untuk program
Magister adalah 2 tahun dan untuk program Doktor 4 tahun. Dan
jika melebihi masa waktu tersebut tentu saja bisa dikenakan penalti
bagi pemegang atau pelakasana beasiswa tersebut. Beasiswa LPDP
ini bertujuan untuk mendukung ketersediaan SDM Indonesia yang
berpendidikan dan berkualitas, mempunyai jiwa kepemimpinan dan
memberikan efek yang baik terhadap masyarakat luas dan bangsa di
masa depan. Yang akan ditanggung untuk beasiswa LPDP adalah biaya
pendaftaran, SPP, tunjangan buku, biaya tesis/disertasi/penelitian,
biaya wisuda, biaya transport PP, asuransi kesehatan, biaya aplikasi
visa, biaya hidup dan biaya kedatangan. Syarat beasiswa LPDP yang
harus dipenuhi adalah: Warga Negara Indonesia (WNI), merupakan
Lulusan Sarjana/magister di Universitas terakreditasi Ban-PT,
mempunyai jiwa kepemimpinan, berpartisipasi dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan/keilmuan/ inovasi dan kebudayaan, dan lain
sebagainya.

Rahayu Endang Pujiati 177


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

C. Endowment fund
Untuk mempercepat dan percepatan pendidikan yang merata dan
berkualitas yang memiliki daya saing sangat dibutuhkan pendanaan
yang luar biasa banyaknya. Sebagaiman salah satu program kerja
Presiden Jokowi-Amien 2019-2024 yaitu Pembangunan SDM,
Presiden .Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan sumber daya
manusia akan menjadi menjadi prioritas utama. Upaya tersebut
dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan
peluang tersendiri.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.05/2010
Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Endowment fund dan Cadangan Pendidikan
yang dimaksud dengan endowment fund adalah dana pengembangan
pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /
APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program
pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung
jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi
fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment
Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil
Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas
pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/
dewan/tim pendidikan nasional.
Menurut Direktur Peraturan Perpajakan II, DJP Kementerian
Keuangan Yunirwansyah mengatakan konsep pemerintah memberi
kelonggaran bagi lembaga pendidikan tinggi untuk memupuk
kekayaan dari sisa/kelebihan dana yang diterima tanpa dikenakan
pajak. diatur dalam perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima Atau Diperoleh Badan
Atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan
Dan/Atau Bidang Penelitian dan Pengembangan, yang Dikecualikan
Dari Objek Pajak Penghasilan. Sebagaimana pada aturan Peraturan
Menteri Keuangan RI/PMK nomor 80 tahun 2009 pasal 1 ayat (1)
yang menyebutkan, ‘sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

178 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

D. Daya Saing Pendidikan


Kekuatan pokok manusia bukan sekedar terletak pada
kemampuan intelektualnya, tetapi juga bersandar pada kekuatan
hati nurani, keimanan, martabat, perlaku dan kepribadiannya. OIeh
karena itu yang harus dididik bukan hanya sekedar kemampuan
intelektual tapi juga hati nurani, keimanan, sikap dan stabilitas emosi
juga perilaku dan ketrampilannya. Dengan demikian pendidikan
tidak berorientasi mutlak pada pemberdayaan kemampuan
intelektualnya semata, tetapi juga harus dikembangkan pada proses
penyadaran, pendidikan hati nurani dan pendidikan keimanan
(Yuwono Sri Suwito,2007). Artinya output pendidikan diharapkan
tidak hanya memiliki keunggulan komparatif yang modern tetapi
output pendidikan dan sekolah juga diharapkan akan menghasilkan
satriya utama yang memiliki keunggulan tidak hanya berbicara
tetapi juga pengetahuan intelektualnya, sopan-santun, unggah-
ungguhnya/ pembelajaran kepribadian yang berakar pada budaya,
pola hidup sehat, kepeduliaan hidup bermasyarakat dengan aturan-
aturannya; keunggulan akademik; keungguIan lokal, nasional
dan internasional, dan ada perbuatan nyata yang berguna bagi
masyarakat dan mampu bersaing di dunia atau mengglobal.

E. Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan


Dikatakan POS karena memiliki maksud dan tujuan untuk
menyelesaikan semua masalah pembiayaan pendidikan dengan
cepat dan tepat dari PAUD hingga perguruan tinggi, tempat ini
bisa dikatakan sebagai ruang publik. Ruang Publik secara spasial
didefinisikan sebagai tempat di mana setiap orang memiliki hak
untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang
lainnya. Dana pendidikan yang ada sekarang untuk kebutuhan
pendidikan yang berasal dari pemerintah belum menyentuh
kebutuhan pendidikan yang berkualitas. Menurut Enny (peneliti)
kualitas pendidikan di Indonesia masih bermasalah walaupun dana
yang digelontorkan untuk sektor pendidikan sudah cukup besar
melalui afirmasi policy 20 persen anggaran pendidikan, itu jauh
sudah lebih dari cukup, kalau angka 20 persen itu diproporsionalkan
dengan total belanja negara (500 triliun). Yang menjadi persoalannya
mengapa kualitas pendidikan kita dan infrastruktur pendidikan kita

Rahayu Endang Pujiati 179


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

sampai hari ini masih banyak yang bermasalah. Hal ini diperkirakan
bahwa yang jadi persoalan terkait tata kelola atau manajemen
pengelola anggaran pendidikan yang begitu besar belum efektif
dan efisien. Sebagai contoh pembiayaan keberadaan pendidikan
prasekolah secara formal yaitu PAUD dan Taman kanak-kanak yang
diawali dari anak usia 3- 6 tahun. Jangka waktu yang cukup lama
untuk hanya untuk sekedar menyiapkan anak beradaptasi menuju
sekolah. Kondisi demikian orang tua akan kebanyakan kehilangan
waktunya hanya untuk seremonial antar jemput di samping itu
pikiran dan tenaga juga akan dikeluarkan. Pilar Pendidikan yang
berbasis keluarga akan hilang karena orang tua tidak memperoleh
waktu untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan .
Sebenarnya dana pendidikan 20 persen peruntukannya yang
sesuai Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa” Pemerintah Daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan
bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun. Sedangkan lembaga BLU yang dibentuk pemerintah
yang berupa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan/LPDP bertugas
untuk menempatkan dana tersebut pada instrumen investasi yang
aman seperti surat berharga negara. Kemudian, hasil penempatan
tersebut digunakan untuk membiayai program pendidikan seperti
penyaluran beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri. Program
beasiswa dari LPDP sendiri hanya ada dua yaitu untuk program
Magister atau S2, baik dalam maupun luar negeri, serta program
Doktor atau S3 untuk dalam maupun luar negeri juga. Jadi tidak ada
program beasiswa untuk tingkat sarjana atau S1.
Lain halnya dengan endowment fund adalah dana pengembangan
pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /
APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program
pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung
jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi
fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment
Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil
Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas
pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/
dewan/tim pendidikan nasional.

180 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Lain soal dengan tunjangan anak untuk Aparatur Sipil Negara /


ASN ada tunjangan sebesar 2,5 persen dari gaji pokok yang melekat
pada gaji sebagai tunjangan anak setiap bulannya yang diberikan
anak pertama dan anak kedua selama masih sekolah/kuliah (setelah
berusia 21 tahun menggunakan surat keterangan kuliah dari
kampus) dan gaji ke 13 setiap tahunnya. Tunjangan anak tersebut
digunakan tidak jelas artinya untuk kebutuhan macam-macam,
kalau peneliti untuk membayar listrik/pembelian pulsa listrik
namun setiap bulannya tidak cukup. Sedangkan gaji ke 13 kalau
peneliti dan beberapa responden dana tersebut digunakan untuk
membayar sekolah seperti uang bangku, Uang Kuliah Terpadu/UKT.
Pembayaran ini sering terlambat karena gaji ke 13 baru didapat
pertengahan bulan Juli sedangkan anak sekolah bulan Juli sudah
masuk.
Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo Indonesia
membutuhkan endowment fund yang besar untuk dialokasikan ke
sektor pengembangan SDM, tujuannya untuk meningkatkan kualitas
SDM lokal agar bisa bersaing. Namun, seperti apakah endowment
fund dan apakah sudah efektif? Untu itu diperlukan adanya Lembaga
Keuangan Pendidikan Masyarakat yang disingkat LKPM yang
lokasinya paling dekat dengan masyarakat yaitu di Desa/Kelurahan.
Lembaga ini tidak mencari laba tidak seperti Badan usaha atau
Koperasi.
LKPM adalah salah satu bentuk badan usaha yang harus sesuai
asas kekeluargaan, dengan misi sebagai; pertama, penyediaan
dana, pencairan dana, pengelolaan dana dan pertanggung
jawaban yang independen, transparan, dan akuntabel. Kedua,
menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi
berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antar generasi
(intergenerational equity). Ketiga, merealisasikan kemampuan
SDM melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Keempat, membangun SDM Indonesia yang pekerja keras, yang
dinamis. terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi. Kelima,
memperkokoh pendidikan sebagai dasar kekuatan dan ketahanan
SDM. Keenam, mewujudkan SDM yang multi talen, menguasai
pengetahuan, teknologi, sebagai inovator, memiliki jiwa interprenaur
yang mampu bersaing dengan masyarakat internasional.

Rahayu Endang Pujiati 181


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

LKPM dalam menjalankan kegiatan selalu dilandasi dengan


prinsip-prinsip yaitu: a) bersifat terbuka. bagi pelajar (dari siswa
PAUD sampai SLA) dan mahasiswa tanpa memandang RAS, suku,
agama b) pengelolaan dilakukan secara demokratis (dengan
musyawarah mufakaat yang dipilih oleh masyarakat desa/kelurahan
setempat model pemilihan mengutip BPD).

V. PENUTUP
Hingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan penganggaran
daya saing pendidikan pemerintah masih berpikir pemerataan
kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, pemerintah
juga belum efisien dan efektf dalam membelanjakan dananya
seperti biaya untuk pendidikan prasekolah dari usia 3-6 Tahun.
Untuk mewujudkan daya saing di bidang pendidikan dibutuhkan
rekontruksi pendanaan yang bersifat sistematis untuk mengubah
dan membebaskan masyarakat dari pembiayaan pendidikan selama
ini dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I.,N.,T. (2017). Memahami Peran Masyarakat Dan Pemerintah


Dalam Kemajuan Mutu Pendidikan di Indonesia, Denpasar:
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Ika, A. (2016). 7 Manfaat Mengelola Keuangan dengan Baik (online),
(https://money.kompas.com/read/2016/11/15/052648726/
7.manfaat.mengelola.keuangan.dengan.baik?page=all, diakses
15 November 2019)
Imawan, R. (2002), Peningkatan Daya Saing: Pendekatan
Paradigmatik Politis, Jurnal ugm ac.id.
Kholim, M.. (2004). Eksistensi Baitul Maal Wattamwil dan
Permasalahan Dalam Operasionalisasinya (Studi di Provinsi Jawa
Tengah), thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

182 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Mukaromah, V.,F. (2018). Berikut 5 Program Kerja Utama Jokowi Lima


Tahun ke Depan yang Disampaikan dalam Pidatonya, (online),
(https://www.tribunnews.com/nasional/2019/10/20/
berikut-5-program-kerja-utama-jokowi-lima-tahun-ke-depan-
yang-disampaikan-dalam-pidatonya, diakses 18 November
2019)
Mukhtar. (2013). Metode Penelitian Deskriftif Kualitatif. Jakarta: GP
Press Group
Miarso, Y., H.(2007). Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.
Nawawi,H dan Martini. (1996), Metode Penelitian Bidang Sosial,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Simamora, H. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia Membangun
Daya Saing, Jakarta: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT Raja Grafindo Persada.
Suwito, Y., S. (2007). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Berkarakter. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 Tentang
Sisa lebih Yang diterima atau diperoleh Badan Atau Lembaga
Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau
Bidang Penelitian Dan Pengembangan Yang diKecualikan Dari
Obyek Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan, dan
Pertanggung jawaban Endownment Fund dan Dana Cadangan
Pendidikan. Endowment fund.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

Rahayu Endang Pujiati 183


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

SUPPORT MEKANISME UNTUK KEBIJAKAN


EVIDENCE-BASED DALAM BIDANG PENDIDIKAN

Rahmad Agung Nugraha


Pascasarjana Universitas Pancasakti Tegal
rahmadagungnugraha@upstegal.ac.id

ABSTRAK
Adanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat dan efektif,
dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan berkelanjutannya sistem
dan standarisasi kebijakan pendidikan di Indonesia Pembuatan kebijakan
evidence-based sebagai pendekatan yang membantu dalam pembuatan
keputusan secara tepat akan kebijakan, program, proyek dengan
memberi ruang bukti sebagai sumber pusat pengembangan kebijakan
dan implementasi kebijakan. Pengetahuan berbasis penelitian hanyalah
satu dari banyak pengaruh terhadap kebijakan dan praktik Pendidikan
di Indonesia untuk segera mungkin merealisasikan potensinya, hal ini
akan membantu sektor pendidikan untuk belajar dari ranah kebijakan
lain yang lebih berhasil dalam menggunakan penelitian bukti untuk
meningkatkan praktik Pendidikan di Indonesia.Evidence-based policy
sangat memerlukan akan data-data yang baik. Perlunya ketrampilan
analitis dan dukungan politik oleh karena itu ada keterbatasan yang
melekat di mana pejabat pemerintah dapat memanfaatkan hasil informasi
yang andal dan keterampilan analitis yang baik. Dalam Pengambilan
keputusan Politik saling berhubungan erat dengan mengutamakan dan
melibatkan beberapa disiplin ilmu sebagai penilaian praktis mengenai
kelayakannya dan legitimasinya. Di luar komunitas ilmiah, bidang
pengetahuan dan bukti lebih beragam dan diperlukan. Kumpulan bukti
memberikan informasi dan memberikan pengaruh akan kebijakan.
Keahlian profesional dalam pengembangan kebijakan dan program
membutuhkan informasi dan nilai-nilai ini. Isu-isu mutakhir Evidence-
based policy modern memfokuskan dalam membingkai permasalahan,
metode dalam pengumpulan data serta mengandalakan penilaian bukti,
komunikasi dan transfer pengatahuan dalam pengambilan keputusan
dan mengevaluasi efektivitas implementasi dalam masukan program
kebijakan yang kompleks.
Kata kunci: evidence-based polic; kebijakan; pendidikan

Rahmad Agung Nugraha 185


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila
pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat
sasaran, sehingga menghasilkan kualitas pendidikan yang optimal.
Pada saat sekarang ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh
dari efisien, masih banyak kebijakan kebijakan pendidikan yang
tidak tepat sasaran, tidak efektif dan efisien.
Adanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat
dan efektif, dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan
berkelanjutannya sistem dan standar pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang
dikeluarkan pemerintah yang menjadi perhatian di masyarakat
salah satunya adalah kebijakan mengenai Penerimaan Peserta Didik
Baru dengan sistem zonasi pada tahun kemarin.
Kebijakan sistem penerimaan peserta didik baru online dengan
sistem zonasi memunculkan adanya permasalahan, khususnya di
daerah kabupaten/kota yang sekolah negerinya sangat terbatas
berakibat banyak siswa tidak bisa bersekolah di sekolah negeri.
Awalnya banyak para orang tua beranggapan penerimaan peserta
didik baru berdasarkan prestasi (theconversation.com, 2018;
Dharmawan, 2019)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun
2017, No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, menyatakan
bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan akses layanan
pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi
orang tua siswa dan menghapus predikat sekolah favorit. Laporan
dari the conversation (theconversation.com, 2018) menyatakan
bahwa penerimaan berbasis zonasi mempunyai dampak tidak hanya
pada karakteristik peserta didik yang diterima sekolah tapi juga
proses pembelajaran yang ada di kelas. Siswa yang diterima dengan
kebijakan ini adalah siswa yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan
sekolah negeri dibanding penerimaan dengan prestasi. Namun,
komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi mempunyai
nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang
diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini adanya tuntutan guru
di sekolah negeri untuk beradaptasi. Lebih lanjut The Conversation
menyatakan bahwa para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan
kemampuan rata-rata tinggi, sekarang harus mengajar siswa

186 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

dengan nilai rata-rata kurang/rendah dengan kemampuan yang


sangat beraneka ragam. Di sisi lain , keterampilan yang dibutuhkan
oleh guru yang mengajar anak-anak berkemampuan tinggi dan
berkemampuan rendah berbeda. Anak-anak berkemampuan tinggi
membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru agar
bisa termotivasi dan meningkatkan kemampuannya. Di sisi lain,
anak-anak berkemampuan rendah membutuhkan bantuan guru
untuk membangun pemahaman ilmunya dengan benar. Terlebih
lagi, tantangan guru dalam mengajar anak dengan kemampuan
beragam lebih berat daripada anak dengan kemampuan yang relatif
homogen. Guru yang mengajar kelas yang homogen cenderung
dapat mengajarkan seluruh siswa dengan seiring sejalan. Namun,
ketika kelas yang diajar relatif heterogen, guru harus menyesuaikan
pola mengajar untuk mengakomodasi anak yang cepat dan lambat
dalam belajar. Semakin besar kesenjangan kemampuan anak,
semakin besar beban guru dalam mengajar (theconversation.com,
2018). Adaptasi kemampuan seorang guru dalam mengajar tidak
bisa dilakukan secara mendadak karena mempengaruhi proses
pembelajaran dan memunculkan permasalahan baru dalam proses
belajar di kelas sehingga ada prioritas pemerintah dalam kebijakan
yang efektif dan efisien.
Perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia perlu adanya
penelitian yang memberi efek positif dari program tepat sasaran
langsung kepada siswa di Indonesia. Jutaan siswa akan mendapat
manfaat dari kebijakan tersebut. Membangun paradigma yang dapat
direplikasi untuk pembangunan, evaluasi yang ketat, replikasi, dan
penyebaran, mekanisme ini dapat diterapkan pada intervensi atau
kebijakan pendidikan apa pun, contohnya kebijakan kurikulum
atau program yang sedang berjalan sepanjang waktu untuk
mengembangkan, mengevaluasi, dan menyebarluaskan program
baru di setiap mata pelajaran dan setiap tingkatan kelas, program
setelah lulus sekolah ke dunia kerja bagi siswa Indonesia, pendidikan
khusus, anak-anak berbakat, pencegahan putus sekolah, budaya dan
seni, pendidikan multikultur, pencegahan penyalahgunaan narkoba,
pencegahan kekerasan (bullying) dan lain sebagainya. Setiap bidang
ini cocok dengan paradigma diseminasi pembangunan-evaluasi,
seperti yang lainnya. Seiring waktu, setiap bidang akan mengalami
karakteristik kemajuan di bidang industri atau bidang yang lainnya

Rahmad Agung Nugraha 187


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

dengan standar evaluasi yang ketat sebelum direkomendasikan


untuk penerapannya.
Permasalahananya sekarang ini kualitas pendidikan kita bisa
dibilang rendah khususnya dilihat dari Human Development Index
(World Economic Forum: 2015). Daya saing sumber daya manusia
Indonesia saat ini menurut angka Human Development Index yang
dilansir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2014, berada
di peringkat ke-111 dari 182 negara di dunia, dan berada di peringkat
keenam dari sepuluh negara ASEAN (UNDP.org, 2014). Ada beberapa
faktor kendala daya saing yaitu kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia belum meningkat karena pertumbuhan populasi yang
tidak merata. Berdasarkan data dari biro pusat statistik menyatakan
bahwa dampak buruk yang mungkin dialami jika bonus demografi
tidak dikelola dengan baik adalah tingginya angka ketergantungan
penduduk terhadap pemerintah dan berbagai masalah yang
muncul akibat hal tersebut, antara lain melonjaknya pengangguran,
terjadinya konflik sosial, serta beban masalah kesehatan, angka
putus sekolah yang semakin tinggi dan sebagainya yang berujung
kepada penurunan kualitas manusia Indonesia (BKN.go.id, 2013).
Revolusi Industri 4.0 merupakan perubahan strategis dan drastis
tentang pola produksi yang mengolaborasikan tiga dimensi utama
di dalamnya, yakni manusia, teknologi/mesin, dan big data.
Kebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang memberi
bantuan kepada pembuat kebijakan secara tepat tentang kebijakan,
program dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang
tersedia di pusat pengembangan dan implementasi kebijakan
(Davies, 2004). Lebih lanjut Davies mengatakan bahwa pengetahuan
berbasis penelitian hanyalah satu dari banyak pengaruh terhadap
kebijakan dan praktik pendidikan di Indonesia. Sehubungan dengan
pembuatan kebijakan menyoroti enam faktor selain bukti penelitian
yang tidak dapat diabaikan. Sementara pembuatan kebijakan
evidence-based mungkin tampak sebagai konsep yang cukup jelas,
sulit untuk mendefinisikannya (Cairney 2016).

II. TINJAUAN PUSTAKA


Evidence-based policy (EBP) adalah aspirasi dari pada hasil yang
dicapai. Untuk itu Evidence-based policy sangat diperlukan sebagai
penggabungan bukti penelitian yang ketat ke dalam suatu debat

188 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

kebijakan publik dan proses sektor publik internal untuk evaluasi


kebijakan dan peningkatan program. Tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan keandalan saran mengenai kebijakannya baik
dilihat dari efektivitas dan efisiensinya dalam mengatur kebijakan
dan memungkinkan beberapa alternatif. Dengan demikian
para pengambil keputusan pragmatis mengetahui keberhasilan
dengan melihat kondisi sebenarnya dan juga adanya kepedulian
meningkatkan basis informasi dan meningkatkan teknik untuk
analisis dan evaluasi. Dengan metodologi yang digunakan, Evidence-
based policy membutuhkan data yang baik, keterampilan analitis dan
dukungan politik. Oleh karena itu ada keterbatasan yang melekat,
bahkan di mana pejabat pemerintah dapat memanfaatkan hasil
informasi yang andal dan keterampilan analitis yang baik.
Pengambilan keputusan secara berkaitan melibatkan beberapa
disiplin ilmu pengetahuan preferensi nilai dan penilaian praktis
tentang kelayakan dan legitimasi (Firdaus, 2019). Di luar komunitas
ilmiah, bidang pengetahuan dan bukti lebih beragam dan diperlukan.
Beberapa bukti dan kesaksian dalam memberikan informasi
dan mempengaruhi suatu kebijakan Keahlian profesional dalam
pengembangan kebijakan dan program membutuhkan informasi
dan nilai-nilai ini. Issue terakhir dalam perdebatan Evidence-based
policy sekarang ini memfokuskan dalam membingkai permasalahan,
metode pengumpulan data dalam menilai bukti yang dapat
diandalkan, adanya komunikasi dan transfer pengetahuan dalam
pengambilan kebijakan serta mengevaluasi keefektivitasan dalam
implementasi dan kebijakan yang kompleks (Firdaus, 2019).
Dalam pembuatan suatu kebijakan, ada enam faktor yang
penting dalam evidence base (Davies, 2004):
• Experience, expertise and judgement (pengalaman, keahlian dan
penilaian)
• Resources (sumber daya)
• Values (nilai-nilai)
• Habit and tradition (kebiasaan dan tradisi)
• Lobbyists, pressure groups and consultants (pelobi, kelompok
penekan dan konsultan)
• Pragmatics and contingencies (pragmatik dan kontinjensi).

Rahmad Agung Nugraha 189


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

Pendidikan di Indonesia segera mungkin merealisasikan


potensinya, hal ini akan membantu sektor pendidikan untuk belajar
dari ranah kebijakan lain yang lebih berhasil dalam menggunakan
penelitian bukti untuk meningkatkan praktik. Seperti halnya dengan
bidang kebijakan publik mana pun, pendidikan adalah bidang yang
kompleks:
• Sistem pendidikan adalah sistem multi-level (lokal, regional,
nasional) dan penyelarasan antara berbagai tingkat merupakan
tantangan utamanya.
• Masyarakat kita semakin beragam baik dalam hal demografinya
(siswa, guru, dan masyarakat), nilai-nilai dan identitasnya
• Semakin banyak pemangku kepentingan pendidikan yang
semakin menyuarakan keinginannya tidak hanya untuk dirinya
dan anak-anaknya, tetapi untuk sistem pendidikan secara
keseluruhan.
• Pendidikan adalah bidang di mana ada keyakinan apriori yang
kuat terkait dengan identitas dan pengalaman, dan pada sistem
pendidikan apa yang harus disampaikan, serta apa yang sudah
dicapai.
Tujuan Evidence-based policy adalah meningkatkan daya saing
ekonomi dan kohesi sosial dengan meningkatkan sumber daya
pendidikan, struktur, dan praktik. Untuk meningkatkan kedua tujuan
ini, kita membutuhkan infrastruktur pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik untuk memperoleh
pendidikan di tingkat tertinggi yang sepadan dengan pertumbuhan
dan potensi pertumbuhannya (Niemi,2007).
Ini berarti bahwa pengambilan keputusan dalam pendidikan
harus secara strategis bertujuan untuk perbaikan dalam
pendidikan sehingga memerlukan penelitian berdasar bukti.
Sehingga dalam pembuatan kebijakan perlu mempertimbangkan
informasi, penelitian, hasil statistik dari badan-badan pemerintah,
lembaga pendidikan tinggi, Lembaga penelitian serta organisasi
lain, konsultasi dengan para ahli dan stake holders pemangku
kepentingan dimana mempunyai tujuan menghasilkan bukti melalui
dialog.

190 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

III. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature
research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang
objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan
seperti buku, jurnal ilmiah, koran maupun dokumen-dokumen lain
yang relevan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam tulisan
ini adalah analisis deksriptif, yaitu menggambarkan secara naratif
data-data yang didapatkan serta menguraikannya secara sistematis,
kemudian diberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.

IV. PEMBAHASAN
Kebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang memberi
bantuan kepada pembuat kebijakan secara tepat tentang kebijakan,
program dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang
tersedia di pusat pengembangan dan implementasi kebijakan (Davies,
2004). Dalam pengambilan keputusan pendidikan mensyaratakan
tujuan strategis dalam perbaikan pendidikan dengan berdasar bukti
sehingga lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses
dan kualitas di berbagai daerah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Khadowmi (2019) dengan judul Implementasi kebijakan sistem
zonasi terhadap proses penerimaan peserta didik baru kabupaten
lampung tengah menunjukkan bahwa pelaksanaan penerimaan
peserta didik baru kabupaten Lampung Tengah mengacu pada
Petunjuk Teknis Keputusan Kepala Dinas tentang Pelaksanaan PPDB
tahun 2018. Faktor-faktor yang menjadi penghambat yaitu belum
dibentuknya Peraturan daerah tentang sistem zonasi, belum adanya
sosialisasi, belum adanya pemerataan sarana dan pra sarana ,belum
adanya penegakan kebijakan sebagai tindak lanjut dari penerapan
sistem zonasi serta lemahnya pengawasan dalam penerapan sistem
zonasi (Khadowmi, 2019) sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh khazanah dengan judul analisis implementasi kebijakan sistem
zonasi perspektif stakeholder sekolah menunjukkan bahwa ada 4
hal yang dalam implementasi yang perlu mendapat perhatian yaitu
komunikasi, sumber daya, dan struktur birokrasi (Khazanah, 2018)

Rahmad Agung Nugraha 191


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

Dalam pengambilan keputusan pendidikan khususnya


kebijakan penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi
perlunya memberikan komposisi penerimaan siswa atau peserta
didik dengan penyesuaian kondisi daerah daerah masing–masing.
Daerah mempunyai kewenangan dalam menentukan proporsi
final dan menetapkan wilayah zonasi dengan harapan pemerintah
daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan
akses dan kualitas pendidikan. Daerah juga bisa redistribusi guru,
sarana dan prasarana sehingga mendorong guru dan sekolah untuk
memperbaiki mutu pembelajaran.

V. PENUTUP
Ada beberapa gagasan yang muncul dari pembuatan kebijakan
berbasis bukti untuk bidang pendidikan di Indonesia yang pertama
adanya regulasi secara resmi dengan banyaknya organisasi peneliti
yang berpotensi memberikan bukti. Dengan adanya undang-
undang diharapkan bisa memberikan bukti tentang siapa yang
harus memberikan bukti dan siapa yang harus dikonsultasikan
selama proses pembuatan kebijakan. Yang kedua, adanya lembaga
atau organisasi penelitian yang secara pengetahuan internal dan
eksternal yang diberi tugas untuk menafsirkan bukti dan mediasi
antara penyedia penelitian dan pembuat kebijakan.
Dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti bidang pendidikan
di Indonesia ada beberapa pertanyaan yang dapat dieksplorasi lebih
detail di masa depan. bagaimana jenis sistem politik mempengaruhi
cara di mana mekanisme pendukung untuk pengembangan
pembuatan kebijakan berbasis bukti. Mungkin ada perbedaan
tergantung pada kompleksitas sistem (tata kelola satu tingkat vs
multi-level). Selain itu, gambaran yang lebih rinci dapat dibentuk
dengan melakukan penelitian sejumlah studi kasus dengan cara yang
lebih komprehensif. Juga, memunculkan pertanyaan bagaimana
bukti mempengaruhi kebijakan dapat dapat diuji secara lebih rinci.

192 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

DAFTAR PUSTAKA

Asean Productivity Organization. (2014). APO Productivity Data


Book 2014. Asian Productivity Organization Tokyo, September
2014. (online), (http://www.apo-tokyo.org, diakses tanggal 3
Desember 2019 ).
Cairney, P., (2016). The Politics of Evidence-based Policy Making.
London/New York: Palgrave MacMillan.
Davies, P., (2004). Is Evidence Based Government Possible. Appendix
A: Effective Public Health Practice Project (EPHPP) Quality
Assessment Tool for Quantitative Studies. (online), (https://
link.springer.com/content/pdf/bbm:978-3-319-17284-2/1.pdf
diakses tanggal 3 Desember 2019)
Dharmawan, Goldy F. (2019). Dampak Sistem Zonasi Penerimaan
Peserta Didik Baru Di Sekolah Negeri Bagi Para Guru Dan Siswa.
Program Rise Di Indonesia. (online) (http://rise.smeru.or.id/
id/blog/dampak-sistem-zonasi-penerimaan-peserta-didik-
baru-di-sekolah-negeri-bagi-para-guru-dan-siswa diakses 3
Desember 2019)
Firdaus, Aras. (2019). Good Governance Melalui Kebijakan Berbasis
Bukti Reformulasi Sistem Peradilan Pidana Nasional. Docx,
dated 2019-12-12 (online), (https://bagiilmunei.blogspot.
com/2017/08/jurnal-ekonomi-langkah-konkrit-dalam.html,
diakses tanggal 3 Desember 2019)
Khadowmy, Eka Reza. (2019). Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi
Terhadap Proses Penerimaan Peserta Didik Baru Kabupaten
Lampung Tengah. Skripsi. Fakultas hukum universitas lampung
bandar lampung
Khasanah, Umi Latifatul. (2018). Analisis Implementasi Kebijakan
Sistem Zonasi Perspektif Stakeholder Sekolah (Studi Multisitus Di
SMP Negeri 1 Malang dan DI SMP 3 Malang Di Kota Malang). Tesis.
Program Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Rahmad Agung Nugraha 193


Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

Niemi, H., (2007). Equity And Good Learning Outcomes. Reflections


on factors influencing societal, cultural and individual levels –
The Finnish perspective. Zeitschrift für Pädagogik, 53 (1), pp.
92-107.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017
Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain
Yang Sederajat.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14 Tahun 2018
Tentang tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51 Tahun 2018
Tentang Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau
Bentuk Lain Yang Sederajat.
Permatasari, Disanti., Farida, Nur., Sapridawati Yeni. (2017).
Peranan Organisasi Bisnis Dalam Asean Economy Community
(AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean. (online), (https://
farida-datakuliah.blogspot.com/2017/09/peranan-organisasi-
bisnis-dalam-asean.html diakses tanggal 15 Desember 2019).
Putri, Yunita Maya. 2017. Daya Saing Peningkatan Kualitas Migran.
(online), (https://bagiilmunei.blogspot.com/2017/08/diakses
tanggal 3 Desember 2019).
The Conversation. (2019). Dampak sistem zonasi penerimaan
peserta didik baru di sekolah negeri bagi para guru dan siswa.
(online), (https://theconversation.com/dampak-sistem-zonasi-
penerimaan-peserta-didik-baru-di-sekolah-negeri-bagi-para-
guru-dan-siswa-119294 diakses tanggal 20 November 2019).
World Economic Forum Annual Meeting, 2015. (online), (https://
www.weforum.org/events/world-economic-forum-annual-
meeting-2015 di akses tanggal 25 November 2019).

194 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

PEMBANGUNAN DAN PENGUATAN LEGISLASI


PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

Burhanudin Mukhamad Faturahman


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,
burhanmfatur@gmail.com

ABSTRAK
Proses pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana turut
meningkatkan risiko bencana sehingga diperlukan keserasian antara
pembangunan dan penanggulangan bencana alam . Tujuan penulisan
ini untuk mengetahui upaya pembangunan dan penguatan legislasi
penanggulangan bencana alam. Hasil pembahasan menunjukkan
bahwa dibentuknya BNBP dan BPBD telah mengikuti paradigma
penanggulangan bencana sesuai Undang-undang yang berlaku dan
berperan dalam menjaga agenda politik ke arah mitigasi bencana. Selain
itu, keserasian dan keterpaduan antara Undang-Undang perencanaan
pembangunan nasional, Undang-Undang penanggulangan bencana
dan Undang-Undang penataan ruang dijadikan dasar hukum untuk
memperkuat penanggulangan bencana di semua level pemerintahan.
Kata kunci: pembangunan; perundang-undangan; bencana alam

I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam namun juga
memiliki potensi bencana alam cukup tinggi mengingat letak
geografis Indonesia di antara tiga lempeng tektonik , terletak pada
ring of fire ,terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan
dua samudra (Hindia dan Pasifik ), terletak pada lintang rendah di
daerah iklim tropika basah menjadikan Indonesia sebagai negara
seribu bencana (Sriharini,2010) dan menempati urutan 36 dari 171
negara paling beresiko di dunia dengan rincian tingkat kerentanan
sebesar 52.87 persen, exposure (terpapar bencana alam secara
langsung) sebesar 19.36 persen, Susceptibility (kemungkinan
menderita kerugian) sebesar 30.09 persen, kurangnya kapasitas
untuk mengurangi dampak bencana sebesar 79.49 persen dan
kekurangan kapasitas strategi jangka panjang 49.04 persen (United
Nations University, 2016). Sedangkan jumlah kejadian bencana

Burhanuddin Mukhamad Faturahman 195


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

alam di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan


jumlah bencana alam tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Sumber: BNPB (2016)


Gambar 1. Jumlah Kejadian Becana Indonesia Tahun 2005-2015
Intensitas kejadian bencana yang cenderung meningkat
berdampak pada pelaksanaan pembangunan di suatu negara di
mana dalam proses pembangunan tersebut memiliki beberapa
tantangan yang bersifat multidimensional. Dalam rangka mencapai
tujuan nasional maka suatu negara dituntut untuk mampu
menyelenggarakan proses pembangunan yang lebih baik pada
seluruh segi kehidupan.
Siagian (2009:4) menyatakan pembangunan merupakan
sebuah rangkaian usaha sadar dan terencana yang ditempuh
oleh suatu negara menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa. Di sisi lain, Siagian juga menyebut bahwa terdapat banyak
tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan tersebut salah
satunya pelestarian lingkungan hidup. Disamping letak geografis
Indonesia yang rawan bencana alam, surplus pertumbuhan
ekonomi dan ekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang
berpotensi menimbulkan bencana juga dapat menghambat proses
pembangunan itu sendiri sehingga diperlukan keselarasan antara
kebijakan pembangunan dan kebijakan penanggulangan bencana
alam (Hidayah, 2015).
Oleh karena itu, proses pembangunan harus lebih sensitif
mengarah pada pencegahan dan mitigasi bencana alam (National
Disaster Management Division, 2007). Sementara itu, legislasi atau

196 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk memberikan


arahan kebijakan serta penanggungjawab program penanggulangan
bencana alam dilakukan secara efektif, sinergis, tidak terjadi gap
dan overlapping aktivitas. Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, tulisan ini membahas bagaimana upaya pembangunan dan
penguatan penanggulangan bencana alam. Sedangkan tujuan dari
penulisan ini untuk menganalisis dan mendeskripsikan upaya
pembangunan dan penguatan penanggulangan bencana alam.

II. METODOLOGI
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan deskripsi berupa kata-kata secara
sistematis mengenai topik permasalahan. Penelitian deskriptif ini
dilakukan dengan menelusuri, menelaah konsep sesuai dengan
topik kebencanaan. Adapun pengumpulan data dilakukan melalui
data sekunder dari dokumen dan jurnal. Analisis data menggunakan
teknik penyajian data, verifkasi dan penarikan kesimpulan.

III. PEMBAHASAN
A. Penyusunan Kelembagaan Penanggulangan Bencana
Secara teori, manajemen bencana dapat ditelaah melalui
teori kelembagaan dengan dasar bahwa lembaga menginginkan
adanya dasar hukum eksternal dengan mematuhi konteks lembaga
tersebut. Menurut Kusumasari (2014:48-49) aspek kelembagaan
mencerminkan pola faktor budaya yang berkembang dari waktu ke
waktu dan menjadi legitimasi dalam suatu insitusi dan masyarakat.
Hal ini dikarenakan pengaturan kelembagaan menentukan konteks
sosial dari institusi dan lingkungan dimana pengaturan kelembagaan
tersebut membentuk tindakan dari pejabat publik dan memberikan
legitimasi bagi pejabat publik berdasarkan kepatuhan dan tingkat
penerimaan mereka terhadap praktik-praktik tertentu.
Lembaga penanggulangan yang ada sekarang ini sebenarnya
bukan lembaga penanggulangan bencana yang pertama kali dibentuk.
Lembaga yang menangani bencana terlebih dahulu dibentuk mulai
tahun 1966. Melalui Keppres Nomor 256 Tahun 1966 pemerintah
mendirikan badan pertimbangan penanggulangan bencana
alam yang difokuskan pada korban bencana. Pada tahun 1979

Burhanuddin Mukhamad Faturahman 197


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

pemerintah membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan


Bencana Alam (TKP2BA). Sampai tahun tersebut masih fokus pada
bantuan becana tanggap darurat di bawah naungan Kementerian
Sosial. Berikut tabel kelembagaan penanggulangan bencana alam di
Indonesia.
Tabel 1. Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Indonesia
Nama Lembaga Fokus Praktis
Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam. Tanggap darurat.
Tahun 1966 – 1967. Dasar hukum: Keppres Nomor 256 Eksekutor: Kemensos
Tahun 1966.
Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tanggap darurat.
Alam (TKP2BA). Tahun 1967 – 1979. Dasar hukum: Eksekutor: Kemensos
Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor
14/U/KEP/I/1967
Bakornas PBA. Untuk Tingkat daerah, Tanggap darurat.
Satkorlak PBA I (Provinsi) Eksekutor: Kemensos,
Satkorlak PBA II (Kabupaten). Tahun 1979 – 1990. Kemendagri,
Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor 28 tahun Kementerian
1979 Pekerjaan Umum
Satkorla PBA II diganti Satlak PB; Bencana alam,non
Bakornas PBA diganti Bakornas PB. Tahun 1990 – 2000. alam dan sosial.
Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun Eksekutor: Lintas
1990 sektor
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Aktif ketika terjadi
dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Tahun bencana. Eksekutor:
2000 – 2005. Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor Lintas sektor
3 Tahun 2001 diperbaharui Keputusan Presiden Nomor
111 Tahun 2001.
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana Pengurangan resiko
(Bakornas PB). Tahun 2005 – 2008. Dasar hukum: bencana. Eksekutor:
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005. Lintas sektor
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pengurangan resiko
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Tahun bencana. Eksekutor:
2008. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 24 Tahun Lintas sektor
2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008.
Sumber: Kusumasari (2014) dan BNPB (2017)

Pemerintah pusat dan daerah memiliki peran penting dalam


aspek pengurangan risiko bencana. Tata kelola pemerintahan
(governance) dideskripsikan sebagai proses komunikasi, berbagi,

198 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

koordinasi antar stakeholder di dalam proses pengambilan


keputusan. Dalam konteks pengurangan risiko bencana menurut
Tierney dalam Artiningsih, et al (2016) pemerintahan bencana
(disaster governance) terdiri dari rangkaian yang saling berinteraksi
antara norma; aktor organisasi dan kelembagaan; dan praktik
tahapan manajemen bencana yang didesain untuk mereduksi
dampak dan kehilangan bencana alam dan teknologi tindakan
terorisme.

B. Pembangunan dan Penguatan Legislasi


UU No 24/2007 merupakan peraturan yang menjamin
penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih efektif berbasis
pembangunan berkelanjutan. Secara garis besar UU tersebut
mengandung empat unsur, pertama, perubahan paradigma
kebencanaan fokus pada tahap prabencana atau pengurangan
risiko; kedua, penanggulangan bencana lebih bersifat proaktif dan
terencana bukan lagi bersifat reaktif; ketiga, posisi pemerintah
bukan lagi sebagai pihak yang dominan tetapi lebih mengedepankan
partisipasi masyarakat sebagai subjek penanggulangan bencana;
empat, domain penanggulangan bencana menjadi wewenang
pemerintah daerah.
Undang-undang ini memiliki kaitan erat dengan aspek
penyelenggaraan pembangunan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dimana
dalam pasal 3 (1) yaitu perencanaan pembangunan mencakup semua
fungsi pemerintahan meliputi semua bidang kehidupan, perencanaan
pembangunan nasional disusun secara terpadu oleh Kementerian/
Lembaga dan pemerintah daerah. Sementara itu, pasal 7 (1) UU
24/2007 berisi wewenang pemerintah dalam penanggulangan
bencana meliputi 1) penetapan kebijakan penanggulangan bencana
selaras dengan kebijakan pembangunan nasional 2) pembuatan
perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana. Berikut disajikan keterkaitan
antara pembangunan dan bencana pada Tabel 2.

Burhanuddin Mukhamad Faturahman 199


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

Tabel 2. Keterkaitan Antara Pembangunan dengan Kebencanaan


UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Pembangunan menimbulkan Pembangunan mengurangi bencana
bencana (Pasal 2 dan pasal 3 UU (Pasal 2 dan pasal 3 UU 25/2004
25/2004 tidak dilaksanakan) dilaksanakan)
Bencana merusak hasil Bencana membuka peluang
pembangunan (Pasal 4, 31 dan 32 UU pembangunan (Pasal 57, 58 dan 59
24/2007 tidak dilaksanakan) UU 24/2007 dilaksanakan)
UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Sumber: Hidayah (2015)

Keselarasan antara pembangunan dan pengurangan risiko


bencana tidak dapat dipisahkan karena kejadian bencana
merupakan kegagalan dari pembangunan yang meningkatkan
kerentanan bahaya. Seperti pasal 2 dan 3 UU 25/2004 bahwa
pembangunan harus konsisten antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan ; serta mencakup semua bidang
kehidupan termasuk bencana merupakan upaya pengarusutamaan
pembangunan dalam rangka mengurangi dampak bencana.
Hal ini disampaikan Gunawan (2009) bahwa resiko terbesar
bencana umumnya menimpa kelompok rentan yang dengan
sendirinya cenderung menempati permukiman informal baik secara
ekologis, ekonomi dan sosial secara tidak langsung menambah
kerentanan terhadap bencana. Menurut Zamdial, et al (2017)
kawasan pesisir Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, saat ini
sebagian besar sudah banyak berubah fungsinya dari ekosistem
penyangga (buffer region) atau sebagai jalur hijau, menjadi lahan
pertanian, perkebunan dan pemukiman serta terdapat Taman
Wisata Air dan cagar dan hutan cagar alam di lokasi tertentu.
Aspek utama alih fungsi lahan ini dipicu oleh proses anthropogenic
(eksploitasi terhadap sumberdaya alam wilayah pesisir) dan proses
alamiah (proses abrasi dan sedimentasi).
Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Bontoharu Kabupaten
Salayar yaitu pembangunan pemukiman di kawasan sempadan
pantai dan tidak beraturan. Padahal, sempadan dalam UU No 26
Tahun 2007 masuk zona konservasi telah diberi luasan kurang lebih
100 meter dari garis pantai saat pasang tertinggi. Zona berikutnya
yaitu hutan bakau untuk mencegah abrasi dan melindungi ekosistem

200 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

ikan dan tanaman pesisir. Setelah zona hutan bakau yaitu zona hutan
lindung untuk pemenuhan ruang terbuka hijau (Manaf, 2015).
Zona konservasi kawasan pesisir tersebut dapat meminimalisir
dampak tsunami sebagaimana yang dikemukakan Pramana (2015)
bahwa di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi
memiliki kerawanan yang cukup tinggi terhadap bencana tsunami.
Kecamatan Pelabuhan Ratu tidak memiliki ekosistem mangrove
atau terumbu karang yang berfungsi sebagai greenbelt atau buffer
zona area untuk meredam gelombang tsunami. Edyanto (2011) juga
mengemukakan bahwa tata ruang harus memperhitungkan aspek
mitigasi bencana alam gempa dan tsunami terutama di kawasan
pesisir. Informasi dan petunjuk mengenai patahan, banjir, longsor,
dan bencana lainnya menyebabkan masyarakat membangun
pemukiman tanpa adanya pertimbangan kebencanaan. Pembuatan
sempadan pantai, hutan bakau juga masih terkendala implementasi
terkait pengelolaan perikanan tambak serta aktivitas perekonomian
lainnya. Oleh karena itu konsep perlindungan bencana tsunami
di kawasan pesisir menurut Edyanto (2011) sepanjang garis
pantai perlu dibangun struktur penahan gelombang, kemudian
diberlakukan zonasi hutan bakau di wilayah pesisir, setelahnya
disediakan lahan kosong diperuntukkan tanggul pelindung, terakhir
setelah tanggul pelindung dapat diperuntukkan kawasan terbangun.
Konsep penguatan legislasi penanggulangan bencana dapat
ditelaah melalui peraturan perundang-undangan yang telah
diuraikan saling memiliki keterkaitan. Dengan memperhatikan
content penanggulangan bencana maka upaya perbaikan kebijakan
kebencanaan turut menyertakan berbagai sektor meliputi sektor
ekonomi, pendidikan, ketahanan dan sebagainya; perbaikan
infrastruktur (struktural); kelembagaan baik tingkat pusat dan
daerah. Content ini sebagai tindak lanjut atas context kebijakan
penanggulangan bencana sebagai payung hukum (UU 24/2007; UU
26/2007; UU 25/2004). Mengingat context tidak berdiri sendiri maka
kebijakan penanggulangan bencana saling menguatkan satu dengan
yang lainnya. Tiga pilar penguatan legislasi sebagai context dimana
terdapat content sebagai objek dimaksudkan untuk memperkuat
sistim penanggulangan bencana nasional.

Burhanuddin Mukhamad Faturahman 201


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

IV. PENUTUP
Penyelenggaraan penanggulangan secara kelembagaan,
Indonesia telah memiliki BNPB sebagai pihak yang memiliki
wewenang penuh dalam menangani berbagai kejadian bencana alam.
Tidak hanya itu, dalam penanggulangan bencana di daerah telah
dibentuk BPBD yang secara khusus mengurusi penyelenggaraan
penanggulangan bencana tingkat daerah . Aspek lain untuk
memperkuat penanggulangan bencana alam yaitu keserasian antara
UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007
tentang Penataan Ruang berperan dalam mengendalikan proses
pembangunan baik tingkat pusat dan daerah.
Adapun saran yang diberikan yaitu perlu diperkuat sistem
penanggulangan bencana melalui aspek kelembagaan untuk
merespon setiap tahap manajemen bencana baik pra-bencana,
tanggap darurat dan pasca-bencana dengan BNPB sebagai lembaga
yang berwenang menjaga konsistensi kebijakan penanggulangan
bencana alam berbasis pengurangan risiko bencana. BNPB juga turut
mengawasi tata ruang dikawasan rawan bencana agar pemukiman
dan aktivitas perekonomian tidak dibangun di atas daerah rawan
bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Sriharini. (2010). Membangun Masyarakat Sadar Bencana. Jurnal


Dakwah, Vol 11(2), hal. 157-171.
United Nations University. (2016). World Risk Report 2016. United
Nations University.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional. (2016). Risiko Bencana
Indonesia. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
Jakarta: Badan Penanggulangan Bencana Nasional.

202 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

Siagian, S.P. (2009) Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi


dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayah, K. (2015). Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era
Otonomi Daerah (Kajian terhadap Penanganan Kasus Luapan
Lumpur Lapindo Brantas). Jurnal Borneo Administrator, Vol 11
(3), hal. 298-315.
National Disaster Management Division, (2007). Disaster
Management: The Development Perspective. New Delhi:
Ministry of Home Affairs.
Kusumasari, B. 2014. Manajemen Bencana dan Kapabilitas
Pemerintah Lokal. Yogyakarta: Gava Media.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2017. Sejarah dan Visi
Misi BNPB, (online). (https://bnpb.go.id/home/sejarah),
diakses 30 Oktober 2019).
Artiningsih, Setyono, J.,S & Yuniartanti, R.,K. (2016). The Challenges
of Disaster Governance in an Indonesian Multihazards City:
A Case of Semarang, Central Java. CITIES 2015 International
Conference, Intelligent Planning Towards Smart Cities. Procedia
- Social and Behavioral Sciences 227, hal. 347–353.
Gunawan,I. (2009). Pengendalian Ruang dan Investasi Pembangunan
Di Tingkat Lokal Untuk Pengurangan Resiko Bencana Dan
Adaptasi Perubahan Iklim: Peran Informasi Geospasial.
Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
Zamdial, Hartono, D., Bakhtiar,B., Nofridiansyah,E. (2017). Studi
Identifikasi Kerusakan Wilayah Pesisir di Kabupaten Mukomuko
Provinsi Bengkulu. Jurnal Enggano, Vol. 2(2), hal. 196-207.
Manaf, M. (2015). Analisis Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir
Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Salayar. Plano
Madani: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 4(2), hal. 10-
21.
Pramana,B.,S. (2015). Pemetaan Kerawanan Tsunami di Kecamatan
Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. SOSIO DIDAKTIKA: Social
Science Education Journal, 2 (1) 76-91.

Burhanuddin Mukhamad Faturahman 203


Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

Edyanto, H. (2011). Analisa Kebijakan Penataan Ruang untuk


Kawasan Rawan Tsunami di Wilayah Pesisir. J. Tek. Ling, Vol
12(3), hal. 309-318.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

204 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

KEBIJAKAN PENEGERIAN RAUDHATUL ATHFAL


(ANTARA KEBIJAKAN PEMERATAAN PENDIDIKAN
PRA SEKOLAH DAN KEBIJAKAN YANG TIMPANG)

Ibnu Salman
Mahasiswa S3 PEP UNJ,
ibnusalman81@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini menyajikan tentang kebijakan Raudhatul Athfal (RA) yang
merupakan bagian satuan pendidikan anak usia dini setara dengan Taman
Kanak-kanak. RA diselenggarakan pada jalur pendidikan formal bagi
anak usia 4-6 tahun dengan ciri khusus keislaman yang dikembangkan
oleh Kementerian Agama. Metode penelitian yang digunakan bersifat
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
RA tidak ada yang berstatus negeri. Ketiadaan status negeri pada
lembaga RA di satu sisi merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak
merata bagi pendidikan prasekolah. Dalam implementasinya, konteks
penegerian lembaga RA bisa mengacu pada Peraturan Menteri Agama
(PMA) No. 14/2014 tentang Penegerian Madrasah Terutama RA. Tetapi
pada praktiknya belum ada satupun yang dinegerikan kelembagaannya
oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Temuan lainnya adalah
proses penegerian lembaga RA merupakan upaya peningkatan mutu
pendidikan RA yang sangat diharapkan oleh masyarakat umum.
Kata kunci: kebijakan; raudhatul athfal; penegerian

I. PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan usia dini yang
mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya
pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal ini tertuang dalam Pasal 28
Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa secara yuridis formal, PAUD merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem pendidikan
nasional. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, non-formal atau informal. PAUD pada jalur pendidikan
formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan RA. PAUD pada
jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB)

Ibnu Salman 205


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

dan Taman Penitipan Anak (TPA). PAUD pada jalur pendidikan


informal berbentuk pendidikan keluarga dan yang diselenggarakan
oleh lingkungan masyarakat.
Pentingnya PAUD (yang didalamnya terdapat RA) telah menjadi
perhatian internasional. Dalam pertemuan forum pendidikan tahun
2000 di Dakar Sinegal, salah satu butir kesepakatannya adalah
memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan PAUD,
terutama bagi mereka yang sangat rawan dan kurang beruntung
(Noorlaila, 2010:14).
RA merupakan satuan pendidikan anak usia dini yang berada
dalam pembinaan Kementerian Agama (Kemenag). Sesuai dengan
peraturan tentang otonomi daerah, agama merupakan salah satu
urusan yang tidak diotonomikan. Berdasarkan data Kementerian
Agama tahun 2016 disebutkan bahwa jumlah RA sebanyak 27.999
lembaga dengan 1.231.101 siswa (Kementerian Agama, 2017:
107-114). Bila akreditasi sebagai ukuran minimal mutu pelayanan
pendidikan, maka kondisi mutu RA adalah sebagai berikut: 1.658
(5,93%) terakreditasi A, 5.755 (20,57%) terakreditasi B, 2.399
(8,57%) terakreditasi C, dan 18.166 (64,93%) belum terakreditasi.
Sementara guru RA berjumlah 118.196 orang, dengan kualifikasi
pendidikan, yakni belum sarjana berjumlah 55.026 orang, sarjana
(S1) berjumlah 63.350 orang, dan magister (S2) berjumlah 191
orang. Dari sekian jumlah guru RA, yang berstatus PNS berjumlah
3.579 orang dan nonPNS sebanyak 114.617 orang. Guru RA yang
memiliki sertifikat baru 23 orang.
Jumlah RA setiap tahunnya cenderung bertambah, yakni
23.007 orang (2009/2010), 24.318 orang (2010/2011), 25.435
orang (2011/2012), 27.334 orang (2012/2013), 27.978 orang
(2013/2014), 27.875 orang (2014/2015), dan 27.999 orang
(2015/2016). Namun demikian, jika dibandingkan dengan RA, TK di
bawah pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
NonFormal dan Informal (PAUDNI) memiliki satuan pendidikan
anak usia dini tingkat TK sebanyak 89.680 lembaga dengan 3.273
yang berstatus negeri.
RA merupakan satuan pendidikan anak usia dini pada jalur
formal yang setara dengan TK dan memiliki ciri khusus keislaman
yang dikembangkan oleh Kementerian Agama. Hal ini sejalan dengan
PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun

206 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang


menyatakan bahwa RA menyelenggarakan program pendidikan
dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4-6 tahun.
Permasalahannya adalah semua RA tidak ada yang berstatus negeri.
Sementara pendidikan anak usia dini menjadi penting mengingat
potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk
pada rentang usia ini (golden age). Selain itu, beberapa Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam mendirikan program studi Pendidikan
Guru Raudhatul Athfal (PGRA) yang kemudian diubah menjadi
Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) untuk menyediakan tenaga
pendidik RA yang profesional. Ketiadaan RA yang berstatus negeri
dapat menghambat peningkatan mutu penyelenggaraan satuan
pendidikan anak usia dini di bawah Kementerian Agama, baik untuk
penganggaran pembinaan maupun pengangkatan pendidik yang
berstatus PNS.
Perbedaan status lembaga pendidikan RA dan TK dapat
memunculkan kesenjangan mutu. Qian Tang (Asisten Direktur
Jenderal untuk Pendidikan dari The United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dalam
peluncuran  Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 di
Jakarta bulan September 2019 lalu menyatakan bahwa kesenjangan
mutu pendidikan masih menjadi kendala banyak negara, khususnya
Indonesia (ccnindonesia.com, 6 September 2019). Sedangkan
dalam konteks upaya peningkatan kualitas madrasah (termasuk
RA), peran Kementerian Agama tidak hanya sebatas memberikan
bantuan dan bimbingan kepada madrasah, namun juga melakukan
pengembangan status kelembagaan melalui program penegerian
madrasah, baik madrasah swasta yang dikelola oleh pribadi maupun
madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi keislaman
(Hanum, 2015: 236). Tetapi upaya penegerian untuk RA sampai
saat ini belum ada satupun. Idealnya dengan penegerian status
kelembagaan RA, maka bentuk kehadiran dan partisipasi negara
sesungguhnya bisa lebih maksimal. Selain itu secara struktural
organisasi, keberadaan pemangku kebijakan untuk jenjang RA
masih berada di bawah subdit/eselon 3. Berbeda dengan yang ada
di Kemdikbud sudah menjadi eselon 1. Dengan demikian kurang
bargaining dalam perumusan kebijakannya.

Ibnu Salman 207


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Implikasi RA menjadi negeri maka asumsinya akan memudahkan


kontrol dari pemerintah (Kemenag). Selain itu secara tidak langsung
peran negara dalam peningkatan mutu RA seharusnya hadir bukan
sebatas pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari RA, tetapi
juga memperhatikan semua lembaga pendidikan tanpa kecuali.
Kesan yang muncul selama ini justru partisipasi masyarakat sudah
bagus, tetapi peran negara masih sangat minimalis dalam menjaga
dan menjamin tujuan umum pendidikan, khususnya peningkatan
mutu dan kualitas RA yang menjadi bagian dari pendidikan
prasekolah.
Dari uraian di atas, menjadi penting untuk dilihat sejauh
mana pemerintah bersikap adil dalam hal pemerataan kualitas
pendidikan, khususnya pendidikan prasekolah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan
dalam berbagai program yang digulirkan. Sayangnya kebijakan
terkait pendidikan prasekolah kurang direspon maksimal. Hal ini
berbeda dengan kebijakan pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi. Atas dasar tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji respon lembaga RA terhadap wacana penegerian RA.
2. Mengetahui kebutuhan masyarakat terhadap penegerian
lembaga jenjang pendidikan usia dini.
3. Mengetahui kebijakan pemerintah terhadap upaya penegerian
RA.
Pada tahun 2014, Balai Litbang Agama Jakarta pernah
melakukan penelitian berjudul Mutu RA dalam Perspektif Standar
PAUD. Dalam rangka peningkatan mutu RA, penelitian tersebut
memberikan beberapa rekomendasi perlunya Kementerian
Agama untuk menggagas berdirinya RA Negeri sebagai model RA
percontohan yang unggul dan bisa dijadikan sebagai RA pembina.
Karena dari sekian banyak RA yang tersebar di berbagai wilayah
belum ada satuan RA yang berstatus negeri yang bisa dijadikan
rujukan bagi RA di sekitarnya. Selanjutnya bulan November 2017
Balai Litbang Agama Jakarta juga mengadakan kegiatan workshop
terkait pembahasan draft penegerian raudhatul athfal. Hasilnya
rencana pembentukan RA negeri bisa dilakukan dengan beberapa
cara, yakni pertama, alih status dari RA yang sudah ada; kedua,

208 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

penetapan status RA yang selama ini telah dikelola oleh Kemenag,


dan ketiga, pendirian RA Negeri yang baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Akses pendidikan yang bermutu merupakan hak fundamental
bagi setiap warga negara yang tidak dibatasi oleh status sosial,
ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Hal ini sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 dan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peningkatan dan penjaminan
mutu pendidikan merupakan salah satu sasaran program dan
kebijakan prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan
mutu dan daya saing sumber daya manusia. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) tahun 2020-2024 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs) tahun 2017-2030.
Pasal 28 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa RA adalah satuan
pendidikan anak usia dini yang berada di jalur formal sederajat
dengan TK. Sebagai sebuah lembaga pendidikan pada jalur formal,
RA dituntut memenuhi standar pendidikan sebagaimana yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang selanjutnya
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Selain
itu, berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tidak langsung sistem
pendidikan nasional menghendaki peningkatan mutu pendidikan
dilaksanakan terencana dan berkala. Peningkatan mutu pendidikan
tersebut didasarkan atas standar nasional yang digunakan sebagai
acuan untuk pengembangan kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan serta pembiayaan.
Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan anak
usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan

Ibnu Salman 209


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan


dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan aturan
tersebut kemudian lahir Keputusan Menteri Agama No. 792 Tahun
2018 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Raudhatul Athfal.
Keputusan Menteri Agama tersebut menyatakan bahwa satuan
pendidikan anak usia dini bercirikan keislaman merupakan upaya
pengenalan dan penanaman keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia sejak usia dini.
Keberhasilan proses pendidikan anak pada usia dini menjadi
dasar untuk proses pendidikan selanjutnya. Pada masa ini, stimulasi
pendidikan yang positif sangat penting bagi perkembangan
anak, karena stimulasi yang tidak tepat akan berdampak negatif
di kehidupan selanjutnya dan tidak dapat diperbaiki. Pada usia
dini juga anak mengalami masapeka/sensitif dalam menerima
berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda,
seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara
individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi
fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh
lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio
emosional, agama, dan moral.
Mengingat pentingnya pendidikan anak usia dini, maka
penegerian lembaga RA menjadi hal yang penting untuk dilakukan
apabila pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas RA. Melalui
upaya penegerian, maka peran pemerintah akan lebih maksimal
dalam upaya mendukung pemerataan kualitas antarlembaga sejenis
seperti TK.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian tentang penegerian RA bersifat deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Data kualitatif digunakan untuk memperdalam
perspektif wacana penegerian RA dari beberapa stakeholder terkait
seperti Kemenag, RA, dan pengawas. Sementara data kuantitatif
digunakan sebagai data pendukung untuk mengetahui analisis
kebutuhan terkait wacana penegerian RA. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian dilakukan melalui wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Wawancara ditujukan kepada penyelenggara atau
kepala RA dan guru atau pengasuh, Kepala Kemenag, Kabid PenMad,

210 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Kasie PenMad, Subdit Kelembagaan, PTK, SarPras, dan komite


ataupun yayasan di mana RA berada. Dokumentasi dilakukan untuk
melihat dasar yuridis formal didirikannya lembaga RA, tujuan,
visi dan misi, kondisi siswa atau guru, serta proses pembelajaran
kelompok usia 4-6 tahun. Dalam wawancara beberapa informan
kunci merupakan representasi masyarakat yang mewakili
keberadaan RA sasaran penelitian diantaranya pemerintah, tokoh
pendidikan, guru, orang tua atau komite, dan lembaga IGRA.

IV. PEMBAHASAN
Data Kementerian Agama (2018) menunjukkan bahwa
persentase jumlah madrasah negeri di Indonesia hanya kurang dari
5% dari total populasi madrasah di Indonesia. Salah satu alasan utama
menegerikan madrasah adalah adanya kesepakatan dalam menaati
peraturan pemerintah secara langsung, dalam hal ini kebijakan
Kementerian Agama. Dengan demikian, kebijakan pendirian dan
penegerian madrasah merupakan salah satu instrumen kebijakan
strategis dalam upaya menjamin percepatan layanan pendidikan
yang bermutu di madrasah, di samping opsi kebijakan penguatan dan
pemberdayaan mutu pada madrasah swasta yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
Keberadaan RA telah berkembang seiring kebutuhan
masyarakat, meskipun sampai saat ini Kementerian Agama belum
menyelenggarakan RA percontohan atau pembina seperti TK di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelayanan yang dilakukan
oleh Kementerian Agama baru terbatas pada regulasi, kurikulum,
bantuan guru, dan sarana yang masih terbatas. Hasil penelitian
dari Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2018 menunjukkan bahwa
penegerian lembaga RA merupakan hal yang sangat mendesak
berdasarkan permintaan dari berbagai lapisan masyarakat. Apabila
hal tersebut tidak segera direspon oleh pemerintah, dikhawatirkan
kepercayaan masyarakat semakin menurun. Selain itu, upaya
penegerian RA dalam konteks pemerataan mutu pendidikan
merupakan salah satu jawaban pemerintah terhadap upaya
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana
tertuang dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut menyatakan dengan jelas
bahwa sistem pendidikan nasional menghendaki peningkatan mutu

Ibnu Salman 211


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

pendidikan dilaksanakan secara terencana dan berkala. Dengan


demikian, penegerian status kelembagaan RA merupakan salah satu
bentuk kehadiran dan partisipasi negara yang sesungguhnya.
Terkait hal tersebut, respon lembaga RA terhadap penegerian
lembaga juga merupakan kebutuhan yang mendesak dalam
perspektif pemerataan pendidikan pada semua jenjang. Karena itu
kesiapan atau kelayakan terhadap penegerian RA akan berdampak
bagi masyarakat sekitar menjadi suatu jawaban yang dapat
terpecahkan oleh pemerintah.
Penegerian madrasah dalam hal ini RA merupakan sebuah proses
peralihan status madrasah dari status swasta yang diselenggarakan
oIeh masyarakat atau badan hukum lainnya menjadi status negeri
yang dikelola oleh Kementerian Agama melalui mekanisme dan
persyaratan yang telah ditetapkan (Kementerian Agama, 2009).
Terkait hal ini, peran Kementerian Agama tidak hanya sebatas
memberikan bantuan dan bimbingan kepada madrasah termasuk
RA, namun juga melakukan pengembangan status kelembagaan
melalui program penegerian madrasah, baik madrasah swasta
yang dikelola oleh pribadi maupun madrasah yang dikelola oleh
organisasi-organisasi keislaman.
Peluang Kementerian Agama sebagai salah satu satuan kerja
terbanyak untuk menata kembali organisasi kelembagaannya melalui
penegerian RA sebenarnya terbuka lebar. Penegerian lembaga RA
sebagai bagian dari pemerataan mutu sistem pendidikan nasional,
secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas guru RA menjadi
lebih profesional. Kementerian Agama dalam hal ini mempunyai
otoritas penuh untuk mewujudkannya sebagai bagian dari upaya
pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan tanpa diskriminasi
khususnya pemerataan kualitas pendidikan anak usia dini.
Berdasarkan data statistik Kementerian Agama tahun 2016
disebutkan bahwa jumlah RA sebanyak 27.999 lembaga dengan
jumlah peserta didik 1.231.101 siswa. Jumlah RA setiap tahunnya
cenderung bertambah, yakni 23.007 RA tahun 2010; 24.318 RA pada
tahun 2011; 25.435 RA pada tahun 2012; 27.334 RA pada tahun
2013, 27.978 RA pada tahun 2014, 27.875 RA pada tahun 2015, dan
27.999 RA pada tahun 2016. Berikut bagan tentang data statistik
peningkatan jumlah RA di Indonesia antara tahun 2010-2016.

212 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Sumber: data Emis Kementerian Agama, 2017


Gambar 1. Jumlah RA di Indonesia Tahun 2010-2016
Gambar 1 menunjukkan peningkatan jumlah RA signifikan dari
tahun 2010 sampai dengan tahun 2016. Hal ini dapat dimaknai
dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
RA dalam mendidik anak usia dini yang berciri khas Islam. Sejalan
dengan hal ini, maka seharusnya pemerintah tidak memandang
sebelah mata dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan
peningkatan mutu pendidikan di RA. Apabila akreditasi sebagai
penjamin mutu pelayanan pendidikan RA, maka kondisi penyebaran
mutu RA adalah sebagai berikut: sebanyak 1.596 RA terakreditasi A,
5.641 RA terakreditasi B, 2.219 RA terakreditasi C, dan 18.543 RA
belum terakreditasi.
Sebaran akreditasi tersebut menunjukkan masih perlu banyak
usaha untuk meningkatkan mutu RA di Indonesia. Satuan pendidikan
RA yang mampu mencapai akreditasi A hanya 6% dari total jumlah
RA di Indonesia. Sementara satuan pendidikan RA yang belum
terakreditasi mencapai 66%. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang
perlu diselesaikan bersama. Seharusnya kepercayaan masyarakat
harus diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan di RA.
Dilihat dari segi guru RA, data Emis tahun 2016 menunjukkan
jumlah guru RA sebanyak 118.196 orang, dengan kualifikasi
pendidikan, yaitu belum sarjana berjumlah 55.026 orang, sarjana
berjumlah 63.350 orang, dan S2 berjumlah 191 orang. Dari jumlah
tersebut, guru dengan status PNS yang berjumlah 3.579 orang dan
guru nonPNS sebanyak 114.617 orang. Sementara guru RA yang
memiliki sertifikat baru 23 orang.

Ibnu Salman 213


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan tersebut, maka kebutuhan


pelembagaan atau manajemen yang profesional terhadap
keberadaan pendidikan anak usia dini mutlak diperlukan. Kebijakan
pemerintah diperlukan dengan upaya penegerian RA sebagai
salah satu alternatif solusi dalam mengentas kesenjangan mutu
pendidikan RA. Penegerian RA dapat dijadikan sebagai instrumen
ataupun barometer bagi pendidikan anak usia dini yang tersebar
pada setiap provinsi. Keberadaan RA negeri nantinya diharapkan
mampu membina RA-RA yang ada di sekitarnya. Keberadaan RA
negeri dapat diselenggarakan dengan model satu provinsi satu RA
negeri. Model lainnya adalah berdasarkan jumlah RA terbanyak
yang ada pada suatu provinsi di Indonesia, semakin banyak jumlah
RA di provinsi tersebut maka prioritas penegerian RA semakin
besar, begitu seterusnya sehingga keberadaan RA negerinya dapat
ditambah sesuai kebutuhan.
Kementerian Agama sebagai bagian dari pemerintah diharapkan
dapat melaksanakan kebijakan terkait penegerian lembaga RA dalam
rangka perluasan akses, pembinaan dan peningkatan mutu yang
terarah dan terpadu khususnya terhadap RA sebagai pendidikan
anak usia dini yang berciri khas Islam. Kebijakan penegerian RA
dalam konteks peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah
strategis Kementerian Agama untuk menaikan mutu pendidikan
anak usia dini sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan
umat Islam di Indonesia.
Munculnya peluang penegerian lembaga RA selain karena
adanya dukungan pemerintah, juga karena masyarakat ingin role
model keberadan RA yang berstatus negeri. Dengan demikian akan
mampu memberikan stimulus positif terhadap keberadaan RA
lainnya yang ada di sekitar RA negeri tersebut. Selain itu, dengan
adanya RA berstatus negeri, maka pemahaman keagamaan yang
radikal bisa diminimalisir sedini mungkin.
Selanjutnya berdasarkan penelitian Balai Litbang Agama
Jakarta tahun 2018 pada dua RA di bawah binaan Kementerian
Agama, yaitu RA Dharma Wanita ataupun RA Perwanida yang siap
untuk dinegerikan, keberadaan kedua RA tersebut berada di bawah
Binaan Kementerian Agama merupakan beberapa RA Unggulan yang
sudah bagus dalam aspek manajemen dan pengelolaannya, bahkan
mayoritas sudah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Anak

214 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Usia Dini. Secara tidak langsung representatif untuk dinegerikan.


Meski terdapat beberapa RA yang telah layak tetapi tidak setuju
untuk dinegerikan, sebenarnya bisa dihadapi, dan jika ada RA
yang belum siap untuk dinegerikan maka dapat dimulai dengan
menginventarisir kebutuhan sesuai standar PAUD (akreditasi).
Berikut tabel usulan penegerian RA berdasarkan kesiapannya
secara administratif pada 10 provinsi di wilayah kerja Balai Litbang
Agama Jakarta.
Tabel 1. Usulan Penegerian RA Berdasarkan Temuan Penelitian
Wilayah Nama RA
DKI Jakarta RA Perwanida Cilandak Jak-Sel
Jambi • RA Keluarga Sakinah Tanjabtim
• RA Dharma Wanita Kota Jambi
Sumatera Utara • RA Dharma Wanita Kab Deli Serdang
• RA Bunayya IV Kota Medan
Sumatera Barat • RA Dharma Wanita Ar-Rahmah Kota Bukittinggi
• RA Dharma Wanita Ikhas Kota Padang
Bandarlampung RA Tunas Harapan Lampung Utara
Sumatera Selatan RA Perwanida 2 Kota Palembang
Banten RA Al-Wardah Kab Pandeglang
Riau • RA Perwanida Al-Hidayah Kab Rokan Hulu
• RA Azkiya Kab Kuantan Singingi
• RA Al-Kautsar Kab Siak
Aceh • RA Perwanida Kota Banda Aceh
• RA Miftakhul Jannah Pidie Jaya
Jawa Barat • RA Uswatun Khasanah Subang
• RA Fitriyah Kab Majalengka
Sumber: Balitbang Agama Jakarta, 2018

Dalam rangka memudahkan proses penegerian RA diperlukan


adanya strategi penegerian yang dapat dipahami oleh seluruh
masyarakat. Bagi RA yang memenuhi persyaratan di atas, dapat
memenuhi tahapan prosedur penegerian sebagai berikut:
1. Langkah pertama adalah pengajuan usulan penegerian RA
yang dilakukan oleh perwakilan lembaga (milik individu
ataupun yayasan) berdasarkan kebutuhan masyarakat kepada
Kementerian Agama kota/kabupaten sebagai pintu pertama.
2. Langkah kedua, usulan penegerian RA dari Kementerian Agama
kota/kabupaten dilanjutkan pada Kementerian Agama provinsi.

Ibnu Salman 215


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

3. Langkah ketiga, usulan penegerian RA kemudian diteruskan


pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam untuk verifikasi
persyaratan.

Sumber: Balitbang Agama Jakarta, 2018


Gambar 2. Alur Proses Penegerian RA
Dalam mengusulkan penegerian RA biasanya muncul atas
inisiatif lembaga ataupun individu masyarakat. Beberapa hal yang
dapat diperhatikan dalam pengusulan penegerian RA ini adalah:
1. Proposal pengajuan RA negeri diajukan oleh lembaga atau
individu masyarakat.
2. Menyusun model RA negeri yang terdiri dari: visi, misi, standar
penyelenggaraan (kesiswaan, kurikulum, pembelajaran,
ketenagaan, sarana prasarana, penganggaran, dan
pengorganisasian).
3. Pemenuhan standar nasional pendidikan anak usia dini oleh RA
pengusul dengan dibuktikan lampiran akreditasi minimal B.
4. Perjanjian tidak akan melakukan tuntutan terhadap pemerintah
khususnya terkait menjadikan tenaga pendidik RA sebagai
pegawai negeri sipil dan tetap mempertahankan tenaga pendidik
yang ada sesuai standar tenaga pendidik dan kependidikan
terkait aturan jabatan fungsional guru.

V. PENUTUP
Respon lembaga RA terhadap penegerian lembaga merupakan
kebutuhan yang mendesak dalam perspektif pemerataan pendidikan
pada semua jenjang, sehingga kesiapan atau kelayakan terhadap
penegerian RA akan berdampak terhadap masyarakat sekitar
menjadi suatu jawaban yang dapat terpecahkan oleh pemerintah.

216 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Proses penegerian lembaga RA sangat diharapkan oleh


masyarakat. Penegerian lembaga RA dapat dijadikan alat kontrol
pemerintah untuk lebih meningkatkan pendidikan pada jenjang
prasekolah yang selama ini kurang diperhatikan secara maksimal.
Lebih lanjut, kebijakan pemerintah terhadap upaya penegerian RA
bisa menjadi role model terhadap keberadan RA dan sebagai bentuk
partisipasi langsung pemerintah terhadap pendidikan prasekolah
yang berkeadilan.
Kesiapan penegerian RA diantaranya direspon baik oleh RA
Dharma Wanita ataupun RA Perwanida pada 10 provinsi di wilayah
kerja Balai Litbang Agama Jakarta, dan beberapa RA lainnya, yang
siap dinegerikan tanpa syarat. Untuk itu Pemerintah dalam hal
ini Kementerian Agama melalui Dirjen Pendis segera melakukan
penegerian bagi lembaga RA sebagai salah satu kontrol managemen
dan dalam rangka pemerataan mutu/kualitas pendidikan jenjang
usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Eds). (1994). Handbook of


Qualitative Research. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.
Direktorat Pendidikan Madrasah. (2007). Kurikulum Raudlatul Athfal.
Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Islam, Kementerian
Agama RI. emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/index.php?
Hanun, Farida. (2015). Evaluasi Penegerian Madrasah, Jurnal Al-
Qalam, Volume 21 Nomor 2 Desember 2015.
Hermino, Agustinus. (2013). Asesmen Kebutuhan Organisasi
Persekolahan. Jakarta: Gramedia.
http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index21_tkra.php.
Pendidikan Anak Usia Dini Masih Rendah, (online), (http://www.
sumutprov.go.id/berita-lainnya/402-pendidikan-anak-usia-
dini-masih-rendah).

Ibnu Salman 217


Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Kementerian Agama. (2016). Educational Management Information


System (EMIS) Tahun 2015/2016. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam, Kementerian Agama.
Kementerian Agama. (2017). Kementerian Agama RI dalam Angka
2016. Jakarta: Biro Hubungan Masyarakat, Data dan Informasi.
Kementerian Agama. (2018). Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
RA di Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam, Kementerian Agama.
Mahfud, Choirul. (2013). Politik Pendidikan Islam di Indonesia
(Studi Analisis Kebijakan PendidikanIslam Pasca Orde Baru),
disertasi, UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Moleong, Lexi J., (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Muhammedi. (2017). Peran Raudhatul Athfal (RA) Dalam Membina
Generasi Islam yang Berkarakter. Raudhah, Vol. V, No. 1: Januari-
Juni 2017.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2013 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Saepudin, Juju. (2017). Mutu Raudhatul Athfal di Kota Jambi dalam
Perspektif Standar PAUD, Jurnal PENAMAS, Volume 30, Nomor
2, Juli-September 2017.
Salman, Ibnu. (2018). Term of Refference Need Asessmen Penegerian
Raudhatul Athfal. Jakarta: Bidang Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Balai Litbang Agama.
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. (2010). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

218 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

DAYA SAING PENINGKATAN KUALITAS


PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI) DI DUNIA
INTERNASIONAL MELALUI KINERJA LEGISLASI
KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI

Yunita Maya Putri


Universitas Lampung,
yunita.maya@fh.unila.ac.id
Shintya Gugah Asih
Asisten Ombudsman RI

ABSTRAK
Pekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga negara
untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya sebagaimana tertuang
dalam Pasal 27 UUD 1945. Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi
Pekerja Migran 1990 sebagai upaya perlindungan bagi Tenaga kerja
Indonesia dan keluarganya di luar negeri. Namun dalam proses
pembuatan kebijakan terdapat dinamika yang sering terjadi antara
peneliti dan pembuat kebijakan. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan
guna memberi masukan kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi
legislasi terkait Pekerja Migran Indonesia. Pendekatan penelitian ini
dilakukan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam proses pengambilan kebijakan, tahapan yang dilakukan
meliputi perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif
kebijakan, dan penetapan kebijakan. Dari tahapan tersebut ditemukan
bukti bahwa permasalahan umum yang masih menjadi pekerjaan rumah
saat ini adalah TKI illegal, PMI yang terkena masalah hukum, dan PMI
yang tidak memiliki kompetensi. Dari beberapa permasalahan tersebut,
kualitas sumber daya PMI baik jenjang pendidikan maupun keterampilan
yang memadai menjadi hal utama yang perlu disikapi. Terkait hal
tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai hal baik perlindungan
kepada PMI dan keluarganya maupun peningkatan pendidikan
dan keterampilan PMI sehingga memudahkan pemerintah untuk
menempatkan PMI berdasarkan profesi keterampilannya. Selanjutnya
pemerintah dan DPR-RI bisa melakukan kunjungan kerja ke negara
lain seperti Australia yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan
berbasis bukti untuk memperoleh berbagai alternatif kebijakan guna

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 219


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

memecahkan masalah yang terjadi di Indonesia khususnya peningkatan


kualitas sumber daya PMI demi daya saing bangsa.
Kata kunci: kebijakan; pekerja migran Indonesia; Dewan Perwakilan
Rakyat

I. PENDAHULUAN
Pekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga
negara untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagaimana
tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDN RI 1945) menyebutkan
bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Ketentuan ini diperkuat
pada Pasal 28 D Ayat (2) BAB X A UUDN RI 1945 yang menyebutkan
bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal
tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia dituntut
untuk melakukan perencanaan bukan hanya penyediaan lapangan
pekerjaan, termasuk kualitas sumber daya manusianya sendiri
yang dapat bersaing dengan para pekerja lain. Hal ini juga berkaitan
dengan Konvensi Pekerja Migran 1990 yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection
of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
(Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Komitmen tersebut
merupakan kewajiban suatu negara, sehingga hak setiap warga
negara dalam memperoleh pekerjaan disertai dengan kemampuan
bersaing tinggi dapat terpenuhi.
Tenaga kerja di Indonesia dibagi 2, yaitu tenaga kerja dalam
negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan tenaga kerja
luar negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia (PPMI).

220 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Tabel 1. Jumlah TKI Tahun 2014-2019 (Triwulan I)


Tahun Jumlah TKI
2014 429.874
2015 275.737
2016 234.451
2017 262.899
2018 283.640
Januari-Maret 2019 (Triwulan I) 64.062 
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI)

Dari tabel 1 diketahui bahwa penempatan Pekerja Migran Indonesia


(PMI) tertinggi di tahun 2014 yang mencapai 429.874 pekerja. Meskipun
tahun 2015 sempat menurun di angka 275.737 pekerja, dan tahun 2016
juga menurun menjadi 234.451 pekerja, namun menginjak tahun 2017
jumlah PMI kembali meningkat setiap tahunnya sebesar 7,89% dan
mencapai angka 283.640 ribu pekerja pada tahun 2018. Jumlah ini masih
didominasi pekerja perempuan yaitu sebanyak 198.975 (70%) dan
pekerja laki-laki sebanyak 84.665 (30%). Penurunan jumlah PMI dari
tahun ke tahun menurut Nurson Wahid (Kepala BN2PTKI) disebabkan
karena penghentian penempatan PMI pada pengguna perseorangan
ke Kawasan Timur Tengah yang diberlakukan pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian
dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna
Perseorangan (BNP2TKI.go.id., 29 Oktober 2019).
Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia juga terus mengalami
peningkatan, dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun
2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres ini
bertujuan untuk meningkatkan aliran investasi asing ke Indonesia
dan mempermudah izin TKA di Indonesia. Berikut data kenaikan
jumlah TKA dari tahun 2014 sampai tahun 2018 di Indonesia.
Tabel 2. Jumlah TKA Tahun 2014-2018
Tahun Jumlah TKA
2014 68.782 Pekerja
2015 69.025 Pekerja
2016 74.183 Pekerja
2017 85.974 Pekerja
2018 95.335 Pekerja
Sumber: Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 221


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan RI, rasio TKA


di Indonesia lebih kecil dari negara sekitar seperti Malaysia atau
Singapura. Hingga akhir tahun 2018, jumlah TKA sebanyak 95.335
pekerja atau hanya 0,04% dari total penduduk di Indonesia (268,829
juta jiwa). Namun demikian, dari jumlah TKA tahun 2018 tersebut,
TKA yang bekerja sebagai profesional hampir 24.000 pekerja,
manajer sebanyak 20.000 pekerja, dan direksi di suatu perusahaan
sekitar 15.000 pekerja. Sisanya bekerja sebagai komisaris, supervisor,
konsultan, dan teknisi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan
PMI yang didominasi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Tidak
kurang dari 93.000 pekerja atau hampir sepertiga PMI yang bekerja
di luar negeri berprofesi sebagai PLRT. Profesi terbanyak kedua PMI
adalah caregiver (pemberi perhatian untuk orang sakit/lanjut usia)
yang mencapai 51.000 pekerja atau sekitar 18% dari total PMI. Pada
urutan ketiga adalah operator sebanyak 36.000 pekerja.
Indonesia akan memiliki bonus demografi yang luar biasa
pada tahun 2030 mendatang. Oleh sebab itu sudah sepatutnya
pemerintah memiliki formulasi kebijakan yang tepat dalam hal
pengelolaan sumber daya manusia khususnya wajah PMI. Persepsi
PMI yang hanya dikenal sebagai PLRT harus diubah menjadi pekerja
profesional. Namun demikian, dalam proses pembuatan kebijakan
terdapat dinamika yang sering terjadi antara peneliti dan pengambil
kebijakan. Banyak peneliti tidak dapat memahami mengapa
pengambil kebijakan mengabaikan rekomendasi mereka walaupun
didasarkan pada bukti yang kuat. Di sisi lain pengambil kebijakan
mengeluhkan sulitnya mengakses dan memahami hasil penelitian
pada saat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan.
Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan guna memberi masukan
kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasi terkait PMI.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kebijakan publik
Menurut James A. Anderson, dkk (Nugroho, 2008) proses
kebijakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.

222 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Policy Policy Policy


Agenda Formulation Adoption

Policy Policy
Evaluation Implementation

Sumber: Nugroho, 2008


Gambar 1. Tahapan Dalam Proses Kebijakan
Pertama, policy agenda di mana masalah-masalah yang terkait
dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk
diseleksi dan dimasukkan ke dalam agenda untuk dipilih. Kedua,
policy formulation. Dari berbagai masalah yang ada, ditentukan
masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak
dijadikan fokus pembahasan. Ketiga, policy adoption, yaitu adopsi
satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai
solusi atas permasalahan tersebut. Keempat, policy implementation.
Pada tahap ini alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut
kemudian dilaksanakan. Kelima, policy evaluation atau evaluasi
kebijakan yang telah dilaksanakan untuk dilihat sejauh mana
kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau
tidak.
Penelitian ini memfokuskan pada tahap formulasi kebijakan,
sebagaimana diharapkan dapat memberikan masukan terkait
formulasi kebijakan berbasis bukti di DPR RI. Lebih lanjut perumusan
masalah menurut (Dunn, 2003) akan sangat membantu para analis
kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi,
mendiagnosis pembagian masalah publik, memetakan tujuan yang
memungkinkan, memadukan pandangan yang berseberangan atau
bertentangan dan merancang peluang kebijakan yang baru.

B. Kebijakan Berbasis Bukti


Bukti memiliki pemaknaan beragam (Chalmers, 2003)
menyatakan secara sederhana kebijakan berbasis bukti adalah

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 223


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

kebijakan yang didasarkan pada bukti kemanjurannya. (Sherman,


2003) menyatakan bukti adalah bukti ilmiah, di mana bukti
membedakan data dari teori. Menurut Kantor Kabinet Pemerintah
Inggris yang dikutip dalam Marston dan Wats (2003) bukti mencakup
pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik
yang ada, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-
evaluasi kebijakan sebelumnya, internet, hasil-hasil dari konsultasi,
hitungan biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran dari pemodelan
ekonomi dan statistic. Sedangkan (Sumner et al, 2009) membedakan
antara pendekatan berbasis informasi dan pendekatan berbasis
bukti, di mana yang pertama membahas kuantitas pengetahuan
dan yang kedua membahas kualitas pengetahuan dan relevansi
kontekstualnya.
Staley (2008) mengonstruksi bukti bukan hanya pengetahuan
berbasis penelitian. Pengetahuan terbaik saat ini tentang suatu
masalah mungkin pengetahuan praktisi atau ahli. Mungkin
aplikasi dari model untuk data yang ada atau hasil dari konsultasi
pemangku kepentingan. Kunci penerapan kebijakan berbasis bukti
adalah penilaian kritis terhadap semua bukti yang tersedia secara
menyeluruh dan reflektif. Di sisi lain, Davies (2005) menyoroti bahwa
kebijakan berbasis bukti membantu orang membuat keputusan yang
terinformasi dengan baik tentang kebijakan, program, dan proyek
dengan menempatkan bukti terbaik yang tersedia dari penelitian di
jantung pengembangan dan implementasi kebijakan. Lebih lanjut
kebijakan berbasis bukti memiliki alasan sebagai berikut:
a. Efektifitas guna memastikan kita melakukan lebih banyak hal
baik daripada merugikan.
b. Efisiensi gunakan sumber daya publik untuk efek maksimal.
c. Orientasi layanan guna memenuhi kebutuhan atau harapan
warga.
d. Akuntabilitas sebagai transparansi atas apa yang dilakukan dan
mengapa.
e. Demokrasi guna meningkatkan proses demokrasi.
f. Kepercayaan membantu memastikan atau mengembalikan
kepercayaan pada pemerintah dan layanan publik.
Berikut adalah bukti bagi pembuat kebijakan dan bagi peneliti.

224 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Pembuat Bukti
Kebijakan Bagi Peneliti
• Ilmiah (bebas konteks)
• Mudah dipahami (kontekstual)
• Terbukti secara empiris
• Apa pun yang tampak masuk akal
• Berdasarkan suatu teori
• Relevan dengan kebijakan
• Tidak terikat waktu
• Terikat waktu
• Kehati-hatian
• Pesan yang jelas
• Pembatasan/kualifikasi
Sumber: Davies (2005)
Gambar 2. Bukti Bagi Pembuat Kebijakan dan Peneliti
Adapun berbagai jenis bukti untuk kebijakan adalah bukti
implementasi, bukti analisis depkristif, bukti sikap, bukti etis, analisis
statistik, bukti ekonomi, keseluruhan bukti menghasilkan bukti dampak
(Davies, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, fokus penelitian ini
adalah proses kebijakan berupa agenda kebijakan, formulasi kebijakan,
dan adopsi kebijakan dengan menitikberatkan pada berbagai jenis
bukti bagi pembuat kebijakan. Hal ini dikarenakan sebagaimana
tujuan penelitian yaitu memberikan masukan dalam rangka kebijakan
berbasis bukti untuk kinerja legislasi DPR RI dalam hal meningkatkan
daya saing bangsa dengan lokus studi pada studi PMI. Maka diperoleh
kerangka pemikiran sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.
1. Bukti Implementasi;
Bukti Bagi Pembuat Kebijakan
2. Bukti Analisis Depkristif;
• Mudah dipahami (kontekstual)
3. Bukti Sikap;
• Apa pun yang tampak masuk akal
4. Bukti Etis;
• Relevan dengan kebijakan
5. Analisis Statistik;
• Terikat waktu
6. Bukti Ekonomi;
• Pesan yang jelas
7. Keseluruhan bukti menghasilkan
Bukti Dampak.

FORMULASI KEBIJAKAN

1. Perumusan Masalah;
2. Agenda Kebijakan;
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk
Pemecahan Masalah;
4. Tahap Penetapan Kebijakan.
Sumber: Olahan peneliti.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 225


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan jenis atau pendekatan penelitian
studi kepustakaan. Menurut Mardalis (1999) studi kepustakaan
merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan
informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material
yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-
kisah sejarah, dan sebagainya. Menurut Sarwono (2006) studi
kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi
serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk
mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan
dan dokumentasi. Studi kepustakaan berupa pengumpulan data
bermacam-macam material yang terdapat di ruang kepustakaan
seperti koran, buku-buku, majalah, naskah, dokumen dan
sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat,
1983). Sementara dokumentasi merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012). Tahap
selanjutnya adalah analisis data, yaitu memilih, membandingkan,
menggabungkan, dan memilah berbagai pengertian hingga
ditemukan yang relevan (Sutanto, 2007).

IV. PEMBAHASAN
A. Perumusan Masalah Kebijakan
Mengenali dan merumuskan masalah kebijakan merupakan
langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan.
Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-
masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik pula.
Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah
yang ada dalam masyarakat, dalam penelitian ini difokuskan terkait
kebijakan mengenai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasarkan
bukti analisis statistik, diketahui bahwa rendahnya pendidikan PMI
berpengaruh pada profesi yang dijalankan, lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut:

226 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Tabel 3. PMI Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Tabel 4. PMI Berdasarkan Profesi

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Dari tabel 4 diketahui bahwa pentingnya kualitas PMI


menentukan profesi pekerja migrasi tersebut. Terlebih hal ini
menunjukkan kompetensi sumber daya PMI untuk bersaing di dunia

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 227


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

internasional. Hal ini diperkuat dengan bukti dampak dan bukti


analisis deskriptif, di mana diketahui bahwa belum maksimalnya
tingkat pendidikan para PMI berpengaruh pada banyaknya laporan
baik PMI itu sendiri maupun dari pihak keluarga. Untuk lebih
jelasnya akan ditunjukkan dalam tabel 5 berikut.
Tabel 5. Jumlah Pengaduan PMI Berdasarkan Negara Penempatan

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan


Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI), hingga akhir
2018, terdapat 171 PMI terjerat kasus pidana berat dan masih dalam
proses penyelesaian. Sebanyak 443 PMI berhasil dibebaskan dari
ancaman hukuman mati. Sementara penyelesaian kasus terberat
terjadi di Arab Saudi karena Pemerintah Arab Saudi meminta ada
klausul pemaaf dari keluarga yang menjadi korban di Arab Saudi.
Sedangkan untuk PMI yang terkena kasus hukum dan penganiayaan,
BNP2TKI dan Kementerian Luar Negeri melakukan pendampingan
dan menelusuri kronologisnya.
BNP2TKI juga mencatat, TKI ilegal berjumlah 1,92 juta orang.
Mereka disebut TKI ilegal karena dokumen kerjanya tidak lengkap.
Rata-rata mereka masuk lewat jalur tikus atau visa umroh dan haji.
Ada juga yang nekat masuk secara resmi tetapi memakai visa palsu.

228 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Banyak calon TKI yang belum memahami cara menjadi TKI secara
resmi. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagian besar calon TKI hanya tamatan SD atau tidak tamat SD.
Selanjutnya berdasarkan bukti ekonomi, penyebab utama
besarnya jumlah PMI adalah sebagai berikut:
a. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di lingkungan
sekitar mereka. Inilah alasan terbesar mengapa orang-orang
memilih menjadi TKI di luar negeri. 
b. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar seperti
menyekolahkan anak, menyejahterakan hidup keluarga, dan
membeli kebutuhan hidup lainnya.
c. Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar
dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi
pembantu rumah tangga (PRT). Gaji di Indonesia berkisar
Rp500 ribu-Rp750 ribu. Sementara di Arab Saudi, gaji PRT 700
riyal atau setara dengan Rp1.610.000.  
d. Ajakan anggota keluarga yang telah menjadi TKI terlebih dahulu.
Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya
untuk bisa menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi
merantau. 
e. Lingkungan tempat tinggal yang masyarakatnya sudah menjadi
TKI turun temurun.

B. Agenda Kebijakan
Pada dasarnya tidak semua masalah publik akan masuk ke
dalam agenda kebijakan. Adapun masalah-masalah tersebut saling
berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah
tertentu yang pada akhirnya masuk ke dalam agenda kebijakan.
Salah satu syarat agar suatu masalah masuk ke dalam agenda
kebijakan adalah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar
bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera
dilakukan. Agenda yang disusun pemerintah menyangkut beberapa
masalah pokok, yaitu masalah rutinitas pemerintah, masalah dari
masyarakat, dan masalah baru dari masyarakat. Masalah publik
yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh
para perumus kebijakan. Untuk perumusan kebijakan berbasis
bukti, permasalahan PMI merupakan masalah dari masyarakat dan
menjadi masalah rutinitas pemerintah. Untuk itu kalangan legislatif

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 229


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

(DPR) mebutuhkan adopsi kebijakan dengan menitikberatkan pada


berbagai jenis bukti yang dibutuhkan DPR selaku pembuat kebijakan.
Berdasarkan bukti penempatan PMI terbanyak di luar negeri,
pemerintah dapat memfokuskan pada bukti ekonomi di mana
negara yang paling banyak menjadi tujuan para PMI. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Penempatan PMI Berdasarkan Negara

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Dari tabel 6 diketahui bahwa Malaysia masih menjadi negara


tujuan utama PMI. Berdasarkan bukti sikap dan bukti etis,
pemerintah sebenernya telah mengupayakan yang terbaik dengan
memiliki beberapa Memory of Understanding (MoU) dengan berbagai
negara untuk memfasilitasi keberadaan PMI di luar negeri. MoU
yang sudah dimiliki Pemerintah RI antara lain dengan Singapura,
Malaysia, Jepang, Arab Saudi, dan Kuwait. Selain itu, berdasarkan
bukti implementasi Pasal 3 huruf a dan b Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
menyatakan bahwa:
a. menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia
sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia; dan
b. menjamin pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja
Migran Indonesia dan keluarganya.

230 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Pasal tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia


telah memberikan perlindungan bukan hanya kepada para PMI,
melainkan juga kepada keluarga PMI. Selain itu berdasarkan bukti
implementasi, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan,
diantaranya program jaminan sosial bagi calon pekerja migran
Indonesia (CPMI)/PMI yang terdiri dari:
a. Program yang wajib untuk diikuti yaitu Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).
b. Program yang dianjurkan (sukarela) untuk diikuti yaitu Jaminan
Hari Tua (JHT).
Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan, diketahui
bahwa dalam upaya penyelesaian masalah terkait PMI, tidak bisa
hanya menyelesaikan suatu bagian dari masalah, melainkan harus
saling terintegrasi dan bersifat makro. Dalam hal ini, pemerintah
dapat memfokuskan bukan hanya pada perlindungan PMI ataupun
keluarga PMI, tetapi lebih spesifik pada kualitas PMI itu sendiri agar
memiliki kompetensi yang menunjang PMI sebagai pekerja yang
memiliki daya saing tinggi. Maka agenda kebijakan yang relevan dan
mudah dipahami berkaitan pada pengembangan kualitas sumber
daya baik masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan (skill)
yang memadai.

C. Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk Pemecahan Masalah


Pada agenda kebijakan, para perumus kebijakan akan
berhadapan dengan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat
diambil untuk memecahkan suatu masalah. Pada tahap ini para
perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan
antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.
Dalam kondisi tersebut, maka pilihan-pilihan kebijakan akan
didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor
yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Terkait PMI,
berdasakan bukti-bukti yang dipaparkan, maka perlu adanya
koordinasi antarpihak terkait agar tercipta aternatif kebijakan
untuk memecahkan masalah kualitas sumber daya PMI baik masalah
jenjang pendidikan maupun keterampilan yang memadai.
Untuk dapat menyeimbangkan antara kebutuhan (demand) dan
persediaan (supply), maka upaya peningkatan sumber daya PMI harus

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 231


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

dilakukan secara berkelanjutan. Namun demikian, berdasarkan hasil


penelitian kepustakaan, diketahui bahwa studi berbasis bukti masih
sulit ditemukan di Indonesia. Karena itu diperlukan kunjungan kerja
para perumus kebijakan ke negara-negara yang telah menerapkan
banyak kebijakan berbasis bukti seperti Australia. Hal tersebut
diperlukan untuk memperoleh berbagai alternatif kebijakan guna
memecahkan masalah kualitas sumber daya PMI, baik masalah
jenjang pendidikan maupun keterampilan yang memadai. Apalagi
data Kementerian Ketenagakerjaan RI menunjukkan bahwa tahun
2018 TKA yang bekerja sebagai profesional hampir 24.000 pekerja.
Angka itu terdiri dari 20.000 pekerja bekerja sebagai manajer, dan
15.000 sebagai direksi di suatu perusahaan. Data ini berbanding
terbalik dengan masih minimnya jumlah tenaga profesional PMI.
Selanjutnya penulis melihat bahwa realitas yang terjadi di
lapangan dengan apa yang dikemukakan oleh Dunn pada tahap
pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah menjadi
sangat relevan. Dunn mengatakan bahwa pada tahap pemilihan
alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah, para perumus
kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan
antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.
Oleh sebab itu dalam memilih alternatif kebijakan terkait PMI,
DPR RI dapat menepatkan diri sebagai wakil rakyat yang mampu
mengakomidir semua kepentingan guna memperoleh alternatif
kebijakan yang terbaik.

D. Tahap Penetapan Kebijakan


Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan,
maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah
menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil
pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut.
Tahap terakhir dalam proses formulasi kebijakan sesuai dengan
teori formulasi kebijakan Dunn adalah mengenai penetapan ataupun
pengesahan kebijakan. Tahap penetapan dan pengesahan kebijakan
perlu dilakukan agar suatu kebijakan yang telah dipilih pada tahap
pemilihan alternatif kebijakan, mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat dan tidak dapat diganggu gugat serta sesuai dengan

232 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

proses peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan


kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurispudensi,
dan sebagainya.
Berdasarkan studi kepustakaan misalnya, diketahui bahwa
guna menunjang ketrampilan PMI, ketentuan menyatakan bahwa
pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi CPMI yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan
dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta
yang terakreditasi. Dalam implementasi, pelatihan tersebut belum
menunjukkan indikator keberhasilannya. Sementara terkait tingkat
pendidikan, usia minimum bagi PMI telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun aturan tersebut tidak mengatur
batas minimal pendidikan sehingga banyak persoalan yang muncul
karena masih rendahnya kualitas PMI tersebut. Seperti kasus yang
terjadi di Malaysia, masalah komunikasi menjadi salah satu laporan
terbanyak akibat kurangnya kemampuan PMI, sedangkan Malaysia
merupakan negara tujuan PMI yang terbanyak dibandingkan negara
tujuan PMI lain.

IV. KESIMPULAN
Bukti yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan bukti
yang mudah dipahami (kontekstual), masuk akal, relevan dengan
kebijakan, terikat waktu, dan memiliki pesan yang jelas. Bukti-bukti
tersebut terdiri dari bukti implementasi, bukti analisis depkristif,
bukti sikap, bukti etis, bukti analisis statistik, bukti ekonomi, dan
keseluruhan bukti yang menghasilkan dampak. Berdasarkan bukti-
bukti tersebut diketahui bahwa permasalahan umum yang masih
menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah TKI ilegal. Mereka lebih
menyukai cara-cara belakang tanpa memikirkan dampaknya karena
desakan ekonomi dan kemampuan berpikir analitis yang rendah.
Selain itu, banyaknya PMI yang terkena masalah hukum, PMI yang
dipulangkan karena kurangnya kompetensi, dan permasalahan
komunikasi PMI di negara tujuan juga menjadi permasalahan
sebagian besar PMI. Dari bukti-bukti tersebut, dapat ditarik
permasalahan utama PMI adalah kualitas sumber daya PMI baik
masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan (skill) yang
belum memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah
melakukan berbagai hal, termasuk perlindungan kepada PMI dan

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 233


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

keluarga PMI. Selain perlindungan, perlu adanya upaya pencegahan


terhadap berbagai kasus PMI, yakni peningkatan kualitas daya saing
PMI. Rekomendasi yang peneliti ajukan adalah pertama ketentuan
tidak hanya mengatur batas usia minimal keberangkatan PMI, tetapi
juga jenjang pendidikan. Dengan demikian PMI akan berupaya
mengubah pola pikir pentingnya pendidikan sebagai salah satu
syarat memperoleh pekerjaan yang layak. Hal tersebut juga untuk
menjawab persolan dasar pengaduan PMI, misalnya di Malaysia
yang didominasi permasalahan komunikasi yang seharusnya selesai
di bangku pendidikan. Kedua, PMI diwajibkan lulus pelatihan
kompetensi dasar. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dasar
bahasa ibu, pendidikan bela negara, dan kemampuan dasar seperti
penggunaan komputer, memahami intruksi, dan pengetahuan
umum lainnya. Ketiga, guna menunjang keterampilan (skill) agar
tidak terasa sebagai formalitas belaka, maka perlu dilakukan ujian
kelulusan dan perencanaan dari awal. Hal tersebut disebabkan
tidak semua PMI memliki keterampilan yang sama seperti
menjahit, otomotif, memasak, desain grafis, dan sebagainya.
Klasifikasi keterampilan PMI dan kelulusan pelatihan tersebut
akan memudahkan pemerintah beserta lembaga penyalur PMI
dalam menempatkan PMI berdasarkan profesi keterampilannya.
Hal ini juga memudahkan pengawasan pemerintah sehingga dapat
memperkecil jumlah pengaduan yang berkonotasi negatif sebagai
akibat lemahnya kualitas PMI. Keempat, adanya perbaikan internal
dan sanksi tegas bagi lembaga penyalur PMI jika ditemukan tidak
mengindahkan prosedur. Dalam hal ini tidak hanya membekukan
izin tetapi mencabut izin dan sertifikasi lembaga dari awal lagi.

234 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

DAFTAR PUSTAKA

BNP2TKI. (2019). BNP2TKI Telah Menempatkan Sebanyak


1.598.522 PMI Sejak Tahun 2014, (online), (http://bnp2tki.
go.id/berita-detail/bnp2tki-telah-menempatkan-sebanyak-1-
598-522-pmi-sejak-tahun-2014, diakses 29 Oktober 2019).
Davies, Philip. (2005). Evidence-Based Policy at The Cabinet O
ce: A Transcript of A Talk at ODI, Impact and Insight Meeting,
17th October 2005, (online), (https://www.odi.org.uk/rapid/
events/impact_insight/presentation_1/davies.html, diakses 18
November 2019).
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Modul Analisis Data. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
I Chalmers. (2003). ‘Trying To Do More Good Than Harm In Policy
and Practice: The Role of Rigorous, Transparent, Up-To-Date
Evaluations’, Annals of the American Academy of Political and
Social Science, Vol. 589, pp. 22-40.
Jonathan, Sarwono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat. (1984). Kamus Istilah Anhtropologi. Jakarta:
Depdikbud (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).
Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal.
Jakarta: Bumi Aksara.
Martson, Greg dan Rob Was. (2003). Tampering with Evidence: A
Critical Appraisal of Evidence-Based Policy-Making, (online),
(http://www.australianreview.net/journal/v3/n3/marston_
watts.pdf, diakses 18 November 2019).
Nugroho, D. Riant. (2008). Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih 235


Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan


Tenaga Kerja Asing.
Sherman. (2003). Preface: Misleading Evidence and Evidence-Led
Policy: Making Social Science More Experimental, Annals of the
American Academy of Political and Social Science, Vol. 589, pp.
6-19.
Staley, Louise. (2008). Evidence-based Policy and Public Sector
Innovation, (online), (https://ipa.org.au/wpcontent/uploads/
archive/1226382181_doc ment_staley_vic_gov_innovation.pdf,
diakses 17 November 2019).
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sumner, Andy, Nick Ishmael Perkins, dan Johanna Lindstrom. (2009).
Making Science of In uencing: Assessing the Impact of Development
Research, (online), Institute of Development Studies, (https://
www.researchgate.net/publication/227646660_Making_
Science_of_Influencing_Assessing_the_Impact_of_Development_
Research, diakses 17 November 2019).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia.

236 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

SENSIBILITAS METODOLOGIS DALAM


PERUMUSAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:
STUDI KUALITATIF AKSES MASYARAKAT MISKIN
PADA LAYANAN KESEHATAN

Retna Hanani
Departemen Administrasi Publik, FISIP Universitas Diponegoro,
retnahanani@lecturer.undip.ac.id

ABSTRAK
Proses perumusan kebijakan publik adalah tahap penting dalam
menentukan kualitas kebijakan. Dalam tahap ini masukan kebijakan
harus didukung oleh bukti kebijakan (policy evidence) yang dikumpulkan
secara akurat dan menggambarkan kompleksitas masalah kebijakan
secara menyeluruh. Sebagai bagian dari siklus kebijakan, pendekatan
kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) adalah pendekatan baru
dalam studi kebijakan di Indonesia. Berbagai penelitian tentang siklus
kebijakan di Indonesia menunjukkan bahwa proses kebijakan publik di
Indonesia seringkali dibangun berdasarkan opini (opinion based) dan
bukan bukti (evidence based). Artikel ini ingin mengajukan argumen
bahwa untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan berbasis
bukti, pembuat kebijakan perlu memiliki sensibilitas metodologis untuk
memperkaya informasi dan bukti kebijakan. Sensibilitas metodologi
dalam artikel ini diterjemahkan sebagai kemampuan pembuat kebijakan
untuk memilih metode dan data sesuai dengan konteks masalah
publik yang ingin diselesaikan. Dalam definisi sensibilitas metodologis,
pembuat kebijakan (DPR salah satunya) terbuka terhadap pendekatan
dan data secara variatif untuk menangkap penyebab (causes), dampak
(impact) dan relasi antar faktor. Selain menggunakan pendekatan dan
data kuantitatif untuk melihat cause and impact, peneliti berpendapat
bahwa metode dan data kualitatif memberikan peluang kepada aktor-
aktor pembuat kebijakan untuk memahami kompleksitas masalah
kebijakan secara lebih komprehensif. Dengan menggunakan metode
kualitatif, aktor kebijakan dapat melihat kesalingterhubungan antara
berbagai faktor dan sejauhmana faktor-faktor kebijakan mempengaruhi
peluang keberhasilan sebuah kebijakan. Dalam artikel ini, penulis
menggabungkan metode pustaka dan studi kualitatif tentang akses

Retna Hanani 237


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

masyarakat miskin pada fasilitas kesehatan sebagai ilustrasi pentingnya


sensibilitas metodologis dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Kata kunci: bukti kebijakan; metodologi kualitatif; kebijakan kesehatan

I. PENDAHULUAN
Reformasi politik dan amandemen Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang
menandakan era baru dalam struktur kebijakan publik di Indonesia.
Peran DPR sebagai lembaga legislatif tidak lagi sebatas memberikan
legitimasi politik untuk kebijakan yang dihasilkan oleh eksekutif.
Saat ini, DPR memiliki kewajiban politis dan otoritatif untuk terlibat
aktif dalam penyusunan kebijakan. Secara politis, peran aktif DPR
dalam perumusan kebijakan adalah implikasi dari posisi DPR
sebagai institusi yang dipilih secara demokratis untuk mewakili
“suara rakyat”.
Sayangnya, kewajiban politis dan otoritatif ini tidak didukung
oleh kapasitas anggota DPR dalam merumuskan kebijakan. Berbagai
penelitian tentang proses perumusan kebijakan menyebutkan bahwa
walaupun DPR paska reformasi memiliki kewenangan yang lebih
besar, kewenangan ini tidak dibarengi dengan kemampuan anggota
DPR dalam proses pembuatan kebijakan. Penelitian Knowledge
Sector Indonesia tahun 2011, menunjukkan bahwa kapasitas
anggota DPR dalam perumusan kebijakan (terutama perumusan
kebijakan berbasis bukti) relatif lebih lemah jika dibandingkan
dengan kapasitas kebijakan pemerintah/eksekutif (Datta, Jones,
Febriany, & Harris, 2011).
Mengacu pada studi yang dilakukan Blondal, Hawkesworth, &
Choi Hyon-Deok, (2009), laporan KSI juga menyebutkan beberapa
faktor yang membuat proses perumusan kebijakan berbasis bukti
DPR lemah. Faktor pertama berkaitan dengan tingkat turn-over
(pergantian) anggota DPR yang cepat, Pada pemilu 2009, hampir 75%
anggota parlemen hasil pemilu 2009 adalah mereka yang menjadi
anggota parlemenn untuk pertama kalinya. Meskipun kondisi ini
mencerminkan proses transisi ke demokrasi, tingkat pergantian
yang cepat juga menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) anggota
legislatif dari hasil pemilu 2009 kurang memiliki pengalaman
legislasi. Blondal lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam kegiatan

238 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

penting seperti peninjauan anggaran, mayoritas anggota legislatif


baru tersebut secara tiba-tiba dihadapkan pada dokumen anggaran
yang sangat teknis. Dengan latar belakang sebagai anggota legislatif,
mereka tidak memiliki keahlian yang setara dengan keahlian yang
dimiliki pejabat eksekutif seperti Badan Kebijakan Fiskal. Tingkat
pergantian anggota ini juga terjadi pada tingginya rotasi anggota
parlemen dari satu komisi ke komisi lainnya. Rotasi komisi yang
cepat membatasi waktu mereka untuk mengumpulkan pengetahuan
dan pengalaman tentang suatu masalah.
Kedua, seperti yang telah disebutkan di awal artikel ini,
meningkatnya tanggung jawab politik DPR tidak disertai dengan
peningkatan sumber daya parlemen. Sumber daya parlemen tidak
hanya diartikan sebagai kapasitas anggota legislatif tetapi juga
kapasitas tim ahli dan tim sekretariat anggota DPR. Dalam studinya,
Blondal menujukkan bahwa anggota parlemen kadang-kadang tidak
memiliki sumber daya untuk mengumpulkan informasi dari daerah
pemilihan karena luasnya wilayah konstituensi mereka. Keterbatasan
untuk mendapatkan informasi dari daerah ini membuat anggota
parlemen tidak dapat memainkan fungsi perwakilan mereka secara
efektif.
Faktor ketiga, parlemen tidak memiliki dukungan analitik
yang memadai. Blondal et al. (2009) mengemukakan bahwa ada
35 ahli yang bekerja untuk Pusat Penelitian dan Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI) di Sekretariat Jenderal DPR. Tiga puluh lima
ahli ini bertanggung jawab untuk melayani 550 anggota parlemen
dan staf ahli anggota DPR. Staf P3DI termasuk peneliti, pustakawan,
arsiparis, spesialis komputer, dan penyusun undang-undang dan
ditugaskan untuk mendukung anggota DPR di semua kegiatan
(Sherlock, 2010). Blondal et al. (2009) menyatakan bahwa, dari
35 pakar, hanya 7 yang bertanggung jawab untuk memberikan
dukungan dalam penganggaran. Selain itu, Staf Sekretariat Jenderal
kurang berfokus pada pembuatan sintesis kebijakan (policy brief)
yang sangat diperlukan untuk anggota parlemen. Pelatihan oleh
lembaga keilmuan seperti SMERU untuk staf parlemen mengenai
metode penelitian dikatakan hanya berdampak kecil pada kualitas
pekerjaan mereka. Akibatnya, anggota parlemen dan staf ahli
tidak mendapatkan bantuan pengetahuan yang mencukupi dari
Sekretariat Jenderal.

Retna Hanani 239


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Dalam perkembangannya, kelemahan DPR terlihat dalam


demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan beberapa Rancangan
Undang-Undang terutama RUU KUHP yang merupakan bagian
program legislasi nasional DPR 2014-2019. Salah satu kritik
terhadap RUU KUHP tersebut adalah munculnya beberapa pasal
yang dianggap berpotensi melanggar kebebasan sipil warga negara
dan tidak menjawab permasalahan publik yang menjadi perhatian
masyarakat (contoh: tentang penanganan korupsi). Peristiwa
penolakan ini semakin membuktikan bahwa kualitas perumusan
kebijakan di DPR perlu mendapatkan masukan kebijakan (policy
input) yang berbasis pengetahuan (knowledge).
Dalam artikel ini, peneliti ingin berkontribusi dalam diskusi
tentang bagaimana parlemen dapat meningkatkan kualitas proses
perumusan kebijakan. Artikel ini ingin mengajukan pendapat
(argument) bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
perumusan kebijakan adalah dengan bersikap terbuka terhadap
berbagai pendekatan dan data. Keterbukaan terhadap berbagai
metode penelitian dan data (kuantitatif dan kualitatif) akan
membuka peluang bagi anggota parlemen untuk mendapatkan
gambaran kompleksitas masalah publik secara komprehensif dan
dapat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sebuah
intervensi kebijakan.
Artikel ini secara khusus akan mengaplikasikan pendekatan
dan data kualitatif sebagai bagian dari evidence based policy (EBP).
Pertanyaan yang ingin dijawab oleh artikel ini adalah model
pendekatan dan data kualitatif apa yang dapat digunakan oleh
parlemen untuk meningkatkan kualitas masukan kebijakan (policy
input) yang dibutuhkan? Apa kelebihan dan kekurangan dari
pendekatan dan data kualitatif sebagai basis EBP jika dibandingkan
dengan pendekatan dan jenis data kuantitatif ?

II. TINJAUAN PUSTAKA


Secara umum konsep evidence based policy sering dikontraskan
dengan model “opinion based policy”. Di negara-negara Barat, ilmu-
ilmu sosial berkembang pesat di era pasca perang tahun 1940-an dan
1950-an terutama dalam studi ilmu ekonomi seperti studi ekonmi
Keynesian. Perkembangan ilmu ekonomu Keynesian menjadi pijakan
kemunculan “policy science” yang diperjuangkan oleh Lasswell.

240 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Policy science yang dicanangkan oleh Laswell mengasumsikan bahwa


proses kebijakan publik adalah proses yang berlangsung secara
rasional (Head, 2010). Perkembangan evidence based policy tidak
bisa dipisahkan dari pandangan ini. Pada awal perkembangannya,
EBP juga juga didasarkan pada praktik pembuatan kebijakan di
sektor privat. Asumsi utama dari pandangan ini adalah strategi dan
arahan bisnis yang didukung oleh basis informasi yang solid akan
lebih unggul apabila didikung oleh sistem navigasi dan kompas
yang andal. Navigasi dan kompas adalah ilustrasi yang digunakan
para pemimpin bisnis untuk menggambarkan ketergantungan
perumusan kebijakaan pada bukti akurat tentang kinerja, standar,
dan kondisi pasar. Dalam pendekatan berbasis bukti, kebijakan
publik yang sukses bergantung pada informasi dan keahlian yang
andal. Proses kebijakan tidak dapat didasarkan pada preseden dan
intuisi pribadi.
Oleh karena itu, bukti (evidence) dalam konteks EBP didefinisikan
sebagai hasil dari aktivitas ilmiah yang dapat digunakan sebagai
masukan kebijakan yang reliable (dapat diandalkan). Dalam
proses pembuatan kebijakan, policy evidence harus dihasilkan
melalui serangkaian penelitian ilmiah dengan menggunakan
metode ilmiah yang terarah dan terukur. Definisi policy evidence
secara umum seringkali diterjemahkan sebagai pendekatan dan
data kuantitatif. Pertanyaan seperti validitas data, keandalan, dan
objektivitas adalah pertanyaan pokok untuk menguji kesahihan
data. Disinilah pendekatan statistika memiliki posisi khusus dalam
EBP. Pendekatan kuantitatif terutama statistik dianggap mampu
mengukur kompleksitas masalah publik secara lengkap dan singkat.
Pendekatan kuantitatif juga dianggap lebih menguntungkan karena
dapat menghitung secara spesifik dampak dari sebuah kebijakan.
Namun demikian, bukti yang relevan dan diperlukan dalam
perumusan kebijakan publik perlu diperluas. Perluasan metode
ini penting untuk mencerminkan jenis pengetahuan dan informasi
penting lainnya. Disinilah fungsi pendekatan dan data kualitatif
menjadi penting. Pendekatan kualitatif penting untuk melihat
masukan kebijakan tentang nilai-nilai, sikap dan persepsi pemangku
kepentingan dan pembuat keputusan. Selain itu, pentingnya
pendekatan dan data kualitatif sangat berbeda dengan pendekatan
kuantitatif. Beberapa disiplin ilmu (seperti antropologi sosial,

Retna Hanani 241


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

sejarah) umumnya berpusat pada ’pengalaman’ pelaku- makna,


motif, konteks – dan tidak berusaha mencari generalisasi perilaku.
Dalam studi kebijakan, pentingnya pendekatan kualitatif juga
digunakan untuk melengkapi kekurangan pendekatan kuantitatif.
Dalam kebijakan kesehatan misalnya, intervensi kesehatan mungkin
akan gagal jika penerima kebijakan tidak melihatnya sebagai hal
yang dapat diterima. Penerima kebijakan perlu menerima intervensi
kebijakan sebagai intervensi yang dapat diterima secara etis, dapat
diakses, layak dan hemat biaya. Dalam memberikan gambaran
kepada pembuat keputusan tentang dampak intervensi terhadap
orang, bukti kualitatif sangat membantu dalam menilai apakah
intervensi dapat diterima dan /atau layak untuk diimplementasikan.
Secara kongkrit, penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan
menunjukkan bahwa pendekatan dan data kualitatif sangat diperlukan
oleh pembuat kebijakan agar pembuat kebijakan dapat memahami
kompleksitas implementasi kebijakan. Pembuat keputusan juga
membutuhkan informasi tentang kelayakan dan penerimaan
intervensi, sehingga pembuat kebijakan lebih memahami faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan yang
mereka buat. Untuk mendapatkan sintesis data kualitatif yang dapat
digunakan secara mudah oleh pembuat kebijakan, peneliti kualitatif
sering menggunakan model Computerized Qualitative Analysis of
Discourse (CQAD), untuk mengekstraksi dan mensintesis deskripsi
pencarian, seleksi, penilaian kualitas, analisis dan metode sintesis
(Martínez-García, Vallejo, Hernández-Lemus, & Álvarez-Díaz, 2019).
Selain itu peneliti kesehatan menggunakan The Confidence in the
Evidence from Reviews of Qualitative research (CERQual) model
(Lewin et al., 2015). Model CERQual membantu menilai seberapa
besar temuan dari sintesis bukti kualitatif dapat dipercaya. Penilaian
kepercayaan CERQual untuk temuan review individu dari sintesis
bukti kualitatif didasarkan pada empat komponen: keterbatasan
metodologis dari studi kualitatif yang berkontribusi pada temuan
review, relevansi dengan pertanyaan review dari studi yang
berkontribusi pada temuan review, koherensi dari ulasan temuan,
dan kecukupan data yang mendukung temuan ulasan. CERQual
merupakan metode analisis data kualitatif yang secara transparan
menilai kualitas bukti kualitatif.

242 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Selain dua metode tersebut, terdapat satu metode kualitatif


yang penting untuk diketahui oleh pembuat kebijakan, yaitu metode
etnografi. Metode ‘Etnografi’ merujuk pada cara pengumpulan data
(seperangkat metode penelitian); prinsip-prinsip yang memandu
produksi data (metodologi); dan /atau produk tertulis dari aktivitas
etnografi (Savage, 2006). Ahli etnografi mencoba untuk mendapatkan
pandangan orang dalam (insider view) tentang suatu kelompok atau
komunitas tertentu. Kontribusi dari pendekatan etnografi terhadap
kesehatan terletak pada potensinya untuk mengeksplorasi isu-isu
kompleks, seperti konteks di mana perawatan diberikan, atau sifat
perawatan yang disediakan.

III. METODOLOGI
Dalam artikel ini penulis menggunakan studi pustaka untuk
menjelaskan kemunculan pendekatan evidence based policy dalam
studi kebijakan publik. Selain itu, studi pustakan juga dilakukan
untuk menunjukkan kemunculan pendekatan kualitatif dalam
perumusan kebijakan. Pendekatan kualitatif dalam bentuk etnografi
dilakukan untuk melihat bagaimana orang miskin mengakses
layanan kesehatan. Studi etnografi dilakukan di kampung kelas
menengah bawah di Jakarta Timur dan telah dilaksanakan pada
bulan September 2016.

IV. PEMBAHASAN
Konsep EBP telah banyak diadopsi di sektor kesehatan. Sebagai
bidang ilmu yang tergantung pada keberhasilan menerjemahkan
temuan dan melakukan sintesis dari percobaan pengobatan yang
efektif, maka ilmu kesehatan merupakan pioneer pendekatan
EBP dibandingkan bidang kebijakan lainnya. Namun demikian,
riset kesehatan tidak hanya berorientasi pada pendekatan klinis.
Studi-studi kesehatan juga menggunakan pendekatan etnografi
untuk menyelidiki konteks sosial, nilai, norma dan perilaku
masyarakat. Pada bagian ini, peneliti akan menunjukkan bagaimana
metode penelitian etnografi dapat digunakan untuk menangkap
kompleksitas akses pada layanan kesehatan.
Secara umum, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan
akses pada kesehatan sebagai peluang atau kemampuan untuk

Retna Hanani 243


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

mendapatkan layanan kesehatan yang mereka butuhkan dan


mendapat manfaat dari perlindungan risiko keuangan karena
kondisi kesehatan (Evans, Hsu, & Boerma, 2013). Akses pada
layanan kesehatan memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama adalah
aksesibilitas fisik (physical accessibility). Dimensi ini dipahami
sebagai ketersediaan layanan kesehatan yang baik dalam jangkauan
wajar dari mereka yang membutuhkannya antara lain memiliki jam
buka, sistem penunjukan dan aspek lain dari organisasi layanan
dan pengiriman yang memungkinkan orang untuk mendapatkan
layanan ketika mereka membutuhkannya. Dimensi kedua adalah
keterjangkauan finansial (financial accessibility). Dimensi ini adalah
ukuran kemampuan orang untuk membayar layanan tanpa kesulitan
keuangan. Dimensi ini memperhitungkan tidak hanya harga
layanan kesehatan tetapi juga biaya tidak langsung dan peluang
(seperti biaya transportasi ke dan dari fasilitas dan meluangkan
waktu dari pekerjaan). Keterjangkauan dipengaruhi oleh sistem
pembiayaan kesehatan yang lebih luas dan oleh pendapatan rumah
tangga. Dimensi ketiga adalah dimensi penerimaan (acceptability).
Dimensi ini menyangkut kesediaan orang untuk mencari layanan.
Penerimaan rendah ketika pasien menganggap layanan tidak efektif
atau ketika faktor sosial dan budaya seperti bahasa atau usia, jenis
kelamin, etnis atau agama penyedia layanan kesehatan menghalangi
mereka untuk mencari layanan.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masyarakat
miskin sering mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan
(Brooks et al., 2017; Erlyana, Damrongplasit, & Melnick, 2010;
Srivastava & McGuire, 2015). Dalam penelitian kami, metode
etnografi yang kami gunakan menunjukkan bahwa selain karena
status sosial ekonomi kelompok miskin, akses kesehatan bagi
masyarakat miskin di Jakarta juga dipengaruhi oleh peran mediator
(broker atau calo dalam bahasa Indonesia).
Ketergantungan masyarakat miskin terhadap mediator
dalam mengakses layanan kesehatan menunjukkan kompleksitas
pelaksanaan BPJS Kesehatan. Bagi orang miskin, prosedur untuk
mengakses fasilitas kesehatan adalah proses yang asing dan
rumit. Mereka tidak terbiasa berurusan dengan pelayanan publik
dan pemerintah karena kehidupan mereka yang marjinal. Oleh
karenanya, akses pada layanan kesehatan tidak hanya terdiri

244 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

dari tiga dimensi seperti yang disampaikan oleh WHO. Bagi orang
miksin akses pada layanan kesehatan adalah urusan yang rumit dan
harus dinegosiasikan. Warga miskin bergantung pada perantara/
mediator seperti ketua komunitas (Ketua RT, Tokoh Masyarakat
yang berpengaruh) untuk menjamin agar mereka dapat menerima
layanan di rumah sakit.
Dengan menggunakan periode field work selama setahun di kota
Jakarta, kami mengamati bahwa akses kepada layanan kesehatan
bagi orang miskin tidak serta merta menghilangkan ketergantungan
orang miskin terhadap perantara (mediator). Saat kami mempelajari
interaksi sehari-hari antara warga negara, perantara dan pemberi
layanan (Rumah Sakit atau Puskesmas), kami fokus pada bagaimana
interaksi yang dimediasi broker ini berdampak pada pemenuhan
hak layanan kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh warga
negara. Kami berpendapat bahwa broker tidak hanya membantu
warga mendapatakan hak layanan publik; mediator juga membentuk
pengalaman dan interpretasi hak kesehatan yang berbeda dengan
tujan kebijakan. Hak kesehatan dialami dan ditafsirkan tidak hanya
dalam hal hubungan formal dengan fasilitas kesehatan; tetapi juga
dipengaruhi oleh karakter hubungan pribadi antara pasien, mediator
(calo), dan pemberi layanan.
Dalam penelitian kami, kami menunjukkan bahwa walaupun
mediator membantu warga dalam mengakses layanan kesehatan,
ketergantungan pada broker juga berdampak pada semakin
marjinalnya posisi orang miskin dalam akses terhadap kesehatan.
Kebutuhan untuk memupuk dan memelihara hubungan dengan
perantara membuat warga tidak mampu mengakses layanan
kesehatan secara independen dan dapat menambah beban
finansial bagi pasien. Tanpa menggunakan pendekatan etnografi,
dimensi akses kesehatan yang ditetapkan oleh WHO tidak akan
dapat membidik tindakan mediasi yang banyak terjadi di kalangan
masyarakat miskin.
Dalam penelitian kami, pendekatan etnografi dapat melengkapi
studi kuantitatif dalam akses kesehatan. Merujuk pada Herzog &
Zacka, (2019) kami melihat ada empat keutungan dari pendekatan
etnografi. Keuntungan tersebut kami sebut sebagai keuntungan
sensibilitas metodologis. Dengan menggunakan metode etnografi
maka kami dapat menemukan tuntutan yang harus dihadapi

Retna Hanani 245


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

individu dalam situasi atau peran sosial tertentu. Kedua, dengan


menggunakan metode etnografi kami dapat mendiagnosis hambatan
yang dihadapi individu ketika mencoba menanggapi tuntutan ini
(diagnostik). Ketiga, dengan menggunakan metode etnografi kami
dapat mengevaluasi apakah praktik-praktik yang dilakukan oleh
individu dan pengaturan kelembagaan di mana mereka berada,
kondusif untuk meningkatkan akses pada layanan kesehatan
(evaluatif). Keempat, dengan metode etnografi kami menyelidiki,
mempertanyakan dan memperbaiki pemahaman kita tentang apa
nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat miskin.

V. PENUTUP
Keputusan kebijakan di dunia nyata tidak dapat direduksi dari
model analitik empiris, tetapi dari politik dan praktis pertimbangan.
Ada saling pengaruh antara fakta, norma, dan tindakan yang disukai.
Secara factual, dalam proses pembuatan kebijakan, apa yang dianggap
sebagai ‘bukti’ beragam dan dapat diperdebatkan. Dalam penelitian
kami, kami menunjukkan bahwa metode dan data kualitatif dapat
digunakan sebagai cara untuk menggali masukan kebijakan (policy
input) yang sama pentingnya dengan hasil pendekatan dan data
kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Blondal, J., Hawkesworth, I., & Choi Hyon-Deok. (2009). Budgeting


in Indonesia. OECD Journal on Budgeting, Volume 9 Nomor 2,
Agustus.
Brooks, M. I., Thabrany, H., Fox, M. P., Wirtz, V. J., Feeley, F. G., & Sabin,
L. L. (2017). Health facility and skilled birth deliveries among
poor women with Jamkesmas health insurance in Indonesia: a
mixed-methods study. BMC Health Services Research, Volume 17
Nomor 1, Februari.

246 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)


Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Datta, A., Jones, H., Febriany, V., & Harris, D. (2011). The political
economy of policy-making in Indonesia: Opportunities for
imporoving the demand for and use of knowledge (No. 340).
London.
Erlyana, E., Damrongplasit, K. K., & Melnick, G. (2011). Expanding
health insurance to increase health care utilization: Will it have
different effects in rural vs. urban areas? Health Policy, Volume
100 Nomor 2, Mei.
Evans, D. B., Hsu, J., & Boerma, T. (2013). Universal health coverage
and universal access. Bulletin of the World Health Organization,
Volume 91 Nomor 8.
Head, B. W. (2010). Reconsidering evidence-based policy: Key issues
and challenges. Policy and Society, Volume 29 Nomor 2, Mei.
Herzog, L., & Zacka, B. (2019). Fieldwork in Political Theory: Five
Arguments for an Ethnographic Sensibility. British Journal of
Political Science, Volume 49 Nomor 2, Mei.
Lewin, S., Glenton, C., Munthe-Kaas, H., Carlsen, B., Colvin, C. J.,
Gülmezoglu, M., … Rashidian, A. (2015). Using Qualitative
Evidence in Decision Making for Health and Social Interventions:
An Approach to Assess Confidence in Findings from Qualitative
Evidence Syntheses (GRADE-CERQual). PLoS Medicine, Volume
12 Nomor 10, Oktober.
Martínez-García, M., Vallejo, M., Hernández-Lemus, E., & Álvarez-
Díaz, J. A. (2019). Novel methods of qualitative analysis for health
policy research. Health Research Policy and Systems, Volume 17
Nomor 1, Januari.
Savage, J. (2006). Ethnographic evidence: The value of applied
ethnography in healthcare. Journal of Research in Nursing,
Volume 7 Nomor 5, September.
Sherlock, S. (2010). Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the
Growth of a Knowledge Market in Indonesia. Australia: AusAID
Srivastava, D., & McGuire, A. (2015). Patient access to health care
and medicines across low-income countries. Social Science and
Medicine, Volume 133, Mei.

Retna Hanani 247

Anda mungkin juga menyukai