Anda di halaman 1dari 25

KEBIJAKAN, DASAR HUKUM, STRATEGI PENCEGAHAN DAN

PENANGANAN PELANGGARAN HAM PADA ANAK, DAN


TUGAS-TUGAS LEMBAGA NEGARA DALAM MENANGANI
KASUS-KASUS PERLINDUNGAN ANAK

Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan, Hukum, dan
Perlindungan Anak

Dosen Pengampu:

Dr. (Phil) Sri Indah Pujiastuti, M.Pd

Disusun oleh:

Ilham Sakri Alfaregi (1112822022)

Dian Putri Redinanti (1112822027)

Astita Luki Mei Aprida (1112822028)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah


menganugerahkan rahmat serta Hidayah-Nya, yang karena-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah dari mata kuliah Analisis Kebijakan, Hukum, dan
Perlindungan Anak dengan judul “Kebijakan, Dasar Hukum, Strategi
Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran HAM pada Anak, dan Tugas-Tugas
Lembaga Negara dalam Menangani Kasus-Kasus Perlindungan Anak”. Kami
juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya makalah ini mampu berguna
serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan para
pembaca.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jakarta, September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
BAB I...........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
1. Latar Belakang.............................................................................................................4
2. Rumusan Masalah.......................................................................................................4
3. Tujuan Penulisan.........................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................5
1. Kebijakan hukum (teori-teori kebijakan hukum: pengertian, tujuan, asas,
prinsip-prinsip, manfaat)...................................................................................................5
2. Dasar Hukum (UU perlindungan anak, hukum pidana, hukum perdata, dan
hukum internasional tentang perlindungan anak)......................................................5
3. Strategi pencegahan dan penanganan pelanggaran HAM pada anak..........12
4. Tugas-tugas lembaga negara dalam menangani kasus-kasus perlindungan
anak (MA, Kejagung, Kepolisian, Kemenkumham, Kemensos, kemenagPP,
KOMNAS Anak dan KPAI)...............................................................................................12
BAB III......................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................13
A. KESIMPULAN..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kebijakan Hukum (Teori-Teori Kebijakan Hukum: Pengertian,
Tujuan, Asas, Prinsip-Prinsip, Manfaat)

2. Dasar Hukum (UU Perlindungan Anak, Hukum Pidana, Hukum


Perdata, dan Hukum Internasional Tentang Perlindungan Anak
2.1 Undang-Undang Perlindungan Anak
Undang-undang perlindungan anak diatur dalam UU No 23
Tahun 2002. Mengatur tentang:
- BAB I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum
- BAB II Pasal 2 & 3 tentang Asas dan Tujuan
- BAB III Pasal 4-19 tentang Hak dan Kewajiban Anak
- BAB IV tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab. Pasal 20
Bagian Kesatu (umum), Bagian Kedua Pasal 21-24 tentang
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah, Bagian Ketiga
Pasal 25 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat,
Bagian Keempat Pasal 26 tentang Kewajiban dan Tanggung
Jawab Keluarga dan Orang Tua.
- BAB V tentang Kedudukan anak. Bagian kesatu tentang Identitas
Anak diatur dalam Pasal 27-28, Bagian Kedua Pasal 29 tentang
Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Campuran.
- BAB VI Pasal 30-32 tentang Kuasa Asuh
- BAB VII Pasal 33-36 tentang Perwalian
- BAB VIII tentang Pengasuhan dan Pengankatan Anak. Bagian
kesatu Pasal 37-38 mengatur tentang pengasuhan anak, Bagian
kedua pasal 39-41 tentang pengangkatan anak
- BAB VIX tentang Penyelenggaraan Perlindungan. Bagian kesatu
pasal 42-43 tentang agama, Bagian kedua pasal 44-47 tentang
kesehatan, Bagian ketiga pasal 48-54 tentang Pendidikan, Bagian
keempat pasal 55-58 tentang sosial, Bagian kelima pasal 59-71
tentang perlindungan khusus
- BAB X Pasal 72-73 tentang Peran Masyarakat.
- BAB XI Pasal 74-76 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia
- BAB XII Pasal 77-90 tentang Ketentuan Pidana
- BAB XIII Pasal 91 tentang Ketentuan Peralihan
- BAB XIV Pasal 92-93 tentang Ketentuan Penutup.

5
Selanjutnya, diubah menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2.2 Hukum Pidana


Eksistensi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, merupakan komitmen sekaligus perwujudan
bangsa Indonesia untuk memberikan perlindungan hokum yang
terbaik begi anak. Selanjutnya, Undang_Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Anak yang merubah undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Harun & Wati, 2021).
Perubahan tersebut di atas, membuktikan adanya pembaharuan
dalam hokum pidana anak dalam bentuk reevaluasi, reorientasi dan
reformulasi terhadap substansi yang sesuai dalam memberikan
perlindungan terhadap anak, sesuai amanat undang-undang.
Hal ini termuat dengan tegas dalam pertimbangannnya yang
menyebutkan bahwa: “Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi
manusia”;
Selanjutnya, bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kemudian, “anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri,
dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk
perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia”
Pertimbangan ini menjadi langkah awal menuju pada ius
constituendum yaitu hokum yang dicita-citakan antara lain pertama,
perlindungan yang menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1
angka/butir 2 UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak).
Kedua, mendapatkan perlindungan khusus yaitu suatu bentuk
perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi
tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman
yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Ketentuan ini merupakan substansi yang ditambahkan antara Pasal 1
angka 15 dan 16 menjadi angka/butir 15a.
Perlindungan khusus sebagaimana dalam Pasal 1 angka/butir 15a
diberikan kepada :

6
a. Anak dalam situasi darurat ;
b. Anak yang berhadapan dengan hokum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak korban jaringan terorisme;
f. Anak penyandang disabilitas;
g. Anak korban perlakuan sosial menyimpang;
h. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait
dengan kondisi orang tuanya;
Pelaksanaan perlindungan terhadap anak tersebut harus
didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan atas hak anak. Adapun fokus kajian ini
adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan
hokum yang biasa disebut dengan ABH. Sedangkan, yang dimaksud
dengan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana,
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Harun & Wati, 2021).
Indonesia sebagai negara yang telah ikut meratifikasi Konvensi
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak
yang berhadapan dengan hokum. Perlakuam khusus tersebut
terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, dilakukan dengan cara manusiawi dan
disesuaikan dengan kebutuhannya antara lain pemberian pendidikan,
kesehatan, advokasi sosial, bantuan hokum, keadilan yang obyektif
tidak memihak dan dilakukan dalam sidang yang tertutup,
penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat (Harun
& Wati, 2021).
2.2 Hukum Perdata
Hukum perdata, diberi arti: mengatur kepentingan/perlindungan
antara orang yang satu dengan orang yang lain. hukum perdata
adalah keseluruhan kaidah? kaidah hukum yang mengatur hubungan
antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain
dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan Masyarakat
(Djaja S. Meliala, 2007). Anak menurut Kitab Udang –Undang Hukum
perdata Di jelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan
belum meniakah. Seandainya seorang anak telah menikah sebalum
umur 21 tahun kemudian bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya

7
sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai
orang yang telah dewasa bukan anak-anak.

2.3 Hukum Internasional Tentang perlindungan Anak


Hukum internasional telah berkembang pesat selama beberapa
periode terakhir, hal ini dapat dilihat sejak terbentuknya PBB, ketika
aturan dan norma yang mengatur kegiatan dilakukan di luar hukum
bats-batas negara dikembangkan, lalu muncullah berbagai perjanjian
Internasional-bilateral, yang bersifat regional atau multilateral yang
dimana telah disepakati dan menjadi kebiasaan internasional (Ni
Ketut Suriati et al., 2022).
Pada saat perayaan Tahun Anak Internasional, Polandia
menyarankan agar
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyusun perjanjian yang akan
memberlakukan prinsip- prinsip yang berkaitan dengan anak-anak
yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau
Declaration Of Human Rights. Melalui kewenangan dari Majelis
Umum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
PBB mulai menyusun Konvensi Hak Anak. Hal ini sebagai bagaian
dari peringatan 30 Tahun Deklarasi Universal, berbagai kelompok
mulai melobi untuk versi final dari konvensi tersebut dimana konvensi
tersebut akan dipilih pada tahun 19899. Lalu dalam kurun waktu tiga
(3) tahun, Komisi Hak Asasi Manusia bagian dari Dewan Ekonomi
dan Sosial Persatuan Nations, meluncurkan kelompok kerja yang
dimana misinya adalah untuk memperlajari gak-hak anak dalam
hukum internasional. Badan-badan PBB lainya juga secara aktif
mempelajari hak-hak anak termasuk United Nations Children’s
Emergency Fund (UNICEF) dan juga Organisasi Kesehatan Dunia
lainya. Setelah melalui proses yang panjang, upaya perlindungan hak
anak akhirnya membuahkan hasil nyata, hal ini dapat dilihat dari di
deklarasikanya Konvensi Hak Anak pada tanggal 20 November 1989
secara bulat oleh Majelis Umum PBB (Resolusi PBB No. 44/25
tanggal 5 Desember 1989). Mulai sejak di deklarasikannya hal
tersebut, anak-anak diseluruh dunia memperoleh perhatian khusus
dalam standar Internasional. Lalu, pada dasarnya, tujuan dibentuknya
sistem peradilan pidana anak dalam The Beijing Rules, tercantum
dalam Rule 5.1 yang menyatakan Sistem peradilan anak harus
menekankan kesejahteraan anak dan harus menjamin bahwa setiap
reaksi terhadap pelaku anak harus selalu proporsional dengan
keadaan pelaku dan pelanggarannya (Ni Ketut Suriati et al., 2022).
Convention on the Right of The Child atau Kovensi Hak Anak
merupakan sebuah perjanjian internasional yang menjabarkan
mengenai hal-hal yang menjadi dasar bagi penjaminan mengenai
hak-hak anak diseluruh dunia. Berdasarkan Hukum Internasional,
konvensi diklasifikasikan sebagai sumber hukum internasional, selain

8
sebagai kebiasaan internasional (Internasional Custom), prinsip-
prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab atau
Asas-Asas Hukum Yang Diakui Oleh Bangsa-bangsa Beradab dan
keputusan atau resolusi organisasi internasional (vide Pasal 38 Ayat
1 Statuta Mahkamah Agung Internasional). PBB yang khususnya
mengatur mengenai persoalan anak di seluruh dunia, KHA adalah
merupakan konvensi PBB dimana konvensi ini menjadi konpensi
paling komplit dalam menjabarkan serta memberikan pengakuan
mengenai instrumen-instrumen HAM dilihat dari awal mula
perkembangan organisasi Perserikatan tersebut (Ikhsan, 2002). Yang
dapat dilihat dalam Konvensi Hak Anak mengenai hak anak terdapat
pada Asas 1, Asas 2, serta Asas 9 yang menyatakan bahwa
a. Asas 1 ; “children should enjoy all the rights set forth in this
declaration. Every child, without any exception, shall receive these
rights, without distinction or discrimination of race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or social
origin, property, birth or other social status. , both himself and his
family”. Maksud dari asas yakni setiap negara harus menjamin
semua hak- hak yang dimiliki oleh setiap anak tanpa harus
melihat dari suku mana anak itu berasal, artinya semua anak
memperoleh hak yang sama dengan tidak membedakan RAS
mereka.
b. Asas 2 ; “Children must enjoy special protection and must be
given opportunities and facilities, by law or other regulations, to
enable them to grow physically, spiritually, mentally, mentally and
socially in a healthy and normal condition in conditions of freedom
and dignity. In establishing laws for this purpose, the best concern
is when the child should be the first consideration.” Asas ini
menjelaskan bahwa negara harus mampu memberikan
kesempatan bagi semua anak agar dapat menikmati semua
fasilitas yang dimana hal tersebut dapat membantu para anak-
anak untuk dapat berkembang dengan sehat secara fisik maupun
mental sesuai dengan apa yang telah kita harapkan bersama.
c. Asas 9, “Children must be protected from all forms of neglect,
cruelty and exploitation. Children should not be the target of
trafficking in all its forms. Maksud dari asas ini semua orang harus
mampu meberikan perlindungan kepada anak- anak dari semua
aspek kezaliman. Dan anak-anak juga tidak boleh dijual10 (Child,
1989).
Kovensi Hak Anak juga membenani kewajiban-kewajiban tertentu
bagi negara di seluruh dunia. Dan hal ini bisa dilihal didalam
Konvensi Hak Anak pada Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi “The
participating countries recognize that every child has an inherent right
to life” yang dimana hal ini memiliki makna bahwa anak itu “melekat”

9
atas kehidupan yang dimana hak tersebut bukanlah pemberian
negara melainkan hak itu adalah merupakan bagian dari anak itu
sendiri. Selain itu disebutkan juga pada Pasal 27 Ayat (1) yang
berbunyi “ negara-negara peserta mengakui setiap anak atas taraf
hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental,spiritual, moral
dan sosial anak”. Selanjutnya, mengenai Pasal 28 Ayat 1
menyatakan bahwa negara-negara peserta mengakui hak anak atas
pendidikan dan untuk mewujudkan hak ini maka secara bertahap dan
berdasarkan kesempatan yang sama, maka dengan hal ini negara
seharusnya dapat menjamin setiap hak dasar anak seperti hak untuk
pendidikan dasar, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Selain itu untuk dapat menjamin setiap hak anak tersebut, negara
juga bisa memberikan atau menyediakan agar anak- anak dapat
mengambil langkah-langkah yang baik. Negara juga bisa melakukan
hal seperti memberikan bantuan pendidikan bagi anak yang kurang
mampu dalam meraih pendidikan. Anak-anak juga harusnya terbebas
dari pekerjaan usia dini yang tidak seharusnya mereka dapatkan. Hal
tersebut dapat merenggut hak mereka untuk berpendidikan. Negara
juga harus menjamin kalau anak-anak harus bebas dari perdagangan
anak, karena sekarang dalam zaman ini banyak oknum-oknum yang
menggunakan anak sebagai tempat untuk mencari penghasilan
dengan cara dijual. Perlindungan mengenai hak anak juga terdapat
didalam Konvensi Internasional Labour Organization (ILO). Dimana
Internasional Labour Organization juga menghsilkan konvensi yang
mengatur mengenai perlindungan pekerja anak. Dimana hal ini
berkaitan dengan hal diperbolehkanya mempekerjakan anak atau
tidak. Didalam konvensi Internasional Labour Organization Nomor
138 Tahun 1973 menganai Usia Minumum untuk diperbolehkan
Bekerja. Dalam konvensi ini negara-negara didorong untuk
menetapkan kebijakan nasional untuk menghapus praktek
mempekerjakan anak dan meningkatkan usia bekerja minum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Konvensi ILO tersebut maka
negara diseluruh dunia harus meningkatkan usia bekerja minumum.
Seperti contohnya negara Indonesia, berdasarkan Konvensi ILO
tersebut Indonesia telah mendekarasikan usia minumum bekerja
adalam 15 Tahun, hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973
(Ni Ketut Suriati et al., 2022).
Permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, baik dalam
posisi sebagai objek (viktim) maupun anak sebagai subjek (pelaku)
tindak pidana, merupakan permasalahan yang dihadapi semua
negara. Atas dasar hal tersebut, Masyarakat internasional melalui
lembaga-lembaga yang berada di bawah United Nation telah

10
mengeluarkan berbagai instrument perlindungan terhadap anak yang
harus dijadikan acuan oleh seluruh negara (Pangemanan, 2015).

a. Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak
Anak terdapat dokumen inovatif, konsesus hukum dan politik
internasional pendapat mengenai hak-hak yang anak-anak harus
harapkan untuk diakui oleh pemerintah nasional mereka. Sampai
Konvensi dibuka dan ditandatangani, para pembela hak-hak anak
telah menyalurkan tuntutan untuk anak-anak di bawah umur melalui
konvensi-konvensi lain dan perjanjian seperti Kovenan Internasional
mengenai Sipil dan Politik Hak. Sekarang ini banyak perjanjian
internasional yang berfokus pada hak-hak asasi manusia di hukum
internasional, dan implikasinya yang mecakup perlindungan hak anak
di bawah hukum internasional. Dalam piagam PBB salah satu
tujuannya untuk menegaskan kembali kepercayaan pada manusia
fundamental hak, dalam martabat dan nilai pribadi manusia dalam
persamaan hak antara anak laki- laki dan perempuan baik dalam
bangsa-bangsa besar maupun kecil. Selain itu pada Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia juga mencerminkan bahwa konsensus
internasional mengenai hak-hak dasar manusia dan yang
menandakan dimulainya perjuangan untuk menciptakan norma-
norma internasional yang dapat ditegakkan (Ni Ketut Suriati et al.,
2022).
Organisasi PBB yang mensponsori terciptanya konvensi yang
terkait dengan hak-hak asasi anak adalah Majelis Umum (MU).
Melaui forum MU, masyarakat internasional berhasil membentuk
KHA. Berdasarkan konvensi ini yang dimaksud dengan anak adalah
setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut
undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih
awal (Bahter, 2020).
b. Unicef
Pengaturan Hak-Hak Anak dalam Konvensi Hak Anak
(Convention of the Right of the Child), disahkan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan mulai berlaku
pada 2 September 1990. Konvensi Hak Anak ini merupakan
instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma
hukum mengenai kedudukan anak, dan merupakan sebuah
perjanjian internasional hak asasi manusia (Bahter, 2020).
Konvensi Hak Anak dianggap sebagai perjanjian hak asasi
manusia yang paling maju (progresif), terperinci yang pernah
disepakati oleh negara-negara peserta. Dalam substansi atau
materi Konvensi Hak Anak dideskripsikan secara rinci dan
lengkap apa yang menjadi hak-hak anak. Negara anggota
mempunyai kewajiban membuat laporan (country report) kepada

11
UNICEF yang dilaksanakan setelah 2 tahun negara yang
bersangkutan meratifikasi Konvensi Hak Anak, laporan rutin
setelah hal itu dalam periode 5 tahun sekali (Bahter, 2020).
Peran UNICEF untuk memberi perlindungan terhadap hak-
hak asasi anak, termasuk hak kelangsungan hidup, hak
keamanan, hak pengembangan diri, dan hak berpartisipasi dan
menyatakan pendapat. Keterlibatan anak-anak dalam konflik
bersenjata merupakan pelanggaran hak asasi anak. Sebagai
organisasi internasional, UNICEF memiliki tanggung jawab besar
tidak hanya memonitor permasalahan tentara anak tetapi juga
untuk menyelesaikan kemudian mencegah kembali perekrutan
tentara anak di berbagai negara. Upaya UNICEF dalam masalah
tentara anak menentukan prospek kehidupan yang bersifat
humanis dan manusiawi bagi anak di bawah umur (Bahter, 2020).

3 Strategi Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran HAM pada Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Biasa disebut


UU Perlindungan Anak). UU ini mendefinisikan anak sebagai individu yang berusia di
bawah 18 tahun dan mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan
anak, termasuk hak-hak anak, pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak,
pendidikan anak, peran keluarga, dan berbagai aspek lainnya yang bersifat
komprehensif dalam melindungi kepentingan anak-anak.

1. Bentuk kekerasan Pada Anak

Jika diklasifikasikan, terdapat empat macam bentuk kekerasan terhadap anak. Keempat
bentuk tersebut adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasanseksual, dan
kekerasan sosial atau penelantaran. Secara sekilas, penjelasan keempat bentuk tersebut
sebagai berikut.

a. Kekerasan Fisik. Pengertian dari kekerasan fisik adalah apabila anak disiksa
secara fisik dan terdapat cedera pada badan akibat dari kekerasan tersebut.
Banyak bentuk kekerasan fisik terhadap anak ini, contohnya adalah penyiksaan,
pemukulan, ditampar, ditendang, diinjak, disetrika, dengan atau tanpa

12
menggunakan benda tertentu yang menimbulkan luka fisik atau kematian pada
anak.
b. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah adanya perasaan tidak aman dan
nyaman yang dialami oleh anak. Kekerasan psikis ini dapat berbentuk dihina,
dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diinginkan dan
sebagainya. Kekerasan psikis ini dapat juga berupa penurunan harga diri serta
martabat, berkata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di
depan orang lain, melontarkan ancaman dengan kata kasar.
c. Kekerasan Seksual Keterlibatan anak dalam aktifitas seksual di mana ia tidak
sepenuhnya dipahami, tidak disetujui, atau secara perkembangan belum
waktunya dimengerti oleh anak. Bentuk kekerasan seksual ini meliputi disiksa
atau diperlakukan secara seksual dan juga terlibat bagian atau melihat aktivitas
yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu
yang bertujuan mengekploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu
seksnya kepada orang lain.
d. Kekerasan Sosial (Penelantaran dan Eskploitasi) Kekerasan sosial pada anak ini
ada dua macam, yaitu penelantaran dan eksploitasi pada anak. Penelantaran
adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang
layak terhadap proses tumbuh kembang anak, seperti dikucilkan, diasingkan dari
keluarga, tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Sedangkan eksploitasi adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-
wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat, seperti
memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau
politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan,
dipaksa untuk bekerja dipabrik yang membahayakan.
2. Ruang Lingkup Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak

Pada dasarnya, kekerasan terhadap anak ini dapat terjadi di mana saja. Hampir tidak
ada tempat yang tidak pernah tidak terjadi tempat terjadinya tindak kekerasan
terhadap anak. Tempat terjadinya kekerasan terhadap anak secara garis besar dapat
terjadi di beberapa tempat sebagai berikut.

13
a. Rumah Tangga, Rumah tangga merupakan lingkup dimana anak mengalami
tindakan kekerasan dalam lingkup keluarga dan kekerasan tersebut dilakukan
oleh anggota keluarganya sendiri.
b. Lingkungan Pemukiman, Anak juga sering mengalami tindak kekerasan
dilingkungan tempat tinggalnya oleh orang lain dengan bentuk tindak kekerasan
seperti diskriminasi, pencabulan, pemerasan, ataupun penculikan.
c. Lingkungan Sekolah atau Lembaga Pendidikan, Tanpa disadari, dilingkungan
sekolah atau lembaga pendidikan baik itu formil atau nom formil juga sering
terjadi tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum pendidik
di lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan itu sendiri. Tindakan kekerasan
tersebut dianggap sebagai salah satu cara untuk membentuk sikap dan perilaku
agar anak lebih menurut.
d. Lingkungan Pelayanan Kesehatan, Karena anak belum bisa mengungkapkan
apa yang dirasakannya, seringkali anak pasrah akan menerima berbagai
perlakuan yang diterima yang disebabkan perlakuan diskriminasi dilingkungan
pelayanan kesehatan, seperti perlakuan malpraktik.
e. Sarana atau Fasilitas Umum, Fasilitas atau sarana umum seperti terminal,
bandara, pelabuhan, tempat rekreasi, pasar, mall, atau tempat keramaian lainnya
juga kerap jadi tempat terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Tindak
kekerasan yang sering terjadi adalah penculikan, pelecehan, maupun tindak
kekerasan fisik lainnya.
f. Daerah Konflik, Sering terjadi keterlibatan anak dalam tindak kekerasan di
daerah yang sedang berkonflik, baik itu konflik senjata ataupun konflik sosial.
g. Daerah Bencana, Seringkali kebutuhan anak disamakan dengan kebutuhan orang
dewasa ketika terjadi bencana, padah tidak seharusnya demikian, kebutuhan
anak dan orang dewasa jelas berbeda. Dan hanya sedikit pihak yang
mempertimbangkan kebutuhan psikis anak abag segera pulih setelah
adanyabencana. Ini merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dihadapi anak.
Didaerah bencana juga kerap terjadi adalah perdagangan anak yang dilakukan
oleh orang yang mengaku akan mengangkat anak korban bencana, tetepi
kenyataannya adalah anak tersebut diperdagangkan ke luar daerah.

14
h. Kegiatan Ekonomi, Seringkali anak mengalami tindak kekerasan dikarenakan
dijadikan alat untuk pemenuhan ekonomi keuarga oleh pelaku. Anak disuruh
untuk bekerja atau dipekerjakan dalam berbagai pekerjaan, termasuk pekerjaan
yang buruk, misalnya dipekerjakan dalam pertambangan, dijermal,
diperkebunan, dipabrik-pabrik yang mengandung bahan kimia berbahaya, dan
dijalanan.
i. Kegiatan Politik, Orang tua masih banyak yang memanfaatkan anak untuk
berbagai kepentingan politik, seperti unjuk rasa atau demonstrasi, kampanye
partai politik dalam pemilu dan kegiatan lainnya yang tidak berpihak pada
kepentingan terbaik untuk anak.

3. PENYEBAB TINDAK KEKERASAN


a. Ekonomi
b. Anggapan anak sebagai aset ekonomi
c. Anggapan anak sebagai hak pribadi
d. Rendahnya pemahaman orang tua /masyarakat mengenai hak anak.
e. Bias gender dalam masyarakat
f. Gaya hidup konsumtif Orang tua
g. Pendidikan orang tua
h. Tradisi budaya

Dampak Kekerasan Terhadap Anak Kekerasan terhadap anak berdampak


jangka Panjang. Hal ini akan menjadi mimpi buruk yang tidak pernah hilang dari diri
anak yang menjadi korban. Dalam berbagai kasus terlihat bahwa terjadinya kekerasan
terhadap anak sering disertai dengan penelantaran anak, keduanya pun akan
menimbulkan dampak kepada kesehatan fisik dan perkembangan psikis anak.
Kekerasan pada fisik anak seringkali paling mudah diamati daripada kekerasan dalam
bentuk yang lain, karena akan menimbulkan luka fisik yang tampak pada tubuh anak.

4. Adapun dampak kekerasan terhadap anak yaitu sebagai berikut


a. Muculnya sikap permisif, merasa tidak berguna yang berujung pada sikap
pendiam, mengisolasi diri, tidak mampu bergaul. Dampak ini menyebabkan
hubungan sosial anak menjadi terganggu bahkan gagal. Dampak panjangnya,

15
ketika dewasa, anak tidak mampu membangun hubungan atau relasi intim dan
sehat.
b. Munculnya sikap depresif. Hal ini dikarenakan adanya masalah yang selama ini
sulit dihilangkan, seperti selalu murung, mudah menangis. Walaupun dalam
keadaan yang menyenangkan, anak akan ketakutan terhadap obyek yang tidak
jelas. Anak bahkan akan mengalami trauma pada hal-hal yang berhubungan
dengan pelaku atau otoritas.
c. Munculnya sikap agresif. Melalui siikap agresif ini, si anak akan mencoba
untuk menunjukan bahwa dirinya kuat dan memiliki kekuasaan. Anak akan
memberontak namun tidak mampu melawan kepada pelaku. Akibatnya, anak
akan menunjukan perilaku buruk, seperti merokok, minum alkohol,
menggunakan narkoba, dan sex bebas. Hal ini menunjukan adanya
ketidakpercayaan diri yang berlebihan, pengendalian emosi yang buruk, dan
akan berlanjut kesulitan beradaptasi dan bahkan akan mengalami masalah
psikologis yang lainnya.
d. Munculnya sikap destruktif. Anak tidak mampu membela diri atau mencari
pertolongan. Anak mempunyai kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri,
bahkan akan melakukan percobaan bunuh diri. Berawal dari beban pikiran dan
stres yang tidak memperoleh penyelesaian, menimbulkan perasaan kesal dan
putus asa pada anak dan ujungan akan mengalihkan perilakunya pada hal-hal
lain agar mendapat perhatian.
5. Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak

Pencegahan yaitu tindakan untuk menghalangi, merintangi, atau menahan terjadinya


sesuatu. Pada dasarnya, pencegahan kekerasan pada anak ini dapat dilakukan dengan
diseminasi. Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target
atau individu supaya memperoleh informasi, timbul kesadaran, kemudian
memanfaatkan informasi tersebut. Diseminasi dapat dilakukan dalam bentuk seminar,
workshop, melalui media, baik media cetak maupun elektronil, dan dalam suasana
apapun.

Pendekatan kepada sasaran diseminasi ini ada dua metode, yaitu dengan pendekatan
kelompok, dan pendekatan massal melalui media cetak atau elektronik. Terdapat tiga

16
macam fungsi dari pencegahan ini, pertama, mencegah timbulnya masalah kekerasan
terhadap anak. Kedua, mencegah berkembang dan meluasnya masalah kekerasan
terhadap anak dalam masyarakat. Ketiga, mencegah timbulnya atau kembalinya
permasalahan kekerasan terhadap anak. Sementara itu, strategi yang dapat dilakukan
yaitu dengan melalui tindakan pencegahan.

Tindakan pencegahan dilakukan, baik yang bersifat primer, skunder, maupur


tersier.

1) Tindakan pencegahan yang bersifat primer sasarannya adalah semua anggota


masyarakat sebelum terjadinya tindakan kekerasan. Pendekatan pertama ini
dilakukan misalnya melalui lembaga pendidikan, baik pendidikan formal
maupun no-formal, baik pendidikan agama maupun mendidikan umum.
Pendekatan pertama ini dilakukan dengan memberikan doktrin anti kekerasan
sejak manusia masih belia. Sehingga yang bersangkutan dapat menerapkannya
dalam kehidupan di masa mendatang dan memutus rantai kekerasan kepada
anak.
2) Pendekatan kedua yaitu pencegahan kekerasan yang bersifat skunder. Hal ini
difokuskan kepada para calon orang tua. Pendidikan pra nikah, pendidikan pola
asuh calon orang tua, serta penguatan keimanan dan ketakwaan para calon orang
tua diberikan kepada mereka yang belum menikah atau bahkan sudah menikah
dan akan mempunyai anak. Pendekatan ini juga diberikan kepada para orang tua
yang pernah melakukan pola asuh yang salah, rasa minder, terisolasi, dan hidup
dalam taraf ekonomi rendah. Dalam melakukan pendekatan skunder ini, selain
peran serta masyarakat, yang terpenting untuk terlibat yaitu para tenaga medis
dan pekerja sosial. Hal ini selaras dan sejalan dengan program ketahanan
keluarga yang menjadi concern pemerintah.
3) Sedangkan pendekatan ketiga yaitu pendekatan tersier. Pendekatan ini lebih
ditekankan dalam bentuk treatment. Sehingga diberlakukan ketika tindak
kekerasan kepada anak telah terjadi. Melalui metode yang ditujukan kepada para
orang tua yang bersangkutan ini ditujukan dalam rangka mencegah terjadinya
kekerasan terhadap anak kembali. Selain itu, dimaksudkan untuk
mempersatukan kembali keluarga yang sempat terpecah dan kerukunan antar

17
anggota keluarga kembali terjalin. Penggunaan pendekatan ini tidak mudah
sebab kehidupan, adat kebiasaan, dan kondisi keluarga yang berbeda-beda.
Bentuk pembinaan dalam metode ini cenderung subyektif dan individualistik.
Tujuan utama dari pendekatan tertier adalah mencegah dan memutus tindakan
kekerasan kepada anak. Selain kesadaran dari para orang tua, pelibatan para

Pencegahan dan penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada anak
merupakan komitmen penting dalam melindungi anak-anak dari situasi yang merugikan
dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dijaga. Berikut adalah beberapa
strategi yang dapat diterapkan dalam upaya ini:

Pencegahan Pelanggaran HAM pada Anak:

a. Pendidikan tentang Hak Asasi Manusia:


1) Sosialisasikan pemahaman tentang HAM kepada anak-anak sejak dini. Ini
dapat dilakukan melalui kurikulum sekolah yang mencakup pendidikan
HAM.
b. Penguatan Keluarga:
1) Dukung keluarga untuk menjadi lingkungan yang aman dan mendukung
pertumbuhan anak-anak. Ini dapat mencakup program dukungan keluarga,
pelatihan orang tua, dan layanan kesejahteraan anak.
c. Sistem Hukum yang Kuat:
1) Pastikan adanya sistem hukum yang efektif dalam melindungi anak-anak
dari pelanggaran HAM.
2) Dukung reformasi hukum yang memperkuat perlindungan anak-anak.
d. Pendidikan Seksualitas yang Sehat:
1) Berikan pendidikan seksualitas yang sehat kepada anak-anak untuk
membantu mereka memahami tubuh mereka, hak-hak mereka, dan cara
melindungi diri dari pelecehan seksual.
e. Pemberdayaan Anak-anak:
1) Dorong partisipasi anak-anak dalam pengambilan keputusan yang
memengaruhi hidup mereka.

18
2) Ajarkan mereka tentang hak-hak mereka dan bagaimana
mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau masalah kepada orang dewasa
yang mereka percayai.
f. Perlindungan Anak dalam Konflik dan Krisis:
1) Pastikan anak-anak yang terlibat dalam konflik atau krisis menerima
perlindungan dan perawatan yang memadai.
2) Dukung upaya kemanusiaan yang melibatkan penyediaan akses ke
pendidikan, perlindungan, dan perawatan medis bagi anak-anak yang
terkena dampak konflik atau krisis.

Penanganan Pelanggaran HAM pada Anak:

1. Sistem Pengadilan Anak:


 Pastikan adanya sistem pengadilan yang khusus untuk anak-anak yang diduga
menjadi korban pelanggaran HAM.
 Ini dapat mencakup pengadilan anak, pekerja sosial anak, dan psikolog anak.
2. Konseling dan Dukungan Psikologis:
 Sediakan konseling dan dukungan psikologis bagi anak-anak yang menjadi
korban pelanggaran HAM untuk membantu mereka mengatasi trauma dan
dampak emosionalnya.
3. Perlindungan Identitas :
 Lindungi identitas anak-anak yang menjadi korban pelanggaran HAM,
terutama dalam kasus pelecehan seksual atau eksploitasi.
4. Reintegrasi dan Pemulihan:
 Bantu anak-anak yang telah menjadi korban pelanggaran HAM untuk
berintegrasi kembali ke masyarakat dan mendapatkan dukungan untuk
pemulihan fisik dan mental.
5. Penyelidikan dan Penuntutan:
 Pastikan kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap anak-anak diselidiki secara
tuntas dan pelaku diadili sesuai dengan hukum.
6. Kemitraan dengan LSM dan Masyarakat Sipil:

19
 Kerja sama dengan LSM dan masyarakat sipil yang peduli terhadap HAM
untuk memastikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM anak-anak tidak
diabaikan dan mendapatkan perhatian yang layak.

Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam menangani anak yang
mengalami kekerasan:

a. Pastikan Keselamatan Anak: Prioritaskan keselamatan fisik dan emosional


anak. Jika anak dalam bahaya langsung, segera hubungi pihak berwenang atau
layanan darurat jika diperlukan.
b. Dengarkan dan Berbicara: Berikan waktu dan ruang bagi anak untuk berbicara
tentang pengalaman mereka. Dengarkan dengan penuh perhatian tanpa
menghakimi atau menyalahkan. Ini dapat membantu anak merasa didengar dan
dipahami.
c. Dorong Ungkapkan Perasaan: Bantu anak mengungkapkan perasaan mereka
terhadap kekerasan. Anak mungkin merasa takut, cemas, marah, atau malu.
Validasi perasaan mereka dan berikan dukungan emosional.
d. Jangan Memaksa Pengakuan: Jangan memaksa anak untuk mengakui atau
berbicara tentang kekerasan jika mereka tidak siap. Biarkan mereka
mengungkapkan diri secara sukarela.
e. Pecahkan Isolasi: Anak yang mengalami kekerasan sering merasa terisolasi.
Bantu mereka membangun dukungan sosial dengan menghubungkan mereka
dengan teman-teman, keluarga, atau sumber dukungan lainnya.
f. Beri Informasi Tentang Hak-hak Anak: Ajarkan anak tentang hak-hak
mereka dan bahwa kekerasan terhadap mereka tidak benar dan tidak dapat
diterima. Anak perlu tahu bahwa mereka berhak hidup dalam lingkungan yang
aman.
g. Laporkan Kepada Otoritas yang Sesuai: Jika Anda mencurigai kekerasan
anak, Anda memiliki kewajiban hukum untuk melaporkannya kepada pihak
berwenang yang berwenang, seperti dinas perlindungan anak atau polisi.
h. Kerja Sama dengan Profesional: Libatkan pekerja sosial, psikolog, atau
konselor yang memiliki pengalaman dalam menangani anak-anak yang

20
mengalami kekerasan. Mereka dapat memberikan bimbingan dan dukungan
yang diperlukan.
i. Sarana Perawatan Kesehatan Mental: Berikan anak akses ke layanan
perawatan kesehatan mental jika diperlukan. Terapi dan konseling dapat
membantu anak mengatasi dampak psikologis dari kekerasan.
j. Lindungi identitas: Jika diperlukan, lindungi identitas anak yang menjadi
korban kekerasan untuk mencegah mereka dari retaliasi atau lebih banyak
tekanan.
k. Konsultasi dengan Keluarga dan Orang Tua: Jika kekerasan melibatkan
keluarga atau orang tua, pertimbangkan konsultasi dengan pekerja sosial atau
ahli yang berpengalaman dalam bidang hubungan keluarga.

4 Tugas-Tugas Lembaga Negara dalam Menangani Kasus-Kasus


Perlindungan Anak (MA, Kejagung, Kepolisian, Kemenkumham,
Kemensos, Kemenagpp, KOMNAS Anak dan KPAI)

5 Analisis Video
Kasus Tanggal Kronologis Penyelesaian
Kejadian
Kasus pencabulan Rusunawa Ibu korban yang bernama Ida pun membawa
di Rusunawa Marunda, Ida (31) melaporkan anaknya untuk
MarundaAnak Jakarta Utara, dugaan pencabulan melaporkan
Berusia 3 Tahun Kamis terhadap anaknya ke kejadian itu kepada
Diduga Jadi (12/1/2023) Polres Metro Jakarta Utara pihak kepolisian.
Korban Pencabulan usai mendengar sang anak Bersama penyidik,
di Jakarta Utara, mengeluh kesakitan di Ida menuju ke
Mengeluh Sakit di kemaluannya. Pada Rumah Sakit Cipto
Bagian Kemalua kondisi yang bersamaan Mangunkusumo
usai AN menghilang dari (RSCM) untuk
kediaman mereka di melakukan visum
Rusunawa Marunda, untuk memperjelas
Cilincing, Jakarta Utara, indikasi dugaan
Ida pun menaruh perhatian pencabulan itu.
penuh terhadap apa yang Sosok pelaku
diucapkan anaknya itu. pencabulan balita
Tidak berapa lama dicari, AN dikenali oleh
AN ditemukan di korban. Warga dan
jembatan arah Si Pitung, orangtua korban
Jakarta Utara, sekitar memperlihatkan

21
pukul 15.24 WIB. sejumlah foto yang
diduga sebagai
pelaku. Dari
beberapa foto itu,
AN menunjuk
sosok B yang
mencabulinya.
Pelaku pun
diamankan oleh
polisi setempat

Penyiksaan Anak Surabaya 1 Seorang bocah berstatus Semua pelaku


di Shelter Maret 2023. Anak Berhadapan dengan sudah dilaporkan
Gayungan Hukum (ABH) berinsial R kepada kepolisian
Surabaya, Mata (17) diduga disiksa oleh setempat dan sudah
Diduga Diolesi seorang petugas jaga di ditindak secara
Balsam Shelter Gayungan hokum
Surabaya atau Rumah
Aman Anak, Jawa Timur.
Korban diduga dipukuli
dan matanya diolesi
dengan balsam. Alif
menjelaskan sehari
setelahnya R yang
merupakan tahanan Polsek
Karangpilang dititipkan ke
Shelter Gayungan
Surabaya. Di shelter
tersebut, korban diduga
disiksa oleh oknum
anggota Linmas yang
tengah bertugas. Bentuk
kekerasan yang dialami, di
antaranya R dipaksa
merayap di atas paving
sehingga menyebabkan
tangannya terluka. Selain
itu, korban juga dipukul
oleh oknum Linmas
hingga wajahnya terluka.
Kemudian, oknum
tersebut juga diduga
mengoleskan balsam ke
mata korban dengan dalih
rukiah.

Anak Terdampak Depok, 25 Kasus kekerasan dalam pihaknya telah

22
Kasus KDRT di Februari 2023 rumah tangga (KDRT) di mengajukan
Depok, Disebut Depok, Jawa Barat, yang restorative justice
Nilai Akademik melibatkan pasangan (RJ) ke Polda Metro
Menurun hingga suami istri, BI dan PB, Jaya sejak Senin
Gagal Jadi Ketua disebut berdampak (19/6/2023).
OSIS terhadap anak mereka.
"Dengan kejadian sejak 25
Februari malam tersebut
sampai dengan hari ini, itu
sangat berdampak sekali
terhadap tumbuh kembang
anak. Di mana sang anak
tidak dapat belajar secara
tatap muka. Sekolah
mengeluarkan kebijakan
untuk online," kata Eka
saat menggelar jumpa pers
di kawasan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan,
Kamis (22/6/2023).
"Anak pertama yang
memang diagendakan
menjadi ketua OSIS,
kandidat ya, pupus dan
kandas akibat berlarut-
larutnya persoalan ini.
Saya juga sudah
komunikasi dengan pihak
guru bahwa memang guru
juga menyatakan ini anak
cerdas. Sayang sekali
dengan kejadian ini, cita-
cita anak menjadi ketua
OSIS pupus hanya karena
persoalan ini,"

23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

24
DAFTAR PUSTAKA

Bahter, K. T. (2020). Peranan Unicef dalam Aspek Hukum Internasional


Terhadap Perlindungan Atas Hak-Hak Anak. Lex Et Societaris, 21(1), 1–9.
Djaja S. Meliala. (2007). Perkembangan hukum perdata tentang orang dan
hukum keluarga. Book, 346.
Harun, M., & Wati, B. E. (2021). Hukum pidana anak. CV Rafi Sarana Perkasa.
Ni Ketut Suriati, Ni Putu Rai Yuliartini, & Dewa Gede Sudika Mangku. (2022).
Perlindungan Hak-Hak Anak Dalam Aspek Hukum Internasional. Ganesha
Law Review, 4(2), 63–72. https://doi.org/10.23887/glr.v4i2.1428
Pangemanan, J. B. (2015). Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal Lex et Societatis, 3(1), 101–108.
Unicef, Ringkasan Advokasi Perlindungan Anak, Agustus 2020; “Perlindungan Anak ,”
Unicef [diakses 4 Juli 2021].

Ratna Sari, Soni Akhmad Nulhaqim, dan Maulana Irfan, “Pelecehan Seksual Terhadap
Anak,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2.1 (2015),
hal. 15–16 ; Kurniasari, hal. 18

Kurniasari, hal. 19; Ahmad Sofian, “Terminologi Hukum ‘Kekerasan dan Eksploitasi
Anak,’” 2018 [diakses 4 Juli 2021].

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), hal. 100–
106.

Rabiah Al Adawiah, “Upaya Pencegahan Kekerasan terhadap Anak,” Jurnal Keamanan


Nasional, 1.2 (2015), 279–96 (hal. 287–90) .

25

Anda mungkin juga menyukai