Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang
Subjek hukum ialah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu-lintas hukum. Di dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi
subjek hukum dalam sistem hukum Indonesia adalah individu (orang) dan badan
hukum (korporasi).1 Misalnya PT. (Perseroan Terbatas), PN. (Perusahaan
Negara), Yayasan, Badan-badan pemerintahan dan sebagainya.2
Disamping manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subyek hukum yang
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki
kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya, dapat digugat dan menggugat dimuka Hakim. Badan-badan atau
perkumpulan tersebut dinamakan Badan hukum (rechtpersoon) yang berarti orang
yang diciptakan oleh hukum.3 Jadi ada suatu bentuk hukum yaitu badan hukum
yang dapat mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban hukum dan dapat
mengadakan hubungan hukum.
Secara terminologi, korporasi memiliki pengertian yang sudah banyak
dirumuskan oleh beberapa tokoh hukum. Misalnya menurut Subekti dan
Tjitrosudibo, yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseorangan yang
merupakan badan hukum.4 Sedangkan Yan Pramadya Puspa menyatakan yang
dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseorangan yang merupakan badan
hukum; korporasi atau perseorangan disini yang dimaksud adalah suatu
perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlukan seperti seorang
manusia ialah sebagai pengemban hak dan kewajiiban memiliki hak menggugat
ataupun digugat di muka pengadilan.5
1
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Depok: Rajawali Pers, 2018, hlm. 33.

2
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,
hlm. 29.

3
Dyah Hapsari Prananingrum, Telaah Terhadap Esensi Subyek Hukum : Manusia dan Badan Hukum,
Refleksi Hukum, Jurnal Ilmu Hukum, 2014, hlm. 5.

4
Chidir Ali, Badan Hukum, Cetakan Kedua, PT. Alumni, Bandung, 1991, hlm 19.

5
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm 29.
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, khususnya Undang-
Undang pidana diluar KUHP (Undang-undang Pidana Khusus) telah memperluas
subjek hukum pidana, yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia saja tetapi juga
kepada Korporasi. Perkembangan ini sejalan dengan perkembangan-
perkembangan hukum pidana di negara-negara lainnya. Diadopsinya korporasi
sebagai subjek hukum pidana di Indonesia terlihat dari beberapa Undang-undang
yang dibuat akhir-akhir ini.6
Korporasi seringkali menjadi pelaku atau setidaknya turut terlibat dalam
melakukan kejahatan yang merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa tindak pidana kejahatan korporasi adalah
pelanggaran hukum (hukum pidana) yang dilakukan oleh para pejabat senior
perusahaan atau korporasi dimana perbuatan melawan hukum yang mereka
lakukan telah memberikan keuntungan bagi korporasi yang bersangkutan.
Selanjutnya, kejahatan atau tindak pidana korporasi juga dikenal sebagai
kejahatan bisnis. Kejahatan atau tindak pidana korporasi selalu dilakukan dalam
skala bisnis besar. Oleh karenanya, besarnya keuntungan yang diperoleh korporasi
akan berbanding lurus dengan besarnya kerugian yang diderita korban
(masyarakat, negara, lingkungan, sistem ekonomi, dan lain sebagainya) sebagai
akibat tindak pidana atau kejahatan korporasi tersebut. 7 Maka sesuai uraian latar
belakang diatas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
pertanggungjawaban tindak pidana Korporasi.

B. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal
orangperseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum
dipandang sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan
6
Sutan Remy Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk-beluknya, Kencana,
Jakarta, 2017, hlm 20.

7
Kristian, Kejahatan Korporasi Di Era Modern dan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm. 22.
selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-Undang
Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan
menjadi undang-undang berdasarkan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maupun dalam peraturan
perundangundangan sektoral yang memuat ketentuan pidana, seperti Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-
Undang Noor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan Batubara dan
lain-lain. Berdasarkan ketentuan di atas, maka korporasi sudah dianggap sebagai
subjek hukum pidana.8
Demikian juga halnya dalam RUU KUHP, diterimanya korporasi sebagai
subjek hukum pidana, sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
yang cukup pesat dewasa ini, di mana korporasi besar sekali peranannya dalam
seluk-beluk perekonomian negara, apalagi dalam menghadapi era industrialisasi
yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah kita. Oleh karena, peranan
korporasi yang begitu besar dalam pertumbuhan perekonomian negara, namun
dibalik itu tidak tertutup kemungkinan adanya kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi di berbagai bidang.
Menurut Muladi, ada beberapa alasan pembenar mengapa korporasi diakui
sebagai pelaku tindak pidana, yaitu:9

8
Achmad Ratomi, Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan Hukum Pidana Dalam
Menghadapi Arus Globalisasi Dan Industri), Jurnal Al’Adl, Volume X Nomor 1, Januari 2018. hlm. 4.

9
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni,
Bandung, 1996, hlm. 36.
a) Atas dasar falsafah integraliastik, yaitu segala sesuatu hendaknya
diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial
b) Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945
Untuk memberantas anomie of success (sukes tanpa aturan)
Untuk perlindungan konsumen
Untuk kemajuan teknologi.
Adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana,
tampaknya sudah mendunia. Hal itu dibuktikan, antara lain dengan
diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Ciminal Liability of
Corporation di Atena dari tanggal 31 Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Di mana,
antara lain, Finlandia yang semula tidak mengatur korporasi sebagai subjek
hukum pidana, tapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebgaai
subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada permulaannya, pembentuk undang-undang berpandangan bahwa hanya
manusia (orang perorangan atau individu) saja yang dapat melakukan tindak
pidana. Merujuk pada perumusan ketentuan Pasal 59 KUHP, terutama bertalian
dengan delik dirumuskan dengan adanya frasa “hij die” yang berarti barang siapa.
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia pembentuk undang-undang
ketika merumuskan delik turut memperhitungkan pula kenyataan bahwa manusia
juga terkadang melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi dalam
hukum keperdataan ataupun di luar hal tersebut, sehingga muncul pengaturan
terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Dari beberapa ketentuan dalam perundang-undangan di luar kodifikasi yang
menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, ternyata masih terdapat
kelemahan. Sebagai contoh dalam hal memberikan defenisi, ruang lingkup, jenis
sanksi, hukum acara, dan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi berbeda-
beda dan tidak harmonis.10 Selain daripada itu, dapat ditelisik dari beberapa
perkara yang menempatkan korporasi sebagai terpidana terdapat variasi
10
Budi Suharyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan
Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Recht Vinding, Volume 6 Nomor 3, Desember 2017,
hlm. 446.
pemidanaan terhadap korporasi, diantaranya, yaitu: Pertama, korporasi dijadikan
terdakwa dan dituntut di persidangan setelah pengurusnya terlebih dahulu
diproses dan diputuskan pemidanaanya hingga berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Kedua, korporasi dijadikan terdakwa dan dituntut di persidangan serta
diputus pemidanaannya tanpa didahului dengan pemidanaan terhadap
pengurusnya. Ketiga, putusan pemidanaan terhadap korporasi berdasarkan
tuntutan jaksa penuntut umum tanpa dijadikan sebagai terdakwa.

Anda mungkin juga menyukai