Anda di halaman 1dari 10

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

Makalah

Oleh:
Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i, S.H.
231221018

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


MINAT STUDI HUKUM PERADILAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
Latar Belakang
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(Verwijibaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjek kepada
pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena
perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan
yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang
yang memenuhi syarat untuk dapat dijatui pidana karena perbuatannya itu.1
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Pembuat tindak pidana hanya akan
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.2
Seseorang dapat dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana
merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang
mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari
segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.
Menurut Barda Nawawi Arief, dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban pidana, beliau menyatakan bahwa untuk adanya
pertanggungjawaban pidana harus lebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban dipastikan lebih dahulu siapa yang
menyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini
menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah
dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang
bersangkutan, namun dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuat adalah
tidak mudah.
Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek
tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan
tindak pidana). Pengertian arti subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu
siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini
tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang
ditempuh oleh pembuat undang-undang.3
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak dapat
dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak
termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjukkan
kepada dilarangnya suatu perbuatan.4 Menurut Mardjono Reksodipuro,
sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka
hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku
tindak pidana (dader). Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan
1
Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kebijakan Legislasi
(Jakarta: Prenada Media Group, 2017), hlm 29.
2
Ibid., hlm 29.
3
Septa Candra, Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana Nasional Yang
Akan Datang, Jurnal Cita Hukum, Vol. 1 No. 1, Juni 2013, Hlm 43-44.
4
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, (Bandung : CV Utomo, 2004), Hlm. 27.
dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas utama dalam
pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku.
Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkan dengan
celaan (verwijtbaarheid; blamewor thiness) dan karena itu berhubungan dengan
mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana halnya dengan pelaku yang bukan
manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi.
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak melalui
manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yang pertama
adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan pengurus (atau orang
lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan korporasi yang melawan hukum
(menurut hukum pidana). Dan pertanyaan kedua adalah bagaimana konstruksi
hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan mempunyai kesalahan dan
karena itu dipertanggung-jawabkan menurut hukum pidana. Pertanyaan ini
menjadi lebih sulit apabila difahami bahwa hukum pidana Indonesia mempunyai
asas yang sangat mendasar yaitu: bahwa “tidak dapat diberikan pidana apabila
tidak ada kesalahan” (dalam arti celaan).5
Masalah pertanggungjawaban korporasi masih menjadi perdebatan
walaupun beberapa perundang-undangan di luar KUHP sudah mencantumkan
korporasi sebagai subejk tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan asas kesalahan
(geen starf zonder schuld), batas kemampuan bertanggungajawab dan bentuk
pertanggungjawaban pidana. Dalam tindak pidana korporasi muncul
permasalahan yang lebih kompleks mengingat bahwa Tindak pindana korporasi
adalah tindak terorganisir.
Sekitar 100 (seratus) undang-undang di luar KUHP yang mengatur
pertanggungjawaban korporasi seperti Undang-Undang tentang Pertambangan,
Mineral dan Batubara, UndangUndang tentang Kehutanan, Undang-Undang
tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Tata Ruang, Undang-
Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Kepabeanan, dan lain
sebagainya. Pengaturan yang sangat beragam menunjukkan politk hukum yang
belum jelas misalnya dalam hal pemberian defnisi, ruang lingkup tindak pidana,
serta jenis sanksi pidana terhadap korporasi.6
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Undang-Undang
No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sanksi pidana pokok yang
dijatuhkan terhadap korporasi berupa denda, disamping itu juga terdapat pula
pidana tambahan berupa penutupan korporasi. Terkait pidana tambahan penutupan
korporasi perlu mendapatkan perhatian lebih, karena pidana penutupan korporasi
dapat berdampak luas bagi masyarakat khususnya yang menjadi pekerja di
korporasi tersebut. Dengan ditutupnya korporasi tersebut maka secara otomatis

5
Mardjono Reksodipuro, kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan (Jakarta: Pusat
Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 102.
6
Budi Suhariyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture
Model Dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6, No. 3,
Desember 2017, Hlm. 443.
masyarakat yang menjadi pekerja di korporasi tersebut akan hilang sumber
penghasilannya. Sehingga dengan demikian perlu dikaji lebih dalam mengenai
sanksi pidana yang paling tepat untuk dijatuhkan terhadap korporasi pelaku tindak
pidana mengingat eksistensi korporasi dalam kehidupan masyarakat menepati
posisi yang sangat vital.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana?
2. Apakah jenis sanksi pidana yang paling tepat untuk dijatuhkan terhadap
korporasi pelaku tindak pidana?

Pembahasan
Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Korporasi Yang Melakukan
Tindak Pidana
Mengingat korporasi sebagai subjek hukum berbeda dengan manusia
sebagai subjek hukum dalam penentuan kesalahannya. Dengan demikian otomatis
penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berbeda
dengan penegakan hukum terhadap manusia sebagai pelaku tindak pidana. Peter
Gillies mengatakan bahwa korporasi atau perusahaan adalah orang atau manusia
di mata hukum, dan karenanya mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang
dilakukan manusia, diakui oleh hukum seperti kekayaan, dapat melakukan
kontrak, sehingga seharusnya harus dapat dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana yang dilakukannya.7
Muladi jugan mengatakan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum,
maka dapat dikatakan doktrin universitas delinquere non potest atau societas
delinquere non potest yang selama ini dianut telah mulai ditinggalkan. Melalui
penerapan teori identifikasi dan teori fungsi sosial terhadap korporasi adalah
sangat mendukung bagi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana,
sehingga dengan demikian dapat dipahami bahwa pemidanaan terhadap koporasi
sudah tidak dipermasalahkan lagi.8
Menurut Nico Keijzer terapat 3 (tiga) model teoritis dalam menafsirkan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Model pertama adalah korporasi tidak
dianggap bertindak sendiri tetapi tindakan tersebut adalah tindakan dari orang
alamiah yang mewakili perusahaan dan dianggap berasal dari perusahaan tersebut.
Model kedua, suatu korporasi bertindak sendiri, tetapi tindakannya dianggap
sebagai tindakan suatu organ, contohnya dewan direksi korporasi tersebut. Model
7
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 47.
8
Ibid, Hlm. 47.
ketiga, menerima bahwa suatu tindakan korporasi tidak selalu dapat dianggap
tindakan orang alamiah.9
Dalam kajian teoretis, normatif dan praktik, terdapat 4 (empat) doktrin
yang dapat dikemukakan dalam konteks untuk menentukan pertanggungjawaban
pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yakni sebagai berikut :10
1. Doktrin Identifikasi (Identification Doctrine/Direct Liability Doctrine)
Doktrin identifikasi (identification doctrine) lazim juga dikenal sebagai
“doktrin pertanggungjawaban langsung” atau “direct liability doctrine”,
doktrin “alter ego”, atau :teori organ”. Doktrin identifikasi diartikan semua
tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus (pejabat senior) dapat
diidentifikasikan sebagai perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi. Doktrin ini berasal dari negara Anglo Saxon (Inggris dan Amerika)
sehingga konklusinya dapat dikatakan semua Tindakan (legal dan illegal)cyang
dilakukan oleh high level manager diidentifikasikan sebagai tindakan
korporasi.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability Doctrine/Absolute
Liability Doctrine)
Doktrin ini lazim juga disebut sebagai doktrin pertanggungjawaban mutlak dan
ada juga yang mengidentikkan dengan absolute liability yang diartikan bahwa
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana
dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
dari pelaku. Artinya, dalam strict liability maupun absolute liability seorang
yang telah melakukan perbuatan yang dilarang (actus reus) sebagaimana
rumusan undang-undang, sudah dapat dipidana tanpa perlu mempersoalkan
apakah pelaku (dader) mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Akan
tetapi, ada yang berpendapat bahwa antara strict liability bukan absolute
liability karena meskipun orang telah melakukan perbuatan yang dilarang
sebagaimana formulasi undang-undang, belum tentu dapat dipidana.
3. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability
Doctrine/Respondeat Superior Doctrine)
Konsep vicarious liability merupakan salah satu doktrin paling sering
diimplementasikan dalam pertanggungjawaban korporasi dalam pelbagai
negara. Jika dalam suatu perbuatan seseorang atasan memerintahkan
bawahannya sehingga bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat
bawahannya maka bukanlah suatu hal yang aneh jika pertanggungjawaban
pidana dibebankan kepada atasannya. Selain itu doktrin pertanggungjawaban
vicarious liability mengatur juga atasan (principal) harus bertanggung jawab
juga terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bawahannya (agent),
meskipun perbuatan tersebut bukanlah suatu perbuatan yang telah diotorisasi
atau diperintahkan oleh atasannya, sepanjang kejahatan tersebut dilakukan
dalam lingkup kewenangan (scope of authority/employment) si pelaku.
4. Doktrin Model Budaya Korporasi (The Corporate Culture Model Doctrine)
9
Lilik Mulyadi, Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Berbasis Keadilan, (Jakarta : Kencana 2021), Hlm. 106.
10
Ibid, 107.
Doktrin The Corporate Culture Model menurut Barda Nawawi Arief, korporasi
dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, system bekerjanya, atau
budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company). Oleh
karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori atau model system atau
model organisasi (organizational or systems model). Corporate culture
merupakan sikap, kebijakan aturan, tata tertib atau praktik yang ada dalam
korporasi secara umum pada bagian korporasi di mana kegiatan yang relevan
berlangsung.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa peraturan perundang-undang yang
mengatur mengenai pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya, Peraturan Mahkamah Agung
No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh
Korporasi (Perma No.13 Tahun 2016), UU TPPU dan UU Tipikor. Dalam Pasal 3
Perma No.13 Tahun 2016 dijelaskan bahwa “Tindak pidana oleh Korporasi
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja,
atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang
bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan
Korporasi”. 11
Kemudian dalam menentukan kesalahan korporasi tercantum dalam Pasal
4 ayat (2) Perma No.13 Tahun 2016 “Dalam menjatuhkan pidana terhadap
Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara
lain: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana
tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi,
Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau Korporasi tidak melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah
dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum
yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana”.12 Terkait penjatuhan
sanksi pidana, dalam Pasal 23 Perma No.13 Tahun 2016 dijelaskan bahwa “Hakim
dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan
Pengurus. Hakim menjatuhan pidana didasarkan pada masing-masing undang-
undang yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi dan/atau Pengurus.
Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau Pengurus tidak menutup
kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan
undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut”.13
Dalam UU TPPU pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam
Pasal 6 ayat (1) UU TPPU yang menyatakan “dalam hal tindak pidana pencucian
uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh
korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali

11
Lihat, Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
12
Lihat, Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
13
Lihat, Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
korporasi”.14 Kemudian dalam Pasal 6 ayat (2) dijelaskan “pidana dijatuhkan
terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan atau
diperintahkan oleh personil pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka
pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah dan dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi korporasi”.15
Selanjutnya mengenai pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor. Pasal
20 ayat (1) UU Tipikor menjelaskan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi
dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. 16 Kemudian
dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa “Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh
korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.17
Jenis Sanksi Pidana Yang Paling Tepat Untuk Dijatuhkan Terhadap
Korporasi Pelaku Tindak Pidana
Terdapat beberapa peraturan perundang-undang yang mengatur mengenai
sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak
pidana. undang-undang yang mengatur sanksi khusus korporasi tersebut
diantaranya, Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma No.13 Tahun 2016),
UU TPPU dan UU Tipikor. Terkait jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi sbagai pelaku tindak pidana dalam Perma No.13 Tahun 2016
dijelaskan dalam Pasal 25 bahwa “Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi
berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan, pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda, pidana tambahan dijatuhkan
terhadap Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.18
UU TPPU mengatur sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2). Pasal 7
ayat (1) UU TPPU menjelaskan bahwa “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah)”.19 Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) UU TPPU dijelaskan bahwa

14
Lihat, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
15
Lihat, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
16
Lihat, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
17
Lihat, Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
18
Lihat, Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
19
Lihat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi
juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim,
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pencabutan izin
usaha, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, perampasan asset korporasi
untuk negara; dan/atau, pengambil alihan korporasi oleh negara”.20
Pengaturan sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
sebagai pelaku tindak pidana dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 20 ayat (7)
UU Tipikor yang menyatakan bahwa ”Pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana
ditambah 1/3 (satu pertiga)”.21 Untuk pidana tambahan yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor bahwa “Selain
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak
pidana korupsi; c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau
dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana”.22
Berdasarkan pengaturan mengenai sanksi pidana untuk korporasi yang
diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan tersebut. Pidana pokok yang
biasa dijatuhkan terhadap korporasi ialah pidana denda serta pidana tambahan
salah satunya penutupan korporasi. Pidana pokok berupa denda yang dijatuhkan
terhadap korporasi dianggap tidak efektif karena korporasi yang menjadikan
pengeluaran dana untuk denda ini sebagai pos pengeluaran biasa yang merupakan
cost of business dari korporasi tersebut. Selain itu, jika denda dianggap sudah
terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan.23
Sementara itu terkait pidana tambahan penutupan korporasi dapat berdampak luas
bagi masyarakat khususnya yang menjadi pekerja di korporasi tersebut. Dengan
ditutupnya korporasi tersebut maka secara otomatis masyarakat yang menjadi
pekerja di korporasi tersebut akan hilang sumber penghasilannya.
Menurut Robert Jackall, untuk menentukan sanksi pidana yang bersifat
penjeraan atau “deterrence”, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang
terjadinya tindak pidana korporasi, dengan cara mengamati bagaimana para
manajer menjalani perintah yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan
20
Lihat, Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
21
Lihat, Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
22
Lihat, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
23
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Op.cit, Hlm. 95.
mereka dan bagaimana kebutuhanb-kebutuhan organisatoris dirusmuskan dan
ditanamkan ke dalam keputusan-keputusan menejerial. Dengan demikian terkait
penjatuhan pidana denda maupun pidana penutupan korporasi harus dilakukan
dengan cermat dan berhati-hati dengan mempertimbangkan manfaat dan kerugian
yang akan terjadi dari adanya pemidanaan tersebut. Untuk saat ini penggunaan
pidana denda merupakan pilihan terbaik untuk pidana yang dijatuhkan terhadap
korporasi. Meskipun juga terdapat kekurangan penjatuhan pidana denda dapat
mengembalikan kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana (khusus kerugian
materiil) tanpa harus merugikan pihak-pihak lainnya terutama masyarakat. Untuk
pidana penutupan korporasi sendiri tetap dibutuhkan namun sifatnya hanya
sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium) saja.
Kesimpulan
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban serta sanksi pidana terhadap
korporasi di Indonesia sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang ada, diantaranya, Perma No.13 Tahun 2016, UU TPPU dan UU
Tipikor. Sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah
sanksi pidana denda, selain itu juga terdapat sanksi pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi, salah satunya sanksi penutupan korporasi. Untuk
dapat menjatuhkan sanksi pidana yang bersifat penjeraan terhadap korporasi maka
perlu dipahami terlebih dahulu tentang terjadinya tindak pidana korporasi, dengan
cara mengamati bagaimana para manajer menjalani perintah yang berhubungan
dengan lingkungan pekerjaan mereka dan bagaimana kebutuhanb-kebutuhan
organisatoris dirusmuskan dan ditanamkan ke dalam keputusan-keputusan
menejerial, mengingat bahwa korporasi memiliki posisi yang sangat vital di dalam
masyarakat. Penggunaan pidana denda merupakan pilihan terbaik untuk pidana
yang dijatuhkan terhadap korporasi mengingat penjatuhan pidana denda dapat
mengembalikan kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana (khusus kerugian
materiil) tanpa harus merugikan pihak-pihak lainnya terutama masyarakat. Terkait
pidana penutupan korporasi tetap dipakai akan tetapi hanya sebatas pilihan
terakhir saja.
Saran
Penjatuhan sanksi pidana terhap korporasi harus dilakukan dengan cermat
dan berhati-hati mengingat korporasi memiliki peran yang cukup vital dalam
masyarakat. Penjatuhan pidana terhadap korporasi harus mempertimbangkan
manfaat serta kerugian yang berpotensi akan timbul dengan adanya pemidanaan
terhadap korporasi tersebut. Pidana penutupan korporasi juga harus tetap
dipertahankan sebagai efek jera terhadap korporasi pelaku tindak pidana, akan
tetapi penggunaannya hanya sebagai pilihan terakhir atau ultimum remedium.
Daftar Bacaan
Buku
Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. 2013. Penanggulangan Kejahatan Korporasi
Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta : Sinar
Grafika.
Mulyadi, Lilik. 2021. Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku
Tindak Pidana Korupsi Berbasis Keadilan. Jakarta : Kencana.
Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. Bandung : CV
Utomo.
_____________. 2017. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Kebijakan Legislasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Reksodipuro, Mardjono. 1994. kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.
Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum UI.

Jurnal
Candra, Septa. 2013. Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana
Nasional Yang Akan Datang.Jurnal Cita Hukum. 1(1). Hlm 43-44.
Suhariyanto, Budi. 2017. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan
Corporate Culture Model Dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan
Masyarakat. Jurnal RechtsVinding. 6(3). Hlm. 443.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Anda mungkin juga menyukai