Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“KETENTUAN PIDANA ATAS PERLANGGARAN HAK


PERLINDUNGAN ANAK”
Dosen Pengampuh : Dr. Okdanasmita, M.Pd

Disusun Oleh :

MELLY ANDRIANI

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NUSANTARA BATANG HARI
2022
KATA PENGANTAR

‫الرحِيم‬
َّ ‫ِالر ْح َم ِن‬
َّ ‫ــــــــــــــــم اﷲ‬
ِ ‫ِب ْس‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan kelancaran
beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW
yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat Rahmat dan ridha-Nya penulis dapat


menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Ketentuan pidana
atas perlanggaran hak perlindungan anak”. makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok tahun akademik 2022

Dalam penyusunan makalah ini Penulis mendapatkan bantuan


serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis. Begitu pula makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun.

Muara Bulian, Mei 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini kemajuan dalam penegakan hukum mendapatkan
dukungan seluruh bangsa di dunia. Kemajuan tersebut dapat
diketahui dari banyaknya instrumen hukum nasional dan internasional
yang digunakan untuk mendukung terciptanya tujuan hukum berupa
kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai
oleh hukum tersebut sangat diharapkan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi hak-hak individu dan hak-hak masyarakat
dari perbuatan yang mengahancurkan sendi-sendi kemanusiaan
dalam sejarah peradaban manusia.
Isu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) adalah isu
utama yang sedang dibahas oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Dari sekian banyak hal pokok yang banyak disoroti oleh bangsa-
bangsa di seiuruh dunia adalah perbuatan kekerasan terhadap
perempuan sebagai salah modus operandi kejahatan.
Dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dijelaskan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak,
fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Anak memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan
orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang
haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting
untuk diprioritaskan. Anak yang berhadapan dengan hukum (melanggar
hukum pidana) yang kemudian diproses berarti anak harus berhadapan
dengan proses peradilan pidana yaitu suatu rangkaian kesatuan
(continuum) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang maju
secara teratur: mulai dari penyidikan penangkapan penahanan
penuntutan diperiksa oleh pengadilan diputus oleh hakim, dipidana dan
akhirnya kembali ke masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang akan di
bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah faktor terjadinya Kekerasan Terhadap Anak dan
Perempuan?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak dan
Perempuan terhadap Korban Kekerasan?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor terjadinya Kekerasan Terhadap Anak dan
Perempuan
2. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak
dan Perempuan terhadap Korban Kekerasan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Peraturan Undang-undang Perlindungan Anak


Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai
saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda
kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik
agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak. Setiap komponen
bangsa, baik pemerintah maupun non-pemerintah memiliki kewajiban
untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan
pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, dan
pemerintah.
Anak nakal itu merupakan hal yang wajar-wajar saja, karena tidak
seorangpun dari orang tua yang menghendaki kenakalan anaknya
berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya
banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri,
seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah
yang hidup ditengah lingkungan keluarga atau pergaulan sosial yang
tidak sehat
Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan
Peradilan di Ameriks dalam rangka usaha membentuk suatu undang-
undang peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya
ada kelompok yang menekankan psegi pelanggaran hukumnya, ada
pula yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah
menyimpang dari orma yang berlaku atau belum melanggar hukum.
Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah
perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Menurut Katini Kartono (1992:7) yang dikatakan Juvenile
Deliquency, adalah: “Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian
sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.”
Secara filosofi anak merupakan bagian dari generasi muda,
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang yang
memiliki peran serta cirri-ciri khusus serta memerlukan pembinaan dan
perlindungan yang khusus pula.
Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tndakan
siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun
pemertintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada
hakikatnya ana tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak
Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara
teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan
hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia
yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi
dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban
anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian,
perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang
penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan
berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan
kesejahteraan anak.
Ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap
anak-anak dari praktik kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan
perlakuan salah. Adapun gambaran dari 22 undang-undang ini dapat
digambarkan pada tabel di bawah ini.
Hukum Positif terkait Perlindungan Anak

No. Undang-Undang (UU)


1. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
2. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi KILO 138
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi KILO 182

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Anak Sipil dan Politik
10. Undang-Undang No. 31 Tahun 2006 tentang LPSK
11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
13. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
14. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial
16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, Supplementing the United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk
Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi)
17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
Protokol KHA tentang Anak yang berkonflik dengan Senjata
18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Opsional
Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan
Pornografi Anak
19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA
20. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang REVISI UU No.
13/2006 (LPSK)
21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang REVISI UU No.
23/2002 (Perlindungan Anak)
22 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Undang-undang yang disebutkan di atas tidak semuanya


mengatur perlindungan anak secara langsung, tetapi ada juga yang
mengatur masalah perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan
sebagian adalah ratifikasi konvensi (opsional protokol) internasional.
Namun demikian, semuanya memiliki relasi atau keterkaitan dengan
perlindungan anak di Indonesia.
Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus,
karena undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi
yang dilakukan tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan
harmonisasi dengan standard internasional yang diratifikasi tetapi lebih
didasarkan pada respon atas persoalan-persoalan anak yang
mengemuka atau muncul di masyarakat. Dengan kata lain revisi yang
dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis. Oleh sebab itu, revisi
yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan persoalan anak
secara menyeluruh.

B. Perundang-Undangan Nasional Tentang Kekerasan, Eksploitasi,


Penelantaran dan Perlakuan Salah pada Anak
Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak
mengatur sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak
diantaranya: kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan
diskriminasi terhadap anak.], yang mana tindakan tersebut dilarang dan
diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak pidana tersebut di atas
tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk
tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016.
Namun undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang
memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi,
penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-
undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada
siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman
hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan
pendekatan retributive (balas dendam). Meski dalam beberapa pasal
juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan
rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-
undang nasional.
Secara umum undang-undang nasional tidak memberikan definisi
yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi,
penelantaran, diskriminasi dan perlakuan salah terhadap anak. Bahkan
jenis tidak pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk
menakar perbuatan pidana yang ditujukan kepada anak, karena
lemahnya unsur-unsur dalam rumusan delik tersebut. Pentingnya
mencantumkan unsur-unsur tindak pidana pada anak adalah untuk
kepentingan pembuktian di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana
unsur tindak pidana (bestandelen delick) menjadi hal yang sangat
krusial untuk memasikan pelaku tindak pidana telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pada anak. Berikut
ini ditampilkan beberapa definisi dari tindak pidana tersebut dalam
konteks undang-undang nasional yakni dari persfektif Undang-Undang
No. 23/2002 juncto Undang-Undang No. 35/2014, Undang-Undang No.
23/2004, UU No. 44/2008.
Selain itu, perlu juga mempertimbangkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami oleh anak. Pendefinisian secara khusus menjadi
penting, agar definisi yang terlalu luas terhadap kekerasan anak dalam
lingkup rumah tangga menjadi lebih spesifik. adapun rumusan berikut
ini juga bisa dipertimbangkan untuk digunakan:
Rekomendasi yang patut dipertimbangkan di masa depan dalam
menyempurnakan rumusan kekerasan terhadap anak adalah:
sebaiknya pasal-pasal tentang kekerasan pada anak (kekerasan fisik,
seksual dan mental) harus memasukkan semua unsur dalam rumusan
delik dan lebih operasional sehingga memudahkan dalam menentukan
apakah sebuah perbuatan kekerasan terhadap anak merupakan
kategori perbuatan melawan hukum atau bukan melawan hukum.
Pasal 76I “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyeluruh melakukan,a tau turut serta melakukan
eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.”
Penelantaran pada anak sebagaimana didefinisikan di atas
menunjukkan sulitnya menegakan delik ini dan sulit juga memastikan
jenis dan unsur deliknya sebagai tindak pidana penelantaran pada
anak. Dalam pasal 76 huruf B penelataran dana perlukan salah
ditempat dalam satu pasal yang berbunyi:
Pasal 76B “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyeluruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah
dan penelantaran.”
Perbuatan yang dilarang dalam pasal di atas masih sangat kabur,
unsur-unsur penelantaran tidak dijelaskan dalam rumusan delik
maupun penjelasan. Pasal 1 angka 6 UU No. 35/2014 hanya
mendefinisikan anak telantar sebagai berikut :
C. Analisis Perkembangan Pembentukan Perubahan Kedua
Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016
Perkembangan pengaturan perlindungan anak kembali
mendapatkan angin segar pada tahun 2014, hal ini ditandai dengan
pemerintah mengadakan perubahan dan penambahan terhadap UU
23/2002 melalui Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU 35/2014), yang telah berlaku sejak
diundangkannya, yaitu pada tanggal 17 Oktober 2014. Penambahan
substansi dalam UU 35/2014, di antaranya penambahan definisi
kekerasan, perlindungan hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan di
satuan pendidikan, pemenuhan hak anak untuk tetap bertemu dan
berhubungan pribadi dengan kedua orang tuanya setelah terjadi
perceraian, larangan untuk memperlakukan anak secara diskriminatif
dan segala bentuk kekerasan.
Perubahan dan penambahan terhadap UU 23/2002 ini agar
perlindungan anak selama ini belum dapat berjalan dengan aktif,
karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-
undangan sektoral terkait dengan definisi anak. Di sisi lain, maraknya
kejahatan terhadap anak di masyarakat, salah satunya adalah
kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta semua
pengangku kepentingan yang terkait dengan penyelengaraan
perlindungan anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan
perlindungan anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan
dapat mendukung pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan perlindungan anak.
Di dalam penjelasan UU 35/2014, menyebutkan bahwa perubahan
ini mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi
pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik,
psikis, dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan, Hal
tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau
anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan
yang sama.
A. Faktor-Faktor Kekerasan Terhadap Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: Faktor Internal, Faktor Eksternal
C. Perlindungan Hukum terhadap hak anak dan perempuan
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap
hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan
fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan
politik untuk memperoleh keadilan sosial.
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan
martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang
akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan
konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak
pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-
hak tersebut.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan
cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa
mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu perlu
mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan
hukum dapat kita lihat sebagai suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkap hukum baik preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Kata lainnya perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian dan kedamaian.
1. Penegertian Perlindungan Anak
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan
meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di
masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi
terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluasluasnya untuk tumbuh
dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan
sosial. perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh
lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang
menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian
hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental
dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara
wajar baik fisik, mental, dan sosial. perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan
demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan
anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis.
2. Bentuk-bentuk Perlindungan Anak
Secara garis besar dapat disebutkan bahwa perlindungan anak
dapat dibedakan dalam dua pengertian, yakni perlindungan anak
yang bersifat yuridis dan perlindungan anak yang bersifat non
yuridis. Perlindungan anak yang bersifat yuridis menyangkut semua
aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan
seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur
kehidupan anak. Di Indonesia berlaku peraturan di samping hukum
tertulis berlaku pula hukum yang tidak tertulis, sehingga ruang
lingkup perlindungan anak yang bersifat yuridis ini juga meliputi
ketentuan-ketentuan hukum adat.
Anak merupakan tunas suatu bangsa sehingga penting kiranya
negara dan seluruh elemen masyarakat berperan aktif menciptakan
kondisi yang ideal bagi setiap anak untuk tumbuh dan berkembang.
Hadirnya negara dalam wujud pemenuhan dan perlindungan hak
anak telah dituangkan dalam instrumen hukum berupa Undang-
undang Perlindungan Anak. Namun masih maraknya kasus
kekerasan pada anak menunjukkan bahwa implementasi aturan ini
harus lebih sering digalakkan. Untuk memahami apa saja yang
menjadi hak anak dan bagaimana perlindungan terhadap hak
tersebut, berikut penjelasannya
3. Undang-Undang Perlindungan Anak
Perlindungan anak menurut definisi undang-undang yang
berlaku adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi(pasal 1 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak). Bahasan mengenai perlindungan anak sendiri
hadir setelah para pemimpin-pemimpin dunia di sidang umum  PBB
menandatangani Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989.
Konvensi tersebut hadir atas pertimbangan melihat anak-anak
sebagai individu yang merdeka yang memiliki hak dan kewajibannya
sendiri namun tetap memerlukan perlindungan dan perawatan
khusus dari negara dan orang di sekitarnya.
Konvensi Hak Anak kemudian diratifikasi menjadi hukum positif
di Indonesia dengan keluarnya aturan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The
Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Seiring berjalannya waktu,
aturan mengenai perlindungan terhadap anak telah sampai menjadi
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  yang
kemudian diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 dengan
menambahkan beberapa pasal tambahan .
4. Hak Perlindungan bagi Anak
Hak perlindungan anak antara lain adalah hak yang dimiliki oleh
anak untuk mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan
dan diskiriminasi yang dijamin oleh  negara sehingga anak dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam Konvensi Hak
Anak PBB, tertuang 5 klaster subtansi yang menjadi acuan aturan di
Indonesia, yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan
pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan,
hingga perlindungan khusus. Keluarga, masyarakat, dan pemerintah
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak
anak. Hal ini tentu dipertegas dengan adanya penjatuhan sanksi
pidana dan denda bagi siapapun yang melanggar hak-hak anak yang
telah tertuang di aturan.
Undang-undang Perlindungan Anak adalah sekelompok aturan
yang menjamin pemenuhan hak-hak anak dan memberikan
perlindungan kepada anak untuk menuntut hak tersebut. Di
Indonesia sendiri, yang menjadi acuan adalah UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang sebagaimana diubah menjadi
UU Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang ini menjadi payung
hukum untuk setiap anak dalam memperoleh hak dan perlindungan
terhadap haknya.
5. Hak anak dalam UU Perlindungan Anak
Hak anak tertuang dalam pasal 4 hingga pasal 18 dalam UU
Perlindungan Anak(UU PA) di Indonesia. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa UU PA ini merupakan adopsi dari Konvensi Hak
Anak PBB yang memiliki 5 klaster bahasan utama.
6. Kewajiban anak dalam UU Perlindungan Anak
Sebagaimana yang kita tahu bahwa hak senantiasa beriringan
dengan kewajiban. Adapun setelah diterangkan sebelumnya
mengenai hak-hak anak, UU Perlindungan Anak juga mengatur
kewajiban yang menyertai setiap anak di Indonesia. Setiap anak
memiliki kewajiban untuk menghormati orang tua dan guru,
mencintai keluarga dan masyarakat, pun juga mencintai tanah air,
bangsa, dan negaranya. Dengan diberikannya hak untuk beribadah
sebebas-bebasnya, maka wajar kiranya setiap anak berkewajiban
menunaikan ibadahnya dengan khusyuk. Atas semua kewajiban
inilah, diharapkan anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang
bermoral dan memiliki akhlak yang mulia.
7. Tujuan dibuatnya UU Perlindungan Anak
Tujuan dibuatnya UU ini adalah untuk menjadi landasan yuridis
yang mengatur secara khusus hak dan kewajiban anak,
perlindungan anak, dan kesejahteraan anak. Perlindungan hak asasi
anak sebelumnya telah menjadi bagian dari instrumen Hak Asasi
Manusia(HAM) di Indonesia -UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia- yang memuat pasal mengenai hak anak. Seiring
dengan lajunya zaman, sangat mudah kita jumpai berita mengenai
kasus kekerasan pada anak, pelecehan dan kekerasan seksual,
penelantaran oleh orang tua, hingga eksploitasi ekonomi yang terjadi
pada anak, contohnya pada anak jalanan di kota-kota besar. UU ini
hadir sebagai harapan dapat meminimalisir maraknya kasus-kasus
serupa yang terjadi pada anak di Indonesia dan menjamin
terpenuhinya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara
aktif.

8. Dasar Hukum Undang-undang Perlindungan Anak


Pasal perlindungan anak di bawah ini mengatur sanksi denda
dan pidana bagi siapapun yang melanggar ketentuan dalam UU
Perlindungan Anak(UU PA). Sebagaimana di paragraf sebelumnya
menjelaskan mengenai hak-hak anak, tentu ada sanksi bagi
siapapun yang melanggar hak tersebut.
 Pasal 80 UU Perlindungan Anak
 Pasal 81 UU Perlindungan Anak
 Pasal 82 UU Perlindungan Anak
9. Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak hadir untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaran
perlindungan terhadap anak di Indonesia. Maraknya kasus kejahatan
terhadap anak, salah satunya kejahatan seksual, dan juga
banyaknya peraturan sektoral yang tumpang tindih mengenai definisi
‘anak’ membuat pemerintah merevisi beberapa pasal pada UU PA
Nomor 23 Tahun 2002. Beberapa pasal yang diubah dan
ditambahkan seperti perlindungan khusus untuk anak korban
kejahatan seksual dan penambahan pidana penjara dan denda bagi
siapapun yang melakukan kejahatan terhadap anak diharap mampu
mempertegas aturan ini di lapangan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan dalam
bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak
asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di
berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan
perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk
mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan sosial
Perlindungan anak segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara
wajar baik fisik, mental, dan sosial. perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan
demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis.
B. Saran
Seharusnya aparat keamanan lebih meningkatkan fungsi
intelegen untuk melindungi warga masyarakat, pemerintah dengan
kekuasaannya lebih memberikan perhatian yang berimbang terhadap
kesenjangan ekonomi, budaya, politik dengan mengedepankan
pembangunan yang memberikan rasa keadilan dan menyejahterakan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Fatahillah, 2010, Perlindungan Hukum Terhadapa Anak Sebagai Korban


Tindak
Pidana Kesusilaan Yang Dilakukan Oleh Anak, ( skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta, Bumi Aksara
Iskandar Hoesin, “Perlindungan terhadap Kelompok Rentan (Wanita,
Anak,
Minoritas, Suku Terasing, dll) dalam Perspektif HAM” (makalah disajikan
dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003,
Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003)
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sopistem
Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2013)
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum danMasyarakat, Refika Aditama Bandung
Nasir Djamil ,2013, Anak Bukan untuk Dihukum, Jakarta, Sinar Grafika
Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya, PT. Bina Ilmu
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti

Anda mungkin juga menyukai