Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS HUKUM PENAHANAN MP DI RUTAN MAPOLRES DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK

PROPOSAL
Untuk Memenuhi Prasyarat Lulus Ujian Metode Penelitian Hukum

Oleh :
INDRIANI MAGDALEN HALIM
NRP : 120117083
KP : C

PROGRAM KEKHUSUSAN PIDANA


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus oleh karena anugerahNya yang
melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Analisis Hukum Penahanan MP di Rutan
Mapolres Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak” ini dengan baik. Penyusunan proposal ini dimaksudkan untuk
memenuhi prasyarat lulus ujian mata kuliah Metode Penelitian Hukum.
Penyusunan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Surabaya.
2. Bapak Marianus Yohanes Gaharpung, S.H., M.S. selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
3. Kepada kedua orang tua, yang telah memberikan dukungan serta doa kepada penulis.
4. Seluruh teman-teman dari grup Monologue dan Sasuke yang telah memberi semangat
dan membantu penulis dalam penyelesaian proposal ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan juga kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak.

Betun, Desember 2020


Penulis,

(Indriani Magdalen Halim)


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.................................................................................................7
1.3 ALASAN PEMILIHAN JUDUL....................................................................................7
1.4 TUJUAN PENELITIAN.................................................................................................8
1.5 METODE PENELITIAN...............................................................................................8
1.6 PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA...........................................................9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENAHANAN ANAK DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK.......................................................................................................................10
2.1 PENGERTIAN TENTANG ANAK..............................................................................10
2.2 HAK-HAK ANAK DIDEPAN HUKUM......................................................................11
2.3 PENAHANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA...........................14
BAB III ANALISIS HUKUM TENTANG PENAHANAN ANAK DI MAPOLRES
DALAM MELAKUKAN TINDAK PIDANA........................................................................17
3.1 KRONOLOGI KASUS..................................................................................................17
3.2 ANALISIS KASUS.........................................................................................................18
BAB IV......................................................................................................................................21
PENUTUP.................................................................................................................................21
4.1 KESIMPULAN...............................................................................................................21
4.2 SARAN............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................22
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun dan termasuk anak yang masih berada didalam kandungan.
Penyelenggaraan perlindungan anak merupakan kewajiban bagi negara,
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua atau wali karena anak
merupakan calon penerus bangsa sehingga anak mempunyai berbagai hak yang
harus dijamin seperti hak untuk mendapatkan perlindungan, perhatian, kasih
sayang dan juga pendidikan demi kesejahteraan anak tersebut dan anak sebagai
penerus bangsa diharapkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik
sehingga tidak hanya kesehatan fisik anak yang perlu dijaga tetapi juga
kesehatan mentalnya yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan
tentang apa itu perlindungan anak “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Perlindungan
anak menjadi suatu topik yang sering dibahas dan perlu diperhatikan karena
anak termasuk dalam kelompok yang rentan terhadap terjadinya suatu tindak
pidana yang berhadapan dengan hukum dan anak merupakan pribadi yang
independen.
Sebagai anak tentu banyak pengaruh yang didapatkan dari lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan sekitar maka dari itu kita
sebagai masyarakat harus memastikan anak mendapat pengaruh yang baik dari
sekitar terutama dalam lingkup keluarga karena keluarga merupakan tempat
anak pertama kali belajar. Pada Pasal 14 Undang-Undang Perlindungan Anak
disebutkan bahwa anak harus diasuh oleh orang tuanya sendiri dan dipisahkan
jikalau itu demi kepentingan terbaik untuk sang anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
Pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat deklarasi
yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang
salah satu pasalnya menyebutkan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan
sama dalam martabat dan hak-haknya demikian anak dijamin hak-haknya untuk
hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuannya dan harus dilindungi.
Selain itu terdapat juga Convention on The Rights of the Child (Konvensi Hak-
Hak Anak) yang telah diratifikasi oleh berbagai negara salah satunya Indonesia
yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1990 melalui Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 1990 yang kemudian dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Perangkat-perangkat tersebut telah merumuskan mengenai perlindungan
terhadap hak-hak anak dan juga kewajiban anak namun dalam kenyataannya
masih belum mendapatkan perlakuan nyata yang sangat bermanfaat untuk
kepentingan yang terbaik bagi kepentingan anak. Indonesia sebagai salah satu
negara yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak merupakan satu konsekuensi
untuk menerapkan perlindungan terhadap anak dan pemenuhan hak anak dengan
baik terutama perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak merupakan suatu elemen penting negara, maka terhadap Tindak
Pidana anak Konstitusi Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan pertimbangan:
a) Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
b) Bahwa untuk menjaga harkat dan martabat, anak berhak mendapatkan
perlindungan khusus,terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan;
c) Bahwa Indonesia sebagai Negara pihak dalam konvensi hak-hak anak
(Conventional on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan
hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
khusus hukum terhadap anak yang berhadapan hukum;
d) Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat
karena belum secara komperehensif memberikan perlindungan kepada anak
yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang
baru; e) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, dan huruf d, perlu membentuk undang-undang tentang sistem peradilan
anak.1
Menjauhkan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan
formal (diversi) adalah salah satu bentuk usaha pemerintah. Diversi sendiri
secara definisinya adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Batas usia minimum
pertanggungjawaban pidana anak oleh UU SPPA dinaikkan dari 8 tahun menjadi
12 tahun serta mewajibkan upaya penyelesaian perkara di luar peradilan pidana,
atau diversi. Program diversi sendiri berlandaskan pada proses keadilan
restoratif, yaitu proses rekonsiliasi korban dan pelaku serta upaya mencari jalan
keluar selain hukuman penjara. Selain itu, UU SPPA juga mengedepankan
gagasan bahwa alternatif terhadap penahanan harus disediakan untuk anak yang
berkonflik dengan hukum. Secara aturan UU SPPA menerangkan bahwa
pengupayaan diversi (Pengalihan Perkara) wajib dilakukan aparatur hukum.
Namun faktanya, sekitar separuh perkara anak masih diajukan ke pengadilan di
Indonesia. Hal ini memang mungkin terjadi apabila diversi ditolak keluarga
korban, atau karena dugaan tindak pidana diancam dengan pidana penjara lebih
dari tujuh tahun. Dalam sejumlah perkara, sebabnya adalah kurangnya
pengetahuan dari aparatur penegak hukum terhadap kewajiban ini.
Walaupun alternatif seperti rehabilitasi sosial mulai sering digunakan
dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dan sebagian hakim di tingkat pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi negeri telah menyepakati bahwa hukuman penjara
bagi anak harus menjadi “upaya terakhir” namun kenyataannya masih ada ribuan

1
Surbakti, F.M. & Zulyadi, R. (2019). Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pencurian dengan Kekerasan. Journal of Education, Humaniora, and Social Sciences (JEHSS), Volume 2
Nomor 1. 145.
anak di balik jeruji. Persoalan dari penanganan kasus seperti ini adalah akan
munculnya dampak pemenjaraan terhadap anak berjangka panjang. Hal ini tidak
hanya mengganggu perkembangan emosional dan kognitif di kemudian hari,
berada di lingkungan penjara yang terlalu penuh dengan jumlah petugas yang
minim, membuat anak rentan mengalami kekerasan.2
Dalam kasus ini MP (16 tahun) sesuai dengan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak termasuk masih dikategorikan sebagai anak dibawah
umur ditahan karena dugaan kasus narkoba ditempat penahanan biasa dan tidak
dipisah dari orang dewasa padahal menurut Pasal 3 huruf b Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak anak dalam proses peradilan pidana berhak
dipisahkan dari orang dewasa dan dalam Pasal 33 ayat (4) mengatakan bahwa
penahanan terhadap anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan Anak
Sementara (LPAS).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalahnya


adalah sebagai berikut :
1. Apakah dapat dibenarkan tindakan penahanan terhadap anak di Rutan
Mapolres ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.

1.3 ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Untuk mengetahui tentang apakah penahanan dan tindakan para polisi di


Rutan Mapolres tersebut dapat dibenarkan dimana mereka melakukan
penahanan terhadap MP ditempat penahanan biasa padahal dalam Pasal 33 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dikatakan bahwa penahanan terhadap anak dilaksanakan di Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan MP yang masih dibawah umur

2
Putry, Raihan & Bustamam, A. (2020). Pengarusutamaan Diversi Anak di Aceh: Antara Cita dan
Realitas. Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies. Volume 6 Nomor 1. 1-3.
sehingga masih membutuhkan orangtuanya tidak diizinkan untuk bertemu
jenazah ayahnya sebelum dikuburkan padahal dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa selama anak ditahan,
kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Akademis
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memenuhi salah satu
prasyarat lulus mata kuliah Metode Penelitian Hukum
2. Tujuan Praktis
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi anak dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan untuk mengetahui
apakah tindakan penahan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan dapat
dibenarkan atau tidak.

1.5 METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang


merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan
hukum, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan buku
literatur.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
konseptual digunakan untuk memahami konsep-konsep guna memperjelas
analisis yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif, sedangkan
pendekatan perundang-undangan adalah langkah pendekatan melalui peraturan
perundang-undangan yang sedang berlaku.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat terdiri dari : Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindugan
Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari : tulisan ilmiah
mengenai anak yang berhadapan dengan hukum, tulisan ilmiah yang
berhubungan dengan perlindungan anak, tulisan ilmiah yang berhubungan
dengan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap


yang sifatnya memberikan petunjuk atau penjelasan tambahan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, terdiri dari : Kamus Besar Bahasa Indonesia.

1.6 PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA

BAB I yaitu mengenai Pendahuluan. Dalam Bab I ini berisi tentang Latar
Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian, dan Pertanggungjawaban Sistematika.

BAB II yaitu mengenai Tinjauan Umum tentang Penahanan Anak Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Dalam Bab II ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian: Pertama, tentang
Pengertian Anak. Kedua, tentang Hak-Hak Anak Didepan Hukum, dan
ketiga tentang Penahanan Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.

BAB III yaitu mengenai Analisis Hukum tentang Penahanan Anak di Mapolres
Dalam Melakukan Tindak Pidana.
Dalam Bab III ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian: Pertama, Kronologi
Kasus dan kedua adalah tentang Analisis Kasus.
BAB IV yaitu mengenai Kesimpulan dan Saran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENAHANAN ANAK DITINJAU DARI


UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK

2.1 PENGERTIAN TENTANG ANAK

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara
etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun generasi kedua atau
keturunan pertama. Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
harus dijaga, dibina dengan baik dan juga dengan penuh kasih sayang, karena anak juga
memiliki harkat, martabat dan hak yang harus junjung tinggi dan dilindungi, supaya
dimasa mendatang anak tersebut dapat berguna dan bermanfaat bagi sesama dan bagi
bangsa.

Terdapat berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur


tentang anak di Indonesia. Pengertian anak menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yaitu “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak jugs memberikan pengertian tentang anak yang
berkonflik dengan hukum yaitu “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak


Asasi Manusia “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya.”

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana,
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat
disebutkan bahwa terdapat tiga kategori anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

1. Anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu adalah anak sebagai pelaku tindak
pidana.

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.

Pada dasarnya anak seharusnya diberikan bimbingan dan pembinaan bukannya


dihukum, sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat
dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon
generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental.
Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang
melanggar hukum.

Terdapat berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab kenakalan anak
contohnya adalah ketidakharmonisan keluarga atau anak yang kurang mendapat kasih
sayang dari orangtuanya, bisa juga karena lingkungan bermain ataupun lingkungan
sekolahnya yang dapat mempengaruhi perilaku seorang anak karena anak selalu
mempelajari hal dari sekitarnya. Selain itu faktor perkembangan teknologi juga dapat
menyebabkan penyimpangan perilaku anak dikarenakan penggunaan teknologi yang
kurang tepat dan kurangnya pengawasan orangtua, anak yang tanpa adanya pengawasan
dapat mengakses berbagai macam informasi yang seharusnya dalam usianya belum
pantas untuk memperolehnya.
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena
dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang di duga melakukan kejahatan termasuk
kategori anak atau bukan. Pengertian anak juga terdapat pada pasal 1 Convention on
The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun,
kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya.

2.2 HAK-HAK ANAK DIDEPAN HUKUM

Setiap anak memiliki hak asasi yang dicantumkan dalam Konstitusi Negara
Republik Indonesia 1945 sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD
NKRI Tahun 1945 yang berbunyi Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dengan hak tersebut maka negara akan menjaga dan melindungi hak bagi seorang anak
yang merupakan wujud dari perlindungan anak yang apabila ada dan diketahui terjadi
penghilangan hak tersebut, maka negara melalui alat negara penegak hukum akan
bertindak.3

Terdapat sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem peradilan anak berdasarkan
pasal 2 UU No. 11 tahun 2012, yaitu:

a. Perlindungan

b. Keadilan

c. Nondiskriminasi

d. Kepentingan terbaik bagi anak

e. Penghargaan terhadap pendapat anak

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

g. Pembinaan dan pembimbingan Anak

h. Proporsional
3
Faried, Femmy Silaswaty. (2017). Optimalisasi Perlindungan Anak Melalui Penetapan Hukuman Kebiri.
Jurnal Serambi Hukum. Volume 11 Nomor 01. 49-50.
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir

j. Penghindaran pembalasan

Dalam proses peradilan pidana anak, anak-anak ini tidak mengetahui hak dan
kewajibannya, karena itu perlu mendapat bantuan dan perlindungan terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara seimbang dan manusiawi (Unbanunaek
Mimi, et al, 1995: 47).4 Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan definisi perlindungan anak didalam Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serrta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Termasuk perlindungan khusus terhadap anak dalam keadaan tertentu juga


mendapatkan perlindungan khusus. Mengenai definisi perlindungan khusus itu sendiri
dalam Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berbunyi
“Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Menurut Made Sadhi Astuti ada beberapa hak anak yang perlu diperhatikan dan
diperjuangkan pelaksanaannya bersama-sama. Anak-anak mempunyai hak antara lain:
tidak menjadi korban dalam proses peradilan pidana; mempunyai kewajiban sebagai hak
untuk ikut serta menegakkan keadilan dalam suatu proses peradilan pidana sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing untuk dibina agar mampu melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara, anggota masyarakat yang baik oleh yang berwajib
dalam arti luas; untuk melaksanakan kewajiban membina, mendampingi rekan-rekan

4
Zuraidah dan Is, Sadi Muhamad. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak yang Menjadi
Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1. 153.
sebayanya untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka secara rasional positif,
bertanggungjawab dan bermanfaat dalam proses tersebut (Abintoro Prakoso, 2013: 21).5

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)

a.    diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan


umurnya;

b.    dipisahkan dari orang dewasa;

c.    memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d.    melakukan kegiatan rekreasional;

e.    bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f.     tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g.    tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;

h.    memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i.      tidak dipublikasikan identitasnya;

j.     memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

k.    memperoleh advokasi sosial;

l.      memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n.    memperoleh pendidikan;

o.    memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p.    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5
Zuraidah dan Is, Sadi Muhamad. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak yang Menjadi
Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1. 153.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:

a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;

b.    Asimilasi;

c.    Cuti mengunjungi keluarga;

d.    Pembebasan bersyarat;

e.    Cuti menjelang bebas;

f.     Cuti bersyarat;

g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA dikatakan bahwa Anak berhak mendapatkan bantuan
hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan. Anak saksi/Anak Korban wajib
didampingi oleh orang tua/wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial
dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi dalam pasal 23 ayat (3) mengatakan
bahwa Jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang
tua/walinya tidak wajib mendampingi.

2.3 PENAHANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Praktik peradilan anak di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA). Diundangkannya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai bentuk
bukti perhatian pemerintah menghadapai permasalahan hukum yang dihadapi anak.
Perhatian akan hak-hak anak dalam peradilan di Indonesia dijunjung tinggi, karena anak
menurut undang-undang ini adalah bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahwa
untuk menjaga harkat dan martabatnya anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,
terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Ketentuan hukum mengenai
anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana di dalam undang-
undang ini telah diatur pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman
pidananya. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini
dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak
dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. peradilan pidana yang terdiri
atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga penempatan anak sementara yang
menjamin berjalannya proses peradilan pidana.6

UU SPPA menjamin hak-hak anak para penegak hukum yang terdiri dari
Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak harus diberikan jaminan
perlindungan yang khusus terhadap anak yang akan diperiksa. Pasal 32 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5) UU SPPA mengatur mengenai penahanan anak:

(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh
jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri,
tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/ atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.

(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.

(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap
dipenuhi.

(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.

Dasar diperkenankan suatu penahanan anak ialah adanya dugaan keras


berdasarkan bukti, yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana. Penyidik yang
memeriksa kasus anak harus melakukannya dengan menggunakan cara kekeluargaan

6
Christyanto, Tony Kurnia. 2014. Pelaksanaan Penahanan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Persetubuhan. Jurnal Arena Hukum. 2-3
agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak merasa tertekan saat dimintai informasi
dari anak tersebut.

Penangkapan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua


puluh empat) jam dan anak wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak jika
belum ada maka anak dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
(LPKS). Setelah dilakukan penangkapan, dapat dilakukan penahanan. Dapat dilakukan
penahanan berarti penahanan anak tidak wajib dilakukan, penahanan pada dasarnya
dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan dan penahanan tersebut harus
memperlihatkan kepentingan anak. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari
tempat tahanan orang dewasa. Penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU SPPA
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.
BAB III ANALISIS HUKUM TENTANG PENAHANAN ANAK DI MAPOLRES
DALAM MELAKUKAN TINDAK PIDANA

3.1 KRONOLOGI KASUS

Kasus ini berawal saat MP (16 tahun) ditahan di Rutan Mapolres atas kasus
penyalahgunaan narkoba. MP yang masih termasuk dalam kategori anak dibawah umur
ditahan pada tempat penahanan biasa dan bukan tempat penahanan bagi anak yang
artinya tidak dipisahkan dari orang dewasa.

Pada Rabu, tanggal 6 Desember 2017, ayah MP meninggal dunia namun polisi
tidak mengizinkan MP sebagai tahanan Mapolres keluar dari rutan untuk melihat
jenazah ayahnya untuk terakhir kali dengan alasan keamanan dan banyak hal yang
menjadi bahan pertimbangan. Pihak Polres menilai kasus narkotika memiliki atensi
yang besar dan cukup beresiko untuk mengeluarkan MP dari rutan. Polres mengatakan
hanya berani mengeluarkan tahanan hanya sebatas area dalam Mapolres. Kepolisian pun
hanya setuju untuk menerima dan memberikan izin kepada keluarga MP untuk
membawa jenazah almarhum ayahnya untuk dilihat MP di area Polres.

Namun pada tanggal 7 Desember 2017, keluarga MP membantah pernyataan


Wakapolres yang mengatakan, pihak Polres telah berinisiatif mempertemukan tahanan
dengan jenazah ayahnya di lingkungan Mapolres karena itu merupakan inisiatif dari
keluarga sendiri untuk mempertumakan anak yang ditahan dengan jenazah ayahnya.
Keluarga juga merasa alasan pihak Polres sangat tidak masuk akal jika
mengkhawatirkan MP yang merupakan tahanan dibawah umur itu akan kabur padahal
dari pihak keluarga siap menjamin, bahkan ibu kandung MP siap berada didalam sel
untuk menggantikan MP sementara.

Selain itu, pihak keluarga juga hanya meminta anak yang ditahan tersebut untuk
dikeluarkan dalam waktu setengah jam untuk melihat jenazah ayahnya. Kepolisian
dinilai terlalu kaku dalam hal tersebut karena tidak memberikan izin pada MP padahal
beberapa anggota keluarga MP siap menjamin MP tidak akan melarikan diri dan juga
keselamatannya.

3.2 ANALISIS KASUS

Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian tentang anak yang berkonflik
dengan hukum yaitu “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Pengertian anak juga terdapat pada pasal 1 Convention on The Rights of The
Child (Konvensi Hak-Hak Anak), anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18
tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya.

Maka dapat kita ketahui bahwa MP (16 tahun) merupakan pelaku pidana yang
merupakan anak dibawah umur, sehingga terhadap kasus ini penanganan perkara
tentunya harus sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana
dalam UU SPPA diberlakukan suatu asas dalam Pasal 2 huruf I yaitu perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, maka sedapat mungkin
penyelesaian kasusnya harus dijauhkan dari perampasan kemerdekaan dalam hal ini
penahanan. Penahanan seharusnya dilakukan sebagai bentuk upaya terakhir dalam
penanganan kasus pidananya.

Pada Pasal 32 UU SPPA diatur mengenai penahanan yaitu:

(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh
jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri,
tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.

(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan


b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih.

(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.

(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap
dipenuhi.

(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.

Jika dilihat dari pasal diatas maka dapat dilakukan penahanan terhadap MP
dengan pertimbangan bahwa MP telah berusia lewat dari 14 (empat belas) tahun yakni
16 (enam belas) tahun dan pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika mayoritas ancaman pidana adalah diatas 7 tahun, kecuali pasal 127
(Pengguna Narkotika). Ini juga menjadi dilematis karena ada pula masalah dalam
penerapan pasal pidana dalam UU Narkotika karena pengguna kadang tidak hanya
dituntut oleh pasal 127 (pasal pengguna untuk direhabilitasi) namun seringnya dengan
pasal-pasal kepemilikan yakni Pasal 111/112 UU Narkotika7.

Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak
dengan penetapan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa
tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti
penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik
diharapkan betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak.
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada
kekhawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti,
agar tidak mengulangi tindak pidana.8

Namun yang menjadi masalah adalah pada Pasal 33 ayat (4) UU SPPA
mengatakan bahwa Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS (Lembaga
Penempatan Anak Sementara) kemudian pada ayat (5) dikatakan Dalam hal tidak
7
https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-
indonesia/
8
Imam Hidayat dan Rr. Rina Antasari. (2019). Proses Penangkapan dan Penahanan Anak di Bawah Umur
yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan dalam Perspektif Fiqh Jinayah dan Hukum Pidana. Jurnal
Intelektualita : Keislaman, Sosial, dan Sains. Volume 8 No. 2. 119.
terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat namun penahanan MP
dilakukan ditempat penahanan biasa dan bukannya LPAS maupun LPKS. Penahanan
seperti dalam kasus ini tidak hanya mengganggu perkembangan emosional dan kognitif
di kemudian hari, berada di lingkungan penjara yang terlalu penuh dengan jumlah
petugas yang minim membuat anak rentan mengalami kekerasan.

Menghadapi dan menangani proses peradilan anak sebagai pelaku tindak pidana,
maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya
sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian
orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses
penanganannya sehingga hal ini akan akan berpijak pada konsep kesejahteraan anak dan
kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan
pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak
dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum9

Berdasarkan penelusuran ICJR, di Sulawesi Selatan,  Kementerian Hukum dan


HAM  per Agustus 2015 lalu telah meresmikan Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS) di Kabupaten Maros, namun begitu jauhnya  jarak antara Kabupaten Maros
dengan Kabupaten Palopo (sekitar 300 km) membuat kebijakan penempatan anak  sulit
terlaksana10.

Dan sekalipun syarat-syarat dilakukannya penahanan telah dipenuhi tetapi hak-


hak MP selama masa penahanan tersebut tetap harus dipenuhi diantaranya adalah yang
tercantum dalam Pasal 32 ayat (4) UU SPPA bahwa Selama Anak ditahan, kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi dalam kasus ini kebutuhan MP
untuk melihat jenazah ayahnya yang termasuk bagian dalam kebutuhan rohani MP.

Dalam Pasal 3 huruf j secara jelas disebutkan bahwa Setiap anak dalam proses
peradilan pidana berhak memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercaya oleh anak sehingga dapat dikatakan keputusan yang diambil oleh polisi Polres

9
Bambang Purnomo, Gunarto dan Amin Purnawan. (2018). Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak
Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kaasus Di Polres Tegal). Jurnal Hukum Khaira
Ummah. Volume 13 No. 1. 48-49
10
https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-
indonesia/
tersebut telah melanggar pemenuhan hak MP selama masa penahanan sesuai dengan
UU SPPA padahal diketahui bahwa anak dibawah umur masih sangat membutuhkan
pendampingan dari orang tuanya.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dimuat dalam bab-bab


sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

 Bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun.
 Bahwa penahanan dapat dilakukan apabila anak telah berumur 14 (empat
belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
 Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
 Dalam hal tidak terdapat LPAS penahanan dapat dilakukan di LPKS

4.2 SARAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dimuat dalam bab-bab


sebelumnya maka diberikan saran sebagai berikut:

 Hendaknya Lembaga Penahanan Anak Sementara diperbanyak sehingga


penahanan anak dapat dipisahkan.
 Hendaknya hak-hak anak selama masa penahanan diperhatikan.
 Hendaknya penahanan anak ditempatkan sesuai dengan yang diatur pada
peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan


Pidana Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

JURNAL

Bambang Purnomo, Gunarto dan Amin Purnawan. (2018). Penegakan Hukum Tindak
Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi
Kaasus Di Polres Tegal). Jurnal Hukum Khaira Ummah. Volume 13 No. 1. 48-
49.

Christyanto, Tony Kurnia. 2014. Pelaksanaan Penahanan Terhadap Anak Sebagai


Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan. Jurnal Arena Hukum. 2-3.

Faried, Femmy Silaswaty. (2017). Optimalisasi Perlindungan Anak Melalui Penetapan


Hukuman Kebiri. Jurnal Serambi Hukum. Volume 11 Nomor 01. 49-50.

Hidayat, Imam dan Rr. Rina Antasari. (2019). Proses Penangkapan dan Penahanan
Anak di Bawah Umur yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan dalam
Perspektif Fiqh Jinayah dan Hukum Pidana. Jurnal Intelektualita : Keislaman,
Sosial, dan Sains. Volume 8 No. 2. 119.

Putry, Raihan dan A. Bustamam. (2020). Pengarusutamaan Diversi Anak di Aceh:


Antara Cita dan Realitas. Gender Equality: Internasional Journal of Child and
Gender Studies. Volume 6 Nomor 1. 1-3.

Surbakti, F.M. dan R. Zulyadi. (2019). Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan. Journal of Education,
Humaniora, and Social Sciences (JEHSS), Volume 2 Nomor 1. 145.

Zuraidah dan Sadi Muhamad Is. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi
Anak yang Menjadi Korban Kekerasan. Jurnal Nurani. Volume 18 Nomor 1.
153.

INTERNET

ICJR. 2017. Kasus ”MP” di Palopo dan Tantangan Implementasi UU Sistem Peradilan
Pidana Anak Indonesia. https://icjr.or.id/kasus-mp-di-palopo-dan-tantangan-
implementasi-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-indonesia/ (diakses pada 6
Desember 2020).

Anda mungkin juga menyukai