Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK & PEREMPUAN

‘’KEKERASAN TERHADAP ANAK’’

“Disusun untuk memenuhi tugas kelompok dari Dosen mata kuliah Hukum Perlindungan
Anak dan Perempuan ”

OLEH KELOMPOK 3 :

H1A118249 Nurhijra Awalya Putri H1A120265 Amanda Lucky Fauzia

H1A119333 Saniyyah Allfiyyah Ali Jufri H1A120272 Anggystha

H1A119336 Sholiman Akbar H1A120301 Fitra Rahmadani

H1A119243 La Ode Safadin H1A120302 FitriAlimuna

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt., karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kemampuan, kesempatan, dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum
Perlindungan Perempuan & Anak yang telah memberikan tugas kelompok ini, serta teman-teman
lain yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah yang berjudul
“Kekerasan Terhadap Anak” ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi pembaca. Namun,
terlepas dari itu kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik yang konstruktif dan juga saran yang membangun dengan
maksud agar kedepannya makalah yang dibuat akan semakin lebih baik lagi.

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................................... 3
BAB I ..............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG .............................................................................................................................. 4
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................................ 6
BAB II ............................................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................................................7
A. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum ........................................................................... 7
B. Human Trafficking (Permasalahan Perdagangan Manusia) ................................................................13
C. Kebijakan Tentang Perlindungan Anak .............................................................................................. 22
BAB III .......................................................................................................................................................... 31
PENUTUP ..................................................................................................................................................... 31
A. Kesimpulan ..........................................................................................................................................31
B. Saran ....................................................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................33
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak
kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan
kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak.

Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih
sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini terjadi karena Banyak orangtua
menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah
bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak
sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik
maupun mental.Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama.
Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai factor baik
biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak –
hak anak.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang
(UU) Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia
dan sejahtera.

Akibat kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka sendiri.
Oleh karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak - anak mulai bersinggungan
dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum seperti pencurian, perkelahian dan narkoba
sangat sering dilakukan oleh anak. Hal ini terjadi karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang
seharusnya mereka miliki.

Pasal 13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan
setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab
atas pengasuhan.Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa
setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara tentang masa
yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.

Menyiapkan Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income per kapita,
pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang paling dasar
adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga, masyarakat dan negara. Anak – anak
yang karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan baik fisik mental maupun
intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua
(dewasa).Perawatan, pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban agama dan
kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-
cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Orangtua,
keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

Demikian pula dalam rangka penyelenggaraaan perlindungan anak, negara dan


pemerintah juga bertanggungjawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal. Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan
sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan
anak, perlu adanya peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa dan lembaga pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum ?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Kekerasan Terhadap Anak Sebagai Korban ?
3. Bagaimana Kebijakan Terhadap Perlindungan Anak ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum

a. Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014


Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum. Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga. Anak terlantar adalah anak
yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun social.
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan karena
orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya
dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya. Dari keterangan di atas bisa ditarik
kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan menyakiti badan anak tetapi tidak
sampai menimbulkan kematian. Kekerasan yang terjadi terhadap anak seperti memukul,
mencambak rambut, menyulut benda panas, mendorong, menarik dan kekerasan lainnya.

b. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Terry E. Lawson, psikiater anak yang dikutip rakhmat dalam baihaqi mengklarifikasikan
kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal
abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse
menjadi: physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan secara
psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial).
Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Kekerasan Secara Fisik

Kekerasan anak secara fisik, yaitu penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan


terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan bendabenda tertentu yang menimbulkan
luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar
akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat
pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola
akibat sundutan rokok atau setrika. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik
umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak
nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di
sembarang tempat, memecahkan barang berharga. Kekerasan fisik seperti berupa
tamparan, pemukulan berlebihan dan sebagainya, yang biasanya dilakukan oleh orang
yang tidak bertanggung jawab, akibat dari kekerasan ini anak sering mengalami trauma
ketakutan yang selalu mencekam, hal ini berpengaruh pada tingkat perkembangannya di
kemudian hari.

2) Kekerasan Secara Psikis

Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata


kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film pornografi pada anak. Anak
yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala perilaku maladaftif,
seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut
bertemu dengan orang lain. Kekerasan psikis, psychological abuse bisa berpengaruh pada
adanya perasaan selalu cemas dirasakan oleh si anak, selalu terkejut, depresi, apatis,
kurang responsif, agresi kuat dan kelakuan abnurmal lainnya dibanding anak seusianya.
Ini disebabkan karena anak selalu dipenjarakan dalam kebebasannya, dibentak bahkan
dikerdilkan, ini sungguh pengalaman yang sangat jelek sekali bagi si anak, si anak akan
menjadi pemalu dan hilang kepercayaan dirinya di antara teman seusianya.

3) Kekerasan Secara Seksual

Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara
anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Yang tergolong dalam kekerasan
seksual terhadap anak di antaranya adalah: mempertontonkan anak kepada hal-hal
pornografi misalnya situs/gambar/ film/bacaan porno, mempertontonkan anak kepada
aktivitas seksual misalnya intercourse, mengarahkan anak kepada tindakan/gerakan
seksual, mempertontonkan alat kelamin kepada anak (exhibitionism), berhubungan
seksual dengan anak, meraba-raba atau memainkan organ vital anak, melakukan sodomi
terhadap anak, mengintip dan memata-matai anak ketika sedang mandi (voyeurism),
memandikan anak di atas usia 5 tahun sehingga anak tidak pernah merasa malu,
memotret anak dalam keadaan telanjang, menyebarkan potret anak dalam keadaan
telanjang, mengajarkan anak masturbasi, memaksa anak meraba alat kelamin pelaku dan
semua tindakan yang bertujuan mengeksploitasi anak secara seksual.

4) Kekerasan Secara Sosial

Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan,
diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan layak.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di
pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah
dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata atau dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Penelantaran anak jangan sampai terjadi apalagi dalam masalah pendidikan, berilah
kesempatan pada anak untuk bersekolah, jadikan sekolah sebagai lingkungan yang ramah
terhadap anak sehingga bisa memperoleh pendidikan dengan baik, berproses diri untuk
merubah sikap dan prilaku ke arah lebih baik serta tumbuh berkembang potensi yang
dimilikinya, jauh dari segala bentuk tindak kekerasan, apalagi sampai dilakukan oleh
sang guru.

Menurut Tammi Prastowo, bentuk kekerasan terhadap anak yang lazim ditemukan
sebagai berikut:

1. Kekerasan dalam bentuk fisik, seperti pemukulan, penganiayaan, penganiayaan


berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian.
2. Kekerasan psikis, seperti ancaman, pelecehan, sikap kurang menyenangkan yang
menyebabkan rasa takut, rendah diri, trauma, depresi, atau gila.
3. Kekerasan ekonomi, misalnya melantarkan anak.
4. Kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual, pencabulan dan pemerkosaan.
5. Eksploitasi kerja dan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
6. Eksploitasi seksual komersial anak
7. Perdagangan anak.

c. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan


Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat
ditinjau dari tiga aspek, yaitu faktor kondisi sang anak sendiri, faktor orang tua dan faktor
lingkungan yaitu :

1. Faktor Kondisi Anak

Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi karena faktor
pada anak, seperti: anak yang mengalami kelahiran prematur, anak yang mengalami sakit
sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga memengaruhi
watak, adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak
dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak yang sulit
diatur sikapnya dan anak yang meminta perhatian khusus.

2. Faktor Orang Tua

Faktor pada orang tua meliputi: pernah tidak orang tua mengalami kekerasan atau
penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi,
pecandu narkotika atau peminum alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan, waktu
senggang yang terbatas, karakter pribadi yang belum matang, mengalami gangguan
emosi atau kekacauan urat saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering kali menderita
gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum matang, terutama sekali
mereka yang mendapatkan anak sebelum usia 20 tahun. Kebanyakan orang tua dari
kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan mengira bahwa anak dapat
memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan orang tua yang rendah.

3. Faktor Lingkungan Sosial

Faktor lingkungan sosial seperti: kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan


tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam
masyarakat bahwa anak merupakan milik orang tua sendiri, status wanita yang rendah,
nilai masyarakat yang terlalu individualistis dan sebagainya. Kasus kekerasan fisik, psikis
dan seksual terhadap anak sebagian besar terjadi karena alasan kemiskinan dan tekanan
hidup. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat disertai
kemarahan/kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi
masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan,
kekecewaan dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya. Anak, sebagai pihak
lemah, rentan dan dianggap sebagai milik orang tua, paling mudah menjadi sasaran.

B. Perlindungan Hukum Kekerasan Terhadap Anak Sebagai Korban

1. Perlindungan Hukum
Perlindungan adalah adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh

aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik

maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa

dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengertian Anak adalah setiap manusia yang

berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian anak menurut

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah orang yang

dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut perspektif

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Korban adalah orang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan

secara fisik, mental, maupun emosional serta mengalami kerugian ekonomi, atau

mengalami pengabaian, pengurangan dan perampasan hak – hak dasarnya sebagai akibat

langsung dari pelanggaran hak asasi manusia.

Pelaku kekerasan terhadap anak diancam dengan sanksi pidana sebagaimana

diatur dalam berbagai peraturan, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 : Pasal 44 s.d. Pasal 55

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: Pasal 77

s.d. Pasal 90
Perlindungan Terhadap anak juga dilakukan dengan menerbitkan peraturan-peraturan sebagai

berikut:

1) Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28b Ayat 2

2) Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3143)

3) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)

4) Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3886)

5) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12

Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3))

6) Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1),

Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).

7) Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang

Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang

Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional

Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)

8) Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk

Pekerjaan Terburuk untuk Anak

9) Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi

Seksual Komersial Anak (ESKA)


10) Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan

Perempuan dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan

yang bersifat mendasar.

B. Human Trafficking (Permasalahan Perdagangan Manusia)

1. Konsep Perdagangan Manusia (Human Trafficking)

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam

penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait

dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu

yang harus diperoleh. Hak asasi manusia merupakan obyek yang sering dibahas dalam

era reformasi. Hak asasi manusia lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era

reformasi daripada era sebelum reformasi. Perdagangan manusia (human trafficking)

merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktik perdagangan manusia.

Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi

perdagangan manusia, namun perdagangan manusia masih tetap berlangsung.

Protokol Persatuan Bangsa-Bangsa atau United Nations (UN) Tahun 2000 dalam

Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap Manusia, khususnya

perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas

Negara Persatuan memberikan definisi trafficking sebagai :

“Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan


ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau
menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang
atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi”.

Berdasarkan definisi PBB sebagaimana dimaksud diatas, dapat disimpulkan

bahwa istilah trafficking merupakan:

1. Trafficking mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan

atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya atau keluarganya.

2. Meskipun trafficking dilakukan atas persetujuan tenaga kerja yang bersangkutan, namun

persetujuan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking

tersebut apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya,

seperti terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, ditipu, atau diperdaya.

3. Tujuan trafficking adalah eksploitasi tenaga seseorang secara sewenang-wenang dan

eksploitasi seksual

Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan

perdagangan (trafficking) sebagai berikut :

“Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer,
pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk
pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan
tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu
penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.”

Berdasarkan definisi trafficking yang diuraikan oleh GAATW, dapat disimpulkan

bahwa istilah perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Rekrutmen dan transportasi manusia;

2. Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani;


3. Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan.

Modus-modus perdagangan manusia, dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

a. Ancaman dan pemaksaan, umumnya dilakukan oleh pelaku yang telah dikenal oleh

korban. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang

lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan

kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan

pelaku.

b. Penculikan; umumnya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui

anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa atau disodomi terlebih dahulu oleh

aggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya

c. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang

paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat

yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan

fasilitas yang meyenangkan sehingga korban tertarik utuk mengikuti tanpa mengetahui

kondisi kerja yang akan dijalani.

Kelompok yang rentan menjadi korban trafficking adalah orang-orang yang pada

umumnya berada dalam kondisi rentan seperti keluarga miskin, mereka yang

berpendidikan dan berpengetahuan terbatas, yang terlibat masalah ekonomi, politik dan

sosial yang serius; anggota keluarga yang mengalami krisis ekonomi, putus sekolah,

korban kekerasan, para pencari kerja, perempuan dan anak jalanan, korban penculikan,

janda cerai akibat pernikahan dini, mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau
lingkungannya untuk bekerja, bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di

luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.

2. Faktor-faktor Penyebab dan Bentuk-Bentuk Human Trafficking

Terjadinya human trafficking tidak disebabkan oleh satu hal. Human trafficking
disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang
berbeda-beda, antara lain :

a) Kemiskinan

Kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk tidak bersekolah sehingga kesempatan

untuk mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial

kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup.

Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat

menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan

manusia.

b) Keinginan cepat kaya

Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang

mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan masyarakat terjebak dalam utang para

penyalur tenaga kerja. Hal tersebut mendorong masyarakat khususnya perempuan masuk

dalam dunia prostitusi.

c) Pengaruh sosial budaya

Budaya pernikahan di usia muda yang sangat rentan terhadap perceraian, yang

mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial. Berdasarkan Undang-Undang

nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perempuan Indonesia

diizinkan untuk menikah pada usia 16 (enam belas) tahun atau lebih muda jika mendapat
izin dari pengadilan. Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut

sebelum mencapai usia 16 tahun.

Budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosioekonomi untuk pihak lelaki maupun

perempuan dalam perkawinan tersebut. Akan tetapi, dampak lebih besar diderita oleh perempuan.

Masalah-masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis yang melakukan pernikahan

dini antara lain dampak buruk pada kesehatan (kehamilan prematur, penyebaran HIV/AIDS),

terhentinya pendidikan, kesempatan ekonomi terbatas, perkembangan pribadi terhambat dan

tingkat perceraian yang tinggi.

d) Kurangnya pencatatan kelahiran

Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan

terhadap eksploitasi. Subyek orang yang tidak dapat memiliki akta kelahiran sering

kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena secara teknis berdasarkan ketentuan

Negara, orang tersebut tidak pernah ada. Rendahnya registrasi kelahiran khususnya di

pedesaan memberikan ruang kesempatan bagi perdagangan manusia, khususnya perempuan

dan anak-anak. Pelaku human trafficking memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk

memalsukan umur perempuan dan anak-anak agar mereka dapat bekerja.

e) Korupsi dan lemahnya penegakan hukum

Korupsi menjadi suatu yang hal yang dianggap wajar dalam kehidupan sehari-hari, karena
hampir seluruh lapisan masyarakat melakukan praktik korupsi. Atas hal tersebut, korupsi
memiliki peran integral dalam memfasilitasi perdagangan perempuan dan anak. Praktik
korupsi dimulai dari biaya illegal dan pemalsuan dokumen hingga menghalangi proses
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus perdagangan manusia.

f) Media massa (pers)


Media massa masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi

yang lengkap tentang human trafficking. Media massa belum memberikan kontribusi yang

optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusan praktik perdagangan manusia.

Bahkan sebaliknya, media massa sering memberikan informasi yang kurang mendidik dan

bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila

lainnya.

g) Pendidikan minim dan tingkat buta huruf

h) Orang dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara memiliki risiko besar menderita

keterbatasan ekonomi. Orang-orang tersebut juga tidak akan mempunyai pengetahuan

kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam

kontrak dan kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan untuk

mencari bantuan hukum ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan.

Mereka mengalami kesulitan dalam mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat

membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain mengenai rumah singgah

atau nomor telepon yang bisa dihubungi untuk mendapatkan bantuan.

3. Upaya Hukum Dalam Penanggulangan Perdagangan Manusia Human


Trafficking

Perdagangan manusia (human trafficking), khususnya terhadap perempuan dan anak-anak,

sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan

yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional,

namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai diantara aparat

penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang
terkait yaitu lembaga Pemerintah dan lembaga non Pemerintah (LSM), baik lokal maupun

internasional.

Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan

masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan

kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan

penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan

agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum.

Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan

jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara,

untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak

hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual

legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.

Masyarakat dapat ikut berperan serta dalam pencegahan trafficking dengan meminta
dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program
Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini
adalah :

1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah

Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan;

2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus Sekolah

Dasar;

3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk mendorong peningkatan penghasilan;

4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan;

5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak dan

perempuan.
Dalam kejahatan human trafficking, hak dasar manusia tidak dihargai karena obyek
kejahatan trafficking dideterminasi secara ekstrim. Korban kejahatan human trafficking
diperlakukan secara tidak adil. Untuk menanggulangi aksi human trafficking, negara
berkewajiban melakukan beberapa hal, yaitu :

1. Negara wajib mereduksi kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan rakyatnya. Usaha

emansipasi ini diwujudkan melalui pendidikan ketrampilan, pembukaan lapangan

pekerjaan, sosialisasi mengenai ancaman trafficking dan perihal pengembangan profesi

rakyat kecil, seperti berkebun, bertani, dan lain-lain.

2. Menegakkan keadilan melalui pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi. Hukuman berat

wajib diberikan kepada pelaku human trafficking. Proses penegakan hukum dijalankan

secara transparan dan adil

Upaya Pemerintah dalam upaya pencegahan dan memberikan penindakkan tegas atas praktik

human trafficking antara lain dengan menetapkan serangkaian peraturan perundang-

undangkan yaitu :

1. Undang-Undang tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

2. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan anak

3. Peratuuran Pemerintah nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Dan Mekanisme

Pelayanan Terpadu Bagi Saksi Atau Korban TPPO.

4. Keputusan Presiden nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan

Perdagangan Anak.

5. Peraturan Presiden nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan

Penanganan TPPO

4. Upaya Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Human Trafficking


Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan pemuka agama dan pemerintah

merupakan salah satu solusi dalam mencegah terjadinya praktik perdagangan orang. Apabila

kesadaran masyarakat akan bahaya dari perdagangan manusia sudah muncul, maka diharapkan

tingkat perdagangan manusia akan berkurang hingga akhirnya hapus.

Upaya pencegahan human trafficking selanjutnya yaitu dengan memperluas tenaga kerja,

fokus pada program Usaha Kecil Menengah (UKM), serta pemberdayaan perempuan. Apabila

lapangan kerja sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan untuk bermigrasi

dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko perdagangan manusia pun akan semakin

berkurang juga. Selanjutnya, peningkatan pengawasan di setiap perbatasan negara serta

meningkatkan kinerja para aparat penegak hokum dapat meminimalisir potensi peningkatan dan

timbulnya trafficking.Kemungkinan untuk terjadi akan semakin besar apabila tidak ada

pengawasan yang ketat oleh aparat yang terkait. Apabila pengawasan sudah ketat dan hukum

sudah ditegakkan, maka kasus perdagangan manusia dapat berkurang. Upaya berikutnya adalah

dengan memberikan pengetahuan dan penyuluhan seefektif mungkin kepada masyarakat.

Diperlukan penyuluhan dan sosialisasi rutin mengenai perdagangan manusia kepada masyarakat.

Melalui sosialisasi yang dilakukan secara berkelanjutan, masyarakat akan mengetahui bahaya

masalah ini dan bagaimana solusinya. Pendidikan tidak hanya diberikan kepada masyarakat

golongan menengah ke atas namun justru diberikan kepada kaum kelas bawah karena

masyarakat dengan ketahanan ekonomi rendah rentan menjadi korban praktik perdagangan

manusia. perdagangan

Upaya lainnya adalah berperan aktif melaporkan kasus perdagangan manusia yang

diketahui kepada pihak yang berwajib. Masyarakat juga bisa mengarahkan keluarganya untuk

lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang tidak dikenal maupun yang sudah dikenal.
Mungkin hal yang dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun apabila semua

orang bergerak untuk turut melakukannya, bukan tidak mungkin masalah ini akan teratasi.

C. Kebijakan Tentang Perlindungan Anak

1. Pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana


dalam peradilan pidana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

Asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) yang tercantum
dalam KHA, kemudian dijabarkan dalam beberapa asas yang melindungi anak sebagai
pelaku tindak pidana dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mewujudkannya dalam
norma-norma. Pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana dalam peradilan pidana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
sebagai berikut:

1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
menentukan Adanya pembatasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana.
2. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, 3 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
menentukan Pengadilan anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum.
3. Pasal 1 ayat (5, 6, 7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak
ditangani oleh pejabat khusus
4. Pasal 42 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan
Pengadilan Anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan.
5. Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Pengadilan
Anak mengharuskan adanya ”Splitsing Perkara”
6. Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 menentukan Bersidang dengan Hakim tunggal dan Hakim anak ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
7. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Pemeriksaan perkara
anak di sidang anak dilakukan dalam sidang tertutup
8. Pasal 22, Pasal 23 ayat (1, 2, 3) dan Pasal 24 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Penjatuhan pidana anak yang lebih ringan daripada
orang dewasa
9. Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Diperlukan
kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing
kemasyarakatan. Pasal 57 ayat (1 dan 2), Pasal 58 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 menentukan Adanya kehadiran penasehat hukum 11. Pasal 44 sampai
dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Penahanan terhadap
anak lebih singkat dari orang dewasa.

2. Reformasi Hukum Pidana Dalam Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak


Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Peradilan Pidana

Hal yang sangat mendasar yang merupakan reformasi pengaturan perlindungan hukum
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ada 4 poin yaitu:

a. Pengaturan tentang batasan umur anak yang terdiri dari batasan usia anak yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan batasan usia anak yang bisa
dilakukan penahanan terhadapnya dalam proses peradilan.

Pengaturan batasan umur anak untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana


sebagaimana diatur dalam UUSPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Dalam UUSPPA dikenal istilah Anak yang
berhadapan dengan hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Selanjutnya anak
yang diduga melakukan tindak pidana disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum.

Batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum ini sudah mengacu pada
instrumen Internasional yang member batasan usia anak pidana adalah diatas 12 (dua belas)
tahun. Memperhatikan usia perkembangan anak dari aspek psikologis, seorang anak usia
dibawah 12 (dua belas) tahun masih berada dalam kondisi yang belum stabil. Dengan melihat
berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang berlaku di berbagai Negara maupun
pedoman sebagaimana diatur dalam instrument Internasional dan mengingat pula kondisi
objektif Negara Indonesia yang tergolong Negara berkembang, maka perkembangan
masyarakat pada umumnya relatif masih rendah. Baik secara langsung maupun tidak
langsung hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
pada umumnya. Oleh karena itu, batas usia minimum 8 (delapan) tahun bagi anak yang dapat
diminta pertanggungjawaban pidana dirasakan masih terlalu rendah.

Penetapan usia minimum 12 (dua belas) tahun sejalan dengan konsep hukum Islam,
dia tidak dikatagorikan mumayiz (anak nakal) namun ia pun belum dikatagorikan baligh
walaupun sudah memiliki tanda tanda baligh yaitu laki-laki yang sudah mimpi basah dan
wanita yang sudah haid. Kondisi demikian masuk katagori remaja yaitu perubahan dari masa
kanak-kanak memasuki masa dewasa antara usia 12 (dua belas) tahun sampai 21 (dua puluh
satu) tahun.

Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sbb:

- Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih, dan

- Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Syarat telah diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7
(tujuh) tahun tersebut adalah tepat, mengingat. ancaman pidana 7 (tujuh) tahun penjara
ditujukan terhadap pengklasifikasian tindak pidana berat.

b. Hal baru yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dalam kebijakan
ke depan adalah masalah “Diversi”.

Dalam UUSPPA yang dimaksud dngan diversi adalah pengalihan penyelesaian


perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi
merupakan perwujudan dari keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga. Pelaku atau korban dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Kebijakan formulasi
tentang diversi ini banyak dilandasi undang-undang terkait sebelumnya, yaitu Undang-
Undang Kesejahteraan Anak. Konsep diversi senada dengan kehendak Undang-Undang
Kesejahteraan Anak, dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang dengan wajar.

b. Orang tua yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.

c. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan
bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

d. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan
rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

Konsep diversi juga senada dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yaitu:

Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam
pengasuhan orangtua atau walinya atau pihak lainnya yang bertanggungjawab atas pengasuhan
anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk
perkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini tampak bahwa
perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, ditentukan sebagai berikut:

1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya, kecuali jika ada alasan dan
aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan
orang tuanya tetap dijamin oleh undang-undang.
3. Berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi.
4. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak
pidana yang masih anak.
5. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan
usianya dan harus dipisahkan dengan orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

Prinsip-prinsip tersebut tampak selaras dengan tujuan dan bentuk diversi sebagaimana
diatur dalam UUSPPA. Konsep diversi juga terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, yaitu pemberian perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum, dalam bentuk:

a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabat anak.

b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini

c. penyediaan sarana dan prasarana khusus.

d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak

e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum

f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga.

g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.

c. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Dalam penetapan jenis pidana dan tindakan bagi anak yang berkonflik dengan
hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) tidak terlepas dari tujuan dan pedoman
pemidanaan. Pada umumnya, penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggar hukum
seringkali dianggap sebagai tujuan dari hukum pidana. Oleh karena itu apabila si pelaku
sudah dijatuhi pidana, maka perkara pelanggaran hukum dianggap telah berakhir.

Hal yang sangat mendasar dalam pembahasan pemidanaan adalah mengenai


landasan filosofis pemidanaan. Dalam filsafat pemidanaan inilah keadilan dalam hukum
pidana diberi ukuran yang tercermin dalam jenis/stelsel pidana. Secara teoritis, telah
banyak pendapat yang diungkapkan para sarjana tentang tujuan pemidanaan. Dari
beberapa teori pemidanaan yang ada, dalam penjatuhan pidana terdapat dua pandangan
filsafat pemidanaan, yaitu filsafat pemidanaan yang berlandaskan pada keadilan
retributive dan filsafat pemidanaan yang didasarkan pada falsafah restoratif.

Dalam praktek saat ini, filosofi pemidanaan tidak sejalan dengan filosofi
dilaksanakannya peradilan pidana anak. Tujuan pemidanaan anak, perhatian diarahkan
atas dasar pemikiran dilaksanakannya peradilan anak tidak lain untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai bagian
integral dari kesejahteraan sosial.

Apabila dicermati perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, walaupun diatur dua jenis sanksi pidana yang
berupa pidana dan tindakan, namun perumusan bentuk sanksi belum menunjukkan tujuan
pemidanaan yang hendak melindungi kepentingan anak.

Selanjutnya pengaturan atau reformasi tentang jenis sanksi bagi anak yang
berkonflik dengan hukum sudah dilandasi filosofis pemidanaan restoratif, Selanjutnya
pengaturan atau reformasi tentang jenis sanksi bagi anak yang berkonflik dengan hukum
sudah dilandasi filosofis pemidanaan restoratif, yaitu:

1. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga;

2) pelayanan masyarakat; atau

3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; dan

e. penjara.

2. Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. pemenuhan kewajiban adat.

3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja.

.4. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan
tindakan terhadap anak diatur dalam Pasal 82 UUSPPA, yang menyebutkan:

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

a. pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa;


d. perawatan di LPKS;

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
atau badan swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

g. perbaikan akibat tindak pidana.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling
lama 1 (satu) tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Apabila dicermati formulasi jenis pidana dan tindakan pada UUSPPA tersebut
diatas sudah mencerminkan kepentingan dan kesejahteraan anak, dengan dirumuskannya
jenis-jenis pidana pokok yang bersifat non custodial (tidak bersifat perampasan
kemerdekaan). Ditegaskan dalam UUSPPA bahwa anak yang belum berusia 14 (empat
belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk
tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.

d. Syarat Petugas dan Penegak Hukum Yang Menangani Perkara Anak

Penyidik anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik


Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Pasal
41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) dengan syarat-syarat yang ditetapkan
dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: a. telah
berpengalaman sebagaai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b.
mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

Dalam Pengadilan Anak wewenang penuntutan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana, ada pada jaksa Penuntut Umum Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Jaksa Agung dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: a. telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi
dan memahami masalah anak. Dalam h al Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, ternyata terjadi tindak pidana yang dilakukan
oleh anak, maka Jaksa selaku Penuntut Umum dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan dan kemudian melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Wewenang penuntutan
diatur dalm Pasal 53 dan 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Hakim Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas
usulKetua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: a. telah berpengalaman
sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan b. mempunyai minat,
perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Kedepannya “berpengalaman” harus
dijelaskan tenggang waktunya, berapa lama. Selanjutnya tingkat pendidikan untuk penyidik
anak minimal S1.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak adalah aset paling penting masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu

melindungi anak berarti mempersiapkan masa depan negara. Negara telah mengatur berbagai

kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan perlindungan anak, serta melaksanakan

berbagai program guna tercapainya perlindungan terhadap anak dari kekerasan.

Human trafficking merupakan permasalahan yang sudah ada sejak kebudayaan manusia

itu ada dan terus terjadi sampai dengan hari ini. Penyebab utama terjadinya human trafficking

adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh

masyarakat terutama mereka yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan selain itu

juga masih lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang perdagangan orang. Upaya

hukum dalam penanggulangan permasalahan tindak pidana human trafficking adalah melalui

penegakan hukum oleh aparat hukum dan pemberian sanksi yang berat terhadap pelaku human

trafficking, serta memberikan perlindungan terhadap korban.

Pengaturan batasan umur anak untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

sebagaimana diatur dalam UUSPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

B. Saran
Setelah mmenyusun makalah ini, maka kami menyarankan agar sistem perlindungan
anak di Indonesia harus ditingkatkan lagi, mengingat banyaknya resiko yang akan terjadi pada
anak-anak di Indonesia karena kesalahan penggunaan Sistem perlindungan anak di Indonesia ini.
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan permasalahan yang harus segera
diselesaikan oleh seluruh Negara, termasuk Indonesia.

Pemerintah diharapkan senantiasa melakukan sosialisasi yang berkelanjutan kepada masyarakat


perbatasan ataupun masayarakat Indonesia secara global agar lebih mengetahui tentang human
trafficking sehingga rasa peduli masyakarat terhadap dampak human trafficking semakin
meningkat. Peran serta masyarakat dan Pemerintah dalam mencegah maupun menanggulangi
kejahatan perdagangan manusia dapat menghapus terjadinya tindak pidana masyarakat.
Pemerintah segera mewujudkan lembaga-lembaga yang diamanatkan dalam UUSPPA dan
Pembentukan pusat pelatihan bagi petugas dan penegak hukum yang menangani perkara anak.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pengadilan Anak.

Buku-buku :

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan


Anak Universitas Indonesia dan Bank Dunia. (2011). Membangun Sistem Perlindungan
Anak di Indonesia, Sebuah Kajian Pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI dan
Kontribusinya terhadap Sistem Perlindungan Anak.

A. Hamid Attamimi, Teori Peraturan perundang-undangan Indonesia, Fakultas Hukum UI,


Jakarta, 1992

Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak,Cet. ketiga, Djambatan, Jakarta.

Hadi Setia T, 2003, UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Harvarindo, Jakarta.

Hesel Nogi S. Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus,
Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta.

Surat Keputusan Kapolri Mo.Pol.: Skep/831/XI/2005 tanggal 25 Nopember 2005, Pedoman


Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Sadar Kamtibmas, Mabes Polri, Jakarta.

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Paul SinlaEloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Setara Press, Jakarta, 2017
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung.

Moch. Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradila di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Nandang Tambah, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,
cetakan I, Graha Ilmu, Jakarta. Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi
Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan 1,
Yogyakarta.

Sumber Lain :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak

http://www.poskotanews.com/2013/03/25/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan-meningkat/

http://www.voaindonesia.com/content/tindak-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-semakin-
parah/1625738.html

Anda mungkin juga menyukai