Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH VIKTIMOLOGI

“Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual


Pada Anak”

Oleh:

AMANDA ZULIA PUTRI 191010531

SARMITA SARI 191010496

FAKULTAS HUKUM

UNVERSTAS ISLAM

RIAU
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami
petunjuk dalam menyelesaikan makalah dengan waktu yang telah ditetapkan. Tanpa
pertolonganNya kami sebagai pemilik sekaligus pembuat makalah tidak akan sanggup
membuat makalah dengan baik.tak lupa pula kita bershalawat kepada baginda nabi kita
yakni nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nanti syafatnya dihari kemudian kelak.
Kami pemakalah mengucapkan syukur kepada Allah atas limpahan nikmat serta
sehat- Nya, baik itu berupa sehat fisik, maupun akal pikiran sehingga pemakalah mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai ujian tengah semester dari mata kuliah
delik ekonomi.
Kami pemakalah menyadari bahwa makalah belumlah sempurna dan masih banyak
kekurangan dan kesalahaan didalamnya.Untuk itu,kami membutuhkan pengkritik dan
saran dari pembaca makalah ini agar dapat menjadi makalah yang baik sesuai yang kita
inginkan.
Kemudian kami mohon maaf sebesar-besarnya karena dalam proses
penyempurnaan makalah. Kami sebagai pemakalah berterima kasih kepada Ibu dosen
pengampu mata kuliah Delik Ekonomi yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat dan kami sangat mengharapkan
masukan serta kritikan dari para pembaca. Terima kasih.

Pekanbaru, 17 April 2022

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis
dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak
mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial,
maupun spiritual.1
Anak bukanlah obyek tindakan kesewenangwenangan dari siapapun atau dari pihak
manapun. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya perlindungan untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya seperti
yang ditentukan dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menentukan bahwa ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif”.
Pengaturan dalam perlindungan anak di atur secara jelas dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 13 ayat (1) yang
menentukan bahwa :
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali ataupun pihak lain maupun
yang bertanggaung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dan perlakuan
tanpa:
1. Diskriminasi.
2. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual.
3. Penelantaran.
4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
5. Ketidakadilan.
6. Perilaku salah lainya.2
Seharusnya masyarakat saat ini perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Karena
perlu disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun.
Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di

1
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung:Nuansa Cendekia,2012),hlm.11.
2
Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002.
bawah umur. Pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa anak-anak dapat menjadi salah
satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini dipengaruhi oleh pendapat
bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan itu merupakan
tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak keinginan
pelaku.
Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan
berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut.
Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang
kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan,
perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental.
Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban
pencabulan tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi
kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.

1.2 Perumusan Masalah


1. Bagaimana perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual terhadap anak?
2. Bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana pada kekerasan seksual
terhadap anak?
3. Bagaimana peran anak dalam proses pembuktian dalam kasus kekerasan seksual?

1.3 Tujuan
1 Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
2 Untuk mengetahui bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana pada
kekerasan seksual terhadap ana.
3 Untuk mengetahui bagaimana peran anak dalam proses pembuktian dalam kasus
kekerasan seksual.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual terhadap anak


Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang
khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang
memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila
dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang
menimpa dirinya. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah
menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan,
khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1. compassion, respect and recognition;
2. receive information and explanation about the progress of the case;
3. provide information;
4. providing proper assistance;
5. protection of privacy and physical safety;
6. restitution and compensation;
7. to access to the mechanism of justice system.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti
kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan
keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu,
ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain:
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap
pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak
pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya
kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang
tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya
penanggulangan kejahatan;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi
korban lagi.3
Hukum pidana positif Indonesia masih berorientasi pada pembuat tindak pidana saja
(criminal oriented). Hukum pidana yang demikian itu berat sebelah, dan hal itu tampak
pada fokus kajiannya yang hanya pada perbuatan pidana, pembuat kejahatan dan pidana.
Guna menanggapi tuntutan keseimbangan perhatian dan pelakuan kepada korban dan
pembuat tindak pidana, maka hukum pidana perlu diubah menjadi berorientasi pada antar
hubungan korban-pembuat, sehingga fokus kajiannya terdiri atas perbuatan pidana,
pembuat kejahatan, korban, dan pidana (Iswanto, 1995:2:212).4
Hukum pidana yang berorientasi pada antar hubungan korban pembuat memenuhi
syarat keadilan, kemanfaatan, dan kepastian sesuai dengan harapan masyarakat pada
zaman sekarang dan masa yang akan datang. Sampai sekarang hal itu belum pernah dikaji
secara ilmiah.
Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tidak semata-
mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban
masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban dalam kehidupan
bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:

A. Perindungan Oleh Hukum


Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah
satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum juga
bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum
kejahatan itu terjadi. Berdasarkan ilmu hukum, maka pihak korban dapat menuntut
kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam
Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam:
1) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan
terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:

3
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan
Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada), 2007, hlm. 54-55.
4
Yazid Effendi, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan, (Purwokerto, Universitas
Jendral Soedirman), 2001, hlm.35.
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana
denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak
akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa
orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak
pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah
itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada
terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada
korban.
2) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang
mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan
perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari
perlindungan hukum terhadap korban. Jadi selain pelaku telah mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti
rugi atas kerugian yang dideritanya.
Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian
dalam perkara kekerasan seksual yang ditanganinya. Gugatan ganti kerugian
hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja.
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan
Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006. Undang-
Undang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan
hokum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan
perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor.
4) Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial, kompensasi
dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan ini sangat penting
bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dalam situasi
konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai akibat kejahatan terhadap
kemanusiaan.
5) Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa kehadiran
langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman suara. Terobosan
ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang seringkali masih trauma,
merasa takut mengalami reviktimisasi dan juga malu yang tak tertanggungkan
pada saat memberikan kesaksian.

B. Perlindunga Oleh Masyarakat


1) Keluarga
Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar
dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat
ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan
menanyakan peristiwa yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa
korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi
keyakinan bahwa kejadian yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya,
melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Hal-
hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada
dasarnya korban merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik
secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan
membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima
pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuat kondisi
kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting
dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga
merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.
2) Masyarakat
Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai peran
penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat
diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan
korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan lain-lain. Perlakuan
semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban,
karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.5

2.2 Penanganan dalam sistem peradilan pidana pada kekerasan seksual terhadap anak

5
Jurnal.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu di Wilayah Kota Pontianak.Oleh Temmangnganro Machmud
Konsep sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ialah suatu keadaan dimana
terjalinnya hubungan yang bersifat fungsional dan instansional yaitu koordinasi di antara
subsistem satu dengan lainnya menurut fungsi dan kewenangannya masing-masing
sebagaimana fungsi dan kewenangan yang diatur dalam hukum acara pidana dalam
rangka menegakkan hukum pidana yang berlaku. Berarti, sistem peradilan pidana
meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pada
pelaksanaan putusan hakim.
Sistem peradilan pidana yang terintegrasi dari berbagai kepentingan dan tujuan
tersebut memerlukan apa yang disebut dengan sinkrinisasi (keterpaduan) structural,
subsosial dan cultural. Demikian juga sikronisasi antara penal dan non penal system,
sinkronisasi antara kepastian dan keadilan, serta sinkronisasi kepentingan negara, umum,
individu dan korban memerlukan keterpaduan structural, subsosial dan kulturan. (Muladi,
1995).6
Dengan demikian, pembicaraan tentang system peradilan pidana tidak bias terlepas
dari konteks masyarakatanya. Konsep dan pengertian system menjadi menonjol sehingga
proses peradilan pidana sendiri harus dipandang sebagai system yang terdiri dari elemen-
elemen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sebagai konsekuensinya
seluruh elemen tadi harus dilihat sebagai kesatuan integral.
Menurut Scafer (1968:105-111) terdapat lima pilihan prosedur pemberian ganti rugi
terhadap korban, kelima prosedur tersebut adalah:
1. Penggantian, karakternya perdata dan diberikan melalui prosedur perdata. Dalam
kaitan ini hukum pidana tidak berkaitan dengan kerugian-kerugian yang diderita
oleh korban sebagai akibat dari kejahatan. Kejahatan dikenal semata-semata
terhadap negara; kepentingan-kepentingan korban bukan merupakan bagian
prosedur pidana. Pemisahan tuntutan restitusi atau kompensasi korban dari
prosedur pidana barangkali berkaitan dengan manifestasi secara ekstrim
pemisahan kesalahan pidana dan perdata.
2. Kompensasi, karakternya perdata tetapi diberikan dalam proses acara pidana.
Perlakuan dari persoalan restitusi ini kelihatannya paling sering dilakukan, tetapi
jarang dilaksanakan dalam praktek pengadilan.
3. Restitusi yang berkarakter perdata tetapi bercampur dengan karakteristik pidana
dan diberikan melalui prosedur pidana. Penyelesaian persoalan pidana yang sangat
mencolok berbeda dengan penyelesaian yang sebelumnya telah disebutkan,
6
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.59.
tuntutan korban harus diputuskan dalam peradilan pidana. Sementara itu walaupun
disini restitusi mungkin tetap memiliki karakteristik perdata, tidak akan terjadi
keragu-raguan atas sifat pidananya secara umum.
4. Kompensasi yang berkarakter perdata yang diberikan melalui proses acara pidana
dan didukung dengan sumber dari negara.
5. Kompensasi, karakternya netral dan diberikan melalui prosedur khusus. System
ini dilaksanakan di Swiss (sejak 1937), di Selandia Baru (sejak 1963), dan di
Inggris (sejak 1964).7
Penanganan korban kejahatan seksual memerlukan penanganan yang multi dimensi
dan tidak boleh hanya mengandalkan penanganan melalui penegakkan hukum utamanya
penegakkan hukum pidana. Memang harus ada system yang sinergis dan holistic baik
preventif maupun penanggulangan yang efektif untuk mengatasi persoalan kejahatan
kekerasan seksual anak. Telah diketahui bahwa UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dengan memperberat
ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan seksual.
Namun dengan adanya revisi UU No 32 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak pada
2014 belum mampu menurunkan angka kejahatan seksual terhadap anak, padahal sudah
diasumsikan bahwa kejahatan seksual terhadap anak bias dikurangi dengan memperberat
ancaman hukuman terhadap para pelakunya.
Seharusnya pemerintah dan DPR segera melakukan perbaikan hukum acara pidana
khususnya untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
karena memiliki karakteristik khusus utamanya dalam sistem pembuktian, kekerasan
seksual. Diperlukan hukum acara khusus untuk dapat mengadopsi karakteristik khusus
dari kekerasan seksual.
Ketika perlindungan hukum sulit didapatkan, pelaku pelecehan seksual akan terus
mengulangi perbuatannya. Bunyi pasal dalam undang-undang seringkali terbatas, tidak
lengkap, dan tidak jelas. Hakim dalam hal ini hendaknya menjadi otonom, dengan
memberikan penafsiran dari perspektif yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan perlindungan hukum. Hakim harus menggali dan membentuk hukum. Hakim punya
kewenangan untuk melakukan penafsiran sendiri, dalam hal ini terhadap bunyi Pasal 285
KUHP tentang kekerasan seksual. Dengan kewenangan tersebut, kasus-kasus pelecehan
seksual dapat dituntaskan dan korban dapat dilindungi. Hakim harusnya melakukan
pendekatan secara otonom, di mana dia membentuk hukum dari pasal-pasal itu. Hakim
7
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.64-65.
harus menggali kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat, unsur kekerasan yang
disebutkan dalam Pasal 285 KUHP hendaknya dipahami secara luas. Kekerasan
memiliki cakupan yang luas. Upaya membangun citra hingga menjadi alat untuk
menguasai pihak yang lebih lemah juga termasuk kekerasan. Hal tersebut perlu
diperhitungkan mengingat pelecehan seksual dapat terjadi berulang kali dengan
memanfaatkan relasi yang timpang antara pelaku dengan korbannya. Kesimpulan yang
didapat dalam sejumlah kajian juga menyebutkan bahwa pelecehan seksual seringkali
dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya menjaga
korban.
Kasus pelecehan seksual harus dilihat secara khusus. Kasus seperti itu sulit diungkap
karena beberapa korban memerlukan waktu untuk melaporkan perlakuan yang
diterimanya. Korban, lanjutnya, dapat dilanda depresi karena membayangkan akibat
untuk dirinya dan keluarganya jika masyarakat tahu, mengingat hal tersebut dapat
dipersepsikan sebagai kehilangan masa depan. Harus dipahami dalam konteks psikologi,
sosial, dan budaya dari anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

2.3 Hak-hak anak menurut undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang


perlindungan anak.
 Pasal 4 :
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
 Pasal 7 :
1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak, atau anak dalam
keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak
asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
peraturan perunadang-undangan.
 Pasal 8 :
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”.
 Pasal 13 :
1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mandapat perlindungan
dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

 Pasal 14 :
”Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
 Pasal 15 :
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalagunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan.
 Pasal 16 :
1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
 Pasal 17 :
1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakukan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
2. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
 Pasal 18 :
”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya”.8

BAB III
8
Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Korban tindak pidana kekerasan seksual selain mengalami penderitaan secara
fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk
memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tidak ringan dan
membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat
penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban yang
diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang
memihak korban. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya
upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa
korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses
pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya
merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta
instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban
kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan Anak
korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan
dihormati hak-hak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan anak korban
Kekerasan seksual menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang
dialaminya. Korban masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan seperti
apa yang dibutuhkannya. Aparat (polisi, hakim, jaksa) tidak mempunyai perspektif
terhadap anak korban kekerasasn seksual.

3.2 SARAN
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang berperan
dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan
pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung jawab seperti yang
telah tercatum diatas.  
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung:Nuansa Cendekia,2012),hlm.11.
Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002.
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara
Norma dan Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada), 2007, hlm. 54-55.
Yazid Effendi, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan,
(Purwokerto, Universitas Jendral Soedirman), 2001, hlm.35.
Jurnal.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu di Wilayah Kota Pontianak.Oleh Temmangnganro Machmud
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.59.
Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Anda mungkin juga menyukai