Anda di halaman 1dari 13

Nama : Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i

NIM : 231221018
Kelas : C
PERBANDINGAN PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK BERUMUR 12-14 TAHUN DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA QUEENSLAND AUSTRALIA

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak
sebagai manusia yang senantiasa harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan
biologis, tumbuh dan berkembang berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari aspek kekerasan.
Perlidungan pada anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak
ukur bangsa tersebut, oleh karena itu wajib diupayakan sesuai dengan kemampuan
nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum
yang berkibat hukum. Oleh karenanya, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan
kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam kegiatan pelaksanaan perlindungan
anak1.
Demi terwujudnya pemenuhan terhadap hak dan perlindungan bagi anak,
setiap negara perlu mengakui adanya sebuah dorongan atau dukungan berupa
kebijakan yang mengikat agar setiap negara teguh untuk mewujudkannya. Dari
kebijakan inilah, hak-hak anak kemudian diatur dan disepakati melalui aturan-
aturan yang berlaku ditiap negara masing-masing. Kebijakan tersebut adalah

1
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2014), hlm. 3.
Konvensi Hak-hak Anak, yakni sebuah perjanjian yuridis dan politis antar
berbagai negara yang mengikat untuk dapat melaksanakan/mengatur hak anak2.
Konvensi Hak-hak Anak adalah instrument Hukum dan HAM yang paling
komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak. Negara
Indonesia sendiri merupakan salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
PBB yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, dengan menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990, yang pada intinya
menyatakan keterikatannya untuk menghormati serta demi menjamin hak anak
tanpa diskriminasi dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia3.
Perlindungan anak di Indonesia sendiri telah diatur oleh UU Perlindungan
anak, dalam Pasal 3 UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan
anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berahlak mulia, dan
sejahtera4.
Selain UU Perlindungan Anak yang mengatur hukum pidana materiil
untuk anak, terdapat pula pengaturan hukum pidana formil untuk anak yang diatur
secara khusus dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (yang selanjutnya disebut UU Sistem
Peradilan Pidana Anak). Negara Indonesia juga memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum5 dengan adanya UU Sistem
2

Silvia Fatmah Nususshobah, “Konvensi Hak Anak dan Implementasinya Di Indonesia”,


Jurnal Ilmiah Kebijakan dan Pelayanan Pekerja Sosial, Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hlm. 120.
3
Imam Subaweh Arifin, Umi Rozah, “Konsep Doli In Capax Terhadap Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3,
No. 1, 2021, hlm. 2.
4

Lihat, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak
yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, (Lihat Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur terkait
pertanggungjawaban pidana oleh anak baik dari proses penjatuhan sanksi pidana,
jenis sanksi pidana yang dijatuhkan dan batas usia minimum pertanggungjawaban
pidana oleh anak.
Pasal 40 ayat (3) Konvensi PBB tentang Hak Anak menjelaskan bahwa
“Negara-negara peserta akan berupaya untuk meningkatkan pembuatan undang-
undang, proses peradilan, kekuasaan dan lembaga-lembaga yag secara khusus
berlaku untuk anak-anak, yang diduga akan dituduh, atau diakui telah melanggar
undang-undang hukum pidana, dan khususnya: (a) Penetapan usia minimum
dimana usia dibawahnya akan dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk
melanggar undang-undang hukum pidana; (b) Bilamana layak dan diinginkan,
langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti seperti itu tanpa harus
menempuh tuntutan hukum, asal saja hak-hak asasi manusia dan pengamanan dari
segi hukum sepenuhnya dihormati”6.
UU Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan batas umur
pertanggungjawaban pidana bagi anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum
berumur 18 tahun. Dengan ketentuan anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana
adalah anak yang telah berumur 14 tahun, dan anak dengan umur dibawah 14
tahun hanya dapat dikenai tindakan saja. Hal ini tercantum dalam Pasal 69 ayat
(2) bahwa “anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan”7. Kemudian untuk anak yang belum berumur 12 tahun hanya dapat
diserahkan kembali ke orang tua/wali atau mengikut sertakan dalam program
Pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah. Pasal 40 ayat
(3) Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut tidak mencantumkan secara jelas
batas umur minimum anak yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga
terdapat berbagai perbedaan pengelompokan batasan usia anak yang dapat
dikenakan sanksi pidana dan batasan umur anak yang tidak dapat dikenakan
sanksi pidana serta proses pertanggungjawaban pidana bagi setiap kelompok anak.

6
Lihat, Pasal Pasal 40 ayat (3) Konvensi PBB tentang Hak Anak.
7

Lihat, Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
UU Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan pertanggungjawaban
pidana hanya dapat dijatuhkan pada anak dengan umur diatas 14 tahun dan untuk
anak dibawah 14 tahun hanya dapat dikenakan tindakan saja. Akan tetapi dalam
Paragraf 8 Penjelasan Umum UU SPPA tercantum bahwa “….Khusus mengenai
sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi
Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun
sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana”8.
Berdasarkan ketentuan tersebut terdapat inkonsistensi dalam UU SPPA terkait
sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak berumur 12-14 tahun, dimana di
dalam Pasal 69 ayat (2) sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak berusia di
bawah 14 tahun hanya sanksi pidana, sedangkan di dalam Penjelasan Umum UU
SPPA anak yang telah mencapai 12 tahun dan belum 18 tahun dpat dikenai sanksi
tindakan dan pidana.
Apabila mengikuti ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU SPPA anak yang
berumur dibawah 14 tahun dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk
melanggar undang-undang hukum pidana. Batasan apakah anak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dilihat dari tolak ukur umur saja sehingga prinsip keadilan tidak
tercapai mengingat bahwa kemampuan bertanggungjawab anak berbeda-beda
dalam usia yang sama. Selain itu anak harus diberikan tanggungjawab sesuai
dengan kemampuan mereka untuk membuat anak tersebut berkembang sehingga
asas kepentingan terbaik bagi anak dan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak dapat tercapai. Selain itu dengan adanya ketentuan tersebut memberikan
celah bagi orang dewasa untuk memanfaatkan anak yang belum berumur 14 tahun
untuk melakukan tindak pidana, mengingat anak yang belum berumur14 tahun
hanya dapat dikenai sanksi tindakan saja.

Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak.
Dalam melakukan perbandingan hukum (comparative law) maka terlebih
dahulu harus dijelaskan tujuan dari perbandingan hukum tersebut. Terdapat 3
tujuan dalam melakukan perbandingan hukum, yakni:
 In Making Law (bagaimana comparative law digunakan dalam membuat
hukum atau legal reform).
 Interpretasi Hukum (bagaimana comparative law sebagai alat untuk
melakukan konstruksi/rekonstruksi dalam ketidakpastian/keraguan dan
pembentukan hukum akibat kekosongan hukum).
 In the Unification of the Law (penyesuaian/harmonisasi dengan standar
internasional sesuai kesepakatan internasional).
Diantara ketiga tujuan perbandingan hukum tersebut, apabila
menyesuaikan isu hukum yang akan dibahas, maka tujuan hukum yang ingin
dicapai adalah sebagai Legal Reform atau pembaruan hukum yang sudah ada agar
menjadi lebih baik dan lebih menekankan keadilan. Perbandingan hukum juga
berperan melihat perbedaan aturan yang lebih baik dan dapat diterapkan serta
mencari persamaan-persamaan dan keadilan, sehingga dapat ditemukan sebuah
solusi alternatif yang didapat bisa sesuai dengan rasa keadilan yang diinginkan.
Namun Indonesia sebagai negara hukum juga harus melihat kepada landasan
yuridisnya yaitu UU SPPA, di dalam undang-undang ini memang mengatur
konsep pertanggungjawaban pidana terhadap anak umur 12-14 tahun. Akan tetapi
terdapat inkonsistensi peraturan pertanggungjawaban pidana terhadap anak umur
12-14 tahun di dalam UU SPPA tersebut.
Pendekatan dalam perbandingan hukum dibagi atas 2 pendekatan, yaitu:
pendekatan perbandingan makro (macro-comparability), dan pendekatan
perbandingan mikro (micro-comparability). Meskipun pendekatan makro dan
mikro saling berkaitan erat, keduanya dibedakan dan dipisahkan untuk mencapai
hasil maksimal Pendekatan dalam perbandingan hukum ini berfungsi agar
perbandingan hukum yang dilakukan dalam level yang sama. Pada pendekatan
makro, substansi perbandingan berada pada legal system. Sedangkan dalam
pendekatan mikro, substansi perbandingan berada pada aspek substansi aturan
hukum9.
Pada perbandingan makro, perhatian lebih difokuskan pada gambar besar
dari sebuah sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian,
kajian perbandingan hukum dalam aspek ini lebih ditujukan untuk melihat sistem
hukum yang berlaku dalam suatu negara tersebut dalam lingkup hubungannya
dengan sistem hukum di negara lain. Aspek persamaan dan perbedaan antara
kedua sistem hukum yang berbeda diteliti sedemikian rupa sehingga dapat
ditangkap kelebihan maupun kelemahan dari masing-masing sistem, yang
dengannya perbandingan itu dapat memberikan hasil teoretis maupun praktis bagi
pengembangan keillmuan hukum. Satu hal yang perlu menjadi perhatian dalam
hal ini adalah aspek makro menitikberatkan pada sebuah sistem hukum,
sedangkan aspek mikro menitikberatkan kepada lex specialist yang mengisi
sistem10.
Pendekatan makro terdiri dari 7 macam pendekatan, yakni:
1. Legal organizations (organisasi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan bagaimana
organisasi tersebut bekerja dengan meliuhat pada kedudukan lembaga,
dan bagaimana legitimasi pembentukan organisasi tersebut.
2. Legal system (system hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan sistem hukum suatu
negara/yurisdiksi untuk melihat bagaimana hukum tersebut di bentuk
maupun di interpretasi serta bagaimana sistem hukum suatu negara
mempengaruhi hukum bekerja di sistem hukum tersebut.
3. Mentalities (mentalitas)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan bagaimana
mentalitas di negara didalam legal system tersebut. Mentalitas di suatu

9
Ratno Lukito, Perbandingan Hukum Perdebatan Teori dan Metode, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2019, hlm. 27.
10

Ibid., hlm. 28.


negara akan mempengaruhi budaya hukum di negara tersebut jika
dilakukan secara terus-menerus.
4. Juristic styles (gaya berpikri yuris)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan cara berpikir/mind
set di negara tersebut dengan melihat bagaimana hukum bekerja
dengan cara berpikir di suatu negara. Pendekatan ini dipengaruhi
dengan latar belakang historis dan sumber hukum.
5. Legal philosophies (filosofi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan apakah hukum di
negara tersebut bebas dari kepentingan-kepentingan penguasa dan
penegakan hukum di negara tersebut dapat di implementaskan dengan
netral secara filosofis.
6. Legal traditions (tradisi hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan tradisi yang ada di
masing-masing negara. Dimana tradisi akan berkembang jadi budaya
jika diterapkan secara terus menerus.
7. Legal cultures (budaya hukum)
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan budaya hukum
dalam suatu negara termasuk organisasi hukum, sistem hukum,
mentalitias, jurist style, filosofi hukum, tradisi hukum.
Pendekatan mikro terdiri dari 6 macam pendekatan yakni:
1. Legal terms (terminologi hukum)
Istilah hukum (legal terms) adalah komponen terkecil dari setiap
norma hukum dan sebagai konsekuensinya dari seperangkat norma.
2. Legal concept (konsep hukum)
Konsep hukum (legal concepts) berarti sesuatu yang lebih dari di
denotasikan didalam kamus istilah hukum. itu mengacu pada semua
penggunaan istilah dan istilah serupa dalam semua konotasi yang bisa
dibayangkan.
3. Legal norms (norma hukum)
Norma hukum (legal norms) adalah aturan hukum yang mengatur atau
mengesahkan perilaku manusia tertentu, termasuk norma
kelembagaan. Oleh karena itu, standar harus mengandung setidaknya
dua istilah hukum: menggambarkan perilaku (boleh/tidak boleh) dan
yang lainnya melampirkan konsekuensi hukum.
4. Sources of norms (sumber norma)
Sumber Norma dilakukan dengan membandingkan konsep dan
mekanisme masing-masing masyarakat untuk menentukan validitas
norma.
5. Legal institutions (lembaga hukum)
Yang dimaksud dengan lembaga hukum adalah praktik, hubungan atau
organisasi yang signifikan dalam masyarakat hukum, seperti lembaga
perkawinan, perburuhan, atau properti.
6. Bodies of norms (satu undang-undang penuh)
ini adalah kumpulan standar yang lebih besar dari kumpulan yang
membentuk lembaga hukum. Biasanya norma yang dipelajari dipilih
dari beberapa hukum substantif.
Dari berbagai macam pendekatan dalam perbandingan hukum, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan mikro, yakni perbandingan hukum terhadap
legal concept, yakni konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak yang berumur
diatas 12 tahun dan belum berumur 14 tahun dengan tujuan legal reform.
Pengaturan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak yang
berumur diatas 12 tahun dan belum berumur 14 tahun diperlukan untuk
menentukan sanksi apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berumur 12-14
tahun yang melakukan tindak pidana, mengingat bahwa sanksi yang dijatuhkan
terhadap anak yang berumur 12-14 tahun tidak sama dengan sanksi yang
dijatuhkan terhadap orang dewasa. Penjatuhan sanksi terhadap anak melakukan
tindak pidana juga harus berlandaskan asas perlindungan, keadilan,
nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat
anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan
pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan
sebagai upaya terakhir serta penghindaran pembalasan.
Meskipun pada dasarnya konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak
yang berumur 12-14 tahun sudah diatur dalam UU SPPA, terdapat beberapa
permasalahan yang menjadi dasar pentingnya melakukan perbandingan legal
concept dengan tujuan legal reform ini yaitu:
1. Adanya inkonsistensi pengaturan dalam UU SPPA mengenai konsep
pertanggungjawaban pidana bagi anak yang berumur 12-14 tahun. Dalam
Pasal 69 ayat (2) dijelaskan bahwa “anak yang belum berusia 14 (empat
belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan”11. Dengan ketentuan tersebut
maka anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana adalah anak yang telah
berumur 14 tahun, dan anak dengan umur dibawah 14 tahun hanya dapat
dikenai tindakan saja. Akan tetapi dalam Paragraf 8 Penjelasan Umum UU
SPPA tercantum bahwa “….Khusus mengenai sanksi terhadap Anak
ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang
masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas)
tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan
pidana”12. Hal ini kemudian membuat kerancuan serta ketidakpastian
hukum.
2. Apabila mengikuti ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU SPPA anak yang
berumur dibawah 14 tahun dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk
melanggar undang-undang hukum pidana. Batasan apakah anak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak hanya dilihat dari tolak ukur umur saja sehingga
prinsip keadilan tidak tercapai mengingat bahwa kemampuan
bertanggungjawab anak berbeda-beda dalam usia yang sama. Selain itu

11

Lihat, Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
12

Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak.
anak harus diberikan tanggungjawab sesuai dengan kemampuan mereka
untuk membuat anak tersebut berkembang sehingga asas kepentingan
terbaik bagi anak dan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
dapat tercapai.
3. Pengaturan konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak yang berumur
12-14 tahun dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA memberikan celah bagi
orang dewasa untuk memanfaatkan anak yang belum berumur 14 tahun
untuk melakukan tindak pidana, mengingat anak yang belum berumur14
tahun hanya dapat dikenai sanksi tindakan saja.
Oleh karena itu dengan adanya perbandingan melalui legal concept dengan
tujuan legal reform terkait isu konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak yang
berumur 12-14 tahun ini mampu menjadi solusi alternatif sehingga hakekat
perbandingan hukum sebagai alat untuk legal problem solving, dan membantu
perkembangan hukum nasional juga tercapai.
Metode dalam perbandingan hukum berguna untuk menjustifikasi dengan
siapa kita melakukan perbandingan dan mengapa memilih negara tersebut agar
keabsahan perbandingan hukum terpenuhi dan perbandingannya apple to apple.
Metode perbandingan hukum terdiri atas 6 (enam), yaitu:
- Karena fungsinya (Functional Method).
Metode ini digunakan dalam hal ada norma/term/hukum di negara yamg
kita ingin melakukan perbandingan yang menyelesaikan masalah yang
sama dengan yang dihadapi walaupun dengan cara yang berbeda dan legal
system yang berbeda
- Karena strukturnya (structural Method)
Metode ini digunakan untuk kemiripan struktur hukumnya, dimana
struktur hukum tersebut mempengaruhi bagaimana hukum bekerja dengan
melihat hierarki dalam hukum tersebut.
- Analisa (Analytical Method)
Metode ini digunakan dengan dasar perbedaan legal system, dan akibat
dari perbedaan tersebut akan terlihat output dalam metode ini yaitu solusi
alternatifnya.
- Law in context method
Metode ini digunakan dengan dasar persamaan realita sosial, dimana
hukum tidak bisa dilepaskan dari realita sosial, dengan menggunakan
metode ini perlu melihat negara pembanding dengan realita sosial yang
kurang lebih sama.
- Sejarah (Historical Method)
Metode ini digunakan untuk melakukan perbandingan sejarah hukum
dimana negara yang ingin dilakukan perbandingan memiliki sejarah yang
sama, tujuan dari metode ini adalah interpretasi/konstruksi hukum.
- Commond core method
Metode ini digunakan untuk melihat kesamaan pada umunmnya dengan
melihat banyak kesamaan dan metode ini merupakan gabungan dari
fungisonal dan law in context dengan tujuan unifikasi/konstruksi hukum.
Dengan melihat penjabaran dari metode-metode di atas, iiantara berbagai
metode tersebut, metode yang digunakan adalah metode analisa yakni memilih
suatu legal system karena adanya perbedaan.
Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak,
Indonesia kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum
positif dan meratifikasinya pada tanggal 5 September 1990 melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Hal ini juga di ikuti oleh negara lain yang ikut
menandatangani Konvensi tersebut. Akan tetapi meskipun berdasarkan pada
Konvensi yang sama, pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap anak
antara negara satu dengan negara lainnya berbeda.
Indonesia mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap anak
dalam UU SPPA UU dengan menentukan batas umur pertanggungjawaban pidana
bagi anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Dengan
ketentuan anak yang dapat dijatuhi sanksi pidana adalah anak yang telah berumur
14 tahun, dan anak dengan umur dibawah 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan
saja. Hal ini tercantum dalam Pasal 69 ayat (2) bahwa “anak yang belum berusia
14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan” 13. Kemudian untuk anak

13
yang belum berumur 12 tahun hanya dapat diserahkan kembali ke orang tua/wali
atau mengikut sertakan dalam program Pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah.
Pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi anak yang berumur 12-14
tahun dalam UU SPPA tersebut berbeda dengan pengaturan dalam Hukum Pidana
Queensland. Queensland sendiri merupakan salah satu negara bagian di Australia
yang meratifikasi Konvensi Hak Anak. Dalam Pasal 29 Queensland Criminal
Code Act 1899 di sebutkan bahwa: “(1) A person under the age of 10 years is not
criminally responsible for any act or omission. (2) A person under the age of 14
years is not criminally responsible for an act or omission, unless it is proved that
at the time of doing the act or making the omission the person had capacity to
know that the person ought not to do the act or make the omission”14.
Pasal 29 Queensland Criminal Code Act 1899 menjelaskan bahwa
seseorang yang berusia di bawah 10 tahun tidak bertanggung jawab secara pidana
atas perbuatan atau kelalaian apapun. Sedangkan seseorang yang belum berumur
14 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas suatu perbuatan
atau kelalaian, kecuali dibuktikan bahwa pada waktu melakukan perbuatan atau
kelalaian itu orang tersebut mempunyai kecakapan untuk mengetahui bahwa
orang itu tidak boleh melakukan perbuatan itu atau membuat kelalaian.
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam Queensland Criminal Code Act
1899 untuk menjatukan pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus melihat
dari kapasitas pengetahuan anak terhadap perbuatan pidana yang dilakukan.
Dengan pengaturan tersebut, aspek keadilan dalam menentukan kapasitas anak
untuk dapat bertanggungjawab tercapai, mengingat bahwa kemampuan
bertanggungjawab anak berbeda-beda dalam usia yang sama. Selain itu,
pengaturan tersebut dapat menutup celah bagi orang dewasa untuk memanfaatkan
anak yang belum berumur 14 tahun untuk melakukan tindak pidana dengan
adanya edukasi mengenai perbuatan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh

Lihat, Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
14
Queensland Criminal Code Act 1899.
dilakukan serta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan sehingga anak menjadi
enggan untuk disuruh melakukan tindak pidana.

Apabila membandingkan pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi


anak yang berumur 12-14 tahun dalam UU SPPA dengan Queensland tentu masih
jauh dari kata baik mengingat masih adanya permasalahan inkonsistensi, adanya
celah untuk memanfaatkan anak serta kurangnya aspek keadilan dalam
menentukan kapasitas anak untuk dapat bertanggungjawab.
Oleh karena banyaknya kekurangan pada pengaturan pertanggungjawaban
pidana bagi anak yang berumur 12-14 tahun dalam UU SPPA, dengan melakukan
perbandingan hukum terhadap Queensland Criminal Code Act 1899 Australia
maka seyogyanya agar segera dilakukan legal reform dengan melakukan
perbandingan legislasi terkait substansi demi terciptanya pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi anak yang berumur 12-14 tahun yang lebih baik
untuk kepentingan anak di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai