OLEH:
SITI AISAH PERMATAS S
NRP. 18.04.136
PEMBIMBING:
Dra. ENDAH DWI WINARNI, M.Si
Dr. PRIBOWO, M.Pd
Praktikan menyadari sepenuhnya bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari
sempurna, akan tetapi proposal penelitian ini terlahir dari upaya maksimal peneliti.
Oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
semua pihak untuk kesempurnaan proposal ini. Peneliti mengharapkan agar proposal
penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di
bidang pekerjaan sosial.
i
5. Pihak dari Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus
(BRSAMPK) Handayani Jakarta Timur yang telah mengizinkan dan menerima
kembali peneliti untuk melaksanakan penelitian di balai.
6. Seluruh pihak yang telah membantu selama penyusunan proposal penelitian
Praktikan
ii
DAFTAR ISI
ii
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak adalah aset negara. Generasi bangsa yang akan membangun negara. Anak
memiliki peranan penting dalam pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan, karena
salah satu faktor majunya suatu bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas
generasi mudanya. Untuk itulah negara perlu mempersiapkan generasi muda yang
potensial, berkarakter, dan integritas. Negara dan masyarakat juga perlu melindungi
dan memenuhi hak dan kebutuhan anak dengan baik, agar kemajuan bangsa dapat
tercapai.
Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Begitu pula menurut Konvensi Hak-Hak Anak yang
mendifinisikan anak: a child means every human being below the age of eighteen
years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier. Yang
berarti anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai
lebih cepat. Anak sebagai karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, maka dari itu perlu
dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak
berkewajiban untuk mengimplementasikan Konvensi Hak-Hak Anak dengan
membentuk hukum atau legislasi yang mendukung pelaksanaan Konvensi tersebut.
Konvensi Hak Anak adalah perjanjian di antara beberapa negara yang bersifat
mengikat sebagai bentuk komitmen pemerintah negara dalam melindungi dan
menjamin kepentingan serta hak anak. Empat prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
yang perlu direalisasikan yaitu (1) non-diskriminasi, (2) kepentingan yang terbaik
untuk anak, (3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan (4)
penghargaan terhadap anak. Pemerintah Indonesia juga telah membuat produk hukum
guna memberikan perlindungan pada hak anaktelah membuat produk hukum guna
memberikan perlindungan pada anak. Produk hukum tersebut anatara lain Undang-
undang Nomor
UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menyatakan bahwa “setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dicantumkannya hak anak
tersebut dalam konstitusi, maka dapat diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan
hak anak merupakan hal penting yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Maka dari itu pemerintah membuat produk hukum guna memberikan
perlindungan pada hak anak, yaitu beberapa di antaranya: UU No 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak yang merupakan perbaikan dari UU No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak; UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang merupakan perbaikan dari UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak; serta Permensos No 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan.
Anak sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya.
Anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan khusus
akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu yang kemudian
menyadarkan bahwa perlindungan terhadap hak anak mutlak diperlukan untuk
menciptakan masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Dan salah satu yang perlu
menjadi perhatian adalah terkait perlindungan terhadap anak berhadapan dengan
hukum.
UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendifinisikan
anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebagai anak yang berhadapan dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak
2
pidana. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Apong Herlina yang
menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum dapat dikatakan sebagai
anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena: (1) Disangka,
didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau (2) Telah menjadi
korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang atau sekelompok
orang atau lembaga/negara terhadapnya; atau (3) Telah melihat, mendengar,
merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia jumlah kasus anak yang
berhadapan dengan hukum pada tahun 2020 mengalami penurunan dibanding tahun-
tahun sebelumnya. Namun, masih menjadi kasus yang paling sering dilaporkan ke
KPAI. Sejak 2016 sampai 2020, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI
mencapai 6.500 kasus. Pada tahun 2020, kasus ABH ada sebanyak 1098 kasus. Paling
banyak dari kasus anak sebagai korban yang mencapai 893 kasus dengan aduan yang
paling banyak dari korban kekerasan seksual. Kemudian anak sebagai pelaku ada
sebanyak 199 kasus dengan aduan yang paling banyak dari pelaku kekerasan fisik.
Sedangkan, pada anak sebagai saksi ada 6 kasus (www.kpai.go.id).
Dengan tinggginya kasus anak berhadapan dengan hukum, maka pentingnya
pemenuhan hak-hak ABH di Indonesia. Pemenuhan hak-hak ABH di negeri ini masih
terjadi persoalan, mulai dari kebijakan, proses penanganan kasus, proses peradilan,
tindak hukum sampai pada pembinaannya. Mereka menghadapi proses penyidikan
dan peradilan yang tidak memenuhi hak anak; menjalani masa hukuman di Rumah
Tahanan yang tidak layak anak, tidak mendapatkan akses Pendidikan, kurangnya
pemahaman persfektif anak oleh lembaga penegak hukum, serta kurangnya pelayanan
penanganan saat anak mejalani restortative justice.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan anak berhadapan
dengan hukum adalah dengan manajemen kasus. Manajemen kasus merupakan salah
satu metode pendekatan yang dilakukan oleh pekerja sosial dalam memberikan
pelayanan kepada orang yang membutuhkan pelayanan, termasuk anak berhadapan
dengan hukum. Ketercapaian kesuksesan penanganan anak berhadapan dengan
3
hukum dapat bergantung pada tepatnya proses manajemen kasus yang dilakukan.
Dalam manajemen kasus anak berhadapan dengan hukum akan melalui proses
asesmen, perencanaan intervensi, intervensi, monitoring, evaluasi hingga terminasi.
Dengan keseluruhan keterlibatan proses manajemen kasus sejak anak ditetapkan
menjadi anak berhadapan dengan hukum hingga anak kembali ke masyarakat maka
sangat penting melaksanakan manajemen kasus dilakukan baik, benar dan tepat
sasaran guna mencapai tujuan kebermanfaatan bagi anak berhadapan dengan hukum.
Moore menyatakan bahwa manajemen kasus merupakan sebuah mekanisme
untuk mengkoordinasikan layanan. Dalam manajemen kasus tidak hanya pekerja
sosial sebagai yang berperan namun melibatkan professional lain yang akan saling
berkoordinasi dalam upaya penganan anak berhadapan dengan hukum, seperti
psikolog, pengacara, polisi, dan lainnya yang memungkinkan dapat membantu dan
memenuhi kebutuhan ABH. Adapun pekerja sosial sebagai manjajer kasus akan
membantu ABH untuk mengidentifikasi dukungan sosial yang diinginkan dan
dibutuhkannya, dan menentukan pelayanan-pelayanan berserta aksesibilitas yang
diperlukan baik di lembaga maupun di masyarakat.
Manajemen kasus mulai berkembang di Indonesia beberapa tahun terakhir,
terutama diimplementasikan di lembaga-lembaga yang menangani anak berhadapan
dengan hukum. Salah satu lembaga tersebut yaitu Balai Rehabilitasi Sosial Anak
Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK). Kementrian Sosial sebagai salah
satu lembaga pemerintah yang bertanggungjawab dalam perlindungan anak
mendirikan BRSAMPK di beberapa kota di Indonesia agar terlaksananya
perlindungan kepada anak yang tetap dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
BRSAMPK melayani dua katagori sasaran anak yaitu anak yang memerlukan
pengembangan fungsi sosial seperti anak jalanan dan anak yang memerlukan
perlindungan khusus yang salah satunya adalah anak berhadapan dengan hukum.
Salah satu BRSAMPK yag didirikan oleh Kemensos ada di Jakarta Timur
dengan Nama Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus
(BRSAMPK) Handayani. Balai ini telah didirikan sejak tahun 1959, dan telah
4
beberapa kali berubah nomenklatur dan fungsi dalam pelayanannya. Pertama
didirikan pada tahun 1959 sebagai Pilot Karang Taruna Marga Guna karena maraknya
cross boy dan cross girl sampai pada perubahan terakhir pada tahun 2018 menjadi
Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK)
Handayani yang diresmikan melaui Permensos Nomor 17 Tahun 2018. Pada tahun
2014, BRSAMPK Handayani memprioritaskan ABH. Selama itu sampai dengan
sekarang balai ini telah banyak memberikan pelayanan kepada ABH dengan berbagai
kasus dari rujukan atau titipan dari kepolisian. Serta telah memberikan peran dan
fungsi sebagai pusat pelayanan, pusat informasi, pusat pengembangan, dan pusat
pendidikan dan pelatihan bagi ABH.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait bagaimana manajemen kasus anak berhadapan dengan hukum di Balai
Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus karena pentingnya
pelaksanaan manajemen kasus yang benar dan tepat sebagai bagian dari proses
penanganan anak berhadapan dengan hukum. di lembaga-lembaga yang memberikan
pelayanan kepada anak berhadapan dengan hukum. Peneliti ingin mengetahui sejauh
mana kualitas pelayanan pada anak di lembaga yang menangani anak berhadapan
dengan hukum, serta untuk mengetahui pentingnya hak-hak, kebutuhan, dan
perlindungan terhadap anak berhadapan dengan hukum selama masa restorative
justice dan rehabilitasi.
Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini kualitas manajemen kasus anak
berhadapan dengan hukum di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan
Perlindungan Khusus dapat semakin berkualitas, baik dari segi program, fasilitas
maupun sumberdayanya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan
situasi, kondisi, dan solusi terkait manajemen kasus anak berhadapan dengan hukum
di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus
5
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah penelitian ini
adalah “Manajemen Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum di Balai Rehabilitasi
Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Handayani Kota Jakarta Timur”.
Selanjutnya penelitian ini difokuskan pada:
1. Bagaimana karakteristik informan?
2. Bagaimana proses manajemen kasus dalam menangani ABH?
3. Bagaimana model yang digunakan dalam manajemen kasus penanganan ABH?
4. Bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat proses manajemen kasus
dalam menangani ABH?
Tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengkaji lebih dalam tentang:
1. Karakteristik informan
2. Proses manajemen kasus dalam menangani ABH
3. Model yang digunakan dalam manajemen kasus penanganan ABH
4. Faktor-faktor pendukung dan penghambat proses manajemen kasus dalam
menangani ABH
6
Hukum di Balai Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Handayani Kota Jakarta
Timur.
7
8
KAJIAN KONSEPTUAL
2.1 Penelitian Terdahulu
9
Pengumpulan data diperoleh dengan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini
yaitu pada tahap asesmen, pekerja sosial melakukan asesmen awal dan asesmen
lanjutan kepada ABH. Pada tahap perencanaan pekerja sosial mengarahkan ABH
kepada apa yang dibutuhkan ABH dan memanfaatkan sumber yang ada di balai.
Pada tahap intervensi, pekerja sosial dengan pihak lain seperti psikolog,
pembimbing agama, pengasuh dan para instruktur keterampilan bersama-sama
membantu ABH mencapai perubahan yang dituju. Dalam tahap pengawasan,
pekerja sosial memantau ABH
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
10
Anak dan wawancara peneliti akan
Keluarga mendalam. mengumpulkan
Kabupaten data dari informan
Cianjur (2018) ABH.
3 Ridho Yushro Penanganan Meneliti di Hanya mengambil
Adinatria Kasus Anak lokasi yang data dari informan
Berhadapan sama. Variable ABH sebagai
Hukum (ABH) yang diteliti pelaku, sedangkan
oleh Case yaitu peneliti mengambil
Worker dalam manajemen data dari informan
Manajemen kasus. Metode ABH sebagai
Kasus di Panti penelitan yaitu pelaku dan ABH
Sosial Marsudi kualitatif- sebagai korban.
Putra (PSMP) deskriptif. Cara Untuk melihat
Handayani di pengumpulan perbedaan
Jakarta Timur data yaitu manajemen kasus
(2019) wawancara pada anak (pelaku)
mendalam. dan pada korban.
11
dukungan-dukungan formal dan informal dan aktivitas-aktivitas yang direncanakan
untuk mengoptimalkan fungsi dan kesejahteraan orang dengan kebutuhan-kebutuhan
yang beraneka ragam. Sedangkan Child Protection Working Group Case Management
Taskforce (2014) mengemukakan bahwa manajemn kasus bukanlah suatu bentuk dari
program intervensi melainkan sebuah layanan untuk mengidentifikasi kebutuhan anak
dan mengkoordinasikan layanan untuk mengkoordniasikan layanan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Berdasarkan dari sumber-sumber di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajeman kasus yaitu proses yang melibatkan koordinasi layanan dan dukungan
dalam sebuah system yang saling terkait untuk menolong individua atau kelompok
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam manajemen kasus ada satu pekerja kunci
yaitu manajer kasus yang bertanggungjawab untuk menjamin keputusan yang telah
mempertimbnagkan kepentingan terbaik bagi klien.
2.2.1.2 Model Manajemen Kasus
Salomon (1992) mengidentifikasikan ada 4 model yang sering dipakai pada
manajemen kasus yaitu:
1. Expanded Broker Model
Model ini termasuk dalam model manajemen kasus tradisional dan merupakan
model umum, dimana manajer kasus bertindak sebagai broker, yaitu, menghubungkan
klien dengan agensi atau pelayanan lain di dalam komunitas untuk mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan klien yang spesifik. Manajer kasus juga bertindak sebagai agen
dibandingkan sebagai penyedia pelayanan. Model manajemen kasus ini menggunakan
elemen penilaian, perencanaan, pelaksanaan dan pendampingan.
Keuntungan dari penerapan model ini, diantaranya; mempertimbangkan case load
yang lebih besar, mempengaruhi kualitas dan penyediaan pelayanan. Efektivitas model
ini sangat tergantung pada keutuhan dan efektivitas dari pelayanan komunitas yang
ada. Tugas dari manajer kasus dalam model ini yaitu untuk menjamin klien
mendapatkan keuntungan dari pelayanan yang tersedia.
12
2. Rehabilitasi Model
Model ini lebih banyak membantu klien untuk mencapai sukses pada lingkungan
yang dipilihnya, dibanding memperhatikan program komprehensif untuk perbaikan,
dimana klien dilakukan penilaian fungsional sebagai dasar untuk melakukan rencana
rehabilitasi. Manajer kasus dalam model ini lebih memfokuskan pada perkembangan
keterampilan hingga klien mampu bekerja pada suatu jaringan. Model ini mempunyai
2 dasar, yaitu:
a. Untuk menjadi orang yang sukses, maka seseorang harus bisa menggunakan,
mengembangkan dan menjalankan potensi diri, serta mempunyai sumber utk
menjalankannya.
b. Perilaku individu tergantung pada sumber-sumber individu yang tersedia.
Manajer kasus pada model ini bertindak sebagai penasehat atau mentor yang akan
membantu klien dalam memecahkan masalah dan mengembangkan sumber daya yang
dimilikinya.
3. Full Support Model
Model ini mempunyai fungsi tambahan, yaitu untuk menyediakan secara langsung
sebagian atau seluruh jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh klien. Model ini sangat
khas, dimana tergabung tim multidisiplin yang terdiri dari spesialis berbagai jasa
pelayanan, seperti psikolog, ahli hukum, tenaga kesehatan, dan lain-lain yang akan
memberikan klien kebutuhan yang diperlukan, sehingga mereka dapat menjalani
proses perubahan diri.
Model ini menjadi perhatian utama, karena merupakan pendekatan yang paling lengkap
dan mungkin paling berpengaruh pada program manajemen kasus.
2.2.1.3 Proses Manajemen Kasus
Proses manajeman kasus menurut Child Protection Working Group Case
Manajemen Taskforce ada 6 yaitu sebagai berikut:
1. Identifikasi dan registrasi. Manajer kasus akan menerima rujukan klien dari
perorangan, suatu lembaga atau masyarakat untuk mendapatkan pelayanan. Dalam
proses ini calon klien akan diidentifikais terlebih dahulu apakah seuai dengan
13
kriteria yang dApat dilayanai oleh lembaga atau tidak, jika sesuai, maka proes
selanjutnya adalah registrasi. Dalam registrasi akan dilakukan pengumpulan data
awal, serta anak dan keluarga memberikan inform consent untuk menerima layanan.
2. Asesmen. Manajer kasus akan mengidentifikasi klien secara holistik. Perlunya
menggali mengenai latar belakang keluarga, kebutuhan dasar, maslaahnya,
kerentanan, resiko dan bahaya, dan lain-lain.
3. Rencana penanganan. Manajer kasus berkoordinasi dengan professional lain
merancang apa yang dibutuhkan klien dalam mengatasi masalahnya dan bagaimana
strateginya penanganannya. Dalam proses ini akan dilakukan konferensi kasus.
4. Implementasi rencana. Pelaksanaan tindakan-tindakan yang dirancang sebelumnya.
Manajer kasus memfasilitasi layanan dan dukungan yang dibutuhkan klien serta
bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan seluruh layanan, mencatat dan
melaporkan perkembangannnya serta memastikan penangana berjalan dengan baik.
5. Tindak lanjut dan review. Memastikan anak dan keluarga menerima dukungan dan
layanan yang sesuai. Dalam hal ini, manajer kasus juga mengawasi situasi anak dan
mengidentifikasi perubahan-perubhan yang terjadi pada anak. Manajer kasus juga
merefleksikan bagaimana pelaksanaan sepanjang layanan dilaksanakan agar
memastikan penangan sesuai dengan yang direncanakan dan relevan, serta harus
sigap jika harus ada perubahan rencana penanganan.
6. Menutup kasus. Dimana seluruh proses penanganan klien telah selesai. Menutup
kasus dapat karena anak telah berusia 18 tahun atau telah meninggal dunia, lembaga
merujuk klien ke lembaga lain, ataupun anak telah selesai dengan permasalahannya
dan telah tercapai tujuan perubahannya.
2.2.1.4 Prinsip-Prinsip Manajemen Kasus
Gehard (1990) mengemukakan lima prinsip dari manajemen kasus, yaitu:
1. Individualisasi pelayanan (individualization of service). Dalam memberikan
pelayanan, pekerja sosial akan menemukan berbagai karakteristik dari klien, ada
yang memiliki kecenderungan karakter yang sama ada yang tidak. Walaupun
perkerja sosial menemukan ada yang memiliki persamaan masalah dan karakter,
14
pekerja sosial harus memberikan pelayanan yang spesifik, karena setiap orang tetap
memiliki kebutuhan dan penanganan yang berbeda-beda pula. Pekerja sosial tidak
dapat mengeneralisir pelayanan pada klien.
2. Pelayanan yang komprehensif (comprehensiveness of services). Pelayanan
diberikan tidak hanya terfokus pada klien, tetapi juga sistem klien (lingkungan)
yang mempengaruhi keberadaan klien, agar tercipta suasana yang kondusif bagi
proses perubahan klien.
3. Pelayanan yang teratur (parsimonius service) Bahwa dalam memberikan pelayanan
manajeman kasus, layanan yang disediakan tidak terpotong mulai dari kontak awal
hingga terminasi.
4. Kemandirian (fostering autonomy). Guna menghindari ketergantungan dan dapat
menolong dirinya sendiri, manajer kasus perlu mendorong klien untuk selalu
proaktif dalam proses pertolongan dirinya, belajar mengambil setiap langkah
dengan pertimbangan dirinya dan mengambil keputusan atas dirinya sendiri dengan
arahan manajer kasus.
5. Keberlanjutan pelayanan (continuity of care). Klien pada umumnya memiliki
permaslaahan yang kompleks dan membutuhkan perubahan dalam jangka waktu
yang panjang. Oleh karena itu, pekerja sosial perlu mengembangkan rencana
intervensi yang terpadu agar mendukung proses intervensi secara utuh.
2.2.2 Kajian Tentang Anak Berhadapan dengan Hukum
2.2.2.1 Pengertian Anak Berhadapan dengan Hukum
Dalam kepustakaan hukum, ABH disebutkan adalah Anak yang berhadapan
dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum
mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah:
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri
terjadinya suatu tindak pidana.
15
Apong Herlina (2004) menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan
hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem
pengadilan pidana karena:
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran
hukum.
Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan
dengan hukum dapat dibagi menjadi:
1. Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2. Korban tindak pidana;
3. Saksi suatu tindak pidana.
Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak
yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan
memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti
prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini
bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan,
yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya
dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan
pada khususnya. (Apong Herlina, 2004).
2.2.2.2 Hak Anak Berhadapan dengan Hukum
Hak anak dalam proses peradilan berdasarkan pasal 66 Undang-undang No 39
Tahun 1999 tentang hak asasi manusia antara lain:
1. Tidak dianiaya, disiksa, atau dihukum secara manusiawi
2. Tidak dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup
3. Tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum
4. Tidak ditahan, ditangkap, dipenjara secara melawan hukum, atau jika tidak sebagai
upaya terakhir
16
Anak berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan khusus
dengan mengutamakan tindakan dan pembinaan, lembaga pemasyarakatan anak, balai
pemasyarakatan, kementerian sosial, panti-panti soaial yang menampung anak-anak
pidana yang telah diputus oleh pengadilan dapat memanfaatkan secara optimal sarana
dan prasarana untuk melaksanakan pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan anak
yang berhadapan dengan hukum demi masa depan anak.
2.2.2.3 Perlindungan Khusus bagi Anak Berhadapan dengan Hukum
Undang-undang No 35 tahun 2014 dalam pasal 64 mewajibkan pemerintah dan
lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab dalam memberikan
perlindungan khusus terahadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya
2. Pemisahan dari orang dewasa
3. Pemberian bantua hukum dan bantuan lain secara efektif
4. Pemberlakukan kegiatan rekreasional
5. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya
6. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup
7. Penghindaran dari penangkapan, penahana atau penjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
8. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak objektif, tidak memihak, dan dalam
siding yang tertutup untuk umum
9. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya
10. Pemberian pendampingan orangtua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak
11. Pemberian advokasi sosial
12. Pemberian kehidupan pribadi
13. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas
14. Pemberian Pendidikan
15. Pemberian pelayanan Kesehatan
17
16. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2.2.2.4 Sanksi Pidana Pada Anak Berhadapan dengan Hukum
Menurut Pasal 69 Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyatakan bahwa: "Terhadap anak hanya dapat dijatuhi pidana atau
dikenai tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.". Pada pasal 70
dinyatakan bahwa “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Adapun pidana yang
dapat dijatuhkan pada anak nakal, berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu:
1. Pidana pokok, yang terdiri dari:
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat:
1) Pembinaan di luar lembaga
2) Pelayanan masyarakat, atau
3) Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga, dan
e. Penjara
2. Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau
b. Pemenuhan kewajiban adat
3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda,
pidana denda diganti dengan pelatihan kerja
Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi:
1. Pengembalian kepada orang tua/wali
2. Penyerahan kepada seseorang
18
3. Perawatan di rumah sakit jiwa
4. Perawatan di LPKS
5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta
6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau…
7. Perbaikan akibat tindak pidana.
2.2.3 Kajian Tentang Intervensi Pekerja Sosial terhadap Anak Berhadapan dengan
Hukum
2.2.3.1 Pengertian Pekerjaan Sosial terhadap ABH
Menurut Asosiasi Nasional Pekerja Sosial Amerika Serikat (NAWS), pekerjaan
sosial merupakan suatu kegiatan profesional yang membantu individu, kelompok
ataupun masyarakat dalam meningkatkan atau memulihkan kemampuan mereka
berfungsi sosial dan untuk menciptakan kondisi yang mendukung tujuan-tujuan ini.
Sedangkan pekerjaan sosial di bidang penanganan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum adalah salah satu bidang pekerjaan sosial yang memiliki kewenangan
untuk melaksanakan berbagai upaya terhadap ABH guna meningkatkan kemampuan
ABH dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui proses interaksi, agar ABH
tersebut dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan.
Adapun pengertian pekerja sosial yang dikemukakan oleh Charles Zastrow
(1982:12), sebagai “Social work is the profesional activity of helping individuals,
groups, or communities to enhance or restore their capacity for social functioning and
to create societal conditions favorable to their goals.” Yang artinya bahwa pekerjaan
sosial adalah aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau komunitas
guna meningkatkan atau memperbaiki kapasitasnya untuk berfungsi sosial dan
menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya. Jadi pekerjaan
sosial dalam bidang penanganan terhadap ABH aktivitas membantu ABH dalam
berfungsi sosial yang baik agar mereka dapat merefleksikan diri dari permasalahannya
dan setelah keluar dari Lapas nanti ia mampu menjalani hidup dengan lebih baik.
2.2.3.2 Tujuan Pekerjaan Sosial terhadap ABH
19
Tujuan dari pekerja sosial menurut Pincus dan Minahan (1973:9) yaitu:
1. Enhance the problem solving and coping capacities of people (Meningkatkan
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah dan menanggulangi
masalahnya)
2. Link people with system that provide them with resourses, service, and opportunities
(Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang menyediakan sumber-sumber,
pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan)
3. Promote the effective and humane operation of these system (Meningkatkan
pelaksanaan sistem-sistem tersebut secara efektif dan manusiawi)
4. Contribute to the development and operation of this system (Memberikan
sumbangan terhadap pembangunan dan kemajuan kebijakan sosial mengenai)
Berdasarkan tujuan-tujuan di atas, tujuan praktik pekerjaan sosial terhadap
ABH yaitu meningkatkan kemampuan ABH dalam memecahkan masalahnya, yaitu
keberfunsian sosial yang berjalan dengan baik. Pekerja sosial memberikan penyadaran
kepada ABH, membimbing ABH untuk dapat menerima kesalahan, kekurangan, yang
kemudian mengetahui apa yang dibutuhkannya. Pekerja sosial mengarahkan ABH
untuk membuat rencana-rencana perubahan pada dirinya, dan kemudian
membimbingnya melaksanakan rencana perubahan-perubahan tersebut. Selanjutnya
pekerja sosial akan menghubungkan dengan sumber yang dibutuhkannya dan
meningkatkan system sumber tersebut agar perubahan yang dijalankan dapat berjalan
maksimal. Selain itu pekerja sosial akan memberikan sumbangsih yang dapat
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap anak berhadapan dengan hukum.
2.2.3.3 Fungsi Pekerjaan Sosial terhadap ABH
Fungsi pekerjaan sosial menurut fincus dan Minahan dalam Heru Sukoco
(1991:43) yaitu:
1. Membantu seseorang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara
efektif ntuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-
masalah sosial yang mereka alami.
2. Menghubungkan dengan sistem-sistem sumber yang dibutuhkan
20
3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber
4. Memberikan fasilitas interaksi di dalam system-sistem sumber
5. Meratakan atau menyalurkan sumber-sumber material terhadap ABH
Fungsi pekerjaan sosial terkiat dengan ABH yaitu membantu ABH mengenali
kemampuan-kemampuan dan potensi yang dimilikinya yang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya serta berguna dalam pemecahan masalahnya. Pekerjaan sosial akan
membantu ABH dalam memfasilitasi, menghubungkan dan mengarahkan kepada
sumber-sumber yang dapat dimanfaaatkannya dalam pengembangan potensi ABH.
Kemudian ABH akan diajarkan bagaimana mengakses sumber-sumber yang
dibutuhkannya dan memanfaatkannya secara maksimal.
2.2.3.4 Pelayanan Sosial bagi ABH
1. Pengertian Pelayanan Sosial terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum
Pelayanan sosial anak berhadapan dengan Hukum merupakan suatu bentuk
aktivitas yang bertujuan untuk membantu anak berhadapan dengan hukum mampu
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang pada akhirnya mereka diharapkan dapat
memecahkan permasalahan yang ada melalui tindakan-tindakan kerjasama ataupun
melalui pemanfaatan sumber-sumber yang ada untuk memperbaiki kondisi
kehidupannya.
Pelayanan sosial dalam arti luas adalah setiap pelayanan yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial manusia sedangkan dalam arti sempit ialah
pelayanan yang diberikan kepada sebagian masyarakat yang kurang atau tidak
beruntung (Dwi Heru Sukoco, 1991:3). Pelayanan sosial anak berhadapan dengan
hukum dalam arti sempit yaitu pelayanan kesejahteraan sosial mencakup pertolongan
dan perlindungan kepada ABH.
2. Fungsi Pelayanan Sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum
Menurut Perserikatan bangsa bangsa (PBB) fungsi pelayanan sosial adalah sebagai
berikut:
a. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat.
b. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.
21
c. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuian sosial.
d. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan.
e. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan
pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.
Sedangkan fungsi pelayanan sosial bagi Anak berhadapan dengan Hukum adalah
sebagai berikut:
a. Pelayanan-pelayanan diciptakan untuk lebih meningkat kesejahteraan ABH untuk
masa sekarang dan untuk masa yang akan datang.
b. Pelayanan-pelayanan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan sosial.
c. Pelayanan-pelayanan yang diciptakan untuk melindungi ABH
2.2.3.5 Peranan Pekerja Sosial terhadap ABH
Peranan pekerjaan sosial dalam Pembinaan anak berhadapan dengan hukum yaitu:
1. Advokat, Pekerja sosial dapat memeberikan perlindungan dan pembelaan terhadap
hak-hak ABH yang dilanggar oleh pihak lain sehingga ABH dapat memperoleh
haknya kembali.
2. Mediator, Pekerja sosial menjadi penengah antara dua pihak yang bermasalah, dan
bersikap netral antara keduanya.
3. Konsultan kesehatan mental dan atau perilaku, Pekerja sosial memahami perilaku
dan secara sistematis menerapkan prinsip-prinsip perilaku, termasuk modifikasi
perilaku. Di dalam lembaga pelayanan ABH, pengetahuan bagaimana mengubah
perilaku dapat diterapkan untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Broker, Pekerja sosial menghubungkan klien ABH dengan sistem sumber yang
dibutuhkan.
5. Tim member, Pekerja sosial sebagai bagian dari tim dengan profesional lainnya
yang akan memberikan pelayanan kepada klien (ABH).
6. Therapist, Pekerja sosial dapat memberikan pelayanan pertolongan dengan
menggunakan metode psikoterapi kepada ABH.
22
23
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan latar penelitian terbuka dan tertutup. Penelitian ini
dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus
Handayani Kota Jakarta Timur. Pada latar terbuka peneliti menggunakan metode studi
dokumentasi, sedangkan pada latar tertutup peneliti akan melakukan wawancara
mendalam dengan informan.
24
Sedangkan untuk penentuan informan ABH didasarkan pada kriteria ABH
sebagai pelaku atau korban yang sedang atau telah melaksanakan tahap intervensi
manajeman kasus.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi secara
mendalam tentang manajemen kasus ABH di BRSAMPK Handayani Jakarta Timur.
Wawancara mendalam dilakukan kepada masing-masing informan berdasarkan
pedoman wawancara yang telah disusun.
2. Studi Dokumentasi
Teknik Pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
lokasi penelitian, sarana prasarana, data lembaga termasuk data informasi mengenai
ABH, penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan di lembaga yang berkaitan dengan
manajemen kasus dan lainnya di BRSAMPK Handayani. Data ini diperoleh peneliti
melalui dokumen pribadi, buku, jurnal, dokumen, catatan harian selama di lapangan,
literatur, arsip, foto, dan lain sebagainya.
25
Ketekunan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dapat meningkatkan
kredibilitas/kepercayaan data. Ketekunan pengamatan berarti peneliti kembali ke
lapangan, melakukan pengamatan dan wawancara kembali dengan sumber data yang
ditemui maupun sumber data yang lebih baru. Data yang diperoleh dicek kembali ke
lapangan benar atau tidak, ada perubahan atau masih tetap. Jika data yang telah
diperoleh kredibel, maka pengamatan diakhiri.
b. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dan berbagai waktu (Wiliam Wiersma, 1986). Triangulasi sumber
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pekerja sosial sebagai manajer kasus.
Sedangkan triangulasi waktu dilakukan dengan menanyakan pertanyaan yang sama
kepada informan pada waktu yang berbeda.
c. Pengecekan Anggota
Dilakukannya pengecekan anggota atau informan yang dalam penelitian ini adalah
psikolog, pegawai balai, dan ABH bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang
diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
2. Keteralihan (Transferability)
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas
eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke
populasi di mana sampel tersebut diambil (Sugiyono, 2007:276), tujuannya adalah agar
pembaca dapat mengetahui secara jelas hasil penelitian yang akan dilakukan. Penelitian
ini akan melampirkan data emik dan etik mengenai hasil penelitian.
3. Ketergantungan (Dependability)
Penelitian yang dependability adalah penelitian yang apabila penelitian tersebut
dilakukan oleh orang lain dengan proses penelitian yang sama makan akan memperoleh
hasil yang sama pula. Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit
terhadap keseluruhan proses penelitian, dengan cara dosen pembimbing mengaudit
keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
4. Kepastian (Confirmability)
26
Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga dengan uji confirmability penelitian.
Penelitian kualitatif uji confirmability berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan
dengan proses yang telah dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar
confirmability.
3.7 Teknik Analisa Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik analisis data
kualitatif. Tujuan analisis data kualitatif adalah mencari makna dibalik data yang
melalui pengakuan subjek pelakunya. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.7.1 Sebelum di lapangan
Pada tahap ini analisis data dilakukan terhadap data sekunder hasil studi
pendahuluan, sehingga data yang diperoleh dapat memperjelas fokus penelitian. Pada
tahap ini peneliti mengumpulkan informasi awal yang berkaitan dengan judul yaitu
Manajemen Kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum di Balai Rehabilitasi Anak
Memerlukan Perlindungan Khusus Handayani Jakarta Timur.
3.7.2 Selama dan setelah di lapangan
Selama di lapangan peneliti akan melakukan analisis data baik dari hasil
wawancara maupun dari hasil observasi. Bila dari hasil analisis data yang diperoleh
belum memuaskan, peneliti akan melanjutkan kegiatan tersebut sampai pada tahap
tertentu dimana peneliti merasa puas dengan data yang diperoleh. Setelah pengumpulan
data dari lapangan, analisis data dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Mereduksi Data (Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan perlu dilakukan reduksi data dengan merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, serta mencari tema
dan polanya atau yang disebut dengan kategorisasi data. Data yang telah direduksi
dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dalam mempermudah peneliti untuk
27
melakukan pengumpulan data selanjutnya. Setelah wawancara dilakukan, peneliti
memilih data-data yang relevan berdasarkan aspek-aspek yang disusun di transkip
wawancara untuk menggambarkan manajemen kasus anak berhadapan dengan hukum
yang ada di BRSAMPK Handayani.
2. Penyajian Data (Data Display)
Langkah selanjutnya setelah data direduksi yaitu menyajikan data. Data yang
disajikan dalam penelitian ini dapat berupa narasi, tabel, bagan grafik, gambar dan
lainnya. Dengan menyajikan data, peneliti akan lebih mudah memahami apa yang
diperoleh di lapangan sehingga peneliti dapat menggambarkan jawaban atas masalah
penelitiannya. Data dalam penelitian ini akan menjelaskan lebih dalam mengenai
aspek-aspek manajeman kasus pada ABH di BRSAMPK Hnadayani.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion)
Terakhir yaitu adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan menjadi
jawaban akhir dari pertanyaan penelitian sehingga selanjutnya dapat disusun solusi
pemecahan masalah berdasarkan temuan hasil penelitian terkait manajemen kasus anak
berhadapan dengan hukum yang ada di BRSAMPK Handayani.
3.8 Jadwal dan Langkah-Langkah Penelitian
28
Tabel 3.1 Jadwal tentafif dan Langkah-langkah kegaitan penelitian
Bulan
No Kegiatan
Jan Feb Mar Apr Mei
3 Seminar proposal
Pengumpulan dan
4
pengolahan data
Bimbingan penyusunan
5
skripsi
Ujian Akhi Program
6
Studi (UAPS)
29
DAFTAR PUSTAKA
Sumber lain:
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
30
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)
31