Anda di halaman 1dari 14

KASUS PEMBULIYAN DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Mahjaniar


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bullying atau yang lebih sering dikenal perundungan merupakan fenomena yang

cukup dikenal baik di Indonesia maupun di luar negeri. Para pihak kebanyakan adalah anak-

anak usia sekolah, selama ini perundungan atau perundungan sudah dilakukan sejak SD

hingga SMA, bahkan tidak menutup kemungkinan perundungan masih dilakukan di tingkat

perguruan tinggi walaupun dalam angka yang sangat kecil. Sebagian pelaku dan korban

adalah orang-orang terpelajar, sehingga dipastikan para pelaku ini mendapatkan pelatihan

yang cukup untuk menunjukkan bahwa bullying dapat berdampak pada korban. 1

Di Indonesia, peraturan perundang-undangan tersebut salah satunya dikenal dengan

istilah rule of law as a penal system, yang merupakan standar hukum mengenai hukuman dan

penjatuhan pidana.2 Hukum pidana harus diakui sebagai hak atas sanksi khusus, hukum

pidana dapat membatasi kebebasan seseorang dengan menjatuhkan hukuman penjara atau

hukuman fisik, hingga dan termasuk pembunuhan. KUHP memuat sanksi atas pelanggaran

aturan hukum, yang jauh lebih ketat dari konsekuensi sanksi yang diatur dalam undang-

undang lainnya.3 Hukum pidana dalam ilmu hukum. Hukum pidana sebagai salah satu

instrumen hukum nasional adalah merupakan produk pemikiran manusia yang sengaja dibuat

untuk melindungi korban dari semua bentuk kejahatan.4


1
Resti amelia, “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku dan korban Pelaku dan Korban Bullying di Indonesia”,
Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Negri Semarang, Jawa Tengah, 2020,
Hal.1.http://lib.unnes.ac.id/41816/1/8111415101.
2
Nandang Sambas., Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hal.1.
3
Ibid., Hal. 3.
4
Dona Fitriani, Haryadi, Dessy Rakhmawati, “Peranan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (P2TP2A) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT”, PAMPA
S : Journal Of Criminal Law, Vol 2, No 2, 2021. Hal. 2. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/147
Bullying berarti mengintimidasi satu atau lebih orang dengan menganggap bahwa

target memiliki kekurangan. Bullying dilakukan dengan mempermalukan korban, meminta

korban melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu kepada korban yang dapat berdampak

negatif bagi korban baik secara fisik maupun psikis. Bullying dapat terjadi baik secara

langsung maupun online. Ini merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu perilaku

kasar, dapat berupa fisik, psikis melalui kata-kata atau gabungan dari ketiganya. Pelaku

mengeksploitasi orang lain yang dia anggap rentan. Salah satu faktor yang paling

mempengaruhi lahirnya perilaku anak korban bullying adalah kurangnya pendidikan moral

atau kesempatan dalam berupaya untuk menghargai orang lain. Beberapa faktor yang

biasanya menyebabkan seorang anak di-bully oleh temannya adalah faktor ras, faktor agama,

faktor ekonomi/sosial dan faktor psikologis.5

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana

telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan 50 Anak Pasal 80 Jo 76C UU

Perlindungan Anak, memberikan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak sebagai

berikut :

Pasal 80, menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan atau denda

paling banyak Rp 2.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”

69.
5
Evita Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, Dini Saputri Fredyandani Apituley, “Penerapan Sanksi Tindakan Anak
Yang Melakukan Bullying Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Hukum Magnum Opus, Vol 3,
No 2, 2020, Hal. 1. https://jurnal.untagsby.ac.id/index.php/Magnumopus/article/view/3350.
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Dalam hal Anak.6

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mats, maka pelaku dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketetuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang

Tuanya".

Pasal 76C, menyebutkan bahwa "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”

Perlindungan terhadap anak ini mempunyai implikasi hukum baik hukum tertulis

maupun hukum tidak tertulis. Dalam perlindungan anak, hukum menjadi jaminan atas

tindakan tersebut, karena anak merupakan kelompok rentan yang wajib dilindungi oleh

negara. Perlindungan anak dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

perlindungan anak legal dan perlindungan anak ilegal. Perlindungan hukum lebih

dikenal dengan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap anak tidak hanya

diberikan kepada korban, anak yang menjadi pelaku juga berhak mendapatkan perlindungan

hukum.7 Perlindungan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Penegakan hukum

merupakan pelayanan yang harus diberikan oleh negara, khususnya negara untuk menjamin

keselamatan setiap warga negara. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,

konstitusi secara eksplisit mengatur tentang perlindungan anak. Pasal 28B ayat 2 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia (1945) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak
6
https://jabarekspres.com/berita/2022/07/20/kasus-pengeroyokan-siswa-smp-di-jamb-hingg a-tulang-retak-b
erakhir-damai-orang-tua-korban-sebut-kasihan/(Diakses Pada 26 November 2022).
7
Sausan Afifah Denadin, “Pelaksanaan Penanganan Anak Melalui Proses Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Pe
radilan Anak Di Indonesia”, PAMPAS : Journal Of Criminal Law, Vol 3, No 2, 2022, Hal 3. https://online-journal.u
nja.ac.id/Pampas/article/view/19297/15114
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana

yang tercantum pada Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menyatakan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.8

Victimology adalah bidang kajian yang mendalami tentang lahirnya korban yang

mengalami kerusakan fisik, mental, ataupun kehilangan harta benda terutama disebabkan

oleh tindakan pidana.9 Victimology berasal dari bahasa latin victima yang berarti

pengorbanan dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi mengacu pada

penelitian yang mengkaji tentang korban, sebab-sebab viktimisasi, dan akibat viktimisasi

yang menggambarkan masalah manusia sebagai realitas sosial. 10

Korban viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak terbatas pada individu yang

benar-benar menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta dan negara,

sedangkan akibat viktimisasi mengacu pada sikap atau tindakan. kepada korban dan/atau

pelaku dan orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tindak

pidana tersebut. Penting agar korban mendapat perhatian utama dalam pembahasan kejahatan

karena korban seringkali memainkan peran yang sangat penting dalam kejahatan.11

Dalam perkembangannya, perlindungan anak di bidang hukum diatur dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang diperbaharui menjadi
8
Syuha Maisytho Probilla, Andi Najemi, Aga Anum Prayudi, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tinda
k Pidana Kekerasan Seksual”, PAMPAS : Journal Of Crimina Law, Vol 2, No 1, 2021, Hal. 2. https://online-journal.
unja.ac.id/Pampas/article/view/12684.

9
Tasya Nafisatul Hasan, Marli Candra, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Hak Perlindungan Penyalahgunaan Narko
tika (Victimless Crime)”, PAMPAS : Journal Of Crimina Law, Vol 2, No 2, 2021, Hal. 1. https://online-journal.unja.
ac.id/Pampas/article/view/13026.

10
Ainal Hadi, Muhklis, Kriminologi & Viktimologi, Banda Aceh, CV Bina Nanggroe ,2012, Hal. 155.
11
eni Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hal. 43.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan

hukum terhadap anak diatur di Indonesia. dari beberapa peraturan perundang-undangan,

namun diatur secara khusus oleh Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014.12

Menurut Pasal 2 Ayat 2 UU No. 35 Tahun 2014 Republik Indonesia Tentang

Perubahan UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, perlindungan anak adalah setiap

kegiatan yang menjamin dan melindungi anak serta hak- haknya agar dapat hidup. . tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.13

Di dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) tersebut mengatur tentang hak dan perlindungan

terhadap anak, yaitu," Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

Di dalam ayat (1) huruf a ditegaskan. Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di

satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga

kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain."14

Pasal 1 angka 16 UU Perlindungan Anak,

“kekerasan adalah "setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk

ancaman untuk melaksanakan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum."

Pasal 54 UU Perlindungan Anak mengatur bahwa setiap anak berhak. mendapat

perlindungan dari tindak kekerasan disekolah, yang berbunyi

12
Melisa, Luthy Yustika, “Analisa Pelindungan Hukum Terhadap anak sebagai Korban Bullying di sekolah dasar N
egri Kalianyar Jakarta Barat”, ICA of lAW, Vol 1, No 2, 2020, Hal. 2. https://www.esaunggul.ac.id.
13
Ibid., Hal. 3.
14
Ibid., Hal 4.
"Anak di dalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib mendapat perlindungan

dari tindak kekerasan fik pakis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain”.

Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik tenaga

kependidikan, aparat pemerintah, dan atau Masyarakat” Dalam pasal 3 UU 23/2002 UU

35/2014 mengandung aspek penting yaitu terjamin dan terpenuhinya hak-hak anak,

terpenuhinya harkat dan martabat kemanusiaan, perlindungan anak dari kekerasan dan

diskriminasi, terwujudaya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Sedangkan

prinsip dasar konvensi hak- hak anak meliputi: non-diskriminasi kepentingan yang terbaik

bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; penghargaan terhadap

pendapat anak. Seorang bocah perempuan kelas 3 SDIT Al-Azhar Jambi menjadi korban

bullying oleh teman perempuannya di sekolahnya hingga meninggal dunia. Selain di ejek,

pelaku juga lakukan bullying dengan memukul bagian kepala korban bagian belakangnya dan

di dolakan ke dinding kelas hingga alami sakit kepala dan alami pendarahan. "Alhamdulillah

kasusnya dengan cepat di proses oleh sekolah dan sekolah akan sesegera mungkin

mencarikan sekolah lain yang mungkin bisa mengcover anak (pelaku) tersebut," tulis Asri

Fanny melalui postingan tertulis di Facebook pada Jumat, 1 April 2022.

Lalu ada juga kasus tentang Seorang siswa baru di Jambi, AK (12 tahun), dikeroyok 3

kakak kelasnya karena menolak saat disuruh berkelahi dengan teman seangkatan atau sesama

siswa baru. Akibat pengeroyokan tersebut, kaki korban retak serius. Kejadian berlangsung di

hari pertama masuk sekolah atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Awalnya,

korban diadu atau disuruh berkelahi dengan anak baru, namun AK menolak. Kesal dengan

penolakan, kakak kelasnya pun meminta korban menyerahkan uang, namun juga tidak

diberikan. Dengan demikian kakak kelasnya melakukan pemukulan. Tempat kejadiannya di

belakang sekolah.
Upaya yang dilakukan pihak sekolah yaitu melakukan mediasi, upaya tersebut

menghasilkan kesepakatan dimana para pihak bersepakat menyelesaikan secara damai

permasalahan yang terjadi terhadap semua Pihak, baik Pihak Pertama (korban), pihak Kedua

dan Ketiga (pelaku). Selanjutnya, bunyi kesepakatan itu disebutkan, segala akibat dari

kejadian tersebut akan ditanggung oleh Pihak Kedua dan Ketiga (orang tua pelaku) sampai

sembuh. Perjanjian dibuat tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Apabila di lain

waktu terjadi lagi maka pihak yang terlibat akan dikembalikan kepada orang tua. Disini

penulis melihat kesenjangan anatara das sollen (seharusnya) dan das sein (kenyataan) dalam

Undang-undang Perlindungan Anak.

Berdasarkan Uraian di atas maka Penulis Tertarik untuk mengangkat dan

membahaskanya dalam bentuk proposal skripsi dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK KORBAN BULLYING YANG DILAKUKAN DINAS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Upaya yang dilakukan Pemerintahan dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap korban bullying ?

2. Apa saja kendala pemerintahan dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap korban bullying ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bullying

Bullying merupakan suatu tindakan agresif yang dilakukan secara

berulang oleh suatu individu atau kelompok terhadap individu atau

kelompok lain, dilansir dari laman Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara (UMSU). Bullying biasanya terjadi kepada orang yang dianggap

lebih lemah atau berbeda dari kebanyakan orang lainnya.

Pada dasarnya bullying adalah tindakan penindasan yang dilakukan

individu atau kelompok untuk menganiaya individu lain secara sadar dan

sengaja. Bullying bisa ditujukan untuk menyakiti atau menakuti dengan

ancaman tertentu.

Pemerintahan telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan

perlindungan hukum terhadap korban bullying. Beberapa langkah yang

diambil antara lain:

1. Penyusunan Peraturan: Pemerintah telah menyusun peraturan-

peraturan yang mengatur tentang tindakan bullying, baik di tingkat

nasional maupun daerah. Hal ini bertujuan untuk memberikan dasar

hukum yang jelas dan tegas terhadap tindakan bullying.


2. Peningkatan Kesadaran: Pemerintah secara aktif melakukan

kampanye dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

tentang bahaya dan dampak negatif dari bullying. Ini dilakukan melalui

program-program pendidikan di sekolah, pelatihan bagi guru dan orang

tua, serta kampanye di media massa.

3. Pembentukan Tim Penanganan: Pemerintah telah membentuk

tim penanganan bullying yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk aparat

penegak hukum, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat. Tim ini

bertugas untuk menerima laporan, melakukan investigasi, dan

memberikan perlindungan kepada korban bullying.

4. Sanksi Hukum: Pemerintah juga telah meningkatkan sanksi

hukum terhadap pelaku bullying. Dalam beberapa kasus, pelaku bullying

dapat dijerat dengan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan

atau pelecehan. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera dan

memastikan keadilan bagi korban.

5. Dukungan Psikologis: Pemerintah juga memberikan perhatian

terhadap aspek psikologis korban bullying dengan menyediakan layanan


konseling dan dukungan psikologis. Hal ini penting untuk membantu

korban mengatasi trauma dan memulihkan kepercayaan diri mereka.

Melalui langkah-langkah ini, pemerintahan berupaya untuk memberikan

perlindungan hukum yang efektif bagi korban bullying, serta mencegah

terjadinya tindakan bullying di masyarakat.

Beberapa kendala yang mungkin dihadapi pemerintahan dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap korban bullying adalah

sebagai berikut:

1. Kesadaran dan Pendidikan: Salah satu kendala utama adalah kurangnya

kesadaran dan pemahaman tentang masalah bullying di masyarakat.

Pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih besar dalam mengedukasi

masyarakat tentang dampak buruk bullying serta pentingnya melindungi

korban.

2. Keterbatasan Hukum: Terkadang, hukum yang ada tidak cukup kuat

atau tidak memadai untuk mengatasi kasus bullying. Pemerintah perlu

melakukan evaluasi terhadap undang-undang yang ada dan melakukan


perubahan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan hukum yang

memadai bagi korban bullying.

3. Penegakan Hukum: Meskipun ada undang-undang yang melarang

bullying, penegakan hukum yang efektif kadang-kadang sulit dilakukan.

Kurangnya bukti yang cukup atau keragaman interpretasi hukum dapat

menghambat proses penegakan hukum yang adil dan efisien.

4. Stigma dan Ketakutan: Beberapa korban bullying mungkin enggan

melaporkan kasus mereka karena takut akan stigma sosial atau

pembalasan dari pelaku. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan di

mana korban bullying merasa aman dan didukung untuk melaporkan

kasus mereka tanpa rasa takut.

5. Keterbatasan Sumber Daya: Pemerintah mungkin menghadapi

keterbatasan sumber daya, baik dalam hal personel maupun anggaran,

yang dapat mempengaruhi upaya mereka dalam memberikan

perlindungan hukum yang memadai bagi korban bullying.


Untuk mengatasi kendala-kendala ini, pemerintah perlu mengambil

langkah-langkah aktif dalam meningkatkan kesadaran, memperkuat

undang-undang dan kebijakan, meningkatkan penegakan hukum, serta

menyediakan sumber daya yang cukup untuk melindungi korban bullying

dan mencegah tindakan tersebut terjadi.

Anda mungkin juga menyukai