Dosen Pengampuh :
Disusun Oleh :
RATNA MARISA
الرحِيم
َّ ِالر ْح َم ِن
َّ ــــــــــــــــم اﷲ
ِ ِب ْس
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..........................................................................................16
B. Saran...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat
dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk
perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui dan memahami bagaimana prosedur-prosedur yang
berlaku dalam hukum itu sendiri. Tidak adanya pemahaman tersebut
seringkali menyebabkan terjadi implementasi hukum yang tidak benar.
Hal tersebut dapat membuat hukum yang berlaku di masyarakat
menjadi tidak optimal dan membuat masyarakat menjadi lupa, bahwa
ada hukum yang mengatur Batasan-batasan hak-hak mereka dengan
hakhak orang lain. Karena ketidaktahuan akan hukum tersebut, maka
timbulan gejala sosial yang dinamakan kejahatan.
Kejahatan merupakan Perilaku yang tidak sesuai norma atau
dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah
disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia. Kejahatan sejak dahulu hingga
sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan
pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri. Persoalan kejahatan
bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam
masyarakat yang sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia
ini.
Fenomena munculnya kejahatan sebagai gejala sosial karena
pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya dan pembangunan pada
umumnya tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga menimpa
anak-anak. Upaya penanganan atas kejahatan yang muncul adalah
dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif melalui
sistem peradilan pidana.
1
2
PEMBAHASAN
3
4
1
Masher, Riana. 2010 emosi anak usia dini dan strategi pengembangannya. Jakarta:
kencana. Hal. 76
5
dimaksud dalam Pasal 76D. Pasal 81 ayat (5) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih
dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban
meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun. Pasal 81 ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal
81 ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
alat pendeteksi elektronik. Pasal 81 ayat (8) Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana
pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pasal 81
ayat (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Sedangkan tambahannya Pasal 81A ayat (1) menyatakan
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah
terpidana menjalani pidana pokok. Pasal 81A ayat (2) Pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Pasal 81A ayat
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Pasal 81A
ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut Pasal 82 ayat (2) menyatakan dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak,
pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
15
dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 ayat (3) menyatakan selain terhadap
pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E. Pasal 82 ayat (4) menyatakan dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan
jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 82
ayat (5) menyatakan selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal 82 ayat (6)
menyatakan terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pasal 82 ayat (7) menyatakan
bahwa tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan
bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan, dan Pasal 82 ayat (8) menyatakan pidana
tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.3
Namun atas pengesahan, penjelasan dari pihak pemerintah masih
kurang jelas terkait implementasi hukuman tambahan UU 1/2016
tersebut. Kalau pun harus setuju, maka catatan yang terpenting bahwa
Perppu ini akan direvisi, maka harus dibuat undangundang yang lebih
komprehensif dan bisa menjawab persoalan bangsa, khususnya anak
dan perempuan. Hal ini agar kedepan tidak terjadi tumpang tindih
terkait perlindungan anak, agar kepastian perlindungan anak semakin
jelas dan semakin pasti didalam menjaga generasi penerus bangsa ini
3
Undang-undang nomor 20, 2003. Tentang system pendidikan nasional. Hal. 80
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perundang-undang nasional di bidang perlindungan anak
khususnya terkait tindak pidana kekerasan, eksploitasi, perlakuan
salah dan penelantaran pada anak perlu diamandemen. Perbaikan
undang-undang ini harus dilakukan dengan caramelengkapi unsur-
unsur deliknya sehingga persoalan tindak pidana ini menjadi clear dan
mudah ditegakkan oleh penegak hukum, serta mudah difahami oleh
masyarakat awam sekalipun. Ada kesan bahwa bahasa undang-
undang hanya bisa difahami oleh mereka yang berpendidikan hukum
semata. Padahal undang-undang yang baik haruslah dibuat untuk
mudah dipahami masyarakat yang menggunakan undang-undang itu.
Beberapa rekomendasi yang ditawarkan dalam untuk
mengantisipasi problematikan di atas antara lain: (1) perlu
dipertimbangkan rumusan delik pidana dalam undang-undang
perlindungan anak dengan model rumusan single track. Artinya antara
perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidananya dirumuskan
dalam pasal yang sama; (2) Menyebutkan semua unsur dalam tindak
pidana kekerasan pada anak, eksploitasi anak, penelantaran anak dan
perlakuan salah pada anak; (3) Mempertimbangkan untuk
dimasukkannya unsur tambahan dalam rumusan delik yang ditujukan
kepada siapa saja melaporkan, menolong dan/atau memberikan
bantuan kepada anak yang mengalami kekerasan, penelantaran,
eksploitasi dan perlakuan salah; (3) mendefinisikan tindak pidana yang
disesuaikan dengan standar internasional khususnya dengan ketentuan
yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
16
17
B. SARAN
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai
berikut: 1) Penulis berharap agar pihak pembentuk undang-undang
yaitu pihak legislatif agar mengesahkan Perubahan Kedua Undang-
Undang Perlindungan Anak akibat dari kebutuhan dinamika
perlindungan anak, bukan karena ada kepentingan; 2) Penulis
menyarankan agar Perubahan Kedua Undang-Undang Perlindungan
Anak menjadi dasar penegak hukum dalam bertindak untuk penegakan
hak-hak anak dan 3) Penulis menyarankan agar pemerintah membuat
aturan yang lebih baik lagi terkait perlindungan anak, agar tidak terjadi
tumpang tindih antar lembaga negara.
18
DAFTAR PUSTAKA