PROPOSAL
Untuk Memenuhi Prasyarat Lulus Ujian Metode Penelitian Hukum
Oleh :
INDRIANI MAGDALEN HALIM
NRP : 120117083
KP : C
Segala puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus oleh karena anugerahNya yang
melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Analisis Hukum Penahanan MP di Rutan
Mapolres Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak” ini dengan baik. Penyusunan proposal ini dimaksudkan untuk
memenuhi prasyarat lulus ujian mata kuliah Metode Penelitian Hukum.
Penyusunan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Surabaya.
2. Bapak Marianus Yohanes Gaharpung, S.H., M.S. selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
3. Kepada kedua orang tua, yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis.
4. Seluruh teman-teman dari grup Monologue dan Sasuke yang telah memberi semangat
dan membantu penulis dalam penyelesaian proposal ini.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan juga kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.................................................................................................7
1.3 ALASAN PEMILIHAN JUDUL....................................................................................7
1.4 TUJUAN PENELITIAN.................................................................................................8
1.5 METODE PENELITIAN...............................................................................................8
1.6 PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA...........................................................9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENAHANAN ANAK DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK.......................................................................................................................10
2.1 PENGERTIAN TENTANG ANAK..............................................................................10
2.2 HAK-HAK ANAK DIDEPAN HUKUM......................................................................11
2.3 PENAHANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA...........................14
BAB III ANALISIS HUKUM TENTANG PENAHANAN ANAK DI MAPOLRES
DALAM MELAKUKAN TINDAK PIDANA........................................................................17
3.1 KRONOLOGI KASUS..................................................................................................17
3.2 ANALISIS KASUS.........................................................................................................18
BAB IV......................................................................................................................................21
PENUTUP.................................................................................................................................21
4.1 KESIMPULAN...............................................................................................................21
4.2 SARAN............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................22
BAB I PENDAHULUAN
1
Surbakti, F.M. & Zulyadi, R. (2019). Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pencurian dengan Kekerasan. Journal of Education, Humaniora, and Social Sciences (JEHSS), Volume 2
Nomor 1. 145.
anak di balik jeruji. Persoalan dari penanganan kasus seperti ini adalah akan
munculnya dampak pemenjaraan terhadap anak berjangka panjang. Hal ini tidak
hanya mengganggu perkembangan emosional dan kognitif di kemudian hari,
berada di lingkungan penjara yang terlalu penuh dengan jumlah petugas yang
minim, membuat anak rentan mengalami kekerasan.2
Dalam kasus ini MP (16 tahun) sesuai dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak termasuk masih dikategorikan sebagai anak dibawah
umur ditahan karena dugaan kasus narkoba ditempat penahanan biasa dan tidak
dipisah dari orang dewasa padahal menurut Pasal 3 huruf b Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak anak dalam proses peradilan pidana berhak
dipisahkan dari orang dewasa dan dalam Pasal 33 ayat (4) mengatakan bahwa
penahanan terhadap anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS).
2
Putry, Raihan & Bustamam, A. (2020). Pengarusutamaan Diversi Anak di Aceh: Antara Cita dan
Realitas. Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies. Volume 6 Nomor 1. 1-3.
sehingga masih membutuhkan orangtuanya tidak diizinkan untuk bertemu
jenazah ayahnya sebelum dikuburkan padahal dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa selama anak ditahan,
kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.
1. Tujuan Akademis
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memenuhi salah satu
prasyarat lulus mata kuliah Metode Penelitian Hukum
2. Tujuan Praktis
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi anak dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan untuk mengetahui
apakah tindakan penahan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan dapat
dibenarkan atau tidak.
BAB I yaitu mengenai Pendahuluan. Dalam Bab I ini berisi tentang Latar
Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian, dan Pertanggungjawaban Sistematika.
BAB II yaitu mengenai Tinjauan Umum tentang Penahanan Anak Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Dalam Bab II ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian: Pertama, tentang
Pengertian Anak. Kedua, tentang Hak-Hak Anak Didepan Hukum, dan
ketiga tentang Penahanan Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.
BAB III yaitu mengenai Analisis Hukum tentang Penahanan Anak di Mapolres
Dalam Melakukan Tindak Pidana.
Dalam Bab III ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian: Pertama, Kronologi
Kasus dan kedua adalah tentang Analisis Kasus.
BAB IV yaitu mengenai Kesimpulan dan Saran.
Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara
etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun generasi kedua atau
keturunan pertama. Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
harus dijaga, dibina dengan baik dan juga dengan penuh kasih sayang, karena anak juga
memiliki harkat, martabat dan hak yang harus junjung tinggi dan dilindungi, supaya
dimasa mendatang anak tersebut dapat berguna dan bermanfaat bagi sesama dan bagi
bangsa.
Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
1. Anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu adalah anak sebagai pelaku tindak
pidana.
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.
Terdapat berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab kenakalan anak
contohnya adalah ketidakharmonisan keluarga atau anak yang kurang mendapat kasih
sayang dari orangtuanya, bisa juga karena lingkungan bermain ataupun lingkungan
sekolahnya yang dapat mempengaruhi perilaku seorang anak karena anak selalu
mempelajari hal dari sekitarnya. Selain itu faktor perkembangan teknologi juga dapat
menyebabkan penyimpangan perilaku anak dikarenakan penggunaan teknologi yang
kurang tepat dan kurangnya pengawasan orangtua, anak yang tanpa adanya pengawasan
dapat mengakses berbagai macam informasi yang seharusnya dalam usianya belum
pantas untuk memperolehnya.
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena
dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang di duga melakukan kejahatan termasuk
kategori anak atau bukan. Pengertian anak juga terdapat pada pasal 1 Convention on
The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun,
kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya.
Setiap anak memiliki hak asasi yang dicantumkan dalam Konstitusi Negara
Republik Indonesia 1945 sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD
NKRI Tahun 1945 yang berbunyi Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dengan hak tersebut maka negara akan menjaga dan melindungi hak bagi seorang anak
yang merupakan wujud dari perlindungan anak yang apabila ada dan diketahui terjadi
penghilangan hak tersebut, maka negara melalui alat negara penegak hukum akan
bertindak.3
Terdapat sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem peradilan anak berdasarkan
pasal 2 UU No. 11 tahun 2012, yaitu:
a. Perlindungan
b. Keadilan
c. Nondiskriminasi
h. Proporsional
3
Faried, Femmy Silaswaty. (2017). Optimalisasi Perlindungan Anak Melalui Penetapan Hukuman Kebiri.
Jurnal Serambi Hukum. Volume 11 Nomor 01. 49-50.
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir
j. Penghindaran pembalasan
Dalam proses peradilan pidana anak, anak-anak ini tidak mengetahui hak dan
kewajibannya, karena itu perlu mendapat bantuan dan perlindungan terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara seimbang dan manusiawi (Unbanunaek
Mimi, et al, 1995: 47).4 Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan definisi perlindungan anak didalam Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serrta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Menurut Made Sadhi Astuti ada beberapa hak anak yang perlu diperhatikan dan
diperjuangkan pelaksanaannya bersama-sama. Anak-anak mempunyai hak antara lain:
tidak menjadi korban dalam proses peradilan pidana; mempunyai kewajiban sebagai hak
untuk ikut serta menegakkan keadilan dalam suatu proses peradilan pidana sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing untuk dibina agar mampu melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara, anggota masyarakat yang baik oleh yang berwajib
dalam arti luas; untuk melaksanakan kewajiban membina, mendampingi rekan-rekan
4
Zuraidah dan Is, Sadi Muhamad. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak yang Menjadi
Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1. 153.
sebayanya untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka secara rasional positif,
bertanggungjawab dan bermanfaat dalam proses tersebut (Abintoro Prakoso, 2013: 21).5
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
n. memperoleh pendidikan;
5
Zuraidah dan Is, Sadi Muhamad. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak yang Menjadi
Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1. 153.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:
b. Asimilasi;
d. Pembebasan bersyarat;
f. Cuti bersyarat;
Dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA dikatakan bahwa Anak berhak mendapatkan bantuan
hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan. Anak saksi/Anak Korban wajib
didampingi oleh orang tua/wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial
dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi dalam pasal 23 ayat (3) mengatakan
bahwa Jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang
tua/walinya tidak wajib mendampingi.
UU SPPA menjamin hak-hak anak para penegak hukum yang terdiri dari
Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak harus diberikan jaminan
perlindungan yang khusus terhadap anak yang akan diperiksa. Pasal 32 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5) UU SPPA mengatur mengenai penahanan anak:
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh
jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri,
tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/ atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap
dipenuhi.
(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.
6
Christyanto, Tony Kurnia. 2014. Pelaksanaan Penahanan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Persetubuhan. Jurnal Arena Hukum. 2-3
agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak merasa tertekan saat dimintai informasi
dari anak tersebut.
Kasus ini berawal saat MP (16 tahun) ditahan di Rutan Mapolres atas kasus
penyalahgunaan narkoba. MP yang masih termasuk dalam kategori anak dibawah umur
ditahan pada tempat penahanan biasa dan bukan tempat penahanan bagi anak yang
artinya tidak dipisahkan dari orang dewasa.
Pada Rabu, tanggal 6 Desember 2017, ayah MP meninggal dunia namun polisi
tidak mengizinkan MP sebagai tahanan Mapolres keluar dari rutan untuk melihat
jenazah ayahnya untuk terakhir kali dengan alasan keamanan dan banyak hal yang
menjadi bahan pertimbangan. Pihak Polres menilai kasus narkotika memiliki atensi
yang besar dan cukup beresiko untuk mengeluarkan MP dari rutan. Polres mengatakan
hanya berani mengeluarkan tahanan hanya sebatas area dalam Mapolres. Kepolisian pun
hanya setuju untuk menerima dan memberikan izin kepada keluarga MP untuk
membawa jenazah almarhum ayahnya untuk dilihat MP di area Polres.
Selain itu, pihak keluarga juga hanya meminta anak yang ditahan tersebut untuk
dikeluarkan dalam waktu setengah jam untuk melihat jenazah ayahnya. Kepolisian
dinilai terlalu kaku dalam hal tersebut karena tidak memberikan izin pada MP padahal
beberapa anggota keluarga MP siap menjamin MP tidak akan melarikan diri dan juga
keselamatannya.
Pengertian anak juga terdapat pada pasal 1 Convention on The Rights of The
Child (Konvensi Hak-Hak Anak), anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18
tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya.
Maka dapat kita ketahui bahwa MP (16 tahun) merupakan pelaku pidana yang
merupakan anak dibawah umur, sehingga terhadap kasus ini penanganan perkara
tentunya harus sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana
dalam UU SPPA diberlakukan suatu asas dalam Pasal 2 huruf I yaitu perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, maka sedapat mungkin
penyelesaian kasusnya harus dijauhkan dari perampasan kemerdekaan dalam hal ini
penahanan. Penahanan seharusnya dilakukan sebagai bentuk upaya terakhir dalam
penanganan kasus pidananya.
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh
jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri,
tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap
dipenuhi.
(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.
Jika dilihat dari pasal diatas maka dapat dilakukan penahanan terhadap MP
dengan pertimbangan bahwa MP telah berusia lewat dari 14 (empat belas) tahun yakni
16 (enam belas) tahun dan pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika mayoritas ancaman pidana adalah diatas 7 tahun, kecuali pasal 127
(Pengguna Narkotika). Ini juga menjadi dilematis karena ada pula masalah dalam
penerapan pasal pidana dalam UU Narkotika karena pengguna kadang tidak hanya
dituntut oleh pasal 127 (pasal pengguna untuk direhabilitasi) namun seringnya dengan
pasal-pasal kepemilikan yakni Pasal 111/112 UU Narkotika7.
Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak
dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa
tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti
penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik
diharapkan betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak.
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada
kekhawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti,
agar tidak mengulangi tindak pidana.8
Namun yang menjadi masalah adalah pada Pasal 33 ayat (4) UU SPPA
mengatakan bahwa Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS (Lembaga
Penempatan Anak Sementara) kemudian pada ayat (5) dikatakan Dalam hal tidak
7
https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-
indonesia/
8
Imam Hidayat dan Rr. Rina Antasari. (2019). Proses Penangkapan dan Penahanan Anak di Bawah Umur
yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan dalam Perspektif Fiqh Jinayah dan Hukum Pidana. Jurnal
Intelektualita : Keislaman, Sosial, dan Sains. Volume 8 No. 2. 119.
terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat namun penahanan MP
dilakukan ditempat penahanan biasa dan bukannya LPAS maupun LPKS. Penahanan
seperti dalam kasus ini tidak hanya mengganggu perkembangan emosional dan kognitif
di kemudian hari, berada di lingkungan penjara yang terlalu penuh dengan jumlah
petugas yang minim membuat anak rentan mengalami kekerasan.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak sebagai pelaku tindak pidana,
maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya
sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian
orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses
penanganannya sehingga hal ini akan akan berpijak pada konsep kesejahteraan anak dan
kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan
pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak
dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum9
Dalam Pasal 3 huruf j secara jelas disebutkan bahwa Setiap anak dalam proses
peradilan pidana berhak memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercaya oleh anak sehingga dapat dikatakan keputusan yang diambil oleh polisi Polres
9
Bambang Purnomo, Gunarto dan Amin Purnawan. (2018). Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak
Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kaasus Di Polres Tegal). Jurnal Hukum Khaira
Ummah. Volume 13 No. 1. 48-49
10
https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-
indonesia/
tersebut telah melanggar pemenuhan hak MP selama masa penahanan sesuai dengan
UU SPPA padahal diketahui bahwa anak dibawah umur masih sangat membutuhkan
pendampingan dari orang tuanya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Bahwa penahanan dapat dilakukan apabila anak telah berumur 14 (empat
belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
Dalam hal tidak terdapat LPAS penahanan dapat dilakukan di LPKS
4.2 SARAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
JURNAL
Bambang Purnomo, Gunarto dan Amin Purnawan. (2018). Penegakan Hukum Tindak
Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi
Kaasus Di Polres Tegal). Jurnal Hukum Khaira Ummah. Volume 13 No. 1. 48-
49.
Hidayat, Imam dan Rr. Rina Antasari. (2019). Proses Penangkapan dan Penahanan
Anak di Bawah Umur yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan dalam
Perspektif Fiqh Jinayah dan Hukum Pidana. Jurnal Intelektualita : Keislaman,
Sosial, dan Sains. Volume 8 No. 2. 119.
Surbakti, F.M. dan R. Zulyadi. (2019). Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan. Journal of Education,
Humaniora, and Social Sciences (JEHSS), Volume 2 Nomor 1. 145.
Zuraidah dan Sadi Muhamad Is. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi
Anak yang Menjadi Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1.
153.
INTERNET
ICJR. 2017. Kasus ”MP” di Palopo dan Tantangan Implementasi UU Sistem Peradilan
Pidana Anak Indonesia. https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-
implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-indonesia/ (diakses pada 6
Desember 2020).