Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-623-92389-3-3
15,5 x 23 cm
Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI
Gedung Nusantara I Lt. 2
Jl. Gatot Subroto Jakarta 10270
Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
diterbitkan. Semoga invensi dan inovasi yang tersaji dalam buku ini
bermanfaat bagi terciptanya kemajuan Indonesia.
DAFTAR ISI
III. METODOLOGI........................................................................................31
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................32
V. PENUTUP.................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................40
KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMI
DI ERA IMPLEMENTASI DANA OTONOMI KHUSUS ACEH
Sitti Aminah..............................................................................................................43
I. PENDAHULUAN....................................................................................43
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................46
III. METODE PENELITIAN.......................................................................47
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................47
V. PENUTUP.................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................58
MANFAAT EKONOMI KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBAS
MELALUI PENGEMBANGAN MODEL HYBRID
SURPLUS PRODUKSI
Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah...........................................61
I. PENDAHULUAN....................................................................................62
II. METODOLOGI........................................................................................62
III. PEMBAHASAN.......................................................................................65
IV. PENUTUP.................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................70
PENERAPAN ACCRUAL BASE ACCOUNTING UNTUK
PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN
PEMERINTAH PROVINSI BANTEN
Venti Eka Satya........................................................................................................75
I. PENDAHULUAN....................................................................................75
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................76
III. METODOLOGI........................................................................................78
IV. PEMBAHASAN.......................................................................................79
V. PENUTUP.................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................85
Kunto Nugroho
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
kunto.ekon@gmail.com
ABSTRAK
Keberhasilan kualitas pertumbuhan ekonomi umumnya terkait dengan
tingkat kemiskinan dan kesejahteraan di suatu negara. Lima dari 34
provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Gorontalo merupakan provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Semester I 2018, di sisi lain
empat dari lima provinsi tersebut mencatatkan pertumbuhan ekonomi
di atas pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2018. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan pertumbuhan ekonomi (PDRB)
terhadap kemiskinan di Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Gorontalo. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam
periode tahun 2010-2018. Metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis data panel yaitu metode analisis kuantitatif menggunakan
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel independen serta kemiskinan
sebagai variable dependen. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh
bahwa dalam 9 tahun pengamatan, pertumbuhan ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap kemiskinan di 5 provinsi yang diamati. Kenaikan 1
poin PDRB berdampak terhadap kenaikan 0,72 angka kemiskinan. Hasil
ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan pertumbuhan PDRB secara
kuantitas di 5 provinsi yang diteliti harus diikuti dengan upaya lebih
lanjut untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, agar pada
tahun mendatang pertumbuhan ekonomi memberikan dampak positif
dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
Kata kunci: pembangunan; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan;
disparitas; dan papua.
I. PENDAHULUAN
Sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, setiap daerah
mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/kota diharapkan
mampu menggali potensi daerahnya dalam upaya meningkatkan
pendapatan daerah sekaligus mampu menangani setiap masalah
yang timbul sebagai dampak aktivitas pembangunan. Pengenalan
terhadap potensi daerah baik yang bisa digali sebagai kekuatan
atau keunggulan maupun yang berpotensi sebagai kendala atau
kelemahan merupakan masukan yang sangat berharga guna
merancang strategi untuk mencapai tujuan pembangunan yang
telah ditetapkan.
Salah satu potensi yang dimiliki suatu daerah adalah penduduk.
Penduduk yang ada di suatu wilayah memegang peran ganda. Di
satu sisi, jumlah penduduk yang banyak merupakan modal potensial
sebagai subyek pembangunan, sedangkan di sisi lain, hal itu juga
berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Jumlah penduduk
yang banyak dapat menimbulkan masalah bila tidak ditangani
dengan tepat. Satu contoh yang bisa dikemukakan adalah terjadinya
urbanisasi penduduk dari desa ke kota akan dapat menimbulkan
masalah kependudukan yang berkaitan dengan munculnya
kantong- kantong pemukiman yang kumuh, ruwetnya pendataan
para pendatang, serta timbulnya permasalahan kriminal.
Masalah lain yang sering ditimbulkan oleh banyaknya jumlah
penduduk adalah berhubungan dengan rendahnya kualitas
penduduk tersebut. Seperti misalnya ketidakmampuan mengakses
kesempatan kerja karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat
keterampilan. Kondisi demikian berdampak pada makin tingginya
tingkat pengangguran yang pada akhirnya menciptakan kemiskinan.
Selain karena rendahnya kualitas penduduk atau sumber
daya manusia, kemiskinan juga sering muncul akibat terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan seiring dengan kemajuan
perekonomian di suatu Negara. Tambunan (2001) menyebutkan
bahwa ketimpangan hasil pembangunan mengakibatkan terjadinya
kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dan kelompok
masyarakat berpendapatan rendah yang diukur dalam garis
kemiskinan (poverty line).
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya
B. Kemiskinan
Tahun 1990, World Bank mengartikan kemiskinan sebagai
suatu ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi
standar hidup minimalnya. Pada tahun 2004, World Bank merincikan
kembali pengertian dari kemiskinan secara lebih detail yaitu
“Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah ketiadaan tempat
tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk periksa
ke dokter. Kemiskinan adalah tidak mempunyai akses ke sekolah
dan tidak mengetahui bagaimana caranya membaca. Kemiskinan
adalah tidak mempunyai pekerjaan dan khawatir akan kehidupan di
masa yang akan datang. Kemiskinan adalah kehilangan anak karena
penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan
adalah ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan”.
UNDP juga mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
kekurangan pendapatan dan kesulitan ekonomi dan juga dapat
dipandang sebagai suatu keadaan dimana kurangnya akses
terhadap pendidikan, kesehatan atau air minum yang bersih, atau
untuk mempengaruhi proses politik dan faktor lainnya yang penting
bagi manusia. Dengan kata lain, UNDP memandang kemiskinan
sebagai suatu masalah multidimensi yaitu tidak hanya terbatas pada
kekurangan pendapatan dan sumber daya ekonomi.
Adapun definisi kemiskinan yang banyak digunakan di
Indonesia terutama dalam pengukuran kemiskinan secara nasional
adalah definisi yang dikembangkan oleh BPS.
Rumusan komponen kebutuhan dasar menurut beberapa ahli
(dalam BPS, 2008) adalah sebagai berikut:
a) United Nations menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar
seseorang terdiri atas kesehatan, bahan makanan dan gizi,
pendidikan, kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan,
sandang, rekreasi, jaminan sosial, dan kebebasan manusia.
b) UNSRID menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar
manusia terdiri atas (i) kebutuhan fisik primer yang mencakup
kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan; (ii) kebutuhan
kultural yang mencakup pendidikan, rekreasi dan ketenangan
hidup; dan (iii) kebutuhan atas kelebihan pendapatan.
c) Ganguli dan Gupta menambahkan bahwa komponen kebutuhan
dasar manusia terdiri atas gizi, perumahan, pelayanan kesehatan
pengobatan, pendidikan, dan sandang.
C. Kerangka Analisis
Keterangan:
= Pengaruh
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis
III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data
Pertumbuhan Ekonomi dan data Kemiskinan tahun 2010-2018
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data tersebut
kemudian dianalisis menggunakan metode atau teknik analisis Data
Panel. Metode analisis data panel merupakan suatu teknik analisis
kuantitatif yang menganalisis penggabungan antara data Times Series
dan Cross Section. Metode data panel digunakan untuk menganalisis
pengaruh dari pertumbuhan ekonomi (variabel independen)
terhadap kemiskinan (variabel dependen) di 5 Provinsi Termiskin
di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan
Gorontalo.
IV. PEMBAHASAN
Badan Pusat Statistik Indonesia merilis tingkat kemiskinan
Indonesia pada Semester I 2018 sebesar 9,82%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2017 pada periode yang sama sebesar 10,64%.
Hasil tersebut merupakan tingkat kemiskinan terendah yang
berhasil menyentuh angka dibawah 10% untuk pertama kalinya.
Variabel Dependen/
No Judul Penelitian Hasil Penelitian
Independen
3 ‘Pengaruh Variabel dependen: Berdasarkan hasil
kredit modal kerja penelitian kredit modal
Kredit Modal Kerja Variabel independen: kerja berpengaruh
Terhadap Pendapatan pendapatan bersih positif dan signifikan
Bersih Usaha terhadap pendapatan
Kecil Dan Menengah bersih
(UKM) Sektor Formal’
oleh Inayah,dkk (2014)
V. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil kesipulan, yakni:
pertama, Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
dan Gorontalo adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi
secara berturut-turut sebesar 27,74%; 23,01%; 21,35%; 18,12%;
16,81%. Kedua, Pertumbuhan PDRB kelima provinsi tersebut adalah
Papua (7,33%), Papua Barat (6,24%), Nusa Tenggara Timur (5,13%),
Maluku (5,94%), dan Gorontalo (6,51%). Ketiga, hasil analisis
pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap kemiskinan
di lima provinsi tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan dimana
kenaikan PDRB akan diikuti kenaikan kemiskinan. Keempat, hasil
analisis menunjukkan bahwa kenaikan PDRB pada kelima provinsi
tersebut membutuhkan upaya lebih lanjut untuk mendorong
pemerataan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Nurlaili
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
lelykesa_antrop@yahoo.com
Bayu Vita Indah Yanti
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
bviy1979@gmail.com
Tikkyrino Kurniawan
Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Gedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta 14430
tikkyrino.k@gmail.com
ABSTRAK
Persepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu
aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat
terhadap lingkungan sumber daya dibangun atas dasar persepsi yang
mereka miliki. Untuk kepentingan pembangunan sumber daya alam
berkelanjutan dan dapat mensejahterakan maka perlu membangun
persepsi masyarakat yang selaras dengan berbagai program kebijakan.
Belajar pada kasus tahun 2015, persepsi masyarakat nelayan terhadap
keberlimpahan sumber daya lobster (SDL) di Lombok Tengah dan
Lombok Timur menjadi sangat penting dalam rangka pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan agar tetap dapat
mensejahterakan masyarakatnya. Tulisan ini merupakan bagian dari
hasil Penelitian Penguatan Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis
Masyarakat pada tahun 2015. Penelitian dilakukan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Pembahasan mengenai persepsi masyarakat nelayan
Nurlaili, dkk. 11
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2015 pemerintah melalui Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 1 Tahun 2015 yang telah
direvisi dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016 telah melakukan
kebijakan yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak umum bagi
masyarakat nelayan penangkap benih lobster, dimana materi
kebijakan ini berisikan larangan pemanfaatan benih lobster.
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok
Timur, di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah yang
diperkirakan paling terdampak terhadap kondisi masyarakatnya,
terutama pada masyarakat nelayan penangkap benih lobster.
Menurut Irianto dan Sidharta (2011), hukum tidak hanya berisi
konsepsi normatif, yaitu hal-hal yang dilarang dan dibolehkan;
tetapi juga berisi konsepsi kognitif. Dalam aras normatif, “mencuri”,
“membunuh”, “korupsi” dilarang baik oleh hukum negara, agama
maupun adat dan kebiasaan. Namun kognisi tentang apa yang
disebut mencuri, membunuh dan korupsi bisa berbeda-beda dalam
konteks politik dan budaya. Pada penerapan peraturan menteri
Nurlaili, dkk. 13
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
Nurlaili, dkk. 15
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
III. METODOLOGI
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Penguatan
Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis Masyarakat. Penelitian
dilakukan pada tahun 2015. Lokasi penelitian berada di Provinsi
Nusa Tenggara Barat di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Lombok
Tengah dan di Kabupaten Lombok Timur.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
dengan Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam
(indepth interview) kepada informan kunci (key informan) yang
merupakan nelayan penangkap benih dan pedagang pengumpul
(pengepul) di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Tengah
IV. PEMBAHASAN
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus
Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus
Spp.) merupakan kebijakan awal tahun 2015 yang mengejutkan
bagi masyarakat nelayan penangkap benih lobster di wilayah
Lombok Tengah dan Lombok Timur. Meskipun kebijakan ini
telah diperbaharui dengan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016,
konsekuensi penerapannya tetap memberikan keterkejutan bagi
masyarakat nelayan penangkap benih, dan bertambah juga ke para
pembudidaya lobster di wilayah tersebut.
Keterkejutan masyarakat dengan adanya kebijakan tersebut
dikarenakan menurut mereka, laut merupakan sumber daya yang
paling penting bagi masyarakat, dan mereka memiliki ketergantungan
yang tinggi bagi kehidupan mereka melalui pemanfaatan sumber
daya laut, dan semua orang dapat memanfaatkan sumber daya yang
tersedia di laut karena sumber daya tersebut merupakan pemberian
Yang Maha Kuasa.
Begitulah bagi sebagian besar masyarakat nelayan yang berada
di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Perubahan pada
sumber daya laut sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
mereka. Perubahan pada kebijakan dalam bidang sumber daya laut
juga menjadi dasar bagi perubahan kehidupan mereka.
Kebijakan Permen KP No. 1 Tahun 2015 yang selanjutnya
diubah dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016, melarang kegiatan
penangkapan benih lobster dengan tujuan keberlanjutan sumber
daya lobster telah mempengaruhi kehidupan nelayan di dua
kabupaten tersebut. Eksploitasi berlebihan atas benih lobster
menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan pelarangan
aktivitas penangkapan tersebut. Gejolak yang timbul di dalam
Nurlaili, dkk. 17
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
A. Gambaran Umum
Produksi benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah dan
Lombok Timur pada tahun 2014 yaitu 5.341.000 ekor (Lombok
Tengah) dan 5-6 juta ekor (Lombok Timur), dengan produksi rata-
rata 330.000-400.000 ekor/bulan (Lombok Tengah). Sentra nelayan
lobster di Kabupaten Lombok Timur terdapat di Teluk Jukung
(Telong Elong), Ekas Buana, dan Seriwe, ditambah beberapa lokasi
lainnya yaitu Batu nampar selatan, dan Ketapang Raya. Peningkatan
produksi benih lobster di Lombok Tengah selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Produksi Benih Lobster di Kabupaten Lombok Tengah Tahun
2010-2014
Tahun Jumlah Benih Lobster (ekor)
2010 2.700.000
2011 2.725.000
2012 3.150.000
2013 4.773.000
2014 5.497.400
Sumber: Dinas KP Kabupaten Lombok tengah, 2015
buah pocong per unit. Pocong dapat juga digantungkan pada longline
dengan panjang tali induk 50 meter yang dapat menampung 25 unit
pocong dengan kedalaman 1,5 – 10 meter dpl. Alat tangkap pocong
yang mereka gunkaan saat ini telah mengalami modifikasi dimana
sebelumnya mereka menggunakan karung bekas yang diikat diubah
menjadi bentuk kipas. Hal ini karena banyak kerusakan terumbu
karang. Waktu pemanenan dengan menggunakan “pocong” adalah
1-2 hari.
Pada umumnya masyarakat pesisir di Lombok Tengah dan
Lombok Timur terdiri dari suku Sasak (suku asli Lombok), Bugis,
Mandar dan Bajo. Kondisi masyarakat pada umumnya memiliki
pelapisan di dalam masyarakat yang didasarkan pada garis
keturunan, walaupun saat ini batas-batas pelapisan sudah tidak
dirasakan di dalam masyarakat. Realitanya masyarakat masih
menghormati gelar kebangsawanan pada suku Sasak “Lalu” untuk
laki-laki dan “Baiq” untuk perempuan, namun tidak menjadi dasar
pelapisan yang utama di masyarakat. Demikian halnya pada suku
Bugis, Mandar dan Bajo. Untuk tokoh adat Bajo, masih sangat
dihormati dalam masyarakat pesisir dan memiliki kedudukan
strategis dalam pengambilan keputusan demikian halnya dengan
Tuan Guru Haji. Selain kturunan, materi atau kekayaan juga menjadi
dasar dalam stratifikasi sosial pada masyarakat pesisir di Lombok
Tengah dan Lombok Timur.
Dalam sistem usaha lobster, posisi pedagang pengumpul
memiliki kedudukan yang sagat penting dalam masyarakat.
Pedagang pengumpul berada pada strata sosial yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nelayannya dan memiliki peran yang strategis
dalam setiap pengambilan kebijakan. Pedagang pengumpul pada
usaha lobster dapat diklasifikasi ke dalam pedagang pengumpul
skala kecil dan pedagang pengumpul skala besar. Pedagang
pengumpul skala kecil adalah pedagang pembeli lobster dari nelayan
dan menjual kembali kepada pedagang besar. Pedagang skala besar
adalah pedagang perantara dari pedagang pengumpul skala kecil
dengan eksportir. Peran pedagang pengumpul skala besar sangat
penting dalam keberlanjutan kegiatan usaha lobster di Lombok
Tengah dan Lombok Timur.
Pola hubungan kerja dalam pemanfaatan lobster di Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Timur bersifat patronase. Bentuk
Nurlaili, dkk. 19
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
Pengepul
Kecil di Pengepul
Nelayan
Lombok Besar di Eksportir di
Penangkap
Tengah dan Lombok Bali
Benih
Lombok Tengah
Timur
Nurlaili, dkk. 21
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
Nurlaili, dkk. 23
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
Agustus
Maret
April
Sept
Juni
Nov
Des
Mei
Feb
Okt
Juli
Jan
L. Mutiara
L. Pasir
Sumber: Data primer, 2015.
Paceklik
Musim Puncak
• turun ke laut
• mengikat pocong di Karamba
2 jam pagi hari hingga sebelum zuhur
• pemanenan hasil tangkapan benih lobster
Nurlaili, dkk. 25
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
V. PENUTUP
Hasil penelitian menunjukkan baik nelayan dan pengepul
benih lobster di dua kabupaten memiliki persepsi bahwa laut
merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan
secara bersama oleh siapa saja. Fenomena keberlimpahan benih
lobster bagi nelayan dan pengepul dianggap merupakan suatu
bentuk keberkahan yang didatangkan untuk mereka karena mampu
mengubah kondisi ekonomi masyarakat dalam waktu cepat. Ikatan
hutang dengan para pemberi pinjaman atau rentenir seketika hilang,
kriminalitas berupa perampokan juga menghilang dan para TKI/
TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di
luar negeri banyak yang kembali pulang dan beralih menjadi nelayan
penangkap benih lobster.
Upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat nelayan
terkait dengan keberlanjutan sumber daya lobster akan dapat
mengubah persepsi mereka terkait dengan pengelolaan sumber
daya yang berkelanjutan, sehingga tingkat partisipasi terhadap
program akan lebih efektif di masyarakat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih atas dukungan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dan juga untuk masyarakat
lombok yang telah berkenan membantu memberikan data dan
informasi. Doa kami juga untuk almarhum Profesor Zahri Nasution
dan almarhum bapak Manadiyanto yang merupakan peneliti utama
pendamping tim kami pada saat penelitian, terimakasih untuk
diskusi, saran, dan kritik perbaikan untuk menghasilkan karya tulis
terkait penelitian lobster ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nurlaili, dkk. 27
Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur
Djoko Sunarjanto
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
djoko.sunarjanto@esdm.go.id
Afi Nursyifa
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
afi.nursyifa@esdm.go.id
Suliantara
Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,
suliantara@esdm.goid
ABSTRAK
Potensi sumberdaya alam Kabupaten Penajam Paser Utara – Kutai
Kartanegara Kalimantan Timur, sangat variatif untuk berfungsi sebagai
tulang punggung perekonomian wilayah regional dan nasional. Untuk
itu perlu kebijakan cerdas pengembangan Penajam Paser Utara – Kutai
Kartanegara menjadi ibukota yang baru Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maksud dan tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi
potensi sumberdaya alam, utamanya potensi mineral dan hutan untuk
penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan
Penajam Paser Utara – Kutai Kartanegara yang ramah ekonomi dan
berkelanjutan (green economy). Kajian difokuskan pada perekonomian
dan lingkungan, dengan pendekatan analisis kualitatif dan komparatif.
Hasil analisis komparatif menunjukkan posisi geografis dan adanya
sumber minyak dan gas bumi dan hutan menjadi peluang untuk dijadikan
modal kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian baru. Kelapa
sawit menjadi potensi energi baru dan terbarukan yang menghasilkan
energi pengganti premium dan diesel. Sumberdaya alam yang sudah
terbukti meningkatkan perekonomian, sebagai bahan diskusi rancangan
kebijakan pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang
baru. Peraturan perundangan terkait kebijakan fiskal harus menjadi
prioritas.Guna menunjang perencanaan hingga monitoring dan evaluasi
I. PENDAHULUAN
Dinamika yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah
pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan tentu menjadi tugas
bersama yang tidak ringan, termasuk menjadi tugas Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Beberapa hal penting terkait kebijakan yang melibatkan banyak
pihak tersebut yang melatarbelakangi pemikiran penyusunan kajian
(review) ini.
Oleh sebab itu terkait dinamika yang ada, DPR langsung
membentuk Panitia Khusus Pemindahan Ibukota Negara (IKN)
yang langsung bekerja (Buletin Parlementaria, 2019). Sementara
konsekuensi pemilihan lokasi untuk Ibukota NKRI adalah terjadinya
peningkatan perekonomian antara lain akan terjadi ekstraksi
sumberdaya alam berupa lahan, hutan, air, dan mineral. Meskipun
alam mampu melakukan siklus seperti siklus air, namun ada proses
dan waktu yang panjang. Kondisi ini membuat perlunya penanganan
yang tepat dan akurat dengan lebih baik lagi. Apabila tidak ditangani
secara bersama dan terintegrasi oleh pihak terkait stakehoder dan
sharehoder, pengembangan Penajam Paser Utara - Kutai Kartanegara
disingkat Penajam Pasut – KuKar, dikhawatirkan terganggu akibat
adanya benturan kepentingan.
Daerah memiliki variasi dan kompleksitas, terdapat banyak
stakeholder sehingga belum semuanya terakomodasi dalam proses
perencanaan dan penyusunan kebijakan. Penyusunan kebijakan
cerdas dikembangkan secara optimal dan terintegrasi sesuai realita
dan dinamika yang terjadi. Sehingga adanya kebijakan yang selama
ini masih terjadi kesenjangan antara pihak penyusun kebijakan
(Pemerintah) dan stakeholder, dijembatani secara cepat dan tepat
penyusunannya untuk diimplementasikan sesuai skenario.
Maksud kajian untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya alam
utamanya potensi mineral dan hutan guna mendukung penyusunan
kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan Penajam
III. METODOLOGI
Metoda kajian menggunakan data terdahulu, studi literatur,
dan laporan penelitian/kajian. Kompilasi data untuk lebih
IV. PEMBAHASAN
A. Analisis Perekonomian
Analisis diawali dari data perekonomian Provinsi Kalimantan
Timur, dilanjutkan perekonomian dua kabupaten yang sebagian
wilayahnya menjadi calon lokasi Ibukota Negara.
1. Penajam Paser Utara
Upah Minimum Kabupaten Penajam Paser Utara adalah kedua
tertinggi di Kalimantan Timur setelah Kabupaten Berau (Kaltim.
tribunnews.com, 2019). Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Timur mencatat pertumbuhan ekonomi di Bumi Etam pada triwulan
I/2019 adalah 5,36% (y-o-y) tumbuh di atas rata-rata nasional yakni
5,07% (y-o-y). Pertumbuhan ini dipicu oleh semualapangan usaha
dibandingkan dengan triwulan I/2018 lalu. Pada triwulan I/2019
pertumbuhan tertinggi adalah konstruksi sampai 16,14% lalu
lapangan usaha jasa lainnya 9,20%, dan lapangan usaha pengadaan
listrik dan gas 8,37%. Pertumbuhan ekonomi tinggi karena struktur
perekonomian Kaltim, lima terbesar adalah pertambangan, industri,
konstruksi, pertanian, dan perdagangan. Pertumbuhan sektor
tambang dan penggalian cenderung stagnan, dan hanya pernah
turun drastis pada 2015-2016. Sektor konstruksi dipicu oleh
banyaknya proyek infrastruktur multi years yang masih berjalan
serta mulai tingginya tren pembangunan perumahan, termasuk juga
proyek tol Balikpapan-Samarinda dan proyek Jembatan Mahkota IV
(bisnis.com, 2019) .
Kinerja ekspor komoditas Kalimantan Timur diproyeksikan
masih melanjutkan tren kemerosotan hingga akhir tahun ini. Ekspor
utama Kaltim saat ini adalah batubara dan kelapa sawit. Namun,
dua komoditas ini juga sedang naik turun. Di sisi lain, komoditas
2. Kutai Kartanegara
Luas wilayah Kabupaten Kukar adalah 27.263,10 km2 yang
terbagi menjadi 18 kecamatan. Kabupaten Kukar mempunyai belasan
sungai yang tersebar pada hampir semua kecamatan dan merupakan
sarana angkutan utama disamping angkutan darat, dengan sungai
1. Dampak Lingkungan
Implementasi kegiatan pengembangan berkelanjutan memiliki
berbagai macam jenis dan orientasi yang berbeda sehingga sangat
mempengraruhi kondisi lingkungan baik sifatnya positif ataupun
negatif. Beberapa bentuk kegiatan yang memiliki dampak positif
terhadap lingkungan adalah konservasi mangrove dan pelestarian
keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati juga
bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan memberi ruang
untuk tumbuhan dan hewan agar dapat berkembang. Guna antisipasi
dampak negatifkegiatan hulu dan hilir migas di area ibukota negara
barudiperlukan pengawasan/monitoring dan evaluasi yang kuat.
C. Hasil Analisis
Melihat posisi geografis Penajam Pasut – Kukar terletak pada
wilayah kaya sumberdaya alam (khususnya minyak dan gas bumi
serta hutan dan lahan). Hal ini dapat menjadi peluang untuk
dijadikan kekuatan dan pendorongberbasis lahan atau kewilayahan.
Ibu Kota Negara menjadi kota yang compact, mengandalkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk mencapai tujuan SGs
(CNBC, 2019). Teknologi diperlukan dalam banyak bidang/sektor.
Selain itu perlu dibuat industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan agar menjadi barang yang bernilai tinggi sebagai barang
ekspor. Kerjasama dengan pihak swasta adalah suatu upaya dalam
memajukan bidang pertanian. Perkebunan kelapa sawit dapat
dijadikan industri strategis energi terbarukan yang berkelanjutan.
Kelapa sawit dapat diolah menjadi biodiesel dan bioethanol dengan
D. Diskusi
Diperlukan perundangan yang dapat diimplementasikan semua
pihak (stakeholder dan shareholder) sesuai bidangnya, konsisten
atau tidak dilakukan beberapa kali revisi perundangan tersebut, dan
konsisten menciptakan ramah lingkungan.
Disusun matriks kegiatan terpilih berdasar pendapat ahli (expert
judgement) dan potensi dampak beserta antisipasi, khususnya
terkait kebijakan dan sistem yang direkomendasikan, pada Tabel 1.
V. PENUTUP
Paper ini memberikan kesimpulan, pertama, posisi geografis
kabupaten kaya minyak gas bumi dan hutan menjadi peluang dan bukti
untuk perencanaan kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian
baru. Kedua, terdapat blok minyak dan gas bumi aktif energi tidak
terbarukan (non-renewable energy) menjadi bagian dari wilayah ibukota
baru. Ketiga, kelapa sawit dapat menjadi energi baru dan terbarukan
yang menghasilkan dua bentuk energi pengganti premium dan diesel.
Keempat, batubara dari pertambangan setempat dan sekitarnya dapat
dijadikan sumber pembangkit listrik, dengan mengutamakan teknologi
agar ramah lingkungan. Kelima, peraturan/perundangan kebijakan
fiskal harus menjadi prioritas dalam rangka mendukung pengembangan
wilayah ibukota baru Negara Republik Indonesia.
Untuk itu beberapa hal yang disarankan dalam paper ini adalah,
pertama, perlu disiapkan kebijakan untuk perundang-undangan
yang mengutamakan tanpa banyak dilakukan revisi. Kedua,
diperlukan aplikasi sistem informasi cerdas tentang Pengembangan
Ibukota Negara, untuk mempercepat dan pengkinian data input
penyusunan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan monitoring
evaluasi pembangunan berkelanjutan. Ketiga, materi kajian
khususnya potensi sumberdaya alam yang terbukti meningkatkan
perekonomian, dapat sebagai bahan rancangan kebijakan untuk
pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Sitti Aminah
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri
sittiaminah.kemendagri@gmail.com
ABSTRAK
Kebijakan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) telah diimplementasikan
lebih dari satu dekade. Dalam kurun waktu 2008 -2018 sekitar 58 Triliun
dikucurkan untuk Pemerintah Aceh. Kajian bertujuan menganalis
kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh selama implementasi
DOKA periode 2012-2017. Pendekatan kualitatif digunakan dengan
menganalisis secara deskriptif data sekunder yang bersumber dari
instansi Pemerintah dan hasil penelitian terdahulu. Hasil kajian
menunjukkan dalam kurun waktu 2012-2017 selama implementasi
DOKA, kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh belum mengalami
peningkatan secara signifikan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Implementasi DOKA belum mampu mendorong peningkatan
pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran serta mengurangi
ketimpangan pendapatan. DOKA telah berperan dalam menurunkan
angka kemiskinan, namun angka kemiskinan masih tergolong tinggi,
berada diatas rata-rata nasional dan tertinggi kedua di wilayah Pulau
Sumatera, IPM juga meningkat meskipun masih berada dibawah rata-
rata nasional. Rekomendasi kebijakan diantaranya adalah Pemerintah
Pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi
DOKA mulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan evaluasi.
Pemerintah Aceh melalui Bappeda perlu mengoordinasikan perencanaan
pembangunan untuk integrasi program dan kegiatan antar Satuan
Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/
Kota (SKPK).
kata kunci: dana otsus; pembangunan ekonomi.
I. PENDAHULUAN
Ciri utama desentralisasi asimetris adalah adanya sifat istimewa
dan kewenangan khusus. Salah satu bentuk keistimewaan adalah
pemberian dana otonomi khusus. Pemberian dana otonomi khusus
Sitti Aminah 43
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
dalam ayat (2) Pasal 183 UUPA, yaitu untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun, dan berakhir di Tahun 2022, ini berarti Pemerintah
Daerah penerima dana otonomi khusus harus bersungguh-sungguh
dalam pengelolaannya.
Kajian terdahulu tentang pemanfaatan dana otsus Aceh
dilakukan Pradmayanti (2015) meneliti tentang dampak otonomi
khusus di Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak dana
otonomi khusus, PAD dan belanja modal terhadap kemiskinan. Hasil
penelitian menemukan bahwa adanya pemisahan antara belanja
yang digunakan untuk belanja publik dan untuk kepentingan
aparatur. Peningkatan belanja publik dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin di tiga lokasi penelitian tersebut. Cahyono (2016)
menggunakan metode kualitatif menemukan bahwa dana otonomi
khusus tidak berdampak perbaikan kondisi masyarakat Aceh.
Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh
segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan sehingga menimbulkan
fenomena orang-orang kaya baru. Selanjutnya Suharyo (2016:
323-327) mengkaji efektivitas dana otsus Aceh dari perspektif
ilmu hukum. Kajian ini menemukan bahwa lemahnya perhatian
terhadap efektivitas Dana Otsus yang belum mampu menurunkan
angka kemiskinan, justru tertutupi oleh perseteruan mengenai
simbol-simbol bendera, lambang dan Hymne Aceh. Kompak (2018)
melakukan evaluasi pemanfaatan Dana Otsus, meggunakan metode
kualitatif menemukan bahwa pemanfaatan Dana Otsus dinilai tidak
efektif peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Rumusan masalah yang diajukan adalah: Bagaimana
kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh dalam kurun waktu
implementasi Dana Otsus 2012-2017. Pertanyaan ini diuraikan lebih
lanjut dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) Apakah keberadaan
DOKA telah mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi? (2)
Apakah keberadaan DOKA telah mempercepat penurunan angka
kemiskinan? (3) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi angka
pengangguran? (4) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi
ketimpangan pendapatan antar penduduk? (5) Apakah keberadaan
DOKA telah mendorong peningkatan IPM?
Sitti Aminah 45
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
IV. PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Ekonomi.
Kinerja pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh periode 2012-
2017 tergolong rendah. Implementasi DOKA tidak paralel dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh yang dalam 5 (lima)
Sitti Aminah 47
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
Rata-Rata
Provinsi
Provinsi
2017***
2017**
2017*
2012
2013
2014
2015
2016
No
1 Aceh 3,85 2,61 1,55 -0,72 3,31 3,40 3,75 4,10 2,73
2 Sumatera Utara 6,45 6,07 5,23 5,08 5,18 4,50 5,11 5,21 5,35
3 Sumatera Barat 6,31 6,08 5,86 5,52 5,26 4,99 5,33 5,38 5,59
4 Riau 3,76 2,48 2,70 0,22 2,23 2,83 2,41 2,85 2,44
5 Jambi 7,03 6,84 7,35 4,20 4,37 4,25 4,32 4,76 5,39
6 Kepulauan Riau 7,63 7,21 6,62 6,01 5,03 2,02 1,04 2,41 4,75
7 Sumatra Selatan 6,83 5,31 4,68 4,42 5,03 5,14 5,26 5,56 5,28
8 Bengkulu 6,83 6,07 5,47 5,13 5,30 5,23 5,13 4,83 5,50
9 Lampung 6,40 5,77 5,08 5,13 5,15 5,13 5,03 5,12 5,35
10 Kep. Babel 5.50 5,20 4,68 4,08 4,11 6,40 5,29 3,69 4,87
Rata-Rata
6,06 5,36 4,92 3,91 4,50 4,39 4,27 4,39 4,72
Sumatera
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017
Keterangan *Triwulan I, ** Triwulan 2, *** Triwulan 3
Rata-
Jenis Proporsi terhadap Total Pendapatan (%)
Rata
Penerimaan
2012 2013 2014 2015 2016 2017 (%)
Dana 59,65 58,31 58,80 60,42 62,33 55,69 59,20
Otonomi
Khusus
Lain-Lain 4,82 4,20 4,30 9.32 8,29 2,10 5,50
Pendapatan
Aceh yang
Sah
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Laporan keuangan Pemerintah Aceh Tahun 2012-2017 (diolah)
Sitti Aminah 49
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
B. Tingkat Kemiskinan
Kondisi kemiskinan di Aceh merupakan fakta yang
memprihatinkan karena Aceh merupakan satu-satunya daerah di
Sumatera yang mendapat kucuran Dana Otsus termasuk didalamnya
transfer dana tambahan untuk infrastruktur melalui berbagai
saluran dana transfer.
Meskipun data statistik menunjukkan angka kemiskinan di Aceh
menurun dalam 5 tahhun terakhir, yakni turun dari 19,46 persen
di Tahun 2012 menjadi 15,92 di Tahun 2016 (Gambar 2). Namun
dalam skala nasional, angka kemiskinan Aceh dan Kabupaten/Kota,
lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional.
Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Aceh Singkil 17,92 18,73 17,77 21,72 21,60 22,11
Aceh Selatan 14,81 13,44 12,79 13,24 13,48 14,07
Aceh Tenggara 15,64 14,39 13,75 14,91 14,46 14,86
Aceh Timur 17,19 16,59 15,88 15,85 15,06 15,25
Aceh Tengah 18,78 17,76 16,99 17,51 16,64 16,84
Aceh Barat 22,76 23,70 22,97 21,46 20,39 20,28
Aceh Besar 17,50 16,83 16,13 15,93 15,55 15,41
Pidie 22,12 21,12 20,29 21,18 21,25 21,43
Bireuen 18,21 17,65 16,94 16,94 15,95 15,87
Aceh Utara 21,89 20,34 19,58 19,20 19,46 19,78
Aceh Barat Daya 18,51 18,92 17,99 18,25 18,03 18,31
Gayo Lues 22,31 22,33 21,43 21,95 21,86 21,97
Aceh Tamiang 16,70 15,13 14,58 14,57 14,51 14,69
Nagan Raya 22,27 21,75 20,85 20,13 19,25 19,34
Aceh Jaya 18,30 17,53 16,52 15,93 15,01 14,85
Bener Meriah 24,50 23,47 22,45 21,55 21,43 21,14
Pidie Jaya 22,35 22,70 21,79 21,40 21,19 21,92
Kota Banda Aceh 8,65 8,03 7,78 7,72 7,41 7,44
Kota Sabang 20,51 19,30 17,02 17,69 17,33 17,66
Kota Langsa 13,93 12,62 12,08 11,62 11,09 11,24
Kota Lhoksumauwe 13,06 12,47 11,93 12,16 11,98 11,32
Kota Subulussalam 22,64 20,69 19,72 20,39 19,57 19,71
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2018
Sitti Aminah 51
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
C. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Aceh Tahun 2015 sebesar
9,93 persen yang merupakan TPT tertinggi di wilayah Sumatera.
Namun seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Aceh
dalam dua tahun terakhir, TPT juga mengalami penurunan menjadi
hanya sebesar 6,57% pada tahun 2017, menjadikan Aceh sebagai
provinsi dengan TPT tertinggi kedua di wilayah Sumatera setelah
Provinsi Kepulauan Riau sebesar 7,16 persen. Meskipun demikian,
TPT Aceh tetap lebih tinggi dibanding TPT nasional tahun 2017 yang
besarnya 5,5 persen. Secara rinci disajikan pada Tabel 7.
Sitti Aminah 53
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
D. Ketimpangan Pendapatan
Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk di Aceh mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan meningkat (Gambar 3). Tahun 2013
ketimpangan pendapatan turun menjadi 0,305 dari 0,325 di tahun
2012, namun angka ketimpangan kembali tinggi di Tahun 2013 dan
2014 menjadi 0, 233, hanya turun 0,1 menjadi 0,329 di Tahun 2017.
Penelusuran terhadap RPJMA 2012-2017, memperlihatkan program
pembangunan belum berhasil menacapai target penurunan angka
ketimpangan sebesar 0,25 pada tahun 2017.
Sitti Aminah 55
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
Tahun
Kabupaten/Kota
2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 2 3 4 5 6 7
Aceh Selatan 61,69 62,27 62,35 63,28 64,13 65,03
Aceh Tenggara 64,99 65,55 65,90 66,77 67,48 68,09
Aceh Timur 63,93 63,27 63,57 64,55 65,42 66,32
Aceh Tengah 70,18 70,51 70,96 71,51 72,04 72,19
Aceh Barat 66,66 66,86 67,31 68,41 69,26 70,20
Aceh Besar 70,10 70,61 71,06 71,70 71,75 72,00
Pidie 67,30 67,59 67,87 68,68 69,06 69,52
Bireuen 67,57 68,23 68,71 69,77 70,21 71,11
Aceh Utara 64,82 65,36 65,93 66,85 67,19 67,67
Aceh Barat Daya 62,15 62,62 63,08 63,77 64,57 65,09
Gayo Lues 62,85 63,22 63,34 63,67 64,26 65,01
Aceh Tamiang 65,21 65,56 66,09 67,03 67,41 67,99
Nagan Raya 64,91 65,23 65,58 66,73 67,32 67,78
Aceh Jaya 66,42 66,92 67,30 67,53 67,70 68,07
Bener Meriah 69,14 69,74 70,00 70,62 71,42 71,89
Pidie Jaya 68,90 69,26 69,89 70,49 71,13 71,73
Kota Banda Aceh 81,30 81,84 82,22 83,25 83,73 83,95
Kota Sabang 70,84 71,07 71,50 72,51 73,36 74,10
Kota Langsa 72,75 73,40 73,81 74,74 75,41 75,89
Kota Lhoksumauwe 73,55 74,13 74,44 75,11 75,78 76,34
Kota Subulussalam 59,76 60,11 60,39 61,32 62,18 62,88
Sumber: BPS Aceh, 2018 (Data Diolah)
V. PENUTUP
Kesimpulan yang bisa diambil pada kajian ini adalah, pertama,
kinerja pembangunan ekonomi belum menunjukkan peningkatan
yang signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Aceh pada periode implementasi DOKA 2012-2017. DOKA telah
diimplementasikan sejak Tahun 2008 hingga saat ini, namun hasil
analisis menunjukan implementasi DOKA belum mampu mendorong
peningkatan pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran
serta mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, DOKA telah
berperan dalam menurunkan angka kemiskinan, namun angka
kemiskinan di Aceh masih tergolong tinggi diatas rata-rata nasional
dan tertinggi kedua di wilayah Pulau Sumatera, IPM juga meningkat
meskipun masih berada dibawah rata-rata nasional.
Rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah dan Pemerintah Aceh
untuk perbaikan pengelolaan DOKA mencakup:
(1) Kemendagri membentuk Tim untuk melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap pengelolaan DOKA mulai dari tahap
perencanaan, penganggaran dan evaluasi.
(2) Kemendagri melakukan evaluasi terhadap formula untuk
menentukan besaran alokasi Kabupaten/Kota, mengingat
formula yang digunakan saat ini adalah formula untuk
menentukan DAU yang berlaku umum dan kurang menjawab
isu dan masalah pembangunan yang khas Aceh. Hal ini penting
dilakukan mengingat data menunjukan IPM di Kabupaten/Kota
berada jauh dibawah rata rata nasional, demikian pula dengan
angka kemiskinan yang tergolong tinggi.
(3) Kemendagri membentuk tim pengawasan pengelolaan DOKA
yang melibatkan multistakeholder baik dari unsur pemerinntah
(Kemendagri, BPK, BPKP dan Inspektorat), unsur akademisi/
perguruan tinggi, unsur masyarakat dan LSM yang menjamin
pengelolaan DOKA berjalan efektif.
Sitti Aminah 57
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
DAFTAR PUSTAKA
Sitti Aminah 59
Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi
Leny Dwihastuty
Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir pada Direktorat Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Supriyadi
Analis Konservasi dan Rehabilitasi Wilayah Pesisir pada Direktorat
Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan
Umi Muawah
Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat ekonomi dan sosial
perikanan karang di KKPN Anambas. Metode dalam penelitian ini
adalah metode survei. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai keuntungan
maksimum lestari atau pada titik MEY. Sementara untuk manfaat sosial
dihitung dengan pendekatan jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan
sumberdaya ikan karang. Sumberdaya ikan yang menjadi fokus penelitian
adalah 4 (empat) jenis sumberdaya ikan karang yang ditangkap di
dalam kawasan yakni ikan kerapu karang, ikan kakap merah, ikan kurisi
bali, dan ikan kuwe/manyuk. Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang
yang dikaji dalam penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per
tahun. Keuntungan (profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang
dianalisis dalam penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun
Pada JTB 50% jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya
ikan karang sebanyak 1.019 orang, sementara pada JTB MEY jumlah
nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan karang sebanyak
3.646 orang.
Kata kunci: konservasi; MEY; anambas; JTB
I. PENDAHULUAN
Sebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah
ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN)
sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN KP Nomor 37 Tahun
2014 dengan total luasan 1.262.686,2 ha. Kawasan Konservasi
Perairan Nasional Kepulauan Anambas merupakan sebuah kawasan
perlindungan laut yang dikelola berdasarkan prinsip konservasi
dengan azas pemanfaatan sumberdaya perikanan terbatas karena
diatur dalam beberapa kluster zona yang telah ditetapkan.
Hal mendasar dalam pengelolaan sumber daya ikan (SDI)
adalah pemanfaatan sumber daya yang menghasilkan manfaat
ekonomi tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
Pengelolaan SDI mengandung makna ekonomi dan biologi, yang
pemanfaatan optimalnya harus mengakomodasi kedua hal tersebut,
sehingga pendekatan bionomi harus dipahami oleh pelaku yang
terlibat dalam pengelolaan SDI (Fauzi dan Anna, 2005). Kondisi
bionomi sumber daya ikan penting untuk dikaji agar kondisi
baseline SDI dan keberlanjutan SDI dapat diketahui, sehingga
memudahkan upaya pengelolaan berkelanjutan, melalui analisis
ini maka dapat dikembangkan manfaat ekonomi dan sosial KKPN
Anambas pada Sumberdaya ikan tangkap, khususnya ikan karang
yang dengan armada tangkap yang terbatas, akan memudahkan
upaya pengelolaan berkelanjutan.
II. METODOLOGI
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan terhadap
manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai
ekonomi dan keuntungan (profit) dari jumlah tangkapan ikan
maksimum lestari per tahun. Manfaat sosial dihitung dari jumlah
individu nelayan yang menjadi nelayan pancing dari jumlah upaya
maksimum yang dapat memanfaatkan biomasa maksimum lestari
ikan karang. Konsep spill over yang digunakan adalah kelebihan
besaran biomasa ikan dari selisih biomasa maksimum potensial
dengan biomasa faktual yang berpeluang dilimpahkan dari kawasan
konservasi perairan ke luar kawasan konservasi perairan. Adapun
besaran biomasa ikan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 4
jenis sumberdaya ikan karang yaitu ikan Kerapu karang (Ephinephelus
..................................................................(1)
Persamaan (1) merupakan persamaan Regresi Linier Berganda
antara sebagai Y dengan sebagai X1 dan sebagai X2
(Pasisingi, 2011), atau dapat ditulis :
Y = a – bX1 – CX2 ..........................................................................................(2)
Persamaan (2) adalah Regresi Linier Berganda dengan : a = r , b
= r/kq, c = q
keterangan :
Ut+1 : CPUE tahun ke- t+1 (ton per unit)
Ut : CPUE tahun ke t (ton per unit)
D. Analisis Sosial
Analisis sosial ekonomi Perhitungan CPUE bertujuan untuk
mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya
perikanan pada suatu daerah perairan tertentu (Gulland, 1983),
dengan formulasi: CPUE = Catch/ Effort, dimana: CPUE = hasil
tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip), Catch = hasil tangkapan
(kg), effort= upaya penangkapan (trip). Peramalan manfaat ekonomi
dihitung langsung dari nilai tangkapan per upaya dengan harganya,
seperti yang dijelaskan oleh Bene dan Tewfik (2000) : RPUE = CPUEj
III. PEMBAHASAN
A. Model Surplus Produksi (MPS)
Model MPS dibangun dengan asumsi bahwa sumberdaya ikan
berada pada ‘steady state or equilibrium condition’ dan ‘constant
catchability’ (Gulland, J. A. 1983). Berikut tabel dan grafik jumlah
analisis data skunder berupa data jumlah tangkapan tahunan untuk
4 (empat) jenis ikan karang dengan jumlah total unit perahu yang
beroperasi di KKPN Anambas setiap tahunnya.
B. Model Schefer
Prosedur pendugaan MSY optimal dalam kawasan konservasi
perairan nasional Anambas dilakukan melalui model Schaefer. Data
yang digunakan berupa data hasil tangkapan dan upaya tangkapan
pada tahun 2015-2018 (setelah penetapan KKPN Anambas).
Menurut model tersebut hubungan antara CPUE (c/f) dengan total
IV. PENUTUP
Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam
penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
50.110.736.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 35.712.250.200
rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 177.411.399.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk. Sementara nilai keuntungan
(profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam
penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun dengan
rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang,
48.956.576.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 34.331.290.200
rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 176.386.389.000 rupiah
per tahun untuk ikan kuwe/manyuk.
Kegiatan perikanan tangkap harus dikelola semaksimal
mungkin untuk membatasi dampak pada ekosistem sehingga
mendorong upaya penangkapan yang lebih selektif. Untuk mencapai
penangkapan yang lebih selektif, manajemen perikanan perlu
memakai satu atu lebih dari 6 “S” strategi selektif, yakni species (jenis
ikan), stock (stok ikan), size (ukuran ikan) sex (jenis kelamin ikan),
seasons (musim penangkapan ikan), dan space (lokasi penangkapan
ikan). Namun demikian, Zhou et al. (2010) berargumentasi bahwa
seleksi 6 “S” akan memperburuk daripada mengurangi dampak
penangkapan pada ekosistem laut, dan justru berdampak negative
pada kapasitas produksi dari system tersebut untuk melestarikan
hasil tangkapan. Hutubessy et al. (2016) menyatakan bahwa semakin
besar ikan yang menjadi target penangkapan, semakin besar upaya
kita untuk merusak populasi ikan dengan hanya meninggalkan ikan
yang berukuran kecil di perairan. Penurunan kapasitas produksi
salah satu indikasi terjadinya overfishing.
Tangkap lebih atau overfishing vertebrata dan ikan berukuran
besar telah diketahui berakibat pada masalah lingkungan dan sosio-
ekonomi dalam perairan yang sesungguhnya dengan mengurangi
biodiversitas dan modifikasi fungsi ekosistem (Worm et al., 2009).
Laju mortalitas penangkapan pada ikan yang tertangkap harus
lebih rendah daripada produktivitas yang ada agar dapat dipastikan
bahwa penangkapan ikan akan lestari secara ekologi (Hutubessy et
al., 2016).
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Akuntansi berbasis akrual (accrual base accounting) merupakan
international best practice dalam pengelolaan keuangan negara karena
bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait biaya jasa
layanan, efisiensi, dan pencapaian tujuan. Sampai tahun 2015 Laporan
Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh opini
WTP, bahkan pada tahun 2011-2013 dan 2015 memperoleh opini TMP
dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP setelah
diterapkannya akuntansi berbasis akrual. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di Pemerintah
Provinsi Banten dilihat dari perspektif Komitmen Pimpinan, Regulasi,
SDM, serta Teknologi. Selain itu juga ingin mengetahui dampak penerapan
sistem akuntansi berbasis akrual terhadap kualitas laporan keuangan
instansi serta kendala dan permasalahan yang dihadapi. Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh yang
diperoleh melalui observasi langsung, wawancara, maupun dokumentasi.
Hal utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual ini adalah komitment pemimpin, regulasi, teknologi informasi
dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti
sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual
di pemprov Banten. Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem
akuntnasi berbasis akrual ini adalah kurangnya kualitas dan kuantitas
SDM yang kompeten terutama di bidang akuntansi disamping belum
terintegrasinya sistem aplikasi yang digunakan serta sistem pengelolaan
aset yang selama ini tidak dikelola dan dicatat sesuai dengan kebutuhan.
Kata kunci: akuntasi berbasis akrual; akuntansi berbasis kas;
keuangan negara; akuntansi pemerintahan.
I. PENDAHULUAN
Penerapan akuntansi berbasis akrual pada sistem akuntansi
pemerintahan merupakan salah satu tindak lanjut dari penerapan
New Public Management (NPM). Menurut Mulyana (2017),
reformasi dalam sistem pengelolaan keuangan daerah telah di
indonesia telah dilakukan sejak tahun 2005, hal ini ditandai dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan
pentapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pelaporan
keuangan yang lebih transparan dan akuntabel, maka pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP), yang diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010.
Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa dalam rentang waktu 2010
sampai 2015 seluruh elemen dalam sistem pemerintahan pusat
dan daerah harus mampu mempersiapkan diri untuk menerapkan
sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual.
Berdasarkan hasil audit BPK, sampai tahun 2015 Laporan
Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), bahkan pada tahun 2011-
2013 dan 2015 memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat
(TMP) dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP
setelah diterapkannya accrual base accounting. Untuk itu peneliti
tertarik untuk meneliti bagaimana provinsi menerapkan sistem
akuntansi berbasis akrual pada instansinya. Selain itu peneliti juga
ingin mengatahui dampak penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual terhadap kualitas laporan keuangan instansi serta kendala
dan permasalahan yang dihadapi.
III. METODOLOGI
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif dikarenakan dalam penelitian ini,
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan informasi dari BPKAD provinsi Banten, pemerintah
Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual dalam laporan
keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Sistem pelaporan
keuangan berbasis akrual ini mengharuskan pemerintah untuk
meninggalkan pola pelaporan yang lama dan menyesuaikan dengan
pola baru tersebut.
Dengan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini,
penyesuaian serta pemahaman sistem perlu dilakukan agar aturan
yang tertuang dalam sistem tersebut bisa diimplementasikan
dengan baik. Menyadari hal itu, Pemprov Banten terus melakukan
upaya perbaikan serta peningkatan kualitas, baik dari SDMmaupun
sisi lainnya seperti perangkat atau fasilitas penunjang seperti sistem
informasinya. Dalam rangka penerapan akuntansi berbasis akrual
Pemprov Banten terus diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Hal-hal yang paling berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi
berbasis akrual ini adalah komitmen pimpinan, teknologi informasi,
sumber daya manusia serta regulasi.
A. Komitmen Pimpinan
Pimpinan daerah terutama Gubernur Banten sangat mendukung
penerapan SAP berbasis akrual akan mampu menciptakan sistem
pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel
serta mampu memenuhi unsur-unsur kewajaran dan kecukupan.
Pimpinan daerah menunjukkan komitmennya dalam penerapan
B. Regulasi
Sejak tahun 2013 Pemprov Banten telah menyusun draft
kebijakan akuntansi yang akhirnya diterbitkan menjadi Peraturan
Gubernur nomor 18 tahun 2014 tentang Kebijakan Akuntansi
Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Peraturan Gubernur Banten nomor 68 tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Pergub nomor 18 tahun 2014
dan Pergub nomor 19 tahun 2014 tentang Sistem dan Prosedur
Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diganti
dengan Pergub nomor 51 tahun 2015 tentang Sistem dan Prosedur
Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten (Pergub 51/2015).
Dalam Pergub 51/2015 tersebut diatur mengenai sistem dan
prosedur (Sisdur) akuntansi yang harus diterapkan. Sisdur ini
melingkupi kerangka konseptual, penyajian laporan keuangan,
laporan realisasi anggaran, laporan operasional, laporan perubahan
ekuitas, catatan atas laporan keuangan serta keterangan mengenai
akun-akun yang digunakan dalam sistem akuntansi pemprov Banten.
Pada BPKAD pemprov Banten juga dilakukan perubahan struktur
organisasi. Sejak tahun 2017, Pendapatan tidak lagi dikelola oleh
BPKAD akan tetapi oleh Adan Pendapatan Daerah sedangkan Aset
dan Keuangan tetap dikelola oleh BPKAD.
D. Teknologi Informasi
Untuk optimalisasi penggunaan sistem akuntansi berbasis akrual
ini perlu didukung oleh sistem aplikasi yang berbasis komputer agar
proses pelaksanaannya lebih mudah dan cepat. Sejak tahun anggaran
2012 pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem aplikasi
pengelolaan keuangan yang terintegrasi mulai dari penganggaran,
penatausahaan sampai pada pelaporannya (termasuk didalamnya
proses akuntansi), yaitu menggunakan Sistem Aplikasi Manajemen
Daerah (SIMDA) Keuangan yang dibangun dan dikembangkan oleh
BPKP.
Untuk membangun dan mengembangkan sistem aplikasi
akuntansi berbasis komputer, pemerintah provinsi Banten
melibatkan akademisi, BPK dan BPKP. Akan tetapi penerapan sistem
informasi akuntansi SIMDA belum dapat diterapkan secara penuh
dalam sistem akuntansi pemprov Banten, sebagian proses akuntansi
masih dilakukan secara manual. Hal ini dikarenakan keterbatasan
pemahaman dan pengetahuan SDM terhadap sistem informasi ini
serta keterbatasan data dan belum terintegrasipenuhnya sistem
tersebut.
SIMDA merupakan sistem pengelola keuangan daerah berbasis
teknologi inforamasi server-client yang terdiri dari 26 aplikasi
terpisah yang dapat didistribusikan di setiap SKPD dengan sistem
V. PENUTUP
Dasar hukum penerapan sistem akuntansi berbasis akrual pada
instansi pemerintahan di Indonesia adalah PP Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintah. PP tersebut selanjutnya
diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. PP ini selanjutnya menjadi
landasan teknis akuntansi pemerintah berbasis akrual yang harus
dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2015. Penerapan sistem
akuntansi ini bukanlah hal yang mudah, penerapannya tidak hanya
membutuhkan persiapan teknis, akan tetapi juga faktor-faktor lain
seperti aturan-aturan pendukung, komitmen organisasi (lembaga),
kapasitas SDM serta sistem dalam organisasi. Memahami tentang
permasalahan tersebut, pemerintah tidak serta merta menerapkan
sistem ini, melainkan dilakukan secara bertahap.
Pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual
dalam laporan keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Hal
utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual ini adalah komitmen pemimpin, regulasi, teknologi informasi
dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti
sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis
akrual di pemprov Banten. Hal utama yang paling menentukan
adalah komitmen pimpinan.
Laporan Keuangan Pemprov Banten yang selama ini belum
pernah memperoleh opini WTP dari BPK. Pada tahun 2016 laporan
keuangan provinsi ini memperoleh opini WTP. Selain itu berdasarkan
hasil penelitian terbukti akuntansi berbasis akrual sangat bermanfaat
dalam penyusunan anggaran periode selanjutnya karena dengan
sistem ini realisasi anggaran dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa
menunggu laporan realisasi anggaran disusun. Dan data realisasi
anggarannya juga lebih akurat.
Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem ini adalah
kurangnya kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten terutama di
bidang akuntansi. Selain itu belum terintegrasinya sistem aplikasi
yang digunakan juga menjadi kendala tersendiri. Pengelolaan
aset yang selama ini dilakukan terpisah serta tidak dikelola dan
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
erna_unhalu@yahoo.com
Ambo Wonua Nusantara
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
La Tondi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
Nuddin
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo
ABSTRAK
Daya saing beberapa industri halal Indonesia masih tertinggal dengan
negara lain, padahal Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar yang
dapat dijadikan peluang pasar industri halal. Paper ini bertujuan untuk
mengkaji tantangan regulasi yang dihadapi oleh industri halal Indonesia
dalam peningkatan daya saing global. Data penelitian bersumber dari
data sekunder hasil publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional. Data dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. Hasil
kajian menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai target lima besar
dalam daya saing industri halal global. Meskipun demikian segmen
industri makanan halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan
kosmetik halal masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya
saing tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri.
Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari aspek
regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal yaitu: (1)
belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen halal industri
tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan
pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya komitmen dukungan dari
industri terkait, khususnya pendanaan dari lembaga keuangan Islam.
Kata kunci: regulasi; daya saing; industri halal; ekosistem halal; global
I. PENDAHULUAN
Industri halal global tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun 2019,
dan diperkirakan bahwa masyarakat Muslim menghabiskan US $ 2,2
triliun pada 2018 untuk makanan, sektor farmasi dan gaya hidup.
Selain itu, aset industri keuangan syariah dilaporkan mencapai $ 2,5
triliun pada tahun 2018 (Thomson Reuters, 2019). Share industri
keuangan Islam terkosentrasi pada kawasan GCC sebesar 42 persen,
disusul oleh kawasan MENA sebesar 29,1 persen. Sementara pada
kawasan Asia sebesar 24.4 persen (Islamic Financial Services Board,
2018). Meskipun demikian, berdasarkan data Thomson Reuter
(2019) daya saing industri keuangan Islam tertinggi dimiliki oleh
Malaysia, yang berada pada kawasan Asia. Pada tahun 2019 Malaysia
juga menempati peringkat pertama dalam daya saing industri halal
global. Namun berdasarkan kelompok industri, UEA menempati
urutan pertama dalam industri makanan, fashion, farmasi, dan
media halal.
Pada sisi lain, daya saing Indonesia dalam industri halal global
masih tertinggal dibanding negara lain. Dari enam segmen industri
halal, Indonesia berada pada kelompok sepuluh besar di tiga segmen
industri, yaitu keuangan Islam, modest fashion, dan halal travel.
Bahkan pada industri makanan halal, Indonesia kalah bersaing
dengan Brazil dan Australia. Begitu pula pada Industri halal media
dan halal farmasi, peringkat Indonesia masih di bawah peringka
Singapura. Jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk
Muslim, maka potensi ini berbanding terbalik dengan peringkat
daya saing. Laporan Global Islamic Economic Indicator tahun
2019 menunjukkan, peringkat pertama ditempati oleh Malaysia,
selanjutnya UEA, Bahrain, dan Saudi Arabia, sementara Indonesia
menduduki peringkat berikutnya atau kelima. Hasil estimasi
populasi penduduk Muslim di dunia yang dilakukan oleh Kettani
(2010) untuk tahun 2020, menunjukkan bahwa negara Malaysia
memiliki sekitar 19 juta populasi muslim, sementara UEA 5,4 juta
jiwa. Adapun Indonesia memiliki sekitar 240 juta penduduk muslim.
Dengan demikian, besarnya potensi penduduk yang merupakan
perwujudan dari luasnya pasar (permintaan) bukanlah faktor utama
dalam menentukan keunggulan bersaing negara.
Hasil empiris menunjukkan bahwa permintaan suatu produk
barang dan jasa pada halal industri bukan semata-mata faktor
III. METODOLOGI
Data penelitian bersumber dari data sekunder yang diperoleh
melalui Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Thomson Reuter. Thomso Reuter melakukan publikasi atas indikator
daya saing industri halal global. Tantangan regulasi diperoleh melalui
publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional yang
terdapat pada dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia
2019-2014. Data di analisis secara deskriptif dengan bantuan grafik.
IV. PEMBAHASAN
A. Capaian Daya Saing Industri Halal Indonesia
Masterplan pengembangan industri syariah di Indonesia 2019-
2024 memiliki target peningkatan daya saing pada beberapa bidang,
sebagaimana di sajikan pada tabel 1. Pada lima tahun ke depan, yaitu
2024 diharapkan terjadi peningkatan skala usaha industri halal di
Indonesia. Bahkan pasar keuangan syariah yang hingga akhir tahun
2018 belum mencapai 10 persen, ditargetkan pada tahun 2024
mencapai 20 persen. Pada sisi lain, program peningkatan daya
saing industri halal di Indonesia tampak pada bidang target no. 2,
yang diharapkan bahwa dalam jangka waktu lima tahun, Indonesia
menempati lima besar daya saing industri halal global.
V. PENUTUP
Indonesia menempati peringkat lima dalam daya saing industri
halal global. Meskipun demikian 3 segmen industri, yaitu: makanan
halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetik halal
masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya saing
tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri.
Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari
aspek regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal
yaitu: (1) belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen
halal industri tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah
pusat-daerah; dan pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya
komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya pendanaan
dari lembaga keuangan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL:
MEWUJUDKAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI
DALAM PROSES LEGISLASI
Yosephus Mainake
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
yosephus.mainake@dpr.go.id
Noverdi Puja Saputra
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
noverdi.saputra@dpr.go.id
Rais Agil Bahtiar
Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat
rais.bahtiar@dpr.go.id
ABSTRAK
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia. Makauntuk mewujudkan tujuan
tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga
negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok
berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Salah satu bentuk
perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak
bebas dari ancaman dan kekerasan. UUD 1945 telah menekankan hak
ini sebagai salah satu hak konstitusional, namun tidak setiap warga
bebas dari berbagai macam kekerasan terutama kekerasan seksual.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, permasalahan yang diuraikan
disini adalah bagaimana peran DPR terkait dengan Kebijakan Berbasis
Bukti Randangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS), mengarah kepada permasalahan tersebut, pembahasan
pendukung dalam tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya
RUU PKS dan peran DPR. Pendekatan yang digunakan dalam menulis
makalah ini adalah kualitatif dengan metode tinjauan literatur. RUU PKS
dinilai sangat penting. Karena sampai dengansaat ini belum adaregulasi
hukumdi Indonesia yang memberikan jaminan perlindungansecara
spesifikatas kasus kekerasan seksual.Sehingga dapat dikatakan bahwa
RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. DPR sebagai lembaga
yang memiliki fungsi legislasi yaitu pembentuk undang-undang telah
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 101
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
I. PENDAHULUAN
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia salah
satunya bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara wajib memberikan
perlindungan kepada seluruh warga negara terutama kelompok
rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus
seperti penyandang disabilitas. salah satu bentuk perlindungan
terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari
ancaman dan kekerasan. Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945) telah menekankan hak ini sebagai salah satu
hak konstitusional, namun tidak setiap warga bebas dari berbagai
macam kekerasan terutama kekerasan seksual. (Moerdijat, 2019).
Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan
dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek
substansi, struktur, dan budaya hukum. RancanganUndang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual) ini merupakan upaya pembaruan
hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. (Khaiya, 2019).
Pembentukan RUU PKS berawal dari Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (selanjutnya disingkat DPD RI) kemudian
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat DPR RI). DPR RI melihat RUU PKS itu sebagai
upaya inisiatif. Draf RUU PKS kemudian diselaraskan oleh Badan
Legislatif DPR lalu diserahkan ke Komisi VIII DPR. Kemudian,pada
tahap inilah RUU PKS mulai bermasalah karena komisi ini mengatur
persoalan norma sehingga hal itu turut memengaruhi penanganan
kasus kekerasan seksual. (Eddyono, 2019).
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 103
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam mempersiapkan artikel ilmiah ini
adalah tinjauan literatur. Tinjauan literatur yang relevan dengan judul
tulisan ini adalah pada buku-buku teknis, jurnal ilmiah, media massa,
dan dokumen studi atau lembaga survei yang sudah ada. Atas dasar
teori, data dan studi sebelumnya dikompilasi dengan logika deduktif
untuk menjelaskan masalah yang menjadi studi makalah ini.
IV. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Posisi perempuan dalam kehidupan sosial ternyata belum
sejajar dengan laki-laki meskipun upaya ke arah itu telah lama dan
Sumber: https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunan
Gambar 1. Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dari Tahun 2017-2018
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 105
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa tren mengenai kenaikan
kasus kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi di setiap tahun.
Hanya pada tahun 2010 dan tahun 2016 mengalami penurunan
jumlah kasus. Namun pada tahun berikutnya terjadi kembali
peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
menunjukan bahwa tingkat kekerasan di Indonesia masih sangat
tinggi dan mengkhawatirkan.
Melihat data diatas, bahwa kekerasan terhadap perempuan
selalu meningkat maka Undang-undang penghapusan kekerasan
seksual dinilai penting.RUU PKS ini dibentuk atas dasar belum
adanya regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan
perlindungan secara spesifik atas kasus kekerasan seksual. RUU
PKS ini merespon darurat kekerasan seksual dan memperbaiki
penanganannya agar lebih manusiawi dan bermartabat (yang
menjadi prinsip universal seluruh agama). (fh,unpad.ac.id, 2019)
Di dalam Hukum Pidana terdapat asas “Lex Specialis Derograt
Legi Generali” yang berarti aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum umum. Menurut Menurut Bagir
Manan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
asas tersebut, yaitu: (Bagir Manan, 2004)
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan
hukum keperdataan.
RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. Karena RUU PKS
mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang belum seluruhnya
terdapat didalam KUHP. Selain itu RUU PKS merumuskan pula
macam-macam pemidanaan sebagai suatu pidana pokok atuapun
tambahan yang bisa dibilang berbeda dengan yang terdapat
didalam KUHP. RUU PKS tidak memasukan denda sebagai suatu
ancaman pidana, karena denda yang dibayarkan tersebut pasti akan
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 107
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
V. PENUTUP
RUU PKS dibentuk untuk merespon darurat kekerasan seksual
yang terjadi di Indonesia dan memperbaiki penanganannya agar
lebih manusiawi dan bermartabat. RUU PKS dinilai sangat penting.
Karena sampai dengan saat ini belum ada regulasi hukum di
Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik
atas kasus kekerasan seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa RUU
PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP.
DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi yaitu
pembentuk undang-undang telah melakukan pembahasan panjang
dengan presiden yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Namun saat ini, RUU PKS masih ditunda karena imbas
dari ditundanya RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan RUU ini
serta gejala politik yang berkembang sampai saat ini. Sehingga DPR
akan kembali melakukan pembahasan, pendalaman dan pengkajian
berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat serta melakukan
harmonisasi mengenai RUU ini agar dapat berjalan dengan baik dan
tidak terjadi tumpang tindih ketentuan dalam penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar 109
Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology
ABSTRAK
Perancangan suatu produk legislasi berupa Undang-Undang yang
diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai aktor utamanya
saat ini telah dianggap konvensional jika dilihat dari perkembangan
zaman yang terjadi saat ini. Revolusi digital yang masif menggerus
segala lini telah memaksa berbagai sektor untuk berubah. Demikian pula
halnya dengan pola pemerintahan, khususnya lembaga legislasi yang
memiliki wewenang membentuk undang-undang juga perlu merubah
pola pembentukan produk legislasi. Konsep Soft System Methodology
(SSM) yang mulai muncul secara ilmiah sebagai konsep baru dalam
perancangan suatu kebijakan dapat menjadi model baru untuk
digunakan dalam perancangan produk legislasi. Penelitian ini bertujuan
untuk membangun rancangan model konsep perancangan produk
legislasi yang berbasiskan pada konsep SSM melalui metode penelusuran
pustaka. Penyandingan dan modifikasi pola pembentukan produk
legislasi yang digunakan saat ini dengan konsep SSM menghasilkan
suatu model konsep baru yang dapat digunakan dalam perancangan
undang-undang. Model konsep tersebut diharapkan mampu menjadi
pola baru dalam penyusunan produk legislasi secara lebih optimal
karena kemampuannya dalam berpikir secara sistem.
Kata kunci: perancangan; produk legislasi; evidence based policy; soft
system methodology
I. PENDAHULUAN
Undang-undang didefinisikan sebagai produk hukum yang
dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
dari Presiden (UU Nomor 12 Tahun 2011). Undang-undang berisi
III. METODOLOGI
Penelusuran dan peninjauan terhadap pustaka menjadi basis
metode dalam pelaksanaan riset ini. Tiga elemen pustaka utama
yaitu proses perancangan undang-undang yang digunakan saat
ini, konsep evidence based policy, dan konsep SSM dieksplorasi
dalam upaya untuk mendapatkan rancangan model baru dalam
proses perancangan suatu produk legislasi. Pembangunan model
konsep atau konstruksi baru dalam perancangan produk legislasi
menjadi tujuan utama dalam riset ini melalui proses penyandingan,
penyesuaian, dan modifikasi konsep.
IV. PEMBAHASAN
Berdasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan
juga perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019,
pembentukan suatu produk undang-undang dilakukan melalui
beberapa tahapan proses. Rangkuman tahapan tersebut dalam riset
4. Pembahasan RUU
Proses pembahsan RUU dilakukan oleh legislatif bersama
eksekutif dengan pembagian pada pembicaraan tingkat I sampai
tingkat II.
Proses penyandingan:
a. Tahap 5 hingga 7 dari SSM dapat disandingkan ke dalam proses
pembicaraan tingkat I, yaitu:
• Tahap 5 SSM (comparison of models and real world), yaitu
melakukan validasi model konsep dengan kondisi nyata,
yang dalam hal ini proses validasi dilakukan melalui
pembicaraan oleh DPR maupun presiden atau yang
mewakili.
• Tahap 6 SSM (changes: systematically desireable, culturally
feasible), di tahap inilah perbaikan model konsep dilakukan
dengan merujuk pada masukan-masukan yang diberikan
pada tahap validasi model (tahap 5 SSM).
• Tahap 7 SSM (Action to improve the problem situation),
rencana-rencana aksi untuk mengeksekusi model dilakukan
pada tahap ini, dalam perancangan RUU dapat dimodifikasi
melalui pola uji publik. Proses ini merupakan proses transisi
sebelum masuk ke tahap pembicaraan tingkat II.
b. Pembicaraan tingkat II merupakan tahap penentuan persetujuan
atau penolakan dari suatu RUU, di tahap inilah hasil keluaran
dari tahap 7 SSM dalam hal ini hasil uji publik dari model konsep
akan dibahas untuk ditentukan proses persetujuannya.
V. PENUTUP
Penyandingan diagram alir proses perancangan produk legislasi
dengan konsep SSM menghasilkan suatu model konsep baru dalam
perancangan suatu produk legislasi yang dapat dilakukan oleh DPR
sebagai institusi yang menyelenggarakan pembentukan undang-
undang. Modifikasi konsep berpikir secara sistem dalam SSM dan
juga konsep evidence based policy telah berhasil dibentuk untuk
proses perancangan suatu produk legislasi. Model konsep ini
diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses perancangan
produk legislasi maupun juga bagi penelitian selanjutnya untuk
diujicoba pada skala lebih lanjut. Penelitian lanjut tentunya sangat
diperlukan guna menguji model baru ini agar dapat layak digunakan
untuk perancangan produk legislasi.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Desa adalah satuan negara terkecil dan ujung tombak untuk kemajuan
bangsa Indonesia. Dalam rangka melakukan pengembangan dan
pembangunan desa, masyarakat desa harus mengikuti perkembangan
industri 4.0. untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing bangsa
yang kuat. Cara tersebut dengan membentuk “Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes)”. Bumdes sudah diatur dengan baik melalui “Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan
dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa”. Bumdes
dibentuk berdasarkan Peraturan Desa untuk kemakmuran masyarakat
desa. Rumusan masalah yang diangkat pada penulisan kali ini berawal
dari data yang menunjukkan masih banyaknya desa yang tertinggal, yang
sebenarnya memiliki potensi untuk memajukan daya saing bangsa. Metode
yang digunakan adalah yuridis normatif, menganalisis menggunakan
data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa jurnal, tulisan
ilmiah dan bahan hukum tersier berupa kamus. Hasil penelitian adalah
Bumdes memiliki urgensi tinggi untuk segera dibentuk, Bumdes memiliki
manfaat untuk menyejahterakan masyarakat desa. Namun, beberapa
perangkat desa di Indonesia tidak memiliki pengetahuan hukum terkait
penyusunan Peraturan Desa tentang Bumdes. Saran peneliti adalah
DPR harus lebih giat dan rutin lagi masuk desa bersama stakeholders
terkait untuk berkontribusi menyusun Bumdes dan memberi pelatihan
bagi para pengurus Bumdes, membuat dan mensosialisasikan peraturan
terkait dalam rangka mengefektifkan dan pembangunan Bumdes
dengan prinsip keadilan bermartabat sesuai dengan kebijakan berbasis
bukti dalam meningkatkan daya saing bangsa.
kata kunci: desa; Bumdes; Perdes; pemberdayaan masyarakat;
keadilan bermartabat
I. PENDAHULUAN
Penulisan karya ilmiah ini berangkat dari telah terlaksananya
kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan (FH UPH) yang didukung oleh Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM UPH) dengan judul
kegiatan “Pelatihan Pembuatan Peraturan Desa di Desa Surya Bahari,
Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang, Prov. Banten” pada 19 Maret 2019.
Adapun hasil kegiatan PkM adalah mensosialisasikan pentingnya
dan teknis singkat dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dan
manfaat serta legalitas Bumdes bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Desa adalah satuan terkecil bangsa Indonesia. Menurut Soetardjo
Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum dimana
bermukim suatu masyarakat yang berkuasa dan masyarakat tersebut
mengadakan pemerintah sendiri (Kartohadikoesoemo,1984).
Payung hukum yang mengatur mengenai desa sudah disusun
dengan sangat baik dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (UU Desa). Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Desa,
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/
atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 1 Angka
2 UU Desa menyebutkan, “Suatu desa memiliki pemerintahan desa
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades)”. Pasal
1 Angka 3 UU Desa, didefinisikan Pemerintah Desa adalah “Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa
IV. PEMBAHASAN
A. Urgensi Pembentukan Bumdes Menghadapi Industri 4.0.
Berdasarkan Pasal 3 Permen DPTT 4/2015 bahwa pendirian
Bumdes bertujuan untuk: (a) meningkatkan perekonomian Desa;
(b) mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan
trust can be built as they negotiate and conduct sales and purchase
transactions. More often than not, parties to the transaction may
not know of eachother. Considering that online sellers and buyers
are strangers to each other, there should be prudential measures
taken not only by sellers but also by the buyers (Karo & Sebastian,
2019).
Pembentukan Bumdes dan dengan efektifnya Bumdes tentu
akan berpengaruh pada pemberdayaan desa. Dimana Bumdes
dibangun atas prakarsa (inisiasi masyarakat), serta mendasarkan
pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif, dengan
dua prinsip yang mendasari, yaitu member base dan self help. Hal
ini penting mengingat bahwa profesionalisme pengelolaan BUMDes
benar-benar didasarkan pada kemauan (kesepakatan) masyarakat
banyak (member base), serta kemampuan setiap anggota untuk
mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (self help) (Coristya
dkk, 2013) sehingga jika Bumdes ini efektif akan memacu semangat
masyarakat untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi
sesuai dengan daerahnya dan apabila dilakukan sungguh-sungguh
dengan pengarahan yang tepat tentu dapat menghasilkan suatu
produk yang memiliki kualitas tinggi yang memiliki daya saing
tinggi.
Sebagai contoh program untuk meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat desa, pemerintah provinsi Jawa Barat mencanangkan
One Vilage One Company (OVOC) atau satu desa satu perusahaan.
Upaya itu ditempuh untuk memangkas ketimpangan kesejahteraan
masyarakat desa dan kota. Menurut Ridwan Kamil, persoalan
utama ketimpangan kesejahteraan masyarakat desa, akibat
belum optimalnya pemerintah desa mengembangkan potensi
daerahnya(Strategi, 2 September, 2019). Dengan majunya seluruh
desa yang ada maka akan menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia
khususnya dalam bidang ekonomi.
Pemberdayaan masyarakat desa juga bertujuan untuk
pembangunan bangsa Indonesia. Pembangunan adalah terbentuknya
dan berfungsinya sistem hukum nasional yang bersumberkan
Pancasila dan UUD 1945 dengan memerhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku, mampu menjamin, perlindungan
hukum yang didukung oleh aparat penegak hukum, sarana dan
prasarana yang memadai (Mertokusumo, 2019). Kesenjangan
antara masyarakat desa dan kota ini harus dihapuskan, hal ini telah
sinkron dengan amanat Sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Setiap masyarakat Indonesia harus
mendapatkan keadilan tanpa ada yang dipandang sebelah mata,
artinya stigma-stigma negatif terhadap masyarakat Desa haruslah
dihapuskan. Masyarakat Desa bukanlah masyarakat yang tertinggal,
masyarakat Desa juga harus mendapatkan kesempatan yang sama
untuk mengembangkan potensi diri, kelompok dan daerahnya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena
itu, pentingnya peran pemerintah dalam memberikan fasilitas
penunjang agar setiap masyarakat Desa juga mendapat kesempatan
untuk berkembang tanpa perlu meninggalkan Desanya.
V. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis mengangkat
kesimpulan sebagai berikut: Bumdes adalah cara untuk
mensejahterakan masyarakat desa yang bermuatan keadilan
bermartabat, cara untuk memanusiakan manusia dengan
berprinsipkan Pancasila. Ketiadaan Bumdes di Desa di Indonesia
karena tidak tahu dan mengerti tentang bagaimana dasar hukum
pembuatan Bumdes, bagaimana pengelolaan atau manajemen
Bumdes tersebut. DPR melalui komisi terkait, Kementerian terkait
wajib mendorong pengembangan Bumdes. Bumdes adalah subyek
hukum yang dilindungi dan diakui oleh Undang-undang. Seluruh
pihak terkait wajib mengembangkan Bumdes dan manajemennya.
Masyarakat desa ataupun pengelola Bumdes wajib diberikan
pelatihan tentang tata cara pemanfaatan internet yang baik untuk
menjual produk khas Bumdes.
Bumdes memiliki banyak manfaat dan relevansi untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa karena
pengelolaannya berdasarkan asas kegotong-royongan dan barang
yang diperdagangkan adalah barang yang menjadi ciri khas dari
desa tersebut. Serta masyarakat desa yang sudah terbiasa untuk
mengelola suatu usaha seperti Koperasi Desa, dapat dikembangkan
lagi kemampuannya untuk memimpin dalam mengelola Bumdes
nantinya, dan juga dibutuhkan pendidikan yang memadai terutama
di bidang teknologi dalam rangka memasuki Industri 4.0. yang
didukung oleh peran aktif pemerintah dan institusi terkait lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna Susanti
Politeknik Indonusa Surakarta,
ratnasusanti19@poltekindonusa.ac.id
Suci Purwandari
Politeknik Indonusa Surakarta,
suci.indonusa@gmail.com
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi dilakukannya revisi
Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah tidak revelan dengan
perubahan zaman secara masif yang telah memasuki era Revolusi Industri
4 .0. Guru dan Dosen wajib memiliki berbagai kompetensi dan kreativitas
yang tinggi berbasis internet of thing. Paradigma era Revolusi Industri
4.0 sebagai basis bukti bagi pemangku kepentingan dalam pembuatan
kebijakan. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder
sebagai bukti penguat dengan menggunakan analisis data sekunder dan
analisis konten dari media massa. Penelitian ini menghasilkan kerangka
kerja (framework) bagi lembaga legislatif (DPR-RI) dan pemerintah
melalui kementerian terkait perlu bersinergi untuk menyusun kebijakan
baru dengan merevisi Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah
mengakomodasikan berbagai tuntutan kompetensi yang selaras dengan
paradigma Revolusi Industri 4.0. Kesimpulannya adalah pentingnya
penguasaan internet bagi guru dan dosen dalam era digitalisasi dalam
rangka mewujudkan pendidikan yang maju. Kebijakan terkait tugas
tugas pokok guru dan dosenSaran yang dapat diberikan adalah guru
dan dosen lebih fokus untuk pengembangan kompetensi dan dapat
dibebaskan dari kegiatan yang bersifat administratif.
Kata kunci: guru; dosen; revolusi industri 4.0; kebijakan berbasis bukti
I. PENDAHULUAN
Era Revolusi Industri 4.0 ditandai adanya peran teknologi
yang mengambil alih hampir sebagian besar aktivitas kehidupan.
Pemerintah Indonesia bergerak cepat menyambut Revolusi
III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder dan analisis
konten dari media massa. Literatur yang dipublikaskan dalam jurnal
dan kertas kerja (working papers) merupakan hasil penelitian dari
berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pendidikan tinggi.
Sementara itu, media massa yang menjadi referensi adalah media
online yang secara intensif mengulas berbagai peluang dan tantangan
Revolusi Industri 4.0 bagi dunia pendidikan di Indonesia. Analisis
deskriptif digunakan untuk mengungkap berbagai persoalan dalam
pembuatan kebijakan para pemangku kepentingan yang belum
menggunakan riset terdahulu sebagai dasar penyusunan kebijakan.
IV. PEMBAHASAN
A. Peran Guru dan Dosendalam Era Revolusi Industri 4 .0
Pada tahun 2019 ini Undang Undang (UU) Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen sudah berumur 14 tahun. Dalam
mengimplementasikannya, banyak sekali permasalahan, khususnya
di bidang pendidikan, secara keseluruhan di bidang profesi guru
dan dosen. Untuk itu, perlu adanya revisi atau perubahan dalam
pengaturan UU Guru dan Dosen. Mengingat, karena keduanya
adalah jabatan yang diemban orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap kemajuan bangsa dan negaranya. Selaras dengan
perkembangan teknologi yang begitu pesat, saat ini mungkin sudah
masanya untuk meninjau kembali UU Guru dan Dosen ini. Tujuannya,
agar tugas pokok dan fungsi guru maupun dosen itu selaras dengan
Revolusi Industri 4 .0.
Revolusi Industri 4.0 ditandai pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi secara optimal, tidak hanya sebatas proses produksi,
tetapi juga seluruh mata rantai industri sehingga menghasilkan model
bisnis yang baru berbasis digital. Untuk dapat menyiapkan tenaga
kerja yang bisa beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan
oleh Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah pekerjaan rumah tersendiri
bagi pemerintah. Beruntung, pemerintah dalam hal ini Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemenaker), terus mempersiapkan tenaga kerja
yang mampu beradaptasi, berdaya saing, dan bertahan di tengah
perubahan dunia kerja. Pihak Kemenaker telah mengeluarkan
sejumlah kebijakan dan program berkaitan peningkatan akses
dan mutu pelatihan vokasi sebagai upaya mencetak sumber daya
V. PENUTUP
Kemajuan teknologi ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan
abad ke-21, di mana pendidikan harus mampu mengembangkan
DAFTAR PUSTAKA
Elita Lukminarti
Universitas Bina Sarana Informatika,
elita_l@yahoo.com
ABSTRAK
Dalam pelaksaanaan pembentukan BUMdesa mewajibkan beberapa
tata cara dan langkah yang menyangkut proses legalisasi sebuah badan
usaha. Dibalik seluruh aturan dan tata tertib yang harus dilakukan
pemerintah desa dalam proses ada banyak cara yang berujung
bermaksud untuk demi tercapainya kesejahteraan masyarakat di desa.
Dalam konteks komersial dari berbagai bentuk perusahaan yang ada
di Indonesia, seperti firma, koperasi, BUMN, persekutuan komanditer,
persekutuan perdata dan Perseroan terbatas, landasan hukum Badan
Usaha Milik Desa bagaimana pun berada pada wilayah yang tidak
jelas. Karena itu, legalisasi BUMDesa menjadi prasyarat penting untuk
memastikan pendirian dapat mencapai tujuan yang diharapkan untuk
kesejahteraan masyarakat desa.
Kata kunci: APBDesa; BUMDesa; evaluasi; legalisasi BUMDesa.
I. PENDAHULUAN
Badan Usaha Milik desa sebagai alat untuk mewujudkan cita
bangsa yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum.
Dalam mewujudkannya bukanlah tanpa tantangan. Pastinya
banyak tantanga yang ada dalm pelaksanaanya. Peran pemerintah
desa cukup dominan dengan menguasai seluruh atau sebagian
besar modal BUMDesa melalui penyertaan modal secara langsung
yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya
kesejahteraan masyarakat desa.
II. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature
research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan
III. PEMBAHASAN
Badan Usaha Milik Desa atau disingkat BUMDesa merupakan
amanat dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa,
yang mana adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa, apakah itu untuk menggali potensi
desa ataukah mengadakan seperti simpan pinjam yang berupa
koperasi atau tetapi ada pula menyesuaikan dengan kondisi riil
desa dalam artian menyesuaikan potensi-potensi apa saja yang bisa
dikelola dan kemudian diangkat untuk dikelola oleh BUMDesa.
Sedang pengertian Aset desa sesuai Peraturan Mendagri Nomor
1 tahun 2016 pasal 1 angka 5 adalah “merupakan barang Milik Desa
atau yang berasal dari kekayaan asli milik desa, dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
atau perolehan Hak lainnya yang sah”. Jadi jelas bahwa aset desa
merupakan murni kepunyaaan desa, dalam hal pengelolaan aset
desa, kegiatan-kegiatan yang meliputi dalam hal ini adalah apakah itu
perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan,
pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, danpengendalian
aset desa, kesemua ini adalah ragkaian dari pengelolaan aset desa.
Adapun jenis aset desa sesuai pasal 10 Permendagri Nomor 1 tahun
2016 terdiri dari;
• Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBDesa.
• Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau
yang sejenis.
IV. PENUTUP
Elite capture dapat dilihat dari dua sisi yaitu kesengajaan dan
ketidaksengajaan. Kesengajaan yaitu jika yang mendapatkan lingkaran
ekonomi yang berafiliasi dengan kepala desa saja. Sebagai contoh
kepala desa dengan direktur BUMDesa memiliki hubungan saudara
bahkan suami istri. Hal ini bisa menjadi faktor penghambat karena
adanya konflik kepentingan antara kepala desa dan direktur BUMDesa
tersebut. Ketidaksengajaan adalah jika dalam implementasi program
tertentu desa yang hanya warga desa yang memiliki kemampuan
lebih. Sebagai contoh ketika desa membangun jalan desa maka yang
merasakan manfaat lebih adalah yang mempunyai kendaraan. Bisa
dikatakan bahwa badan usaha milik desa, dapat berupa badan hukum
publik, tetapi bukan badan hukum privat.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Dalam kultur penyusunan produk hukum di Indonesia, naskah
akademik di konstruksikan sebagai syarat wajib sebelum mendesain
sebuah kebijakan atau produk hukum. Naskah akademik merupakan
pertanggungjawaban ilmiah mengenai suatu rancangan produk hukum
yang di dalamnya memuat hasil penelitian, kajian ataupun telaah
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Kewajiban
penyusunan nasakah akademik ini seharusnya dimaknai sebagai sistem
yang dapat menggambarkan bahwa produk hukum yang dihasilkan
telah melalui proses penelaahan yang matang. Namun struktur naskah
akademik yang ada belum mampu memberikan gambaran yang jelas
terkait dengan kondisi empirik kebutuhan masyarakat atas suatu
produk hukum. Naskah akademik hanya sekedar justifikasi yang dibalut
oleh kajian yang bersifat teoritis, namun seringkali minus gejala-gejala
sosiologis di masyakat yang seharusnya menjadi parameter dalam
pembentukan produk hukum. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
untuk menelaah kedudukan naskah akademik dalam penyusunan
kebijakan serta bagaimana naskah akademik dapat dijadikan
sebagai kajian ilmiah yang menghasilkan bukti-bukti atas kebutuhan
dalam penyusunan kebijakan. Konsep evidence-based policy perlu
dikembangkan sebagai metode dalam mengukur keberhasilan suatu
kebijakan. Hal ini diperlukan terutama bagi Indonesia yang memiliki
keanekaragaman sosial, politik, dan budaya, sehingga kebijakan yang
dihasilkan tidak mungkin bersifat generalisir. Pada kondisi inilah,
naskah akademik sebagai dasar evidence-based policy diharapkan
mampu menjawab permasalahan hukum yang ada saat ini.
Kata kunci: naskah akdemik; evidence-based policy; pembentukan
kebijakan.
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
PUU), keberadaan naskah akademik merupakan suatu keharusan
dalam setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD. Pasal 43 ayat (3) UU PUU menyebutkan
bahwa: “rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden,
atau DPD harus disertai naskah akademik”. Rumusan kata “harus“
dalam pasal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal
ini dikarenakan naskah akademik merupakan pertanggungjawaban
ilmiah atas suatu RUU yang akan dilakukan pembahasan
kedepannya. Dalam naskah akademik setidaknya memuat secara
sistematis, yaitu: pertama, mengenai teori dan praktik empiris;
kedua, analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan terkait;
ketiga, landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis, serta; keempat,
sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan, dan
ruang lingkup pengaturan (DPR RI, 2017).
Naskah akademik berfungsi untuk memberikan gambaran
mengenai hasil penelitian ilmiah yang mendasari norma-norma
yang diusulkan dalam rancangan. Naskah akademik juga merupakan
pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk membahas
dan menetapkan apakah substansi atau materi yang terkandung
dalam naskah akademik layak diatur atau dimasukkan dalam
peraturan perundang-undangan (Marwan, 2017). Bahkan dalam
perkembangannya, naskah akademik dapat dijadikan sebagai
salah satu bukti dalam persidangan judicial review di Mahkamah
Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu norma. Kendati
tidak bersifat mengikat bagi Hakim Konstitusi, naskah akademik
dapat menjadi referensi untuk memutus konstitusionalitas suatu
norma tersebut (Eko Supriyanto, 2016).
Keberadaan naskah akademik saat ini dipandang sebagai
bagian penting dari rulemaking process. Kendati UU PUU hanya
mengharuskan penyusunan naskah akademik pada RUU dan
Raperda, namun tidak sedikit lembaga negara yang mengeluarkan
peraturan dengan berdasarkan pada proses pengkajian secara
tertulis yang mereka namakan naskah akademik. Dengan kata lain,
struktur naskah akademik yang digunakan oleh setiap lembaga
III. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research).
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan
kerangka konsep pada hukum positif (hukum tertulis). Penelitian
hukum disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)
yaitu penelitian dengan cara mencari dan meneliti bahan pustaka
yang merupakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian
ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang ditulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Penelitian ini menggunakan metode penalaran
(silogisme). Metode ini berpangkal dari pengajuan premis mayor
kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan.
IV. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Naskah Akademik dalam Pembentukan
Kebijakan
The Habibie Center (dalam Saldi Isra, 2009) pada tahun
2007 melakukan kajian mengenai kualitas legislasi di Indonesia.
Berdasarkan executive summary diskusi, terdapat tujuh faktor yang
mempengaruhi penurunan kualitas peraturan perundang-undang
di Indonesia. Salah satu di antara tujuh faktor tersebut adalah
terabaikannya naskah akademik dalam proses penyusunan suatu
rancangan peraturan. Dalam executive summary ditegaskan bahwa:
“Dengan NA, setidak-tidaknya suatu rancangan undang-undang
(RUU) dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah terutama
mengenai konsepsi yang berisi: latar belakang, tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek atau
arah pengaturan. Bagaimanapun, dalam proses penyusunan suatu
RUU, NA merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau
permasalah yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang
akan dibentuk atau disahkan”.
Keberadaan naskah akademik dalam pembentukan kebijakan
adalah wajib hukumnya sebagai konsekuensi logis bahwa dalam
proses legislasi harus memperhatikan pula kadiah-kaidah akademik
yang dapat dipertanggungjawabkan. Naskah akademik merupakan
salah satu bentuk dari perwujudan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya asas tujuan
yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling), asas perlunya
pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel), serta asas dapat
dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). Dengan NA,
dapat dilihat bahwa setiap rancangan peraturan tidak disusun
karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau
karena pemikiran yang tidak mendalam, melainkan didorong oleh
kebutuhan yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengkajian.
Naskah akademik merupakan kumpulan argumentasi
yang memenuhi standar akademik. Jimly Asshiddiqie (2006)
menyebutkan bahwa sebagai suatu hasil kajian yang bersifat
akademik, tentu naskah akademik sesuai dengan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, yaitu: rasional, kritis, objektif, dan impersonal.
Karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya
V. PENUTUP
Naskah akademik memiliki kedudukan yang strategis dalam
proses penyusunan suatu kebijakan atau peraturan. Ia diletakkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rancangan
peraturan, karena di dalamnya memuat alasan mengapa perlunya
suatu peraturan itu dibentuk. Namun dengan fakta bahwa naskah
akademik masih sering dianggap sebagai formalitas semata,
maka kedepannya perlu ditegaskan bahwa naskah akademik
merupakan suatu dokumen yang berkesinambungan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Oleh sebab itu, naskah
akademik harus dikonstruksikan sebagai dasar evidence-based policy,
dengan maksud bahwa naskah akademik tidak hanya memuat hal-
hal yang bersifat teoritis dan konseptual, melainkan memiliki bobot
lebih pada hal-hal yang sifatnya empirik dan dapat dibuktikan dari
apa yang ada dan terjadi di masyarakat. Substansi dan sistematika
Naskah Akademik harus di tata ulang sebagai sebuah dokumen riil
yang lebih banyak mengeksplorasi kondisi empiris suatu keadaan
yang akan di elaborasi sebagai sebuah kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pembiayaan untuk pendidikan sebesar 20 persen dari Pemerintah
Indonesia ternyata belum menghasilkan sumber daya manusia yang
maju, unggul, menguasai ilmu & teknologi, memiliki jiwa kewirausahaan
yang mampu bersaing dengan dunia internasional. Pembiayaan tersebut
baru ada pada kebutuhan akademik. Endowment fund dan Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga belum bisa menjawab pendidikan
yang berdaya saing. Pembiayaan tersebut baru ada pada kebutuhan
akademik dan pemerataan pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendiskripsikan perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan
pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
yang diperoleh dari informan maupun dokumen-dokumen pendukung..
Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa belum ada pendanaan untuk
masyarakat memperoleh pendidikan yang berdaya saing. melalui proses
pembelajaran :kepribadian, berakar pada budaya, pola hidup sehat,
kepeduliaan hidup bermasyarakat dengan aturan-aturannya; keunggulan
akademik; KeungguIan lokal, nasional dan internasional.
Kata kunci: pos pelayanan; keuangan; daya saing; pendidikan
I. PENDAHULUAN
Salah satu program kerja Presiden Jokowi-Ma’ruf 2019-2024
adalah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Presiden
Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan SDM akan menjadi
prioritas utama. Upaya tersebut dilakukan untuk merespons bonus
demografi yang menciptakan peluang tersendiri. Presiden Jokowi
ingin menciptakan generasi pekerja keras yang dinamis, menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden Joko Widodo mengatakan
Indonesia memerlukan endowment fund yang besar untuk
manajemen SDM serta optimalisasi kerja sama dengan industri
(tribunnews.com, 2019).
B. Konsep Pendidikan
Menurut Miarso (2004:9-10), konsep pendidikan adalah: 1)
Pendidikan pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh anak didik yang berakibat terjadinya perubahan pada diri
pribadinya; 2) Pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur
hidup; 3) Pendidikan dapat berlangsung kapan dan di mana
saja; 4) Pendidikan dapat berlangsung secara mandiri dan dapat
berlangsung secara efektif dengan dilakukannya pengawasan dan
penilikan berkala; 5) Pendidikan dapat berlangsung secara efektif
baik di dalam kelompok yang homogen, kelompok yang heterogen,
maupun perseorangan; 6) Belajar dapat diperoleh dari siapa dan apa
saja, baik yang sengaja dirancang maupun yang diambil manfaatnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
C. Pos
Pos disini adalah tempat terselesaikanya transaksi. Dalam dunia
dagang Point Of Sales (POS) merujuk dalam pengertian tempat kasir
(check-out counter) dengan mesin kasir (Cash Register). Sesuai
dengan namanya, POS merupakan titik penjualan (Check-out)
tempat di mana transaksi selesai. Ini adalah titik di mana pelanggan
melakukan pembayaran dalam pertukaran barang atau jasa.
D. Pelayanan
Pelayanan adalah tindakan yang dilakukan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan orang lain. Pada perkembanganya, pelayanan
dijadikan parameter dalam proses berproduktivitas antara
penyedia dan pengguna. Pendapat Zeitami kata pelayanan sebagai
penyampaian secara cerdas atas harapan konsumen.
E. Keuangan
Konsep dasar keuangan adalah nilai pendapatan bersih. Cara
menghitungnya adalah dengan mengurangi total aset dengan jumlah
total utang. Keuangan merupakan ilmu dan seni dalam mengelola
uang yang mempengaruhi kehidupan setiap orang dan setiap
organisasi. Keuangan berhubungan dengan proses, pasar, lembaga,
dan instrumen yang terlibat dalam transfer uang di antara individu
maupun antara bisnis dan pemerintah. Lain halnya pengertian
keuangan menurut pemerintah, menurut Pemerintah Indonesia
keuangan adalah untuk menentukan anggaran keuangan negara,
kebijakan fiskal, dan mengontrol keuangan.
Berdasarkan pengertian keuangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa keuangan pasti memiliki hubungan yang erat dengan dunia
moneter. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui dasar-
dasar yang dimiliki keuangan agar kita paham. Dasar-dasar keuangan
pertama nilai pendapatan bersih, kedua adalah inflasi, ketiga yang
dimiliki keuangan likuiditas (liquidity), keempat adalah bear market,
III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti ingin mendiskripsikan
perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan pendidikan.
Pendapat Nawawi dan Martini (1996: 73). penelitian deskriptif
kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang
ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. Mukhtar (2013: 28). Sumber data dalam penelitian ini
adalah rekapitulasi program kegiatan pendidikan tahunan dan
buku evaluasi kinerja pembangunan. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka (library
research), simak, dan catat. Sebagai instrumen utamanya adalah
peneliti sendiri, dalam hal ini peneliti sudah melakukan pembiayaan
pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang
peneliti cermati, dan mencatat hal yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Adapun langkah pengumpulan data penelitian adalah (1)
membaca, (2) menguasai teori, (3) menguasai metode, (4) mencari
dan menemukan data, (5) menganalisis data yang ditemukan
secara mendalam, (6) melakukan perbaikan secara menyeluruh, (7)
membuat simpulan penelitian. Pengumpulan data juga dilakukan
dengan kuisioner. Kuisioner (questionnaire) atau angket, merupakan
serangkaian (daftar) pertanyaan tertulis ditujukan kepada
responden mengenai masalah-masalah tertentu, yang bertujuan
untuk mendapatkan tanggapan dari orang tua (responden) tersebut.
Kuesioner yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
angket yang bersifat terbuka. Teknik analisis data dalam penelitian
ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu dengan
melakukan analisis secara langsung terhadap responden kemudian
peneliti menyimpulkan dari hasil analisis.
IV. PEMBAHASAN
A. Anggaran Pendidikan 20 persen
Amademen Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan
pengalokasian dana pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran
C. Endowment fund
Untuk mempercepat dan percepatan pendidikan yang merata dan
berkualitas yang memiliki daya saing sangat dibutuhkan pendanaan
yang luar biasa banyaknya. Sebagaiman salah satu program kerja
Presiden Jokowi-Amien 2019-2024 yaitu Pembangunan SDM,
Presiden .Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan sumber daya
manusia akan menjadi menjadi prioritas utama. Upaya tersebut
dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan
peluang tersendiri.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.05/2010
Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Endowment fund dan Cadangan Pendidikan
yang dimaksud dengan endowment fund adalah dana pengembangan
pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /
APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program
pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung
jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi
fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment
Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil
Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas
pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/
dewan/tim pendidikan nasional.
Menurut Direktur Peraturan Perpajakan II, DJP Kementerian
Keuangan Yunirwansyah mengatakan konsep pemerintah memberi
kelonggaran bagi lembaga pendidikan tinggi untuk memupuk
kekayaan dari sisa/kelebihan dana yang diterima tanpa dikenakan
pajak. diatur dalam perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima Atau Diperoleh Badan
Atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan
Dan/Atau Bidang Penelitian dan Pengembangan, yang Dikecualikan
Dari Objek Pajak Penghasilan. Sebagaimana pada aturan Peraturan
Menteri Keuangan RI/PMK nomor 80 tahun 2009 pasal 1 ayat (1)
yang menyebutkan, ‘sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
sampai hari ini masih banyak yang bermasalah. Hal ini diperkirakan
bahwa yang jadi persoalan terkait tata kelola atau manajemen
pengelola anggaran pendidikan yang begitu besar belum efektif
dan efisien. Sebagai contoh pembiayaan keberadaan pendidikan
prasekolah secara formal yaitu PAUD dan Taman kanak-kanak yang
diawali dari anak usia 3- 6 tahun. Jangka waktu yang cukup lama
untuk hanya untuk sekedar menyiapkan anak beradaptasi menuju
sekolah. Kondisi demikian orang tua akan kebanyakan kehilangan
waktunya hanya untuk seremonial antar jemput di samping itu
pikiran dan tenaga juga akan dikeluarkan. Pilar Pendidikan yang
berbasis keluarga akan hilang karena orang tua tidak memperoleh
waktu untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan .
Sebenarnya dana pendidikan 20 persen peruntukannya yang
sesuai Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa” Pemerintah Daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan
bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun. Sedangkan lembaga BLU yang dibentuk pemerintah
yang berupa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan/LPDP bertugas
untuk menempatkan dana tersebut pada instrumen investasi yang
aman seperti surat berharga negara. Kemudian, hasil penempatan
tersebut digunakan untuk membiayai program pendidikan seperti
penyaluran beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri. Program
beasiswa dari LPDP sendiri hanya ada dua yaitu untuk program
Magister atau S2, baik dalam maupun luar negeri, serta program
Doktor atau S3 untuk dalam maupun luar negeri juga. Jadi tidak ada
program beasiswa untuk tingkat sarjana atau S1.
Lain halnya dengan endowment fund adalah dana pengembangan
pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /
APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program
pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung
jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi
fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment
Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil
Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas
pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/
dewan/tim pendidikan nasional.
V. PENUTUP
Hingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan penganggaran
daya saing pendidikan pemerintah masih berpikir pemerataan
kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, pemerintah
juga belum efisien dan efektf dalam membelanjakan dananya
seperti biaya untuk pendidikan prasekolah dari usia 3-6 Tahun.
Untuk mewujudkan daya saing di bidang pendidikan dibutuhkan
rekontruksi pendanaan yang bersifat sistematis untuk mengubah
dan membebaskan masyarakat dari pembiayaan pendidikan selama
ini dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Adanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat dan efektif,
dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan berkelanjutannya sistem
dan standarisasi kebijakan pendidikan di Indonesia Pembuatan kebijakan
evidence-based sebagai pendekatan yang membantu dalam pembuatan
keputusan secara tepat akan kebijakan, program, proyek dengan
memberi ruang bukti sebagai sumber pusat pengembangan kebijakan
dan implementasi kebijakan. Pengetahuan berbasis penelitian hanyalah
satu dari banyak pengaruh terhadap kebijakan dan praktik Pendidikan
di Indonesia untuk segera mungkin merealisasikan potensinya, hal ini
akan membantu sektor pendidikan untuk belajar dari ranah kebijakan
lain yang lebih berhasil dalam menggunakan penelitian bukti untuk
meningkatkan praktik Pendidikan di Indonesia.Evidence-based policy
sangat memerlukan akan data-data yang baik. Perlunya ketrampilan
analitis dan dukungan politik oleh karena itu ada keterbatasan yang
melekat di mana pejabat pemerintah dapat memanfaatkan hasil informasi
yang andal dan keterampilan analitis yang baik. Dalam Pengambilan
keputusan Politik saling berhubungan erat dengan mengutamakan dan
melibatkan beberapa disiplin ilmu sebagai penilaian praktis mengenai
kelayakannya dan legitimasinya. Di luar komunitas ilmiah, bidang
pengetahuan dan bukti lebih beragam dan diperlukan. Kumpulan bukti
memberikan informasi dan memberikan pengaruh akan kebijakan.
Keahlian profesional dalam pengembangan kebijakan dan program
membutuhkan informasi dan nilai-nilai ini. Isu-isu mutakhir Evidence-
based policy modern memfokuskan dalam membingkai permasalahan,
metode dalam pengumpulan data serta mengandalakan penilaian bukti,
komunikasi dan transfer pengatahuan dalam pengambilan keputusan
dan mengevaluasi efektivitas implementasi dalam masukan program
kebijakan yang kompleks.
Kata kunci: evidence-based polic; kebijakan; pendidikan
I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila
pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat
sasaran, sehingga menghasilkan kualitas pendidikan yang optimal.
Pada saat sekarang ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh
dari efisien, masih banyak kebijakan kebijakan pendidikan yang
tidak tepat sasaran, tidak efektif dan efisien.
Adanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat
dan efektif, dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan
berkelanjutannya sistem dan standar pendidikan di Indonesia.
Ada beberapa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang
dikeluarkan pemerintah yang menjadi perhatian di masyarakat
salah satunya adalah kebijakan mengenai Penerimaan Peserta Didik
Baru dengan sistem zonasi pada tahun kemarin.
Kebijakan sistem penerimaan peserta didik baru online dengan
sistem zonasi memunculkan adanya permasalahan, khususnya di
daerah kabupaten/kota yang sekolah negerinya sangat terbatas
berakibat banyak siswa tidak bisa bersekolah di sekolah negeri.
Awalnya banyak para orang tua beranggapan penerimaan peserta
didik baru berdasarkan prestasi (theconversation.com, 2018;
Dharmawan, 2019)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun
2017, No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, menyatakan
bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan akses layanan
pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi
orang tua siswa dan menghapus predikat sekolah favorit. Laporan
dari the conversation (theconversation.com, 2018) menyatakan
bahwa penerimaan berbasis zonasi mempunyai dampak tidak hanya
pada karakteristik peserta didik yang diterima sekolah tapi juga
proses pembelajaran yang ada di kelas. Siswa yang diterima dengan
kebijakan ini adalah siswa yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan
sekolah negeri dibanding penerimaan dengan prestasi. Namun,
komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi mempunyai
nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang
diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini adanya tuntutan guru
di sekolah negeri untuk beradaptasi. Lebih lanjut The Conversation
menyatakan bahwa para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan
kemampuan rata-rata tinggi, sekarang harus mengajar siswa
III. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature
research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang
objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan
seperti buku, jurnal ilmiah, koran maupun dokumen-dokumen lain
yang relevan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam tulisan
ini adalah analisis deksriptif, yaitu menggambarkan secara naratif
data-data yang didapatkan serta menguraikannya secara sistematis,
kemudian diberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
IV. PEMBAHASAN
Kebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang memberi
bantuan kepada pembuat kebijakan secara tepat tentang kebijakan,
program dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang
tersedia di pusat pengembangan dan implementasi kebijakan (Davies,
2004). Dalam pengambilan keputusan pendidikan mensyaratakan
tujuan strategis dalam perbaikan pendidikan dengan berdasar bukti
sehingga lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses
dan kualitas di berbagai daerah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Khadowmi (2019) dengan judul Implementasi kebijakan sistem
zonasi terhadap proses penerimaan peserta didik baru kabupaten
lampung tengah menunjukkan bahwa pelaksanaan penerimaan
peserta didik baru kabupaten Lampung Tengah mengacu pada
Petunjuk Teknis Keputusan Kepala Dinas tentang Pelaksanaan PPDB
tahun 2018. Faktor-faktor yang menjadi penghambat yaitu belum
dibentuknya Peraturan daerah tentang sistem zonasi, belum adanya
sosialisasi, belum adanya pemerataan sarana dan pra sarana ,belum
adanya penegakan kebijakan sebagai tindak lanjut dari penerapan
sistem zonasi serta lemahnya pengawasan dalam penerapan sistem
zonasi (Khadowmi, 2019) sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh khazanah dengan judul analisis implementasi kebijakan sistem
zonasi perspektif stakeholder sekolah menunjukkan bahwa ada 4
hal yang dalam implementasi yang perlu mendapat perhatian yaitu
komunikasi, sumber daya, dan struktur birokrasi (Khazanah, 2018)
V. PENUTUP
Ada beberapa gagasan yang muncul dari pembuatan kebijakan
berbasis bukti untuk bidang pendidikan di Indonesia yang pertama
adanya regulasi secara resmi dengan banyaknya organisasi peneliti
yang berpotensi memberikan bukti. Dengan adanya undang-
undang diharapkan bisa memberikan bukti tentang siapa yang
harus memberikan bukti dan siapa yang harus dikonsultasikan
selama proses pembuatan kebijakan. Yang kedua, adanya lembaga
atau organisasi penelitian yang secara pengetahuan internal dan
eksternal yang diberi tugas untuk menafsirkan bukti dan mediasi
antara penyedia penelitian dan pembuat kebijakan.
Dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti bidang pendidikan
di Indonesia ada beberapa pertanyaan yang dapat dieksplorasi lebih
detail di masa depan. bagaimana jenis sistem politik mempengaruhi
cara di mana mekanisme pendukung untuk pengembangan
pembuatan kebijakan berbasis bukti. Mungkin ada perbedaan
tergantung pada kompleksitas sistem (tata kelola satu tingkat vs
multi-level). Selain itu, gambaran yang lebih rinci dapat dibentuk
dengan melakukan penelitian sejumlah studi kasus dengan cara yang
lebih komprehensif. Juga, memunculkan pertanyaan bagaimana
bukti mempengaruhi kebijakan dapat dapat diuji secara lebih rinci.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Proses pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana turut
meningkatkan risiko bencana sehingga diperlukan keserasian antara
pembangunan dan penanggulangan bencana alam . Tujuan penulisan
ini untuk mengetahui upaya pembangunan dan penguatan legislasi
penanggulangan bencana alam. Hasil pembahasan menunjukkan
bahwa dibentuknya BNBP dan BPBD telah mengikuti paradigma
penanggulangan bencana sesuai Undang-undang yang berlaku dan
berperan dalam menjaga agenda politik ke arah mitigasi bencana. Selain
itu, keserasian dan keterpaduan antara Undang-Undang perencanaan
pembangunan nasional, Undang-Undang penanggulangan bencana
dan Undang-Undang penataan ruang dijadikan dasar hukum untuk
memperkuat penanggulangan bencana di semua level pemerintahan.
Kata kunci: pembangunan; perundang-undangan; bencana alam
I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam namun juga
memiliki potensi bencana alam cukup tinggi mengingat letak
geografis Indonesia di antara tiga lempeng tektonik , terletak pada
ring of fire ,terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan
dua samudra (Hindia dan Pasifik ), terletak pada lintang rendah di
daerah iklim tropika basah menjadikan Indonesia sebagai negara
seribu bencana (Sriharini,2010) dan menempati urutan 36 dari 171
negara paling beresiko di dunia dengan rincian tingkat kerentanan
sebesar 52.87 persen, exposure (terpapar bencana alam secara
langsung) sebesar 19.36 persen, Susceptibility (kemungkinan
menderita kerugian) sebesar 30.09 persen, kurangnya kapasitas
untuk mengurangi dampak bencana sebesar 79.49 persen dan
kekurangan kapasitas strategi jangka panjang 49.04 persen (United
Nations University, 2016). Sedangkan jumlah kejadian bencana
II. METODOLOGI
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan deskripsi berupa kata-kata secara
sistematis mengenai topik permasalahan. Penelitian deskriptif ini
dilakukan dengan menelusuri, menelaah konsep sesuai dengan
topik kebencanaan. Adapun pengumpulan data dilakukan melalui
data sekunder dari dokumen dan jurnal. Analisis data menggunakan
teknik penyajian data, verifkasi dan penarikan kesimpulan.
III. PEMBAHASAN
A. Penyusunan Kelembagaan Penanggulangan Bencana
Secara teori, manajemen bencana dapat ditelaah melalui
teori kelembagaan dengan dasar bahwa lembaga menginginkan
adanya dasar hukum eksternal dengan mematuhi konteks lembaga
tersebut. Menurut Kusumasari (2014:48-49) aspek kelembagaan
mencerminkan pola faktor budaya yang berkembang dari waktu ke
waktu dan menjadi legitimasi dalam suatu insitusi dan masyarakat.
Hal ini dikarenakan pengaturan kelembagaan menentukan konteks
sosial dari institusi dan lingkungan dimana pengaturan kelembagaan
tersebut membentuk tindakan dari pejabat publik dan memberikan
legitimasi bagi pejabat publik berdasarkan kepatuhan dan tingkat
penerimaan mereka terhadap praktik-praktik tertentu.
Lembaga penanggulangan yang ada sekarang ini sebenarnya
bukan lembaga penanggulangan bencana yang pertama kali dibentuk.
Lembaga yang menangani bencana terlebih dahulu dibentuk mulai
tahun 1966. Melalui Keppres Nomor 256 Tahun 1966 pemerintah
mendirikan badan pertimbangan penanggulangan bencana
alam yang difokuskan pada korban bencana. Pada tahun 1979
ikan dan tanaman pesisir. Setelah zona hutan bakau yaitu zona hutan
lindung untuk pemenuhan ruang terbuka hijau (Manaf, 2015).
Zona konservasi kawasan pesisir tersebut dapat meminimalisir
dampak tsunami sebagaimana yang dikemukakan Pramana (2015)
bahwa di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi
memiliki kerawanan yang cukup tinggi terhadap bencana tsunami.
Kecamatan Pelabuhan Ratu tidak memiliki ekosistem mangrove
atau terumbu karang yang berfungsi sebagai greenbelt atau buffer
zona area untuk meredam gelombang tsunami. Edyanto (2011) juga
mengemukakan bahwa tata ruang harus memperhitungkan aspek
mitigasi bencana alam gempa dan tsunami terutama di kawasan
pesisir. Informasi dan petunjuk mengenai patahan, banjir, longsor,
dan bencana lainnya menyebabkan masyarakat membangun
pemukiman tanpa adanya pertimbangan kebencanaan. Pembuatan
sempadan pantai, hutan bakau juga masih terkendala implementasi
terkait pengelolaan perikanan tambak serta aktivitas perekonomian
lainnya. Oleh karena itu konsep perlindungan bencana tsunami
di kawasan pesisir menurut Edyanto (2011) sepanjang garis
pantai perlu dibangun struktur penahan gelombang, kemudian
diberlakukan zonasi hutan bakau di wilayah pesisir, setelahnya
disediakan lahan kosong diperuntukkan tanggul pelindung, terakhir
setelah tanggul pelindung dapat diperuntukkan kawasan terbangun.
Konsep penguatan legislasi penanggulangan bencana dapat
ditelaah melalui peraturan perundang-undangan yang telah
diuraikan saling memiliki keterkaitan. Dengan memperhatikan
content penanggulangan bencana maka upaya perbaikan kebijakan
kebencanaan turut menyertakan berbagai sektor meliputi sektor
ekonomi, pendidikan, ketahanan dan sebagainya; perbaikan
infrastruktur (struktural); kelembagaan baik tingkat pusat dan
daerah. Content ini sebagai tindak lanjut atas context kebijakan
penanggulangan bencana sebagai payung hukum (UU 24/2007; UU
26/2007; UU 25/2004). Mengingat context tidak berdiri sendiri maka
kebijakan penanggulangan bencana saling menguatkan satu dengan
yang lainnya. Tiga pilar penguatan legislasi sebagai context dimana
terdapat content sebagai objek dimaksudkan untuk memperkuat
sistim penanggulangan bencana nasional.
IV. PENUTUP
Penyelenggaraan penanggulangan secara kelembagaan,
Indonesia telah memiliki BNPB sebagai pihak yang memiliki
wewenang penuh dalam menangani berbagai kejadian bencana alam.
Tidak hanya itu, dalam penanggulangan bencana di daerah telah
dibentuk BPBD yang secara khusus mengurusi penyelenggaraan
penanggulangan bencana tingkat daerah . Aspek lain untuk
memperkuat penanggulangan bencana alam yaitu keserasian antara
UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007
tentang Penataan Ruang berperan dalam mengendalikan proses
pembangunan baik tingkat pusat dan daerah.
Adapun saran yang diberikan yaitu perlu diperkuat sistem
penanggulangan bencana melalui aspek kelembagaan untuk
merespon setiap tahap manajemen bencana baik pra-bencana,
tanggap darurat dan pasca-bencana dengan BNPB sebagai lembaga
yang berwenang menjaga konsistensi kebijakan penanggulangan
bencana alam berbasis pengurangan risiko bencana. BNPB juga turut
mengawasi tata ruang dikawasan rawan bencana agar pemukiman
dan aktivitas perekonomian tidak dibangun di atas daerah rawan
bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Salman
Mahasiswa S3 PEP UNJ,
ibnusalman81@gmail.com
ABSTRAK
Artikel ini menyajikan tentang kebijakan Raudhatul Athfal (RA) yang
merupakan bagian satuan pendidikan anak usia dini setara dengan Taman
Kanak-kanak. RA diselenggarakan pada jalur pendidikan formal bagi
anak usia 4-6 tahun dengan ciri khusus keislaman yang dikembangkan
oleh Kementerian Agama. Metode penelitian yang digunakan bersifat
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
RA tidak ada yang berstatus negeri. Ketiadaan status negeri pada
lembaga RA di satu sisi merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak
merata bagi pendidikan prasekolah. Dalam implementasinya, konteks
penegerian lembaga RA bisa mengacu pada Peraturan Menteri Agama
(PMA) No. 14/2014 tentang Penegerian Madrasah Terutama RA. Tetapi
pada praktiknya belum ada satupun yang dinegerikan kelembagaannya
oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Temuan lainnya adalah
proses penegerian lembaga RA merupakan upaya peningkatan mutu
pendidikan RA yang sangat diharapkan oleh masyarakat umum.
Kata kunci: kebijakan; raudhatul athfal; penegerian
I. PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan usia dini yang
mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya
pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal ini tertuang dalam Pasal 28
Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa secara yuridis formal, PAUD merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem pendidikan
nasional. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, non-formal atau informal. PAUD pada jalur pendidikan
formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan RA. PAUD pada
jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB)
IV. PEMBAHASAN
Data Kementerian Agama (2018) menunjukkan bahwa
persentase jumlah madrasah negeri di Indonesia hanya kurang dari
5% dari total populasi madrasah di Indonesia. Salah satu alasan utama
menegerikan madrasah adalah adanya kesepakatan dalam menaati
peraturan pemerintah secara langsung, dalam hal ini kebijakan
Kementerian Agama. Dengan demikian, kebijakan pendirian dan
penegerian madrasah merupakan salah satu instrumen kebijakan
strategis dalam upaya menjamin percepatan layanan pendidikan
yang bermutu di madrasah, di samping opsi kebijakan penguatan dan
pemberdayaan mutu pada madrasah swasta yang diselenggarakan
oleh masyarakat.
Keberadaan RA telah berkembang seiring kebutuhan
masyarakat, meskipun sampai saat ini Kementerian Agama belum
menyelenggarakan RA percontohan atau pembina seperti TK di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelayanan yang dilakukan
oleh Kementerian Agama baru terbatas pada regulasi, kurikulum,
bantuan guru, dan sarana yang masih terbatas. Hasil penelitian
dari Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2018 menunjukkan bahwa
penegerian lembaga RA merupakan hal yang sangat mendesak
berdasarkan permintaan dari berbagai lapisan masyarakat. Apabila
hal tersebut tidak segera direspon oleh pemerintah, dikhawatirkan
kepercayaan masyarakat semakin menurun. Selain itu, upaya
penegerian RA dalam konteks pemerataan mutu pendidikan
merupakan salah satu jawaban pemerintah terhadap upaya
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana
tertuang dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut menyatakan dengan jelas
bahwa sistem pendidikan nasional menghendaki peningkatan mutu
V. PENUTUP
Respon lembaga RA terhadap penegerian lembaga merupakan
kebutuhan yang mendesak dalam perspektif pemerataan pendidikan
pada semua jenjang, sehingga kesiapan atau kelayakan terhadap
penegerian RA akan berdampak terhadap masyarakat sekitar
menjadi suatu jawaban yang dapat terpecahkan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga negara
untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya sebagaimana tertuang
dalam Pasal 27 UUD 1945. Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi
Pekerja Migran 1990 sebagai upaya perlindungan bagi Tenaga kerja
Indonesia dan keluarganya di luar negeri. Namun dalam proses
pembuatan kebijakan terdapat dinamika yang sering terjadi antara
peneliti dan pembuat kebijakan. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan
guna memberi masukan kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi
legislasi terkait Pekerja Migran Indonesia. Pendekatan penelitian ini
dilakukan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam proses pengambilan kebijakan, tahapan yang dilakukan
meliputi perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif
kebijakan, dan penetapan kebijakan. Dari tahapan tersebut ditemukan
bukti bahwa permasalahan umum yang masih menjadi pekerjaan rumah
saat ini adalah TKI illegal, PMI yang terkena masalah hukum, dan PMI
yang tidak memiliki kompetensi. Dari beberapa permasalahan tersebut,
kualitas sumber daya PMI baik jenjang pendidikan maupun keterampilan
yang memadai menjadi hal utama yang perlu disikapi. Terkait hal
tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai hal baik perlindungan
kepada PMI dan keluarganya maupun peningkatan pendidikan
dan keterampilan PMI sehingga memudahkan pemerintah untuk
menempatkan PMI berdasarkan profesi keterampilannya. Selanjutnya
pemerintah dan DPR-RI bisa melakukan kunjungan kerja ke negara
lain seperti Australia yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan
berbasis bukti untuk memperoleh berbagai alternatif kebijakan guna
I. PENDAHULUAN
Pekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga
negara untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagaimana
tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDN RI 1945) menyebutkan
bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Ketentuan ini diperkuat
pada Pasal 28 D Ayat (2) BAB X A UUDN RI 1945 yang menyebutkan
bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal
tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia dituntut
untuk melakukan perencanaan bukan hanya penyediaan lapangan
pekerjaan, termasuk kualitas sumber daya manusianya sendiri
yang dapat bersaing dengan para pekerja lain. Hal ini juga berkaitan
dengan Konvensi Pekerja Migran 1990 yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection
of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
(Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Komitmen tersebut
merupakan kewajiban suatu negara, sehingga hak setiap warga
negara dalam memperoleh pekerjaan disertai dengan kemampuan
bersaing tinggi dapat terpenuhi.
Tenaga kerja di Indonesia dibagi 2, yaitu tenaga kerja dalam
negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan tenaga kerja
luar negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia (PPMI).
Policy Policy
Evaluation Implementation
Pembuat Bukti
Kebijakan Bagi Peneliti
• Ilmiah (bebas konteks)
• Mudah dipahami (kontekstual)
• Terbukti secara empiris
• Apa pun yang tampak masuk akal
• Berdasarkan suatu teori
• Relevan dengan kebijakan
• Tidak terikat waktu
• Terikat waktu
• Kehati-hatian
• Pesan yang jelas
• Pembatasan/kualifikasi
Sumber: Davies (2005)
Gambar 2. Bukti Bagi Pembuat Kebijakan dan Peneliti
Adapun berbagai jenis bukti untuk kebijakan adalah bukti
implementasi, bukti analisis depkristif, bukti sikap, bukti etis, analisis
statistik, bukti ekonomi, keseluruhan bukti menghasilkan bukti dampak
(Davies, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, fokus penelitian ini
adalah proses kebijakan berupa agenda kebijakan, formulasi kebijakan,
dan adopsi kebijakan dengan menitikberatkan pada berbagai jenis
bukti bagi pembuat kebijakan. Hal ini dikarenakan sebagaimana
tujuan penelitian yaitu memberikan masukan dalam rangka kebijakan
berbasis bukti untuk kinerja legislasi DPR RI dalam hal meningkatkan
daya saing bangsa dengan lokus studi pada studi PMI. Maka diperoleh
kerangka pemikiran sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.
1. Bukti Implementasi;
Bukti Bagi Pembuat Kebijakan
2. Bukti Analisis Depkristif;
• Mudah dipahami (kontekstual)
3. Bukti Sikap;
• Apa pun yang tampak masuk akal
4. Bukti Etis;
• Relevan dengan kebijakan
5. Analisis Statistik;
• Terikat waktu
6. Bukti Ekonomi;
• Pesan yang jelas
7. Keseluruhan bukti menghasilkan
Bukti Dampak.
FORMULASI KEBIJAKAN
1. Perumusan Masalah;
2. Agenda Kebijakan;
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk
Pemecahan Masalah;
4. Tahap Penetapan Kebijakan.
Sumber: Olahan peneliti.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
III. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan jenis atau pendekatan penelitian
studi kepustakaan. Menurut Mardalis (1999) studi kepustakaan
merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan
informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material
yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-
kisah sejarah, dan sebagainya. Menurut Sarwono (2006) studi
kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi
serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk
mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan
dan dokumentasi. Studi kepustakaan berupa pengumpulan data
bermacam-macam material yang terdapat di ruang kepustakaan
seperti koran, buku-buku, majalah, naskah, dokumen dan
sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat,
1983). Sementara dokumentasi merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012). Tahap
selanjutnya adalah analisis data, yaitu memilih, membandingkan,
menggabungkan, dan memilah berbagai pengertian hingga
ditemukan yang relevan (Sutanto, 2007).
IV. PEMBAHASAN
A. Perumusan Masalah Kebijakan
Mengenali dan merumuskan masalah kebijakan merupakan
langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan.
Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-
masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik pula.
Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah
yang ada dalam masyarakat, dalam penelitian ini difokuskan terkait
kebijakan mengenai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasarkan
bukti analisis statistik, diketahui bahwa rendahnya pendidikan PMI
berpengaruh pada profesi yang dijalankan, lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut:
Banyak calon TKI yang belum memahami cara menjadi TKI secara
resmi. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagian besar calon TKI hanya tamatan SD atau tidak tamat SD.
Selanjutnya berdasarkan bukti ekonomi, penyebab utama
besarnya jumlah PMI adalah sebagai berikut:
a. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di lingkungan
sekitar mereka. Inilah alasan terbesar mengapa orang-orang
memilih menjadi TKI di luar negeri.
b. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar seperti
menyekolahkan anak, menyejahterakan hidup keluarga, dan
membeli kebutuhan hidup lainnya.
c. Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar
dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi
pembantu rumah tangga (PRT). Gaji di Indonesia berkisar
Rp500 ribu-Rp750 ribu. Sementara di Arab Saudi, gaji PRT 700
riyal atau setara dengan Rp1.610.000.
d. Ajakan anggota keluarga yang telah menjadi TKI terlebih dahulu.
Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya
untuk bisa menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi
merantau.
e. Lingkungan tempat tinggal yang masyarakatnya sudah menjadi
TKI turun temurun.
B. Agenda Kebijakan
Pada dasarnya tidak semua masalah publik akan masuk ke
dalam agenda kebijakan. Adapun masalah-masalah tersebut saling
berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah
tertentu yang pada akhirnya masuk ke dalam agenda kebijakan.
Salah satu syarat agar suatu masalah masuk ke dalam agenda
kebijakan adalah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar
bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera
dilakukan. Agenda yang disusun pemerintah menyangkut beberapa
masalah pokok, yaitu masalah rutinitas pemerintah, masalah dari
masyarakat, dan masalah baru dari masyarakat. Masalah publik
yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh
para perumus kebijakan. Untuk perumusan kebijakan berbasis
bukti, permasalahan PMI merupakan masalah dari masyarakat dan
menjadi masalah rutinitas pemerintah. Untuk itu kalangan legislatif
IV. KESIMPULAN
Bukti yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan bukti
yang mudah dipahami (kontekstual), masuk akal, relevan dengan
kebijakan, terikat waktu, dan memiliki pesan yang jelas. Bukti-bukti
tersebut terdiri dari bukti implementasi, bukti analisis depkristif,
bukti sikap, bukti etis, bukti analisis statistik, bukti ekonomi, dan
keseluruhan bukti yang menghasilkan dampak. Berdasarkan bukti-
bukti tersebut diketahui bahwa permasalahan umum yang masih
menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah TKI ilegal. Mereka lebih
menyukai cara-cara belakang tanpa memikirkan dampaknya karena
desakan ekonomi dan kemampuan berpikir analitis yang rendah.
Selain itu, banyaknya PMI yang terkena masalah hukum, PMI yang
dipulangkan karena kurangnya kompetensi, dan permasalahan
komunikasi PMI di negara tujuan juga menjadi permasalahan
sebagian besar PMI. Dari bukti-bukti tersebut, dapat ditarik
permasalahan utama PMI adalah kualitas sumber daya PMI baik
masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan (skill) yang
belum memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah
melakukan berbagai hal, termasuk perlindungan kepada PMI dan
DAFTAR PUSTAKA
Retna Hanani
Departemen Administrasi Publik, FISIP Universitas Diponegoro,
retnahanani@lecturer.undip.ac.id
ABSTRAK
Proses perumusan kebijakan publik adalah tahap penting dalam
menentukan kualitas kebijakan. Dalam tahap ini masukan kebijakan
harus didukung oleh bukti kebijakan (policy evidence) yang dikumpulkan
secara akurat dan menggambarkan kompleksitas masalah kebijakan
secara menyeluruh. Sebagai bagian dari siklus kebijakan, pendekatan
kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) adalah pendekatan baru
dalam studi kebijakan di Indonesia. Berbagai penelitian tentang siklus
kebijakan di Indonesia menunjukkan bahwa proses kebijakan publik di
Indonesia seringkali dibangun berdasarkan opini (opinion based) dan
bukan bukti (evidence based). Artikel ini ingin mengajukan argumen
bahwa untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan berbasis
bukti, pembuat kebijakan perlu memiliki sensibilitas metodologis untuk
memperkaya informasi dan bukti kebijakan. Sensibilitas metodologi
dalam artikel ini diterjemahkan sebagai kemampuan pembuat kebijakan
untuk memilih metode dan data sesuai dengan konteks masalah
publik yang ingin diselesaikan. Dalam definisi sensibilitas metodologis,
pembuat kebijakan (DPR salah satunya) terbuka terhadap pendekatan
dan data secara variatif untuk menangkap penyebab (causes), dampak
(impact) dan relasi antar faktor. Selain menggunakan pendekatan dan
data kuantitatif untuk melihat cause and impact, peneliti berpendapat
bahwa metode dan data kualitatif memberikan peluang kepada aktor-
aktor pembuat kebijakan untuk memahami kompleksitas masalah
kebijakan secara lebih komprehensif. Dengan menggunakan metode
kualitatif, aktor kebijakan dapat melihat kesalingterhubungan antara
berbagai faktor dan sejauhmana faktor-faktor kebijakan mempengaruhi
peluang keberhasilan sebuah kebijakan. Dalam artikel ini, penulis
menggabungkan metode pustaka dan studi kualitatif tentang akses
I. PENDAHULUAN
Reformasi politik dan amandemen Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang
menandakan era baru dalam struktur kebijakan publik di Indonesia.
Peran DPR sebagai lembaga legislatif tidak lagi sebatas memberikan
legitimasi politik untuk kebijakan yang dihasilkan oleh eksekutif.
Saat ini, DPR memiliki kewajiban politis dan otoritatif untuk terlibat
aktif dalam penyusunan kebijakan. Secara politis, peran aktif DPR
dalam perumusan kebijakan adalah implikasi dari posisi DPR
sebagai institusi yang dipilih secara demokratis untuk mewakili
“suara rakyat”.
Sayangnya, kewajiban politis dan otoritatif ini tidak didukung
oleh kapasitas anggota DPR dalam merumuskan kebijakan. Berbagai
penelitian tentang proses perumusan kebijakan menyebutkan bahwa
walaupun DPR paska reformasi memiliki kewenangan yang lebih
besar, kewenangan ini tidak dibarengi dengan kemampuan anggota
DPR dalam proses pembuatan kebijakan. Penelitian Knowledge
Sector Indonesia tahun 2011, menunjukkan bahwa kapasitas
anggota DPR dalam perumusan kebijakan (terutama perumusan
kebijakan berbasis bukti) relatif lebih lemah jika dibandingkan
dengan kapasitas kebijakan pemerintah/eksekutif (Datta, Jones,
Febriany, & Harris, 2011).
Mengacu pada studi yang dilakukan Blondal, Hawkesworth, &
Choi Hyon-Deok, (2009), laporan KSI juga menyebutkan beberapa
faktor yang membuat proses perumusan kebijakan berbasis bukti
DPR lemah. Faktor pertama berkaitan dengan tingkat turn-over
(pergantian) anggota DPR yang cepat, Pada pemilu 2009, hampir 75%
anggota parlemen hasil pemilu 2009 adalah mereka yang menjadi
anggota parlemenn untuk pertama kalinya. Meskipun kondisi ini
mencerminkan proses transisi ke demokrasi, tingkat pergantian
yang cepat juga menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) anggota
legislatif dari hasil pemilu 2009 kurang memiliki pengalaman
legislasi. Blondal lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam kegiatan
III. METODOLOGI
Dalam artikel ini penulis menggunakan studi pustaka untuk
menjelaskan kemunculan pendekatan evidence based policy dalam
studi kebijakan publik. Selain itu, studi pustakan juga dilakukan
untuk menunjukkan kemunculan pendekatan kualitatif dalam
perumusan kebijakan. Pendekatan kualitatif dalam bentuk etnografi
dilakukan untuk melihat bagaimana orang miskin mengakses
layanan kesehatan. Studi etnografi dilakukan di kampung kelas
menengah bawah di Jakarta Timur dan telah dilaksanakan pada
bulan September 2016.
IV. PEMBAHASAN
Konsep EBP telah banyak diadopsi di sektor kesehatan. Sebagai
bidang ilmu yang tergantung pada keberhasilan menerjemahkan
temuan dan melakukan sintesis dari percobaan pengobatan yang
efektif, maka ilmu kesehatan merupakan pioneer pendekatan
EBP dibandingkan bidang kebijakan lainnya. Namun demikian,
riset kesehatan tidak hanya berorientasi pada pendekatan klinis.
Studi-studi kesehatan juga menggunakan pendekatan etnografi
untuk menyelidiki konteks sosial, nilai, norma dan perilaku
masyarakat. Pada bagian ini, peneliti akan menunjukkan bagaimana
metode penelitian etnografi dapat digunakan untuk menangkap
kompleksitas akses pada layanan kesehatan.
Secara umum, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan
akses pada kesehatan sebagai peluang atau kemampuan untuk
dari tiga dimensi seperti yang disampaikan oleh WHO. Bagi orang
miksin akses pada layanan kesehatan adalah urusan yang rumit dan
harus dinegosiasikan. Warga miskin bergantung pada perantara/
mediator seperti ketua komunitas (Ketua RT, Tokoh Masyarakat
yang berpengaruh) untuk menjamin agar mereka dapat menerima
layanan di rumah sakit.
Dengan menggunakan periode field work selama setahun di kota
Jakarta, kami mengamati bahwa akses kepada layanan kesehatan
bagi orang miskin tidak serta merta menghilangkan ketergantungan
orang miskin terhadap perantara (mediator). Saat kami mempelajari
interaksi sehari-hari antara warga negara, perantara dan pemberi
layanan (Rumah Sakit atau Puskesmas), kami fokus pada bagaimana
interaksi yang dimediasi broker ini berdampak pada pemenuhan
hak layanan kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh warga
negara. Kami berpendapat bahwa broker tidak hanya membantu
warga mendapatakan hak layanan publik; mediator juga membentuk
pengalaman dan interpretasi hak kesehatan yang berbeda dengan
tujan kebijakan. Hak kesehatan dialami dan ditafsirkan tidak hanya
dalam hal hubungan formal dengan fasilitas kesehatan; tetapi juga
dipengaruhi oleh karakter hubungan pribadi antara pasien, mediator
(calo), dan pemberi layanan.
Dalam penelitian kami, kami menunjukkan bahwa walaupun
mediator membantu warga dalam mengakses layanan kesehatan,
ketergantungan pada broker juga berdampak pada semakin
marjinalnya posisi orang miskin dalam akses terhadap kesehatan.
Kebutuhan untuk memupuk dan memelihara hubungan dengan
perantara membuat warga tidak mampu mengakses layanan
kesehatan secara independen dan dapat menambah beban
finansial bagi pasien. Tanpa menggunakan pendekatan etnografi,
dimensi akses kesehatan yang ditetapkan oleh WHO tidak akan
dapat membidik tindakan mediasi yang banyak terjadi di kalangan
masyarakat miskin.
Dalam penelitian kami, pendekatan etnografi dapat melengkapi
studi kuantitatif dalam akses kesehatan. Merujuk pada Herzog &
Zacka, (2019) kami melihat ada empat keutungan dari pendekatan
etnografi. Keuntungan tersebut kami sebut sebagai keuntungan
sensibilitas metodologis. Dengan menggunakan metode etnografi
maka kami dapat menemukan tuntutan yang harus dihadapi
V. PENUTUP
Keputusan kebijakan di dunia nyata tidak dapat direduksi dari
model analitik empiris, tetapi dari politik dan praktis pertimbangan.
Ada saling pengaruh antara fakta, norma, dan tindakan yang disukai.
Secara factual, dalam proses pembuatan kebijakan, apa yang dianggap
sebagai ‘bukti’ beragam dan dapat diperdebatkan. Dalam penelitian
kami, kami menunjukkan bahwa metode dan data kualitatif dapat
digunakan sebagai cara untuk menggali masukan kebijakan (policy
input) yang sama pentingnya dengan hasil pendekatan dan data
kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Datta, A., Jones, H., Febriany, V., & Harris, D. (2011). The political
economy of policy-making in Indonesia: Opportunities for
imporoving the demand for and use of knowledge (No. 340).
London.
Erlyana, E., Damrongplasit, K. K., & Melnick, G. (2011). Expanding
health insurance to increase health care utilization: Will it have
different effects in rural vs. urban areas? Health Policy, Volume
100 Nomor 2, Mei.
Evans, D. B., Hsu, J., & Boerma, T. (2013). Universal health coverage
and universal access. Bulletin of the World Health Organization,
Volume 91 Nomor 8.
Head, B. W. (2010). Reconsidering evidence-based policy: Key issues
and challenges. Policy and Society, Volume 29 Nomor 2, Mei.
Herzog, L., & Zacka, B. (2019). Fieldwork in Political Theory: Five
Arguments for an Ethnographic Sensibility. British Journal of
Political Science, Volume 49 Nomor 2, Mei.
Lewin, S., Glenton, C., Munthe-Kaas, H., Carlsen, B., Colvin, C. J.,
Gülmezoglu, M., … Rashidian, A. (2015). Using Qualitative
Evidence in Decision Making for Health and Social Interventions:
An Approach to Assess Confidence in Findings from Qualitative
Evidence Syntheses (GRADE-CERQual). PLoS Medicine, Volume
12 Nomor 10, Oktober.
Martínez-García, M., Vallejo, M., Hernández-Lemus, E., & Álvarez-
Díaz, J. A. (2019). Novel methods of qualitative analysis for health
policy research. Health Research Policy and Systems, Volume 17
Nomor 1, Januari.
Savage, J. (2006). Ethnographic evidence: The value of applied
ethnography in healthcare. Journal of Research in Nursing,
Volume 7 Nomor 5, September.
Sherlock, S. (2010). Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the
Growth of a Knowledge Market in Indonesia. Australia: AusAID
Srivastava, D., & McGuire, A. (2015). Patient access to health care
and medicines across low-income countries. Social Science and
Medicine, Volume 133, Mei.