Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNVERSTAS ISLAM
RIAU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami
petunjuk dalam menyelesaikan makalah dengan waktu yang telah ditetapkan. Tanpa
pertolonganNya kami sebagai pemilik sekaligus pembuat makalah tidak akan sanggup
membuat makalah dengan baik.tak lupa pula kita bershalawat kepada baginda nabi kita
yakni nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nanti syafatnya dihari kemudian kelak.
Kami pemakalah mengucapkan syukur kepada Allah atas limpahan nikmat serta
sehat- Nya, baik itu berupa sehat fisik, maupun akal pikiran sehingga pemakalah mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai ujian tengah semester dari mata kuliah
delik ekonomi.
Kami pemakalah menyadari bahwa makalah belumlah sempurna dan masih banyak
kekurangan dan kesalahaan didalamnya.Untuk itu,kami membutuhkan pengkritik dan
saran dari pembaca makalah ini agar dapat menjadi makalah yang baik sesuai yang kita
inginkan.
Kemudian kami mohon maaf sebesar-besarnya karena dalam proses
penyempurnaan makalah. Kami sebagai pemakalah berterima kasih kepada Ibu dosen
pengampu mata kuliah Delik Ekonomi yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat dan kami sangat mengharapkan
masukan serta kritikan dari para pembaca. Terima kasih.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung:Nuansa Cendekia,2012),hlm.11.
2
Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002.
bawah umur. Pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa anak-anak dapat menjadi salah
satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini dipengaruhi oleh pendapat
bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan itu merupakan
tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak keinginan
pelaku.
Kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan
berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut.
Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang
kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan,
perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental.
Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban
pencabulan tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi
kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.
1.3 Tujuan
1 Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum pada kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
2 Untuk mengetahui bagaimana penanganan dalam sistem peradilan pidana pada
kekerasan seksual terhadap ana.
3 Untuk mengetahui bagaimana peran anak dalam proses pembuktian dalam kasus
kekerasan seksual.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan
Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada), 2007, hlm. 54-55.
4
Yazid Effendi, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan, (Purwokerto, Universitas
Jendral Soedirman), 2001, hlm.35.
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana
denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak
akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa
orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak
pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah
itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada
terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada
korban.
2) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101 yang
mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan menggabungkan
perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan merupakan perwujudan dari
perlindungan hukum terhadap korban. Jadi selain pelaku telah mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, korban juga mendapatkan ganti
rugi atas kerugian yang dideritanya.
Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian
dalam perkara kekerasan seksual yang ditanganinya. Gugatan ganti kerugian
hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja.
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan
Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006. Undang-
Undang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan
hokum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan
perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor.
4) Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial, kompensasi
dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan ini sangat penting
bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dalam situasi
konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai akibat kejahatan terhadap
kemanusiaan.
5) Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa kehadiran
langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman suara. Terobosan
ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang seringkali masih trauma,
merasa takut mengalami reviktimisasi dan juga malu yang tak tertanggungkan
pada saat memberikan kesaksian.
2.2 Penanganan dalam sistem peradilan pidana pada kekerasan seksual terhadap anak
5
Jurnal.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu di Wilayah Kota Pontianak.Oleh Temmangnganro Machmud
Konsep sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ialah suatu keadaan dimana
terjalinnya hubungan yang bersifat fungsional dan instansional yaitu koordinasi di antara
subsistem satu dengan lainnya menurut fungsi dan kewenangannya masing-masing
sebagaimana fungsi dan kewenangan yang diatur dalam hukum acara pidana dalam
rangka menegakkan hukum pidana yang berlaku. Berarti, sistem peradilan pidana
meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pada
pelaksanaan putusan hakim.
Sistem peradilan pidana yang terintegrasi dari berbagai kepentingan dan tujuan
tersebut memerlukan apa yang disebut dengan sinkrinisasi (keterpaduan) structural,
subsosial dan cultural. Demikian juga sikronisasi antara penal dan non penal system,
sinkronisasi antara kepastian dan keadilan, serta sinkronisasi kepentingan negara, umum,
individu dan korban memerlukan keterpaduan structural, subsosial dan kulturan. (Muladi,
1995).6
Dengan demikian, pembicaraan tentang system peradilan pidana tidak bias terlepas
dari konteks masyarakatanya. Konsep dan pengertian system menjadi menonjol sehingga
proses peradilan pidana sendiri harus dipandang sebagai system yang terdiri dari elemen-
elemen kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sebagai konsekuensinya
seluruh elemen tadi harus dilihat sebagai kesatuan integral.
Menurut Scafer (1968:105-111) terdapat lima pilihan prosedur pemberian ganti rugi
terhadap korban, kelima prosedur tersebut adalah:
1. Penggantian, karakternya perdata dan diberikan melalui prosedur perdata. Dalam
kaitan ini hukum pidana tidak berkaitan dengan kerugian-kerugian yang diderita
oleh korban sebagai akibat dari kejahatan. Kejahatan dikenal semata-semata
terhadap negara; kepentingan-kepentingan korban bukan merupakan bagian
prosedur pidana. Pemisahan tuntutan restitusi atau kompensasi korban dari
prosedur pidana barangkali berkaitan dengan manifestasi secara ekstrim
pemisahan kesalahan pidana dan perdata.
2. Kompensasi, karakternya perdata tetapi diberikan dalam proses acara pidana.
Perlakuan dari persoalan restitusi ini kelihatannya paling sering dilakukan, tetapi
jarang dilaksanakan dalam praktek pengadilan.
3. Restitusi yang berkarakter perdata tetapi bercampur dengan karakteristik pidana
dan diberikan melalui prosedur pidana. Penyelesaian persoalan pidana yang sangat
mencolok berbeda dengan penyelesaian yang sebelumnya telah disebutkan,
6
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.59.
tuntutan korban harus diputuskan dalam peradilan pidana. Sementara itu walaupun
disini restitusi mungkin tetap memiliki karakteristik perdata, tidak akan terjadi
keragu-raguan atas sifat pidananya secara umum.
4. Kompensasi yang berkarakter perdata yang diberikan melalui proses acara pidana
dan didukung dengan sumber dari negara.
5. Kompensasi, karakternya netral dan diberikan melalui prosedur khusus. System
ini dilaksanakan di Swiss (sejak 1937), di Selandia Baru (sejak 1963), dan di
Inggris (sejak 1964).7
Penanganan korban kejahatan seksual memerlukan penanganan yang multi dimensi
dan tidak boleh hanya mengandalkan penanganan melalui penegakkan hukum utamanya
penegakkan hukum pidana. Memang harus ada system yang sinergis dan holistic baik
preventif maupun penanggulangan yang efektif untuk mengatasi persoalan kejahatan
kekerasan seksual anak. Telah diketahui bahwa UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dengan memperberat
ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan seksual.
Namun dengan adanya revisi UU No 32 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak pada
2014 belum mampu menurunkan angka kejahatan seksual terhadap anak, padahal sudah
diasumsikan bahwa kejahatan seksual terhadap anak bias dikurangi dengan memperberat
ancaman hukuman terhadap para pelakunya.
Seharusnya pemerintah dan DPR segera melakukan perbaikan hukum acara pidana
khususnya untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
karena memiliki karakteristik khusus utamanya dalam sistem pembuktian, kekerasan
seksual. Diperlukan hukum acara khusus untuk dapat mengadopsi karakteristik khusus
dari kekerasan seksual.
Ketika perlindungan hukum sulit didapatkan, pelaku pelecehan seksual akan terus
mengulangi perbuatannya. Bunyi pasal dalam undang-undang seringkali terbatas, tidak
lengkap, dan tidak jelas. Hakim dalam hal ini hendaknya menjadi otonom, dengan
memberikan penafsiran dari perspektif yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan perlindungan hukum. Hakim harus menggali dan membentuk hukum. Hakim punya
kewenangan untuk melakukan penafsiran sendiri, dalam hal ini terhadap bunyi Pasal 285
KUHP tentang kekerasan seksual. Dengan kewenangan tersebut, kasus-kasus pelecehan
seksual dapat dituntaskan dan korban dapat dilindungi. Hakim harusnya melakukan
pendekatan secara otonom, di mana dia membentuk hukum dari pasal-pasal itu. Hakim
7
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.64-65.
harus menggali kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat, unsur kekerasan yang
disebutkan dalam Pasal 285 KUHP hendaknya dipahami secara luas. Kekerasan
memiliki cakupan yang luas. Upaya membangun citra hingga menjadi alat untuk
menguasai pihak yang lebih lemah juga termasuk kekerasan. Hal tersebut perlu
diperhitungkan mengingat pelecehan seksual dapat terjadi berulang kali dengan
memanfaatkan relasi yang timpang antara pelaku dengan korbannya. Kesimpulan yang
didapat dalam sejumlah kajian juga menyebutkan bahwa pelecehan seksual seringkali
dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya menjaga
korban.
Kasus pelecehan seksual harus dilihat secara khusus. Kasus seperti itu sulit diungkap
karena beberapa korban memerlukan waktu untuk melaporkan perlakuan yang
diterimanya. Korban, lanjutnya, dapat dilanda depresi karena membayangkan akibat
untuk dirinya dan keluarganya jika masyarakat tahu, mengingat hal tersebut dapat
dipersepsikan sebagai kehilangan masa depan. Harus dipahami dalam konteks psikologi,
sosial, dan budaya dari anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Pasal 14 :
”Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
Pasal 15 :
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalagunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 :
1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Pasal 17 :
1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakukan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
2. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 :
”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya”.8
BAB III
8
Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Korban tindak pidana kekerasan seksual selain mengalami penderitaan secara
fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk
memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tidak ringan dan
membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat
penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban yang
diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang
memihak korban. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya
upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa
korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses
pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya
merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta
instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban
kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) masih memperlakukan Anak
korban kekerasan seksual sebagai obyek, bukan subjek yang harus didengarkan dan
dihormati hak-hak hukumnya. Mereka kebanyakan masih menjadikan anak korban
Kekerasan seksual menjadi korban kedua kalinya (revictimisasi) atas kasus yang
dialaminya. Korban masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan seperti
apa yang dibutuhkannya. Aparat (polisi, hakim, jaksa) tidak mempunyai perspektif
terhadap anak korban kekerasasn seksual.
3.2 SARAN
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli
terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan
merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang berperan
dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan
pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung jawab seperti yang
telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung:Nuansa Cendekia,2012),hlm.11.
Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002.
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara
Norma dan Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada), 2007, hlm. 54-55.
Yazid Effendi, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan,
(Purwokerto, Universitas Jendral Soedirman), 2001, hlm.35.
Jurnal.Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu di Wilayah Kota Pontianak.Oleh Temmangnganro Machmud
Yazid Effendi,Op.Cit, hlm.59.
Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.