PIDANA
M. ALIF GHIFARI
E0016264
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Anak adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keluarga, agama,
bangsa dan negara. Anak juga merupakan penerus kehidupan dan cita-cita bagi kemajuan negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam diri seorang anak, terdapat harkat dan
martabat. Maka dari itu anak harus mendapatkan perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Upaya-upaya perlindungan bagi anak harus dimulai sejak dini
agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal dalam membangun bangsa dan negara. Menurut
Barda Nawawi Arief, perlindungan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children)
serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah
perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.1
Dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Kesejahteraan Anak diatur dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam penegakan hukumnya
Undang-Undang inilah yang menjadi acuan dasar mengenai pengenaan sanksi atau hukuman
kepada pelaku tindak pidana anak. Peran anak sangat penting karena telah dinyatakan secara
tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa negara telah menjamin setiap anak berhak atas
keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
RUMUSAN MASALAH
1
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 3.
PEMBAHASAN
Urgensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Tindak pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
induk ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Indonesia dan peraturan perundang-undangan di luar
KUHP, dengan ketentuan perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat untuk dipidananya
seseorang yaitu memenuhi rumusan delik yang terdapat pada KUHP dan peraturan perundang-
undangan diluar KUHP, seperti Undang-Undang Tentang Narkotika, Undang-Undang Tentang
Korupsi dan lain sebagainya. Sedangkan ketentuan pidana dalam KUHP terbagi menjadi dua
bagian, yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Dengan demikian yang dimaksud dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak yaitu
pelanggaran terhadap ketentuan tentang tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana berupa kejahatan atau pelanggaran dan atau pelanggaran terhadap ketentuan tentang
tindak pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yang dilakukan
oleh anak.
Konsep tentang anak nakal menurut Soedarto menganut penggunaan istilah “Juvenile
Deliquency” yang didalamnya meliputi pula tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana anak-anak merupakan bagian dari kenakalan
anak-anak/remaja2. Perbuatan “deliquensi” ini dilakukan oleh anak-anak atau pemuda. Sifat
hakiki daripada perbuatan dinamakan kejahatan atau pelanggaran, tetapi jika perbuatan ini
dilakukan oleh anak-anak (juvenile), maka ini dinamakan “deliquensi” (kenakalan).3
2
Sudarto, dalam Risna Nofrianto, Proses Penyidikan Tindak Pidana Anak, www.unnes.co.id, Semarang : 2006, h.
34-35, diakses 3 Desember 2019.
3
R. Soesilo, 1976, Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan), Politeia, Bogor, Hal. 109.
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan bentuk penegasan atas penggunaan pendekatan
restorative model keadilan restorative. Dalam Pasal ini disebutkan:
Definisi keadilan restorative dijelaskan dalam Pasal 1 point 6 UUSPPA dimana keadilan
restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Anak sebagai Pelaku dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak
Di dalam kata “sistem peradilan anak” terkandung unsur sistem peradilan pidana dan
unsur anak. Kata “anak” dalam sistem peradilan pidana anak harus dicantumkan untuk
membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa. Sehingga sistem peradilan pidana anak
adalah sistem peradilan pidana yang berlaku bagi anak. Anak dalam sistem peradilan pidana
anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum4. Sistem peradilan pidana anak merupakan
terjemahan dari istilah The Juvenile System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan
sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi jaksa, penuntut umum,
penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas
pembinaan anak5.
Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum
yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam
pelaksanaannya, fungsi tersebut dijalankan pejabat-pejabat khusus peradilan anak. Dengan kata
lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat
peradilan.
4
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Genta Publishing, Hal. 35.
5
M. Nasir Djamil, 2013, Anak BUkan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 43.
Mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana anak sebagai pelaku dalam sistem
peradilan pidana anak, hendaknya dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan proses
penanganan anak itu sendiri. Proses peradilan adalah proses yuridis, dimana harus ada
kesempatan orang berdiskusi dan memperjuangkan kepentingan masing-masing,
mempertimbangkannya dan menghasilkan keputusan yang mempunyai motivasi tertentu.
Layaknya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum
yang identik dengan pelaku orang dewasa, arti kata “identik” disini mengandung arti “hampir
sama”, namun hanya cara serta lama penanganannya yang beda.
Menghadapi dan menangani proses peradilan pidana anak sebagai pelaku tindak pidana,
maka hal pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan
segala sifat dan ciri-cirinya yang khusus. Dengan demikian orientasinya berdasar pada konsep
perlindungan terhadap anak dalam proses penanganannya sehingga hal ini akan berpijak pada
konsep kesejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses
hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan khusus
bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum6.
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya dengan
penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam sistem peradilan pidana anak (juvenile justice
system). Menurut Barda Nawawi Arief, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan
“sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 subsistem, yaitu:
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam
menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum pidana materiil
yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formiil yang diatur dalam KUHAP.
Mengenai upaya perlindungan hukum bagi anak khususnya yang bermasalah dengan
hukum, dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
telah diatur khusus mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak
yang tentunya dengan tujuan agar hak-hak anak dalam hal ini yang bermasalah dengan hukum
lebih terlindungi dan terjamin. Dalam Undang-Undang ini diatur bahwa pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
Adapun Diversi sebagai upaya menyelesaikan masalah hukum melalui jalur musyawarah
6
Solehuddin, 2013, Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi
(Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang), Jurnal Universitas Brawijaya, Malang, Hal.
12.
bersama dalam hal ini dari pihak pelaku maupun korbannya namun di dalam tiap-tiap tahap
proses peradilan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah
menjalani pidana. Sistem Peradilan Pidana Anak ini dilaksanakan secara khusus berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun urgensi
UUSPPA yaitu diamanatkan peradilan restorative dan penyelesaian perkara di luar pengadilan
atau biasa disebut dengan diversi.
SARAN
UUSPPA dalam pelaksanaannya di lapangan masih belum didukung dengan sarana dan
prasarana infrastrukutur yang memadai sebagaimana di dalamnya, seperti Lembaga Penitipan
Anak Sementara, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Balai Pemasyarakatan, Lembaga
Penyelenggara Kesejahteraan Sosial. Idealnya suatu peraturan perundang-undangan dikeluarkan
dengan dilengkapi dengan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai, untuk itu
pemerintah hendaknya segera meningkatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Genta Publishing
M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta
Solehuddin, 2013, Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di
Bidang Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang),
Jurnal Universitas Brawijaya, Malang