Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“LEMBAGA INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK”

Dosen Pengampuh :

Disusun Oleh :

RATNA MARISA

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)


INSTITUT AGAMA ISLAM
NUSANTARA BATANG HARI
2022
KATA PENGANTAR

‫الرحِيم‬
َّ ‫ِالر ْح َم ِن‬
َّ ‫ــــــــــــــــم اﷲ‬
ِ ‫ِب ْس‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan kelancaran
beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW
yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat Rahmat dan ridha-Nya penulis dapat

menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “lembaga

internasional perlindungan anak”. makalah ini disusun untuk memenuhi


salah satu tugas kelompok tahun akademik 2022

Dalam penyusunan makalah ini Penulis mendapatkan bantuan


serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis. Begitu pula makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun.

Muara Bulian, juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan dan penulis................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak .................................3


B. Hukum Positif terkait Perlindungan Anak............................................8
C. Perundang-Undangan ........................................................................11
D. Analisis Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016...........................15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................16
B. Saran...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat
dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk
perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui dan memahami bagaimana prosedur-prosedur yang
berlaku dalam hukum itu sendiri. Tidak adanya pemahaman tersebut
seringkali menyebabkan terjadi implementasi hukum yang tidak benar.
Hal tersebut dapat membuat hukum yang berlaku di masyarakat
menjadi tidak optimal dan membuat masyarakat menjadi lupa, bahwa
ada hukum yang mengatur Batasan-batasan hak-hak mereka dengan
hakhak orang lain. Karena ketidaktahuan akan hukum tersebut, maka
timbulan gejala sosial yang dinamakan kejahatan.
Kejahatan merupakan Perilaku yang tidak sesuai norma atau
dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah
disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia. Kejahatan sejak dahulu hingga
sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan
pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri. Persoalan kejahatan
bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam
masyarakat yang sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia
ini.
Fenomena munculnya kejahatan sebagai gejala sosial karena
pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya dan pembangunan pada
umumnya tidak hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga menimpa
anak-anak. Upaya penanganan atas kejahatan yang muncul adalah
dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif melalui
sistem peradilan pidana.

1
2

Anak pada dasarnya adalah amanah sekaligus karunia Tuhan


Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau
dihilangkan, kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam
hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dari orang
tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.5 Oleh karena itu tidak
ada setiap manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut,
karena hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi
manusia (HAM) yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum
secara internasional maupun hukum nasional. maka Presiden Jokowi
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndnagUndang atas
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak atau yang lebih dikenal tentang Perppu
Perlindungan Anak, dan akhirnya dijadikan undang-undang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR RI) menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
(UU 17/2016) pada tanggal 12 oktober 2016 pada sidang rapat
Paripurna DPR RI tanpa ada pengubahan isi.
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak
2. Hukum Positif terkait Perlindungan Anak
3. Perundang-Undangan
4. Analisis Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak


Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai
saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda
kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik
agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak. Setiap komponen
bangsa, baik pemerintah maupun non-pemerintah memiliki kewajiban
untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan
pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, dan
pemerintah.
Anak nakal itu merupakan hal yang wajar-wajar saja, karena tidak
seorangpun dari orang tua yang menghendaki kenakalan anaknya
berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya
banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri,
seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah
yang hidup ditengah lingkungan keluarga atau pergaulan sosial yang
tidak sehat
Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan
Peradilan di Ameriks dalam rangka usaha membentuk suatu undang-
undang peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya
ada kelompok yang menekankan psegi pelanggaran hukumnya, ada
pula yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah
menyimpang dari orma yang berlaku atau belum melanggar hukum.
Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah
perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Menurut Katini Kartono (1992:7) yang dikatakan Juvenile
Deliquency, adalah: “Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada

3
4

anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian


sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.” Secara filosofi anak merupakan
bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di
masa yang akan datang yang memiliki peran serta cirri-ciri khusus serta
memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.
Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tndakan
siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun
pemertintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada
hakikatnya ana tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. 1
Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak
Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara
teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan
hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia
yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi
dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban
anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian,
perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang
penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan
berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan
kesejahteraan anak.

1
Masher, Riana. 2010 emosi anak usia dini dan strategi pengembangannya. Jakarta:
kencana. Hal. 76
5

Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penanganan


masalah perlindungan anak di Indonesia masih jalan di tempat.
Sementara itu, Komite Hak Anak PBB menyebutkan bahwa Indonesia
masih mendapatkan “rapor” buruk dalam penanganan perlindungan
anak. Buruknya penanganan perlindungan anak ini ditunjukkan oleh
data statistik anak-anak yang menjadi korban tindak pidana. Menurut
BPS, pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia yang menjadi
korban tindak pidana  sebanyak 1,06 persen, dan dari jumlah tersebut
sebanyak 0,29 persen atau 247.610 adalah anak-anak. Dari 247.610
anak yang menjadi korban kejahatan, 80 persen diantaranya memiilih
untuk tidak memproses kasus tersebut ke kepolisian.
Meski jumlah data di atas tidak memberikan rincian terhadap
anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran
maupun perlakuan salah. Akan tetapi rincian tentang kasus-kasus anak
ini bisa didapat di berbagai non-goverment organization (NGO) baik
dari dalam negeri ataupun dari luar negeri yang selalu memantau
pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan data
yang dihimpun ECPAT Indonesia, ditemukan sekitar 30 persen dari
total kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kejahatan
seksual anak. Jika persentase ECPAT ini digunakan untuk menghitung
korban kejahatan anak, maka sekitar 74 ribu anak adalah korban dari
kejahatan seksual.
Tingginya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi,
penelantaran dan perlakuan salah disebabkan karena belum
maksimalnya upaya pemerintah dan peran berbagai aktor perlindungan
anak dalam menjalankan upaya preventif. Bahkan instrumen hukum
positif saat ni juga belum benar-benar mampu melindungi anak-anak
dari tindak kejahatan.
Ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap
anak-anak dari praktik kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan
6

perlakuan salah. Adapun gambaran dari 22 undang-undang ini dapat


digambarkan pada tabel di bawah ini.

B. Hukum Positif terkait Perlindungan Anak

No. Undang-Undang (UU)


1. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi KILO 138
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Anak Sipil dan Politik
10. Undang-Undang No. 31 Tahun 2006 tentang LPSK
11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
13. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
14. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial
16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, Supplementing the United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk
Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi)
18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
7

Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan


Pornografi Anak
19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA
20. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang REVISI UU No.
23/2002 (Perlindungan Anak)
21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus,
karena undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi
yang dilakukan tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan
harmonisasi dengan standard internasional yang diratifikasi tetapi lebih
didasarkan pada respon atas persoalan-persoalan anak yang
mengemuka atau muncul di masyarakat. Dengan kata lain revisi yang
dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis. Oleh sebab itu, revisi
yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan persoalan anak
secara menyeluruh.

C. Perundang-Undangan Nasional Tentang Kekerasan, Eksploitasi,


Penelantaran dan Perlakuan Salah pada Anak
Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak
mengatur sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak
diantaranya: kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan
diskriminasi terhadap anak., yang mana tindakan tersebut dilarang dan
diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak pidana tersebut di atas
tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk
tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016.
Namun undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang
memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi,
penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-
8

undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada


siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman
hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan
pendekatan retributive (balas dendam). Meski dalam beberapa pasal
juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan
rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-
undang nasional.
D. Definisi dan Sanksi Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan
Perlakuan Salah dalam Undang-Undang Nasional dan
Perbandingannya dengan Insrumen Internasional
Secara umum undang-undang nasional tidak memberikan definisi
yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi,
penelantaran, diskriminasi dan perlakuan salah terhadap anak. Bahkan
jenis tidak pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk
menakar perbuatan pidana yang ditujukan kepada anak, karena
lemahnya unsur-unsur dalam rumusan delik tersebut. Pentingnya
mencantumkan unsur-unsur tindak pidana pada anak adalah untuk
kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana
unsur tindak pidana (bestandelen delick) menjadi hal yang sangat
krusial untuk memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada anak. Berikut
ini ditampilkan beberapa definisi dari tindak pidana tersebut dalam
konteks undang-undang nasional yakni dari persfektif Undang-Undang
No. 23/2002 juncto Undang-Undang No. 35/2014, Undang-Undang No.
23/2004, UU No. 44/2008.
Larangan melakukan kekerasan terhadap anak dipertegas dengan
pasal 76 huruf C yang berbunyi:
Pasal 76C “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
kekerasan terhadap anak.”
9

Pasal di atas telah memberikan peringatan terhadap siapapun


yang melakukan kekerasan terhadap anak dengan ancaman pidana.
Hanya saja ketika merujuk penjelasan pasal ini, maka tidak ada unsur-
unsur pasal yang dimaksud tentang tindak pidana kekerasan pada
anak. Selain itu dalam konteks undang-undang perlindungan anak juga
dicantumkan dalam pasal kekerasan seksual pada anak yang diatur
dalam pasal 76 huruf D dan E yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 76D “Setiap orang dilarang melakukan ekekarasan atau


ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain”
Pasal 76E “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukannya perbuatan cabul”
Dari rumusan di atas menunjukkan bahwa belum adanya rumusan
yang secara spesifik pada jenis tindak pidana kekerasan pada anak
maupun kekerasan seksual pada anak. Kekerasan fisik, kekerasan
seksual maupun kekerasan mental tidak diuraikan sebagai unsur-unsur
deliknya secara rinci, sehingga perilaku kekerasan pada anak yang
terjadi di dalam masyarakat masih sulit dibuktikan atau malah
menimbulkan keraguan bagi penegak hukum untuk menggunakan
pasal-pasal tersebut. Ada beberapa ukuran yang bisa dipergunakan
untuk mendefinisikan dan mengurai unsur kekerasan terhadap anak
(child abuse) salah satunya adalah rumusan berikut ini:
Analisa dari uraian di atas yang dapat ditarik jika diperbandingkan
antara rumusan yang ada dalam undang-undang perlindungan anak
menunjukkan masih terjadinya kesenjangan antara unsur-unsur yang
ada dalam undang-undang perlindungan anak dengan definisi di atas,
sehingga unsur-unsur kekerasan terhadap anak mencakup bentuk-
bentuk yang lebih konkret dan rinci, tidak sekedar mencatumkan
10

kekerasan fisik, mental dan sosial, yang menimbulkan keraguan pada


penegak hukum dan sulitnya membuktikan secara juridis formil,
sehingga pada akhirnya merugikan anak itu sendiri.
Selain itu, perlu juga mempertimbangkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami oleh anak. Pendefinisian secara khusus menjadi
penting, agar definisi yang terlalu luas terhadap kekerasan anak dalam
lingkup rumah tangga menjadi lebih spesifik. adapun rumusan berikut
ini juga bisa dipertimbangkan untuk digunakan:
Pasal 76I “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyeluruh melakukan,a tau turut serta melakukan
eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.”
Norma larangan di atas ini adalah  kabur dan unsur-unsur dari
perbuatan yang dilarang juga tidak tidak dicantumkan. Rumusan
eksploitasi harus didefinisikan secara kongkret, sehingga ketika unsur
tersebut dipenuhi maka siapa saja yang melakukan tindak pidana
eksploitasi dapat dipidana. Eksploitasi dalam konteks pasal ini dibatasi
pada eksloitasi seksual dan eksploitasi ekonomi. Unsur eksploitasi
seksual dan unsur eksploitasi ekonomi juga perlu dijabarkan secara
lebih lanjut, sehingga memiliki makna yang berbeda dengan tindak
pidana kekerasan seksual pada anak.
Penelantaran pada anak sebagaimana didefinisikan di atas
menunjukkan sulitnya menegakan delik ini dan sulit juga memastikan
jenis dan unsur deliknya sebagai tindak pidana penelantaran pada
anak. Dalam pasal 76 huruf B penelataran dana perlukan salah
ditempat dalam satu pasal yang berbunyi:
Pasal 76B “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyeluruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah
dan penelantaran.”
Perbuatan yang dilarang dalam pasal di atas masih sangat kabur,
unsur-unsur penelantaran tidak dijelaskan dalam rumusan delik
11

maupun penjelasan. Pasal 1 angka 6 UU No. 35/2014 hanya


mendefinisikan anak telantar sebagai berikut :
E. Analisis Perkembangan Pembentukan Perubahan Kedua
Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016
Perkembangan pengaturan perlindungan anak kembali
mendapatkan angin segar pada tahun 2014, hal ini ditandai dengan
pemerintah mengadakan perubahan dan penambahan terhadap UU
23/2002 melalui Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU 35/2014), yang telah berlaku sejak
diundangkannya, yaitu pada tanggal 17 Oktober 2014. Penambahan
substansi dalam UU 35/2014, di antaranya penambahan definisi
kekerasan, perlindungan hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan di
satuan pendidikan, pemenuhan hak anak untuk tetap bertemu dan
berhubungan pribadi dengan kedua orang tuanya setelah terjadi
perceraian, larangan untuk memperlakukan anak secara diskriminatif
dan segala bentuk kekerasan.
Perubahan dan penambahan terhadap UU 23/2002 ini agar
perlindungan anak selama ini belum dapat berjalan dengan aktif,
karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-
undangan sektoral terkait dengan definisi anak. Di sisi lain, maraknya
kejahatan terhadap anak di masyarakat, salah satunya adalah
kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta semua
pengangku kepentingan yang terkait dengan penyelengaraan
perlindungan anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan
perlindungan anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan
dapat mendukung pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.2
2
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan  Permasalahanya. Jakarta :
Sagung Seto.hal. 65-67
12

Di dalam penjelasan UU 35/2014, menyebutkan bahwa perubahan


ini mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi
pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik,
psikis, dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan, Hal
tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau
anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan
yang sama.
Memang jumlah kekerasan pada anak khususnya kekerasan
seksual terus meningkat. Terutama di tahun 2016 banyak sekali
pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak. Contohnya saja, anak
diperkosa oleh orangtuanya, anak diperkosa oleh orangtua tirinya, anak
diperkosa oleh saudaranya, anak diperkosa oleh keluarganya, anak
diperkosa oleh temannya, bahkan anak perempuan diperkosa oleh
beberapa orang yang melibatkan laki-laki dewasa ataupun laki-laki
yang masih dikategorikan anak diabawah umur. Kondisi demikian
mendorong banyak pihak, terutama para pemerhati perlindungan anak
mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah undang-undang
perlindungan anak. Presiden Joko Widodo pun merespon dengan cepat
tuntutan tersebut dengan menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah
menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Perppu yang sering
disebut dengan Perppu Kebiri ini merupakan Perppu pertama yang
dikeluarkan di masa Pemerintahan Jokowi, setelah lama diperdebatan.
Sebagian pihak menyambut baik langkah Jokowi menerbitkan Perppu
ini. Sebab hal itu dipandang sebagai bentuk keseriusan Pemerintah
dalam hal mengatasi kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak.
Terlebih kasus kejahatan seksual terhadap Anak di Indonesia dari hari
13

ke hari semakin meningkat. Korban tidak hanya diperkosa, tetapi juga


disiksa, dibunuh, bahkan dimutilasi. Oleh karena itu menurut Jokowi,
kejahatan seksual pantas disebut sebagai kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime). Sehingga membutuhkan penanganan khusus
atau cara-cara kusus untuk mengatasinya. Salah satunya melalui
pemberatan sanksi bagi pelaku dengan sanksi kebiri sebagai salah satu
hukuman tambahan yang diatur dalam Perppu ini.
Perppu tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya
disahkan. Perppu disetujui dalam sidang paripurna, pada tanggal 12
Oktober 2016, tanpa ada pengubahan isi. Namun, pengesahan ini
disertai catatan. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai
Gerindra sempat menolak pengesahan Perppu menjadi undang-
undang. Namun, setelah lobi pimpinan fraksi dan pimpinan DPR, PKS
akhirnya menyetujui dengan catatan. Sedangkan Gerindra tetap dalam
posisi menolak. Perppu tersebut menjadi undangundang Nomor 1
Tahun 2016 tentang perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 1/2016).
Lebih lanjut Pasal 81 ayat (2) menyatakan ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk Anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Pasal 81 ayat (3) Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua,
wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh
anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 81 ayat (4) Selain
terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana
14

dimaksud dalam Pasal 76D. Pasal 81 ayat (5) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih
dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban
meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun. Pasal 81 ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal
81 ayat (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
alat pendeteksi elektronik. Pasal 81 ayat (8) Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana
pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pasal 81
ayat (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Sedangkan tambahannya Pasal 81A ayat (1) menyatakan
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah
terpidana menjalani pidana pokok. Pasal 81A ayat (2) Pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Pasal 81A ayat
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Pasal 81A
ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut Pasal 82 ayat (2) menyatakan dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak,
pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan
anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
15

dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 ayat (3) menyatakan selain terhadap
pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E. Pasal 82 ayat (4) menyatakan dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan
korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan
jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 82
ayat (5) menyatakan selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pasal 82 ayat (6)
menyatakan terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pasal 82 ayat (7) menyatakan
bahwa tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan
bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan, dan Pasal 82 ayat (8) menyatakan pidana
tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.3
Namun atas pengesahan, penjelasan dari pihak pemerintah masih
kurang jelas terkait implementasi hukuman tambahan UU 1/2016
tersebut. Kalau pun harus setuju, maka catatan yang terpenting bahwa
Perppu ini akan direvisi, maka harus dibuat undangundang yang lebih
komprehensif dan bisa menjawab persoalan bangsa, khususnya anak
dan perempuan. Hal ini agar kedepan tidak terjadi tumpang tindih
terkait perlindungan anak, agar kepastian perlindungan anak semakin
jelas dan semakin pasti didalam menjaga generasi penerus bangsa ini

3
Undang-undang nomor 20, 2003. Tentang system pendidikan nasional. Hal. 80
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perundang-undang nasional di bidang perlindungan anak
khususnya terkait tindak pidana kekerasan, eksploitasi, perlakuan
salah dan penelantaran pada anak perlu diamandemen. Perbaikan
undang-undang ini harus dilakukan dengan caramelengkapi unsur-
unsur deliknya sehingga persoalan tindak pidana ini menjadi clear dan
mudah ditegakkan oleh penegak hukum, serta mudah difahami oleh
masyarakat awam sekalipun. Ada kesan bahwa bahasa undang-
undang hanya bisa difahami oleh mereka yang berpendidikan hukum
semata. Padahal undang-undang yang baik haruslah dibuat untuk
mudah dipahami masyarakat yang menggunakan undang-undang itu.
Beberapa rekomendasi yang ditawarkan dalam untuk
mengantisipasi problematikan di atas antara lain: (1) perlu
dipertimbangkan rumusan delik pidana dalam undang-undang
perlindungan anak dengan model rumusan single track. Artinya antara
perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidananya dirumuskan
dalam pasal yang sama; (2) Menyebutkan semua unsur dalam tindak
pidana kekerasan pada anak, eksploitasi anak, penelantaran anak dan
perlakuan salah pada anak; (3) Mempertimbangkan untuk
dimasukkannya unsur tambahan dalam rumusan delik yang ditujukan
kepada siapa saja melaporkan, menolong dan/atau memberikan
bantuan kepada anak yang mengalami kekerasan, penelantaran,
eksploitasi dan perlakuan salah; (3) mendefinisikan tindak pidana yang
disesuaikan dengan standar internasional khususnya dengan ketentuan
yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

16
17

B. SARAN
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai
berikut: 1) Penulis berharap agar pihak pembentuk undang-undang
yaitu pihak legislatif agar mengesahkan Perubahan Kedua Undang-
Undang Perlindungan Anak akibat dari kebutuhan dinamika
perlindungan anak, bukan karena ada kepentingan; 2) Penulis
menyarankan agar Perubahan Kedua Undang-Undang Perlindungan
Anak menjadi dasar penegak hukum dalam bertindak untuk penegakan
hak-hak anak dan 3) Penulis menyarankan agar pemerintah membuat
aturan yang lebih baik lagi terkait perlindungan anak, agar tidak terjadi
tumpang tindih antar lembaga negara.
18

DAFTAR PUSTAKA

Masher, Riana. 2010 emosi anak usia dini dan strategi


pengembangannya. Jakarta: kencana.

Rachmawati, Yeni. 2012. Strategi pengembangan kreatifitas pada anak


usia taman kanak-kanak. Jakarta: kencana prenada media group.

S. Titin. 2012. Permainan Asyik Bikin Anak Pintar. Yogyakarta: In Azna


Books.

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan  Permasalahanya.


Jakarta : Sagung Seto.

Tim Penyusun. 2014. Psikologi perkembangan anak 1. Medan: Fakultas


Ilmu Pendidikan UNIMED.

Undang-undang nomor 20, 2003. Tentang system pendidikan nasional

Anda mungkin juga menyukai