Anda di halaman 1dari 21

DIVERSI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM


PERADILAM PIDANA DI INDONESIA
Ilham Baihaqi1
Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
Jl. Mt. Haryono No. 193 Malang, 65144, 0341 551932, Fax: 0341-552249
E-Mail : Ilhambaihaqi493@gmail.com
ABSTRACT
In their studies on protecting children against the law, starting from the level of
investigation, investigation, prosecution, up to the trial process, law enforcement
officials are faced with carrying out an incident subjectively in protecting children as
perpetrators of criminal acts. This is not in line with the goals of diversion, namely to
achieve peace between victims and children, resolve child cases outside the judicial
process, prevent children from being deprived of independence, encourage the
community to participate, and instill a sense of responsibility towards children. This
writing is motivated by the form of legal protection provided by the government for
children as perpetrators of crimes, as well as the form of application of diversion to
children as perpetrators of crimes in the juvenile justice system. This research is a
type of normative legal research. This research uses several approaches, including
the Legal Approach and the Conceptual Approach. The collection of legal materials
is carried out by means of library research and documentation.
Keywords: Diversion, Juvenile Justice, Legal Protection.
ABSTRAK
Dalam kajiannya dalam melindungi anak yang berhadap hukum, mulai dari
tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan,
aparat peneggak hukum dihadapakan dengan melaksanakan suatu peristiwa secara
subjektif dalam melindungi anak sebagai palaku tindak pidana. Hal demikian tidak
sejalan dengan tujaun dari diversi yakni untuk mencapai perdamaian antara korban
dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan
Anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi,
dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. penulisan ini dilatarbelakangi
dari bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana, serta bentuk penerapan Diversi terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan,
antara lain Pendekatan Undang-Undnag dan Pendekatan Konseptual. Pengumpulan
bahan hukum dilakukan dengan kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi.
Kata Kunci: Diversi, Peradilan Anak, Perlindungan Hukum.

1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara yang berdaulat dan menjunjung tinggi norma-
norma hukum, sebagaimana berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, menyebutkan bawah, Negara
Indonesia adalah negara hukum.2 Dalam ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa
setiap orang yang berada pada wilayah Indonesia harus tunduk pada hukum yang
berlaku di Indonesia dan tidak ada seorangpun yang kebal akan hukum, dan segala
perbuatan harus didasarkan dan memiliki konsekuensi sesuai dengan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan hal demikian, dalam salah satu tujuan hukum yaitu untuk
mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.3 Tata tertib yang dimaksud
demikian didasari karena dalam kehidupan manusia selalu menjalin hubungan antara
satu sama dengan yang lain, berdasarkan sifat dan keingan yang berbeda-beda.
Sedangkan keadilan merupakan suatu keadaan keseimbangan yang membawa
ketentraman di dalam hati dan jika diusik atau dilanggar akan meninmbulkan
kegelisahan dan kegoncangan.4
Dalam mewujudkan sistem kehidupan bergenara dengan keberlangsungan
suatu generasi, maka anak harus dijaga keberadaan masa depannya. Anak sebagai
suatu generasi dalam suatu negara harus dijaga keberadaannya, mulai dari
kehidupannya sampai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dewasa ini dalam
perkembanganya seorang anak sering berhadapan dengan suatu lembaga peneggak
hukum yang dalam penerapannya harus diberikan perlindungan hukum, dikarenakan
seorang anak harus dilindungan hak-hak dalam sistem suatu negara.
“Anak sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan kelangsungan
hidup berbangsa dan bernegara. Anak yang termasuk dalam generasi keturunan baru
cenderung tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosial yang berbeda dalam
kehidupan masyarakat. Tujuan Negara Republik Indonesia dalam pembukaan UUD

2
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
3
Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, Jakarta:
Prenadamedia Group, (2018), hlm. 29.
4
Ibid.
1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, menumpahkan darah seluruh
rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan rakyat,
dan ikut serta mencerdaskan bangsa. Terwujudnya tatanan dunia yang berlandaskan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ketentuan tersebut dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia berkualitas yang dapat memimpin dan
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta perlindungan hak asasi
manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
“Untuk melindungi hak setiap orang yang memiliki negara, termasuk hak
dasar atas kesejahteraan anak, putusan tersebut mengakui bahwa setiap anak memiliki
hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta hak untuk dilindungi dari kekerasan.
Ia menyatakan bahwa ia memiliki perbedaan.” 5 ”Perlindungan hak anak terutama
terkait langsung dengan pengaturan hukum, kebijakan, inisiatif, dan praktik yang
menjamin terwujudnya perlindungan hak anak. Kelompok anak-anak cacat dalam
pertumbuhan dan perkembangan intelektual, fisik dan sosial.”6
Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa memiliki peran, strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.7 Permasalahan yang sering terjadi dalam
dalam kehidupan masyarakat di Indonesia seiring dengan kemajuan jaman yang
ditandai adanya perkembangan teknologi dan budaya, membuat tidak hanya orang
dewasa saja yang bisa melanggar nilai-nilai dan norma yang ada dimasyarakat
terutama norma hukum yang dikategorikan masih anak-anak juga bisa melakukan
pelanggaran norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar.
Pelanggaran terhadap norma hukum yang membuat seorang anak harus
berhadapan dengan sistem peradilan menimbulkan tanggapan yang mengatakan
bahwa adanya penegak hukum yang belum memberikan perhatian secara khusus
terhadap tersangka anak, dan hal tersebut menunjukkan bahwa hukum yang ada di
Indonesia masih belum cukup berpihak pada anak-anak, sedangkan sebagai bagian
5
Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
6
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju, (2009), hlm. 19.
7
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
dari subjek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlindungan dikarenakan anak
adalah titipan Tuhan dan generasi penerus keluarga, marga, suku, bangsa dan Negara
serta generasi penerus umat manusia. Perlindungan anak tersebut adalah segala usaha
yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak
dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik,
mental dan sosial.8 Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun sosial
yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan juvenile delinquency.
Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum sangat diperlukan,
mengingat anak yang berhadapan dengan hukum berada pada situasi dan kondisi
diluar kemampuan mental dan pesikisnya serta dalam proses pemeriksaan pada tahap
penyidikan, penyidik hanya melihat kepentingan proses hukum tanpa memperhatikan
kepentingan dan kesejahteraan anak. Untuk itu harus mendapat perlindungan hukum,
mengingat mereka sangat peka terhadap berbagai ancaman gangguan mental, fisik,
dan sosial. Serta penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
merupakan bagian dari kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan bagi anak,
serta apabila terjadi penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum maka
harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar dari konveksi hak-hak anak yang telah di
adopsi dalam Undang-undang perlindungan anak.
“Kejahatan adalah perbuatan/perbuatan yang dilarang oleh negara karena
merupakan kejahatan yang dilakukan oleh negara sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, yang merugikan negara dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan
orang tersebut. Badan legislatif yang menghukum tindakan yang diambil sebagai
upaya terakhir (ultimatum). Kejahatan saat ini bukan hanya masalah dewa, kejahatan
bukan hanya tentang anak sebagai korban pelecehan anak, tetapi juga anak-anak, dan
yang paling mengkhawatirkan sekarang adalah jika anak itu sendiri yang melakukan
kejahatan.”9

8
Maidin Gulton, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Di Indonesia. Bandung; Rafika Aditama, (2014), Hlm. 33.
9
Maidin Gulton, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sisitem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia, Bandung: Rafika Aditama, (2006), hlm. 35.
Ketika anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal
yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya
membawa anak yang berkonflik dengan hukum dengan konsekuensi yang cukup
besar dalam tumbu kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak,
dalam hal ini adalah penjara, tidak berhasil menjadikan anak menjadi efek jera serta
menyesali dari perbuatannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam
menjunjung proses tumbuh kembangnya, melainkan penjara justru seringkali
membuat anak semakin professional melakukan tindakan kejahatan.
Pada setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum sering kali
dihadapkan pada kondisi yang mewajibkan untuk melindungi dua kepentingan yang
terkesan saling bertolak belakang, yakni kepentingan korban yang wajib dilindungi
untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara
mental maupun fisik), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah,
tetapi dia tetap sebagai manusia yang mempunyai hak asasi yang harus dijunjung
tinggi. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah
(asas praduga tak bersalah). Dalam penyelesaian perkara pidana, hukum seringkali
melakukan kekeliruan dengan terlalu mengedepankan hak-hak dari
tersangka/terdakwa, sementara hak-hak dari korban diabaikan.
Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus
benar-benar di prioritaskan oleh aparat penegak hukum. Mengingat anak yang
berhadapan dengan hukum berada pada situasi diluar kendali mental dan pesisikisnya
serta dalam proses penangananya aparat penegak hukum hanya melihat prosedur
hukum yang berlaku saja, tidak memikirkan bagaimana kondisi kejiwaan anak yang
sedang berhadapan dengan hukum. Untuk penanganan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan bagi anak, serta apabila terjadi penahanan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum semaksimal mungkin dijauhkan dari sistem peradilan pidana anak.
Lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak didalamnya terdapat sebuah keharusan untuk menegakkan suatu
keadilan kepada anak yang berkonflik dengan hukum dengan cara penerapan Diversi
sebagai salah satu metode penyelesaian perkara anak di Indonesia. Hal tersebut
tentunya dapat menjadi jalan keluar bagi perkara tindak pidana yang dilakukan oleh
anak agar diselesaikan diluar peradilan, sehingga anak yang berkonflik dengan
hukum tidak merasakan proses peradilan seperti pemeriksaan, penahanan dan sidang
dipengadilan.
Dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, Diversi
merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
ke poses diluar peradilan pidana.10 Langkah pengalihan dibuat untuk menghindarkan
anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukungan komunitas, disamping itu
pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh negatif dari tindakan hukum
berikutnya yang dapat menimbulkan stigmatisasi. Apabila perkaranya tidak dapat
dilakukan dengan cara mediasi Sistem Peradilan Pidana Anak harus mengacu pada
due process of law, sehingga Hak Asasi Anak yang diduga melakukan tindak pidana
dapat dilindungi.
Diversi berupaya memberikan keadilan kepada anak yang sedang berhadpan
dengan sistem peradilan akibat terlanjur melakukan tindak pidana. Diversi diberikan
kepada anak yang sedang berhadapan dengan hukum dikarenakan sebagaiman dalam
ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak secara tegas
menyebutkan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan wajib mengupayakan diversi, dengan kulaifikasi tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.
Dalam melaksanakan diversi, peneggak hukum harus melibatkan beberapa
pihak agar diversi demikian dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia yang sudah tercantum dalam ketentuan UU Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang dimana menyebutkan pelaksanaan diversi dilakukan melalui musyawarah
dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan

10
Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
11
pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. 12 Dalam proses
pelaksanaanya diversi dilaksanakan dengan memperhatikan antara lain:13
1. Kepentingan korban
2. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak
3. Penghindaran stigma negatif
4. Penghindaran pembalasan
5. Keharmonisan masyarakat, dan
6. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Untuk melaksanakan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana, dengan mengedepankan diversi sebagai bentuk perlindungan hukum
dan memperhatikan prosedur-prosedur pelaksanaan serta proses pelaksaannya. Dalam
kajiannya dalam melindungi anak yang berhadap hukum, mulai dari tingkat
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan, aparat
peneggak hukum dihadapakan dengan melaksanakan suatu peristiwa secara subjektif
dalam melindungi anak sebagai palaku tindak pidana. Hal demikian tidak sejalan
dengan tujaun dari diversi yakni untuk mencapai perdamaian antara korban dan
Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan Anak
dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Dengan demikian, sebagaimana latar belakang yang penulis uraikan di atas,
maka terdapat beberapa permasalahan diantaranya Pertama Bagaimana Bentuk
Perlindungan Hukum yang Diberikan oleh Pemerintah Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana? Kedua, Bagaimana Bentuk Penerapan Diversi Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak?

11
Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
12
Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
13
Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui Bentuk Perlindungan
Hukum yang Diberikan oleh Pemerintah Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak
Pidana. Serta untuk mengetahui Bentuk Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif pada hakikatnya mempelajari peraturan diketahi sesuai norma dan aturan
sesuai ketentuan yang terdspat dalam masyarakat untuk sebagai acuan bagi perilaku
setiap orang. Jenis penelitian ini juga dikenal sebagai penelitian kepustakaan,
penelitian teoritis/dogmatis. Sedangkan pendekatan dalam kegiatan penelitian
mencoba mengaitkan dengan penelitian atau metode untuk sampai pada pemahaman
masalah penelitian, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, antara lain
Pendekatan Undang-Undnag dan Pendekatan Konseptual. Pendekatan Undang-
Undang adalah pendekatan yang menitikberatkan pada norma hukum yang berbeda
dan menerapkan tema sentral suatu kajian. Dalam penelitian hukum normatif, bahan
hukum yang digunakan meliputi: Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang
terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hirarki. 14
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan kegiatan studi kepustakaan (library
research) dan dokumentasi (documentary research). Dengan melakukan
pengumpulan dan klasifikasi bahan hukum akan membawa akibat pada penataan dan
pengorganisasian bahan hukum melalui proses sinkronisasi.15
PEMBAHASAN
Bentuk Perlindungan Hukum yang Diberikan oleh Pemerintah Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap anak berkaitan dengan
pemberian hak-hak anak. Perlindungan anak tidak lain merupakan segala kegiatan
untuk menjamin dan memberikan perlindungan pada anak beserta hak-haknya agar

14
H. Salim Hs, dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Desertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, (2013), hlm. 172.
15
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, (2015), hlm.
84.
dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih
sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh
kembang dengan wajar. Perlindungan hak-hak anak sangat ditentukan oleh adanya
kebijakan perlindungan anak (Child Protection Policy), kebijakan kesejahteraan anak
(Child Welfare Policy). Negara Indonesia telah berkomitmen menjadikan
perlindungan anak sebagai hal yang paling mendasar, hal ini tercermin dari
pengaturan mengenai yang diatur secara tegas dalam konstitusi.16
Pada UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak yang berkonflik dengan
hukum berhak mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya terpisah
dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain sesuai tahapan
upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan memperoleh keadilan yang objektif
di depan pengadilan yang tidak memihak. Pemberian perlindungan khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum khususnya yang berkonflik dengan hukum
merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam Pasal 64
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak, dilaksanakan dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Perlindungan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan harkat anak
2. Penyediaan petugas pedampingan khusus anak sejak dini
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
5. Pemantauan dan pencacatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga, dan
7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi
16
Ni Ketut Ayu Suwandewi dan Ni Nengah Adiyaryani, Diversi sebagai Bentuk Perlindungan
Anak dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Kertha Patrika, Vol. 42, No. 3 Desember 2020,
Hlm. 280.
Pasal 16 ayat (1), (2), (3) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan
sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir. Pada UU HAM mengatur perlindungan anak dan
hak-hak anak dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 66. Adapun hak anak yang
berkonflik dengan hukum juga diatur dalam undang-undang ini yaitu pada Pasal 66
ayat (1), (2), yang mana menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan
sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk
pelaku tindak pidana yang masih anak. Lebih lanjut dinyatakan bahwa setiap anak
berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum, penangkapan,
penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Merupakan
bagian dari hak anak yaitu memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Berbagai ketentuan
pada undang-undang tersebut tampak sesuai dengan perkembangan era dizaman
modern sekrang, karena terdapat tujuan perlindungan khusus yang diberikan kepada
anak yang berhadapan dengan hukum, berupa perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan harkat anak serta menghindari labelisasi terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum.17
Dengan adanya bentuk perlindungan hukum yang terdapat dalam ketentuan
UU Perlindungan Anak dan UU Hak Asasi Manusia, demikian di atas terdapat
perlindungan khusus yang diberikan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana yakni
terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang dimana perlindungan hukum yang diberikan adalah
yakni pendekatan Restorative Justice dan Diversi. Restorative Justice adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

17
Ibid., Hlm. 281.
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.18 Sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.19
Dari bentuk perlindungan hukum Restorative Justice dan Diversi yang
diberikan oleh pemerintah melalui UU Sistem Peradilan Pidana Anak, demikian
merupakan suatu bentuk perlindungan yang melakat terhadap hak asasi seorang anak
dalam sistem peradilan pidana. Pendekatan Restorative Justice sendiri diterapkan
mulai dari tahap penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, persidangan Anak yang dilakukan
oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan pembinaan, pembimbingan,
pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan
dan setelah menjalani pidana atau tindakan.20
Sedangkan untuk upaya diversi perlindungan hukum yang dapat diterapkan
oleh peneggak hukum mulai dari tahap tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.21 Dengan
proses melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif, 22dengan melibatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.

18
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
19
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
20
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
21
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
22
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Dalam penerapan diversi sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak
dalam proses perdilan pidana maka peneggak hukum wajib memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi anak, yang diantaranya sebagai berikut:23
1. Kepentingan korban
2. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak
3. Penghindaran stigma negatif
4. Penghindaran pembalasan
5. Keharmonisan masyarakat dan
6. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah lewat UU Sistem
Peradilan Pidana Anak demikian, merupakann suatu bentuk penerapan terhadap hak-
hak seorang anak yang sudah diratifikasi oleh pemerintah indonesia dari konvensi
Convention on the Rights of the Child sebagaimana telah diratfikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak
Anak). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak sebagai dasar dalam pelaksanaan proses peradilan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang
berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih
panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan
diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, berguna bagi diri sendiri,
keluarga, masyarakat serta bangsa dan Negara.24
Untuk ddemikian Perlindungan hukum terhadap anak yang sedang
berahadapan dengan hukum merupakan tindakan yang harus dikedepankan oleh
aparat penegak hukum. Perlindungan hukum terhadap yakni dengan menggunakan
pendekatan Restorative Justice dan diversi sebagai proses pengalihan perkara anak

23
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
24
Adi Hardiyanto Wicaksono Dan Pujiyono, Kebijakan Pelaksanaan Diversi Sebagai
Perlindungan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pada Tingkat Penuntutan Di Kejaksaan
Negeri Kudus, Jurnal Law Reform, Vol. 11, No. 1, (2015), Hlm. 16.
yang sedang berhadapan dengan hukum. Langkah pengalihan dibuat untuk
menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya yang bertujuan untuk
mencegah pengaruh negatif terhadap anak. Pengalihan dapat dilakukan atas dasar
kewenangan diskersi dari penyidik, penuntut umum atau hakim, sesuai dengan
tingkatan pemeriksaan melalui suatu penetapan. Apabila perkaranya tidak dapat
diselesaikan secara mediasi sistem peradilan pidana harus mengacu pada due process
of law, sehingga Hak Asasi Anak yang diduga melakukan tindak pidana dapat
dilindungi.25
Sejalan dengan demikian, perlindungan yang diberikan oleh pemerintah harus
dapat diperhatikan dengan baik oleh aparat peneggak hukum dalam melaksanakan
perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, hal-hal yang harus
diperhatikan oleh aparat peneggak hukum dalam proses sistem peradilan pidana anak
yakni dengan melindingi anak dari stigmatisasi negatif dengan memberikan hak-
haknya sebagai berikut:26
1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya
2. Dipisahkan dari orang dewasa
3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
4. Melakukan kegiatan rekreasional
5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya
6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
7. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat
8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang yang tertutup untuk umum
9. tidak dipublikasikan identitasnya
10. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak

25
Wagiati Soetedjo dan Melani, op.cit., hlm. 134-135.
26
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
11. Memperoleh advokasi sosial
12. Memperoleh kehidupan pribadi
13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat
14. Memperoleh pendidikan
15. Memperoleh pelayananan kesehatan, dan
16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk demikian, dari beberapa bentuk perlindungan hukum terhadap anak
dalam peraturan perundang-undang di Indonesia, harus dapat diterapkan secara serius
oleh aparat penegak hukum dengan kebijakan penanggungan dalam kejahatan. bentuk
perlindungan hukum terhadap anak khususnya anak yang berhadap dengan hukum.
Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan perlindungan
dan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai
upaya kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan
pemerintah untuk melaksanakan pembangunan nasional tergabung dalam kebijakan
sosial (social policy). Kebijakan sosial memuat kebijakan bidang politik, ekonomi,
hukum, pertahanan keamanan, pengolahan sumber daya alam, kesehatan lingkungan
kehidupan, dan lain sebagainya. Kebijakankebijakan tersebut berpengaruh pada
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.27
Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari
kebijakan sosial (social policy) termasuk di dalamnya kebijakan legislatif (legislative
policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) adalah bagian dari
kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy). Pelaksanaan kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy) terhadap penanggulangan kejahatan
melibatkan semua komponen yang termuat dalam suatu sistem hukum (legal system).
Menurut Friedman, sistem hukum (legal system) memiliki cakupan yang luas dari
hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering hanya mengacu pada aturan dan peraturan.

27
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi Dan
Restorative Justice, Cet-2, Bandung: Refika Aditama, (2012), hlm. 13.
Padahal menurut Friedman sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan,
struktur, serta lembaga dan proses yang ada dalam sistem itu.28

Bentuk Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum, seorang anak tidak dapat
memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan
yang menimbulkan kerugian mental, fisik maupun sosial, yang menyebabkan seorang
anak behadapan dengan hukum. Hakikatnya anak harus diberikan perlindungan oleh
aparat penegak hukum dalam melindungi seorang anak dalam pelaksanaan sistem
peradilan pidana anak. Pemberian perlindungan hukum terhadap anak harus
memperhatikan aspek anak dan kepentingan hukum terhadap anak, sehingga prinsip
non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup berkembang,
dan penghargaan terhadap pendapat anak, yang termuat dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dapat terpenuhi.
Perlindungan terhadap anak yang berhadap dengan hukum sangat benar-benar
harus diterapkan, salah satunya melalui konsep diversi. Diversi merupakan langkah
pengalihah dari proses peradilan kedalam proses alternatif penyelesaian perkara, yaitu
melalui musyawarah atau mediasi. Langkah pengalihan dibuat untuk menghindarkan
anak dari tindakan hukum selanjutnya yang bertujuan untuk mencegah pengaruh
negatif terhadap anak. Pengalihan dapat dilakukan atas dasar kewenangan diskersi
dari penyidik, penuntut umum atau hakim, sesuai dengan tingkatan pemeriksaan
melalui suatu penetapan. Apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan secara mediasi
sistem peradilan pidana harus mengacu pada due process of law, sehingga Hak Asasi
Anak yang diduga melakukan tindak pidana dapat dilindungi.29
Di Indonesia, sistem peradilan pidana anak tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 yang dimana di dalamnya membahas terkait dengan diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke

28
Ibid., hlm. 13-14.
29
Wagiati Soetedjo, dan Melani, Hukum Pidana Anak, Bandung: Rafika Aditama, 2013, hlm.
134-135.
30
proses di luar peradilan pidana. Proses diversi sendiri dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang
tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional
berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.31
Konsep diversi merupakan konsep yang baru di indonesia, awalnya konsep
diversi ini muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar yang sering diadakan. 32
Konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal.
Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum. Selanjutnya secara interen kelembagaan masing-masing
membicarakan anak pelaku tindak pidana. Dari diskusi-diskusi intern yang dilakukan
masing-masing lembaga berkeinginan untuk membicarakan konsep diversi secara
luas sesama aparat penegak hukum yang terlibat dalam peradilan pidana terhadap
anak.33
Upaya penyelesaian secara diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara
korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,
menghindarkan anak dari perempasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk
berpastisipasi dan menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak 34 . Dari tujuan
diversi tersebut dalam prosesnya aparat penegak hukum ataupun stakeholder
sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, harus memperhatikan
kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggungjawab anak, penghindaran stigma
negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan kepatutan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam sistem hukum positif khususnya dalam ketentuan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sangat berpengaruh dalam

30
Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undnag Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
31
Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
32
Marlina, op.cit., hlm. 168.
33
Ibid.
34
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
pengaturan penerapan diversi, sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (3) yang
menyebutkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Dalam ketentuan penerapannya
sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (2) meliputi penyidikan dan penuntutan
pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini dan persidangan anak
yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum, serta pembinaan,
pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan
pidana atau tindakan setelah menjalani pidana.
Penerapan diversi dengan pendekatan restoratif sebagai salah usaha untuk
mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan.
Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restoratif, namun keberadaannya
tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat
bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan
pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide diversi dengan pendekatan keadilan
restoratif sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan
yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang
terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban
tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru
bagi keluarga dan sebagainya. 35 Sedangkan dalam Pasal 7 Ayat (1) menyebutkan
pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi.
Dalam penerapan diversi sebagaimana mengacu pada pemberlakuan yang
terdapat dalam ketentuan UU SPPA, maka dalam ketentuanya harus dapat diterapkan
secara maksimal oleh aparat peneggak hukum mulai dari tingkat penyidikan sampai
dengan tingkat putusan pengadilan. Bentuk penerapan diversi sendiri dilaksanakan
dengan proses melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya,
korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
35
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, Vol. 5, Nomor. 01, Mimbar Justitia, Fakultas Hukum Universitas Suryakencana, (2013), hlm.
86.
Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif, serta melibatkan
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
Adanya bentuk penerapan diversi dengan melibatkan para pihak baik dari
keluarga pelaku maupun korban, tokoh masyarakat dan/atau lembaga pemerintahan
diterapkan penerapanya mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan
sampai dengan tahap persidangan. Penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum merupakan suatu orientasi pada perlindungan serta kepentingan
terbaik bagi anak, maka perampasan kemerdekaan dan pemidanaan adalah menjadi
upaya terakhir. Karenanya sedapat mungkin penyelesaian perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dialihkan ke proses di luar peradilan, karena pada
kenyataannya suatu proses peradilan serta pemidanaan bagi anak tersebut membawa
dampak yang sangat buruk bagi perkembangan anak baik secara psikis maupun fisik.
Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules).
Dengan demikian, prinsip utama pada pelaksanaan diversi yaitu tindakan
persuasif atau pendekatan nonpenal (di luar hukum pidana) dan memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Salah satu contoh latar
belakang pentingnya kebijakan diversi dilakukan karena tingginya jumlah anak yang
masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara. Diversi dilakukan dengan
alasan untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar hukum khususnya anak agar
menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non-formal dengan melibatkan
sumber daya masyarakat.36
KESIMPULAN
1. Bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana yakni terdapat dalam ketentuan UU
Perlindungan anak dan UU Sistem Peradilan pidana anak, yang dimana dalamnya
bentuk perlindungan hukum yang diberikan dalam UU SPPA yakni dengan
pendekatan Restorative Justice dalam diversi sebagai proses pengalihan perkara

36
Azwad Rachmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 13, No. 1, 2019, hlm. 24.
anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Langkah pengalihan dibuat untuk
menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya yang bertujuan untuk
mencegah pengaruh negatif terhadap anak. Pengalihan dapat dilakukan atas dasar
kewenangan diskersi dari penyidik, penuntut umum atau hakim, sesuai dengan
tingkatan pemeriksaan melalui suatu penetapan.
2. Bahwa bentuk penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam sistem peradilan pidana anak meliputi penyidikan dan penuntutan pidana
anak dan persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan
peradilan umum, serta pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan setelah menjalani
pidana. Dengan melibatkan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional, serta melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
SARAN
Pada kenyataan bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana sangatlah miris dalam peneggakanya, yang dimana dalam
pemberlakuan hukum normatif terkadang dilapangan masih susah di realisasikan oleh
aparat peneggak hukum oleh demikian perlunya pendekatan khsusus yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum untuk keluarga palaku maupun keluarga korban, dengan
mensosialisasikan bahwa diversi merupakan upaya terbaik bagi kelangsungan hidup
anak, beserta pidana penjara bukan merupakan upaya terbaik untuk diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Maidin Gulton, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia. Bandung; Rafika Aditama, 2014.
H. Salim Hs, dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Desertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2015.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi Dan
Restorative Justice, Cet-2, Bandung: Refika Aditama, 2012.
Wagiati Soetedjo, dan Melani, Hukum Pidana Anak, Bandung: Rafika Aditama,
2013.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Jurnal
Ni Ketut Ayu Suwandewi dan Ni Nengah Adiyaryani, Diversi sebagai Bentuk
Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Kertha
Patrika, Vol. 42, No. 3 Desember 2020.
Adi Hardiyanto Wicaksono Dan Pujiyono, Kebijakan Pelaksanaan Diversi Sebagai
Perlindungan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Pada Tingkat
Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Kudus, Jurnal Law Reform, Vol. 11, No. 1,
2015.
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, Vol. 5, Nomor. 01, Mimbar Justitia, Fakultas Hukum Universitas
Suryakencana, 2013.
Azwad Rachmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmiah Kebijakan
Hukum, Vol. 13, No. 1, 2019.

Anda mungkin juga menyukai