Anda di halaman 1dari 20

STUDI PUTUSAN NOMOR: 10 / PID . SUS-TPK / 2020 / PN.

MTR
TANGGAL 9 JULI TAHUN 2020, TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI DALAM PENGELOLAAN DANA
PENYERTAAN MODAL PT PATUT PATUH PATJU

BAB I
Pendahluan
A. Latar Belakang
Penjelasan undang -undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi yang selanjutnya disebut UU Tipikor menyebutkan salah satu pertimbangan
rasio legis lahirnya undang-undang a quo adalah mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
1

keuangan negara atau perekonomian negara dalam bentuk apapun baik yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya yang berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik
di tingkat pusat maupun pada tingkat Pemerintah Daerah maupun yang berada
dalam penguasaan, pengurusan, Badan Usaha Milik Negara dan / atau Badan
Usaha Milik Daerah. Selain itu pula dalam Undang-undang a quo In Concreto
dirumuskan sedemikian rupa meliputi larangan terhadap perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau- korporasi secara "melawan hukum"
baik dalam pengertian formiil maupun materiil.
Suatu hal yang menarik untuk diulas terkait atas salah satu afrmasi hukum
kebijakan criminal negara ini. dimana pada uu tipikor ini mengatur secara rigid dan
ajek Korporasi sebagai salah satu subyek hukum dalam delik tindak pidana korupsi
2

dengan argumentasi hukum untuk melindungi perekonomian negara. Korporasi


sendiri secara pragmatis linguistic merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para
ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum
lain. khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa
Belanda disebut rechtperson atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person
atau legal body.3 Badan hukum sendiri sebagaimana telah diketahui secara umum
(Notoir Feiten) berbentuk dua yakni badan hukum public maupun badan hukum
Privat.
Dalam praktiknya penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai
sekarang masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra dalam
tataran praktisnya4.kemudian dalam hal ini berbicara skema pemidanaan dalam
tindak pidana korupsi terhadap korporasi diketahui dalam putusan judex factie
Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Mataram Nomor : 10 / Pid. Sus-TPK / 2020
/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 diketahui Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri
Mataram memutus Perkara Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Pengurus
Korporasi salah satu Perseroan Daerah Kabupaten Lombok Barat yakni PT Patut
Patuh Patju dengan terdakwa Lalu Azril Sopandi, SE terkait atas kerugian negara
dalam pengelolaan penyertaan modal Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang
inbreng dalam harta Perseroan Daerah a quo, yang pada saat tempus delicti
terjadi terdakwa menjabat selaku Direktur Utama PT. Patut Patuh Patju, dimana
dalam amar putusan majelis hakim pemeriksa perkara a quo menjatuhkan
diantaranya :
1. Menyatakan Terdakwa LALU AZRIL SOPANDI,SE.,telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI” secara bersama-sama
dan merupakan perbuatan perbarengan”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama 5 (lima) tahun serta pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayar
pidana denda tersebut maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 4
(empat) bulan.

1
Lihat Penjelasan UU 31/1999
2
Ibid
3
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 2.
4
Ibid hal 10
Adapun Racio deciendi yang menjadi pertimbangan hukum putusan majelis
pemeriksa perkara. dimana majelis menilai semua unsur Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat
(1) KUHP telah dipertimbangkan dan terpenuhi menurut hukum. 5 Berdasarkan
pemaparan di atas perlu di ketahui, Bagaimanakah Pengaturan Hukum
Kedudukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan
Bagaimanakah Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara Nomor 10/PId.Sus-
Tpk/2020/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus Korporasi
PT Patut Patuh Patju.
B. METODE
Pendekatan yang dilakukan didalam penelitian ini adalah pendekatan Hukum
normative yang menganggap hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
Peraturan Perundang-Undangan (law in books).dengan tujuan ingin menelaah
sinkronisasi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan hukum
pidana sebagaimana dikatakan Johnny Ibrahim, penelitian hukum normative adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan dari sisi normatifnya. Sisi normatif disini tidak sebatas pada peraturan
perundang-undangan.6Sifat penelitian dilakukan pembahasan secara deskriptif
analisis. Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh
suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta
yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan dalam Penulisan
ini7.Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis secara
cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu
membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan
permasalahan yang ada pada latar belakang penulisan
C. Pembahasan
1. Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korupsi
Untuk mendapatkan jawaban dalam isu hukum ini terkait atas pengaturan hukum
pada perkara tindak pidana yang menimpa anak khususnya maka padakesempatan
ini penulis akan menguraikan diantaranya :
1. Kebijakan Kriminal Dalam Sistim Pemidanaan Indonesia
1) Dalam sistim pemidanaan maka hal mendasar yang perlu dipahami adalah
arah kebijakan dari hukum yakni kebijakan kriminal, dikatakan oleh Muladi
dan Barda Nawawi, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan yang
merupakan bagian integral atau bagian utuh dari upaya perlindungan kepada
masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kejahteraan masyarakat
(social welfare) yang satu sama lainnya terkait dalam satu sistim pemidanaan
(criminal juctice system) dengan goal setting atau tujuan akhir dari kebijakan
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. 8

Selanjutnya sudarto memberi pengertian, bahwa kebijakan kriminal atau


politik kriminal (criminal policy) merupakan usaha rasional dan terorganisasi
dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, definisi ini diambil
dari pemikiran Marc Ancel yang merumuskan sebagai “ the rational
organization of the control of crime by society ”. selanjutnya bahcsan Mustofa
9

mengatakan politik hukum sendiri secara gramatikal berasal dari dua kata
5
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam file:///C:/Users/ASUS/Downloads/putusan_10_pid.sus-
tpk_2020_pn_mtr_20231021182303.pdf
6
Mukti Fajar dkk, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal 47
7
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram NTB, Hal.125
8
Barda Nawari Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Citra Adiitya Bakti, Bandung,
Hal. 2
9
Sudarto,1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Hal. 38
yakni politik dan hukum , sebagaimana dikemukakan ahli, diantaranya
10

adalah:
1) Talcott Parsons mengatakan “Politik adalah aspek dari semua perbuatan
yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi tujuan - tujuan kolektif” ; ; 11

2) Peter Van Oerzen, “Politik adalah tindakan yang dijalankan menurut suatu
rencana tertentu, teroganisir dan terarah, yang secara tekun berusaha
menghasilkan,mempertahankan atau mengubah susunan
kemasyarakatan.” 12

Dari uraian diatas dapatlah dipahami bahwa kebijakan criminal merupakan


usaha pemerintah mengatur kebijakan atas hukum termasuk pula kebijakan
kriminal dalam hukum pidana sehingga kebijakan kriminal pemerintah
merupakan bagian integral dari Politik Hukum pemerintah dalam kehidupan
bernegara.

2) Kriminalisasi Korporasi selaku subyek hukum dalam delik pidana korupsi


Konkritisasi atas penerapan kebijakan kriminal dalam sistim pemidanaan di
Indonesia salah satunya adalam perumusan delik kejahatan menempatkan
korporasi selaku subyek hukum dalam tindak pidana korupsi, hal ini didasari
karena perumusan delik kejahatan korupsi perlu diatur khusus mengingat
delik kejahatan korupsi dalam KUHP tidak cukup mengakomodir bahkan tidak
mengenal pertanggungjawaban korporasi dalam sistem pemidanaan,
sehingga perumusan delik ini diluar KUHP merupakan suatu tindakan urgent
yang tepat, sebagaimana dikatakan Scholten Het recht is er, doch het moet
worden gevonden”,sebuah adagium yang dilontarkan Scholten, yang pada
intinya bermakna sebuah hayalan bila menanggap hukum positif atau Undang
- Undang telah mengatur tuntas segala persoalan hidup .Yang bila diartikan 13

dapatlah dipahami bahwa pengaturan hukum delik diluar KUHP merupakan


suatu kebijakan pemenuhan atas kebutuhan dan cita hukum itu sendiri.

Upaya Kebijakan krimial dengan jalan merumuskan penempatan korporasi


selaku subyek hukum yang dipersamakan dengan manusia dalam delik
khusus tindak pidana korupsi terkait terhadap pertanggungjawaban korporasi
dalam tindak pidana korupsi menjadi sebuah delik pidana merupakan sebuah
upaya yang dikenal dengan istilah Kriminalisasi . sebaliknya upaya 14

penghapusan tindak pidana menjadi sebuah perbuatan biasa lazim dikenal


dengan istisah dekriminalisasi. Sudarto mengatakan sebagaimana dikutip
15

oleh Muladi menyebutkan penuangan suatu jenis kejahatan atau Criminal


adalah sebuah upaya Kriminalisasi atau proses penetapan suatu perbuatan
orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana.Proses itu diakhiri dengan
terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu
sanksi berupa pidana. Dalam upaya kriminalisasi suatu perbuatan atau
16

tindakan menajdi perbuatan pidana memunculkan dua pertanyaan mendasar,


yakni :
1) Perbuatan apa yang seharusnya menjadi tindak pidana dan;
2) Sanksi apa yang seharusnya dikenakan pada si Pelanggar. 17

Hal lainnya yang juga teramat crucial atau penting untuk diperhatikan dalam
perumusan delik pidana pada Undang - Undang diluar KUHP adalah rumusan
tersebut harus berkesesuaian dengan genus Norm atau norma umum yang
ada dalam KUHP : 18

10
Mudzakkir, 2010, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik Hukum Pidana Dan Sistem Pemidanaan , Artikel
Kementrian Hukum dan HAM BPHN ( Badan Pembinaan hukum Nasional ), Jakarta Hal. 5
11
Ibid
12
Ibid
13
Eddy O.S. Hiariej,2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,Erlangga, Jakarta, Hal.55
14
Op.Cit Soedarto Hal.39 - 40
15
Ibid
16
Ibid
17
Op.Cit Barda Nawawi Arief II
18
Op.Cit Barda Nawawi Arif ,Hlm.I
1) Sifat dari perbuatan tersebut apakah melawan hukum atau masuk dalam
unsur tindak pidana;
2) Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan;
3) Sanksi, baik pidana maupun Tindakan lain yang dapat dijatuhkan beserta
asas-asas hukum pidana yang mendasarinya. 19

Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah penulis menyimpulkan bahwa


pengaturan hukum atas perbuatan atau Tindakan sebagai sebuah delik
pidana diluar KUHP atau yang lazim dikenal dengan istilah Kriminalisasi
merupakan bentuk Kebijakan kriminal pemerintah. dimana dalam rumusan
tersebut harus berkesesuaian dengan Genus Norm atau norma umumnya
yakni KUHP yang menandakan perumusan delik kejahatan dalam suatu
Undang - Undang diluar KUHP termasuk dalam hal ini adalah Undang –
Undang nomor 31 tahun 1999 terntang Tindak Pidana Korupsi maupun
perubahannya merupakan bagian integral dari sub sistem pemidanaan
(Ciminal juctice System) serta pelaksanaan Kebijakan criminal pemerintah
ini merupakan implementasi atau perwujudan dari asas legalitas pidana
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.

2. Penempatan Korporasi sebagai subyek hukum dalam delik tindak


pidana korupsi dalam sudut pandang kriminologi dan Viktimologi
Sebagaimana telah dikatahui dalam disiplin hukum pidana bahwa kriminologi dan
viktimologi salah satu media bantu ilmu hukum pidana dalam mengkaji
fenomena hukum pidana. maka dalam hal ini penggunaan dua disiplin ini dalam
mengkaji korporasi atas penempatannya selaku subyek hukum pada delik pidana
korpusi merupakan pisau analisis yang tepat.
KUHP sebagai genus norma Undang undang tindak pidana korupsi Sebagaimana
telah di ketahui bahwa KUHP yang masih berlaku saat ini tidak mengenal
korporasi sebagai subjek hukum. hal ini terlihat dalam rumusan pada Pasal 59
dalam buku I KUHP yang menyatakan “Dalam hal menentukan hukuman karena
pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus, atau komisaris,
maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa
pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya” . Jadi dalam pasal tersebut
20

tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana.
Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum tersebut,
korporasi tidak dapat dikenakan pidana. Selain hal tersebut KUHP menganut asas
tiada pidana tanpa kesalahan. maka jelas dimaksudkan dalam Buku I ini bahwa
ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak diperuntukkan untuk korporasi. 21
Yang mana kemudian dalam perkembangannya dalam system pemidanaan
Indoenesia diketahui beberapa aturan tindak pidana di luar KUHP mengatur
tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana; seperti Undang-undang Darurat
No.7 Tahun 1965 tentang tindak pidana ekonomi, Undang-undang No.33 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan undang-undang lainnya.
Hal ini tidak lepas dalam perjalanannya munculnya fenomena kejahatan tidak
hanya dilakukan oleh orang pribadi namun juga dilakukan badan hukum atau
dalam bentuk korporasi korporasi selaku subyek hukum pemidanaan dalam
kancah internasional menjadi concent diskursus internasional. Hal ini terlihat
pada Pertemuan tingkat dunia dalam kongres ke empat PBB ( United Nations)
pada Tahun 1970 tentang pencegahan kejahatan di Genewa, yang mana salah
satu materi dibicarakan dalam pertemuan iti adalah perubahan bentuk dan
dimensi kejahatan yang salah satunya adalah dalam bentuk Crime and Bussines
yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui

19
S.R. Sianturi, 1986, Asas - Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, Hal. 211
20
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf
21
Ibid
kegiatan dalam bidang usaha (bussines) atau industri yang pada umumnya
dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai
kedudukan terpandang dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kejahatan ini
antara lain berhubungan dengan pencemaran lingkungan.Perlindungan
konsumen dan dalam bidang perbankan, disamping kejahatan-kejahatan lainnya
dimana dalam perkembangannya dikenal dengan “ organized crime; white collar
crime”22. pada studi ilmu kriminologi dan viktimologi diketahui beberapa batasan
pengertian kejahatan kaitannya dengan korporasi diantaranya adalah; 23
a. Crime for Corporation merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan
untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan untuk kepentingan individu
atau pelaku.Ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata-mata
hanya untuk keuntungan korporasi;
b. Crime Againt Corporation Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan
individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi ( employee crime)
terhadap korporasi tersebut, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh
pejabat atau karyawan dari korporasi itu sendiri;
c. Criminal Corporation Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan
kejahatan, kedudukan korporasi disini hanya sebagai sarana untuk
melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dari tujuan
jahatnya.24
Pembedaan diatas semakin menunjukkan ternyata kejahatan tidak hanya
dilakukan secara personal akan tetapi sudah begitu profesional dalam suatu
wadah organisasi. crime for corporation adalah merupakan suatu kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi dengan tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan
ekonomi, atas dasar motif ekonomi ini, maka korporasi sering melakukan
pelanggaran hukum. Tindak pidana kejahatan dewasa ini perkembangannya
tidak hanya dilakukan dari mereka yang memiliki penyakit sosial dan penyakit
pribadi.akan tetapi mereka juga dari kalangan pelaku bisnis yang terorganisir
dalam suatu korporasi, E.H. Sutherland menyatakan pada pokoknya bahwa studi
kriminologi kejahatan pada korporasi sama seperti perilaku subjek hukum lainnya
untuk lain dipelajari. dan patologi pribadi dan sosial tidak memainkan peranan
penting dalam penyebab kejahatan. Lebih jauh EH Sutherland mengatakan
25

Kenyataan bahwa korporasi telah melakukan berbagai macam kejahatan sudah


lama terjadi, tahun 1932 sebuah hasil penelitian terhadap 70 korporasi besar di
Amerika Serikat jelas memperlihatkan bagaimana korporasi telah melakukan
berbagai macam kejahatan. dari hasil penelitiannya tersebut dan kemudian ia
merumuskan dalam Undang-Undang Hubungan Perburuhan Nasional. penipuan
keuangan, peraturan perang, dan berbagai macam undang-undang terkait atas
kejahatan korporasi. 26

Di dalam hukum perdata dikenal adanya dua subjek hukum yakni orang dan
badan hukum. Sementara hukum pidana mengalami perdebatan apakah badan
hukum termasuk dalam subjek hukum. Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal adanya badan hukum sebagai
subjek hukum pidana. KUHP hanya mengenal orang sebagai subjek hukum
pidana. Jadi perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum dalam KUHP tidak
termasuk dalam subjek hukum pidana.
Dalam ilmu hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda
meliputi “Persoon” dan “Rechtpersoon”. “Persoon” adalah manusia atau orang
yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya
hukum perdata. “Rechtpersoon” ialah badan hukum yang diberi kewenangan

22
B.N.Arif; Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994, Semarang.
hal.13.
23
H.Setiyono;, Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia ,
Penerbit Averroes Press, Malang,2002. hal. 16-18.
24
Ibid
25
E.H.Sutherland; 1977, Crime of Corporation, dalam Geis dan Meier. White Collar Crime, offences in Bussines, Politics, and the
Professions. The Free Press, New York.1977.Page. 79.
26
Ibid
oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk
dalam golongan “persoon”.
Di Indonesia, badan hukum dapat berupa: Perum, Persero, Perseroan Terbatas,
Yayasan dan Koperasi, serta Maskapai Andil Indonesia yang telah dihapus sejak
tanggal 7 Maret 1998. Di antara organisasi-organisasi tersebut, Perseroan
27

Terbatas (PT) adalah yang paling populer dan yang paling banyak digunakan
sebagai alat oleh para pengusaha untuk melakukan kegiatan di bidang ekonomi.
Landasan hukum bagi berdirinya sebuah PT, sebelumnya diatur oleh UU No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Dalam perkembangannya,
dirubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, pada Pasal 1 angka 1 disebutkan:” Perseroan Terbatas, yang
selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”.
Pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris “ Corporation” yang
berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-undang
diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu
sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya. Istilah dalam
kamus Belanda untuk korporasi ialah “ corporatie” yang berarti perhimpunan,
perkumpulan atau persatuan.28 Oleh karena sasarannya adalah mencari
keuntungan bagi pemegang saham dan perusahaan itu sendiri, maka korporasi,
baik itu dalam bentuk PT. Persero maupun Perseroan Terbuka, selalu bersifat
ekspansif dan penuh dinamika dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang
demikian cepat. Salah satu ciri dari korporasi yang demikian adalah selalu
memerlukan investasi untuk menunjang ekspansi bisnis yang ditargetkan.
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1) Teori Strict Liability
Secara garis konsep teori ini menekankan korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang saham, pengurus, agen,
wakil atau pegawainya. Di bidang hukum pidana, “ strict liability” berarti niat
jahat atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dalam kaitan dengan satu atau
lebih unsur yang mencerminkan sifat melawan hukum atau “ actus reus”,
meskipun niat, kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam
kaitan dengan unsurunsur tindak pidana yang lain. 29
Menurut prof. Barda Nawawi30, teori tersebut dapat disebut juga dengan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “ Strict
liability” Kerangka pemikiran ini merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai
subjek hukum, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang, maka subjek hukum
buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana. Hal yang penting dari
teori ini adalah subjek hukum harus bertanggungjawab terhadap akibat yang
timbul, tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaiannya. Pelanggaran
kewajiban atau kondisi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “ strict
liability offences”. Contoh dari rumusan Undang-undang yang menetapkan
sebagai suatu delik bagi korporasi adalah dalam hal:
a. korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin;
b. korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang
ditentukan dalam izin itu;
c. korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan di jalan
umum. 31

27
Op Cit Dalam file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf
28
Ibid
29
Ibid
30
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009) hal. 43.
31
Ruu Kuhp dalam https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf
2) Teori Vicarious Liability
Berdasarkan teori ini, menekankan sebagaimana prinsip hukum “ vicarious
liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan
gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan
konsepsi yang muncul dari sistem hukum “common law”, yang disebut sebagai
“respondeat superior”, yaitu tanggung jawab sekunder yang muncul dari
“doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh bawahannya. Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan
32

bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya dengan “ vicarious liability”,


Peter Gillies membuat beberapa pemikiran sebagai berikut 33 :
a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai
pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk
perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban
demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious;
b. Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’
besar atau seluruhnya merupakan “ summary offences” yang berkaitan
dengan peraturan perdagangan;
c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah
relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai
korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi
petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap
hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan
terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan
dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang
sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya).
Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul
sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di
dalam perusahaan. Perlu dikemukakan bahwa doktrin ini dapat berlaku
dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang atau “ the
delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “ mens rea” atau “a guilty mind”
dari karyawan dapat dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian
kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut Undang-undang.
3) Teori Identification
Pertanggungjawaban pidana langsung atau “ direct liability” (yang juga berarti
nonvicarious), menyatakan bahwa para pegawai senior korporasi, atau orang-
orang yang mendapat delegasi wewenang dari mereka. dipandang dengan
tujuan tertentu dan dengan cara yang khusus, sebagai korporasi itu sendiri,
dengan akibat bahwa perbuatan dan sikap batin mereka dipandang secara
langsung menyebabkan perbuatan-perbuatan tersebut, atau merupakan sikap
batin dari korporasi. Ruang lingkup tindak pidana yang mungkin dilakukan
oleh korporasi sesuai dengan prinsip ini lebih luas, dibanding dengan apabila
didasarkan pada doktrin “vicarious”. Teori tersebut menyatakan bahwa
perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” ( senior officer) diidentifikasi
sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Konsepsi ini disebut juga doktrin
“alter ego” atau “teori organ”34
4) Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi
Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa di Indonesia Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). belum dikenal adanya
ketentuan pidana yang menetapkan subjek hukum buatan ( rechtpersoon)

32
Teori Vicarius Liability dalam https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-liability
33
Peter Gillies, Criminal Law (The Law Book Co. 1990) Page 126.
34
Holywings Sebagai Korporasi Dapat Dimintain Pertanggungjawaban Pidana, Berikut Penjelasan Berdasarkan Teori Hukum dalam
https://mediafonna.id/2022/06/29/holywings-sebagai-korporasi-dapat-dimintain-pertanggungjawaban-pidana-berikut-penjelasan-
berdasarkan-teori-hukum/
atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Namun
demikian, dalam perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek
hukum dalam rumusan ketentuan pidana. Berikut ini adalah contoh dimana
suatu undang-undang khusus, mengatur mengenai korporasi sebagai subjek
tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya
pengurusnya:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan);
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api);
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan
Apotek);
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian
Perburuhan);
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan
Tenaga Asing);
h. Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (UndangUndang Penerbangan);
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi;
berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan);
k. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);
l. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor
Perusahaan);
m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998).
Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk
pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal
46 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992: Dalam hal kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi. maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.” Dari rumusan pasal
tersebut, jelas bahwa para pengurus yang berwenang untuk memberikan
perintah kepada bawahannya dalam korporasi perbankan tersebut,yang
nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
5) Pertangggungjawaban Korporasi dalam Undang -undang Nomor 31 Tahun
1999
Pada pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 31 disebutkan Korporasi
merupakan “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” berdasarkan
rumusan materi muatan pada pasal tersebut maka secara deklaratif norma
tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
persekutuan orang maupun persekutuan harta kekayaan baik berbentuk
badan hukum maupun non badan hukum.shingga jelaslah secara ternag dan
jelas kata lunci koporasi adalah persekutuan. Selanjutnya dalam Undang-
undang a quo secara tegas diatur bentuk delik kejahatan korporasi yakni
pada :
a. Pasal 2 angka (1) disebutkan “ Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” kemudian ;
b. Pasal 3 menyebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Bila melihat rumusan materi muatan dalam pasal 2 angka (1) Jo pasal 3
Undang-undang a quo maka dapatlah dikatakan secara terang dan jelas
bahwa afirmasi hukum dalam pasal tersebut berifat imperative yang artinya
memerintahkan larangan bagi korporasi untuk melawan hukum abik secara
formiil maupun materiil dalam hal perbuatan menyalahgunakan kewenangan
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
menguntungkan diri dengan ancaman pidana, kemudian sistematika
pemidanaan bagi korporasi dalam undang undang a quo diatur pula pada
pasal 20 yang terdiri atas 7 ayat yakni :
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan atau pengurusnya;
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama;
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain;
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan;
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor;
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah dipahami secara terang dan jelas
bahwa skema pemidaan terhadap korporasi secaralangsung hanya dapat
dieknakan pidana denda, sedangkan dalam hal tuntutan pemidaan penjara
diwakili oleh pengurus, pengurus dimaksud sebagaimana penjelasan pasal 20
angka (1) adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi
yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pembahasan pada rumusan permasalahan pada point 1 maka
terkait atas Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Korupsi maka dapatlah disimpulkan, sistematika pemidanaan terhadap
korporasi dalam Undnag undang tipikor yang hanya dapat dikenakan pidana
denda saja, sedangkan tuntutan pemidanaan penjara hanya dapat dikenakan
pada pengurus korporasi. Dimana dalam sistematika pemidanaan pada
koporasi dilakukan dalam bentuk perwakilan pada pengurus korporasi dalam
hal ini pengurus sebagaimana pengertian pada undang-undang nomor 31
tahun 1999 yang merupakan bentuk penerapan Prinsip tanggungjawab
Vicarious Liability dan Prinsip Tanggungjawab Indentification.
2. Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam
Menjatuhkan Putusan pada Perkara NOMOR 10 / PId . Sus-Tpk / 2020 /
PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus Korporasi PT Patut
Patuh Patju.

Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Berdasarkan
uraian perintah norma tersebut maka bagi hakim dalam mengeluarkan suatu
putusan wajib didasari oleh alasan dan dasar putusan serta menyebutkan pasal
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang mengaturnya bersifat
kasuitis. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu
juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat serta
memiliki metode penafsiran yang tepat dalam praktiknya. 35

Ratio Decidendi (Pertimbangan Hukum) Hakim dalam Perkara Nomor :


10/PID.SUS-TPK/2020/PN.MTR TANGGAL 9 JULI TAHUN 2020, Tentang
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Penyertaan Modal
Korporasi PT Patut Patuh Patju
pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis Majelis Hakim Mataram pada
perkara ini yakni:
1. Analisis Pertimbangan Yuridis Majelis Pemeriksa Perkara Nomor:
10/PID.SUS-TPK/2020/PN.MTR TANGGAL 9 JULI TAHUN 2020. fakta-
fakta yang terungkap dalam jalannya putusan sebagaimana terlihat dalam
dokumen Salinan putusan yakni :
a. Dakwaan Jaksa Pada perkara ini jaksa mendakwa Terdakwa dengan
susunan dakwaan Subsidairitas yakni :
A.1. Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.
20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1)
ke- 1 Jo. Pasal 65 KUHP;
A.2. Subsidair, melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.20 tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo . Pasal 55 ayat (1) ke 1
Jo. Pasal 65 KUHP
Bahwa karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk subsidaritas, maka
Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primair
Penuntut Umum dan apabila ternyata dakwaan primair dinyatakan terbukti,
maka dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi, namun sebaliknya
apabila ternyata dakwaan primair tidak terbukti unsur-unsurnya, Majelis
akan mempertimbangkan dakwaan subsidair;
b. Berdasarkan salian putusan dalam perkara a quo diketahui keterangan
saksi-saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa
dan setelah dilakukan identifikasi maka diperoleh fakta-fakta hukum yang
pada pokoknyasebagai berikut :

1. Penyimpangan dalam pengelolaan penyertaan modal Pemerintah


Kabupaten Lombok Barat ;

35
Mukti Arto,2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet v , Pustaka Pelajar.Hal.140
2. Penyimpangan dalam pengelolaan penyertaan modal Pemda Lombok
Barat berupa tanah;
3. Bahwa berdasarkan fakta persidangan bahwa diketahui dari total
kerugian Negara di atas, terdakwa LALU AZRIL SOPANDI, SE. ada
melakukan pengeluaran uang yang dipandang berhubungan dengan
Pembangunan Bangunan Pengganti Kantor Dinas Pertanian Kabupaten
Lombok Barat yakni pengeluaran untuk sewa kantor sementara dinas
pertanian sebesar Rp. 90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah) yang
patut kiranya dianggap sebagai pengeluaran yang sah yang harus
dikurangkan dari total kerugian Negara tersebut, sehingga total
kerugian Negara dalam pengelolaan penyerataan modal berupa tanah,
khususnya yang berkaitan dengan pembangunan kantor pengganti
Dinas Pertanian dan UPT. BPP menjadi Rp. 454.426.837,- diperoleh dari
(Rp. 544.426.836,56 – Rp. 90.000.000).;
4. Bahwa Terdakwa LALU AZRIL SOPIANDI juga mendapatkan kick back
dari Kades Grimak sebesar Rp. 250.000.000,- , Bahwa dengan
demikian, maka total kerugian Negara yang harus menjadi beban
terdakwa LALU AZRIL SOPANDI, SE. untuk mengembalikannya sebagai
uang pengganti yakni sebesar Rp. 641.126.837,- diperoleh dari (Rp.
186.700.000 + Rp. 454.426.837) ditambah dengan Rp. 250.000.000,-
sehingga menjadi Rp. 891.126.837;
c. Konstruksi atas Pasal Pasal terhadap Undang-Undang yang diterapkan
dalam perkara dimaksud, merupakan salah satu element dari
pertimbangan yuridis36 dalam artian pasal-pasal dalam Undang-Undang
tindak pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.
Kemudian penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa
telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal
Undang-Undang pada perkara didakwakan kepadanya.
C.1. Konstruksi Majelis Hakim Pemeriksa pada perkara ini sebagaimana
dakwan jaksa penuntut umum. bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta hukum tersebut Terdakwa
dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, Menimbang. bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum dengan dakwaan subsidaritas, yaitu :
Primair, melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1
Jo. Pasal 65 KUHP;
Subsidair, melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.20 tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1
Jo. Pasal 65 KUHP;
Menimbang, bahwa karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk
subsidaritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan
dakwaan primair Penuntut Umum dan apabila ternyata dakwaan primair
dinyatakan terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi,
namun sebaliknya apabila ternyata dakwaan primair tidak terbukti unsur-
unsurnya,Majelis akan mempertimbangkan dakwaan subsidair;
Menimbang, bahwa Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan
Undang-undang No.20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

36
Kiprah Mandiri B Side, 2014, Skripsi Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi
Kasus Putusan Nomor 99/Pid.B/2011/PN.Pare-Pare),Universitas Hasanudin, Makasar, Hal.25
Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut :
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan;
6. Beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan;
Berdasarkan analisis penulis maka konstruksi rumusan unsur dakwaan
primair seluruhnya telah terpenuhi dengan dasar pertimbangan unsur
pidana tambahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP telah
dipertimbangkan dan terpenuhi menurut hukum;
c.2. Pertimbangan Keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan
Menimbang, bahwa sebelum terdakwa dijatuhi pidana,terlebih dahulu
Majelis harus mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan
dan keadaan yang meringakan terdakwa (Pasal 197 ayat (1) butir f
KUHAP);
1. Keadaan-keadaan yang memberatkan:
Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah RI
yang sedang giat-giatnya memberantas Tindak Pidana Korupsi;
2. Keadaan-keadaan yang meringankan:
Terdakwa bersikap sopan selama persidangan - Terdakwa mempunyai
tanggungan keluarga;

2. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Pemeriksa Perkara Nomor 10 /


PID . SUS-TPK / 2020 / PN.MTR TANGGAL 9 JULI TAHUN 2020
Majelis Hakim dalam perkara tersebut diatas maka dalam bagian ini penulis
akan menguraikan diantaranya :
1) Karakteristik Kejahatan Korupsi dalam Sudut pandang
Kriminologi
Pada bagian ini penulis melakukan analisa berdasarkan perspektif
kriminologi atas dasar pertimbangan putusan pada perkara tersebut diatas,
penggunaan perspektif kriminologi didasari atas bahwa ilmu kriminologi
merupakan alat bantu atau media bantu hukum pidana untuk menemukan
atau mengetahui jenis kejahatan secara mendalam mengenai peristiwa
kejahatan, sebab musabab terjadinya kejahatan, serta upaya atau usaha
yang dapat digunakan untuk menanggulangi kejahatan sebagai problem
solving mengatasinya 37

Dalam pandangan Prespektif kriminologi terhadap korupsi, secara


gamblangkorupsi merupakan kejahatan. Dengan sebuah argumentasi
sederhan dimana dampak dari korupsi memiliki dampak social ( social
injuries) yang sangat luar biasa dan menciptakan sebuah kesenjangan
structural dan kesenjangan social. Ibarat “lingkaran setan”, kejahatan
korupsi cenderung dilakukan dengan cara berkorporasi, baik dari atasan ke
bawahan atau sebaliknya dari bawahan ke atasan. Amin Rais berpendapat
bahwa skala korupsi telah menjadi sedemikian menggurita dan dapat
dikatakan bukan saja korupsi telah membudaya, namun juga telah
melembaga.dimana fenomena ini telah bertransformasi secara
37
Indra Silfiyah, DKK,2021, Peran Kriminologi Sebagai Ilmu Bantu Hukum Pidana (Studi Kasus Pembunuhan Cakung ), COURT
REVIEW Jurnal Penelitian Hukum Commmunity of research Laboratory Surabaya, Hal 10
institusionalisasi, sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga negara atau
pemerintah yang bebas dari korupsi. kenyataan tersebut dipertegas oleh
sebuah jurnal asing yang mengatakan bahwa “ corruption is way of live in
Indonesia”.38
Persefectif kriminologi terhadap korupsi menghasilkan sintese bahwa
korupsi merupakan kejahatan, sintese ini dihasilkan dari hasil analisa
diskripsi para ahli kriminologi tentang kejahatan, baik ahli kriminologi yang
berpandangan kejahatan merupakan perbuatan yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan dan mendapatkan sanksi pidana bagi yang
melakukannya, atau yang mendiskripsikan kejahatan bukanlah suatu
perbuatan tetapi status atau lebel yang diberikan oleh masyarakat
terhadap perbuatan yang mengganggu eksistensi komunitas masyarakat,
atau yang mendiskripsikan kejahatan dari prespektif akibat yang
disebabkan oleh struktural.
Beberapa tokoh pidana diantaranya berpendangan atas kejahatan salah
satunya J.E. Sahetapy. dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, mengatakan bahwa hal yang paling
dianggap gampang untuk menampik apa yang dinamakan kejahatan,
tetapi tidaklah mudah jika hendak bertindak sesuai dengan apa yang
dinamakan kejahatan. Namun, yang paling sulit dan acap kali bahkan
mengerikan, apabila Sutherland, juga berpendapat bahwa ciri pokok dari
kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh Negara oleh karena
merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan terhadap perbuatan
tersebut Negara bereaksi, dengan hukuman sebagai suatu upaya
pamungkas (ultimatum remedium).39

A. Karaktersiktik Kejahatan
Kejahatan sudah dikenal sejak adanya peradaban manusia. Makin tinggi
peradaban, makin banyak aturan, dan makin banyak pula pelanggaran.
disebut bahwa kejahatan merupakan bayangan peradaban ( crime is a
shadow of civilization) kejahatan adalah bayangan peradaban. Kejahatan
membawa penderitaan dan kesengsaraan, mencucurkan darah dan air
mata. Pengedaran gelap narkotika telah menghancurkan harapan masa
depan berjuta-juta anak remaja. Kejahatan kerah putih menyebabkan
kerusakan alam dan lingkungan yang pada gilirannya menimbulkan banjir,
kekeringan yang berkepanjangan, dan akhirnya membawa akibat
hilangnya nyawa, rusaknya harta benda dan kerugian yang tak terhitung
banyaknya.40
Secara etimologis kejahatan merupakan suatu perbuatan manusia yang
mempunyai sifat jahat seperti orang membunuh, merampok, mencuri dan
lain sebagainya.Sutherland menekankan bahwa ciri pokok kejahatan
adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan
yang merugikan negara. Pada prinsipnya Kejahatan adalah suatu label
41

atau cap yang diberikan untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu,


sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai
penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari dalam nilai, maka ia memiliki
pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang
memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang
belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Bisa jadi
semua golongan masyarakat dapat menerima suatau perbuatan sebagai
kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan
perbedaan pendapat dalam masyarakat.42

38
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, Menyingkap korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999,
hal ix.
39
Edwin h Sutherland dan Donald R. Cressey, Principles of Criminology, Sixth Edition, New York: Jp Lipponscott Company, 1960,
Page. 1.
40
Emilia susanti dan eko raharjo, Buku Ajar hukum dan Kriminologi, Aura Bandar Lampung, 2018, Hal.107
41
Topo Santoso dkk. 2001. “Kriminologi”. Rajagrafindo Perkasa, Jakarta. Hlm 14
42
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas ), Armco, Bandung, 1984. Hal 26
Menurut A. Gumilang kejahatan dapat di definisikan sebagai berikut: 43
1. Kejahatan dibedakan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara
sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
Ditinjau dari segi sosiologis. maka yang dimaksud dengan kejahatan
adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita
juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban;44
2. Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat atau tingkah laku
yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara,
hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya;45
3. Kejahatan sebagai perbuatan anti sosial yang memperoleh tantangan
dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan. 46

Berdasarkan uraian daiatas maka dapatlah disimpulkan terdapat 3 bentuk


kejahatan yakni, pertama kejahatan dari sudut pandang yuridis artinya
perbuatan tersebut telah ditetapkan sedemikian rupa oleh hukum tertulis
sebagai bentuk kejahatan, kedua kejahatan dari sudut pandang sosiologis
artinya perbuatan tersebut merupakan suatu problem yang hadir
dimayarakat sehingga mendapat legitimasi masyarakat untuk disebut
perbuatan jahat, ketiga kejahatan dari sudut pandang kriminologis dalam
artian segala perbuatan manusia dalam bidang politis, ekonomi dan sosial
yang sangat merugikan dan berakibat jatuhnya korban-korban baik
individual maupun korban kelompok atau golongan-golongan masyarakat 47
B. Tipologi Penjahat

Menurut Gerson W. Bawengan membagi kepada sembilan macam dengan


disertai contoh-contoh kasusnya sebagai berikut48:
1. The casual offender,yaitu mereka yang melakukan pelanggaran-
pelanggaran kecil dan karena itu tidak dapat disebut sebagai penjahat.
Misalnya naik sepeda di malam hari tidak memakai lampu penerang;
2. The Occasional Criminil, yaitu mereka melakukan kejahatan ringan.
Misalnya seseorang mengendarai mobil kemudian menabrak orang
yang akibatnya menderita luka-luka ringan;
3. The Opisodic, yaitu mereka melakukan kejahatan akibat dari dorongan
emosional yang tinggi. Misalnya seseorang membunuh orang lain
karena pelaku itu mensetubuhi isterinya dan kebetulan sedang berbuat
kepergok olehnya;
4. The White Collar Criminil, yaitu rupa-rupa kejahatan yang dilakukan
oleh para pengusaha dan pejabat dalam kaitannya dengan fungsinya.
Mereka tidak segan-segan melakukan kejahatan yang tujuannya untuk
memperkaya diri, seperti dengan melakukan korupsi, kolusi, penipuan,
pemalsuan, pemerasan dan lain-lain. Kejahatan model ini zaman
sekarang ini tampak terus mengemuka dengan berbagai corak dan
ragamnya;
5. The Habitual Criminil, yaitu mereka yang mengulang-ulangi kejahatan.
Misalnya mabuk, pembunuh darah dingin, dan lain-lain;
6. The Profesional Criminil, yaitu mereka yang melakukan kejahatan
sebagai mata pencaharian dalam hidupnya. Hal ini pada umumnya
dilakukan oleh mereka berkisar pada delik ekonomi. Misalnya pasar
gelap, bank gelap (dan lain-lainnya;
7. Organised Crime, yaitu mereka para penjahat bergabung dalam dalam
suatu organisasi dengan mempunyai tujuan tertentu dan kejahatan
43
A Gumilang. Kriminalistik. Bandung. Angkasa. 1993. Hlm. 5.
44
Ibid
45
Ibid
46
Ibid
47
Ibid
48
Op. cit Topo Santoso Dkk I. Hal. 48
yang dilakukan betul-betul profesional. Misalnya Torrio Capone sebagai
salah satu organisasi penjahat di Amerika Serikat;
8. The Mentally Abnormal Criminil, yaitu penjahat yang melakukan
kejahatan karena bermental abnormal (terganggu ingatannya).
Misalnya seorang ibu yang membunuh anaknya yang baru dilahirkan
karena ia menghendaki anak laki-laki, tapi yang lahir malah perempuan
sehingga merasa “greget” dengan mengakibatkan gangguan syaraf;
9. The Normalicious Criminil, yaitu mereka melakukan perbuatan yang
oleh umumnya masyarakat memandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut dirinya sendiri bukanlah sebagai perbuatan jahat tetapi justru
suatu perbuatan suci. Misalnya seorang laki-laki atau perempuan
berdasarkan kepercayaan agamanya melakukan telanjang di muka
umum. Perbuatan ini menurut penilaian banyak orang sebagai
perbuatan jahat, sedangkan menurutnya perbuatan baik.

Berdasarkan uraian diatas terkait atas karateristik kejahatan dan tipe


penjahat maka dalam sudut pandnag kriminologi dapatlah dimpulkan
bahwa kejahatan korupsi masuk dalam jenis kejahatan yuridis,
sosiologis dam kriminlogis karena kejahatana tersebut telah ditetapkan
oleh norma hukum tertulis, serta merusak sendi tatanan kehidupan
masyarakat, serta merugikan secara politis, ekonomi negara dan
pelakunya masuk dalam kualifisier Penjahat atau dikenal dengan istilah
The White Collar Criminil karena pelkaunya dari kalangan etrtentu,
pengusah dan pejabat negara.
2) Korelasi kejahatan Korporasi dan Tindak Pidana Korupsi dalam
sudut pandang kriminologi
a. Karateristik Kejahatan Koporasi
Dalam sudut pandang kriminologi Menurut Sally A. Simpson yang menguti
pendapat dari john braihtwaite terdapat 3 poin karateristik kejahatan
korporasi yaitu:49
1) Bahwa tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda
dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal
prosedur administrasi. Oleh karena itu, yang digolongkan kejahatan
korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi
juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi; 50
2) Bahwa korporasi sebagai “subyek hukum perorangan” dan
perwakilannya “illegal actor” termasuk sebagai pelaku kejahatan,
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada kejahatan yang
dilakukan aturan, dan kualitas pembuktian dan penuntutan; 51
3) Bahwa Motivasi kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bukan
bertujuan untuk kepentingan pribadi (individu), melainkan pada
pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasi. Tidak
menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma
operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah disimpulkan karateristik


kejahatan yang dilakukan korporasi bukanlah termasuk jenis kejahatan
biasa pada lingkup kelas sosiologi kelas bawah, karena tidak dilakukan
secara perorangan semata dan termasuk dalam lingkup administratif
pemerintahan.

b. Karakteristik Kejahatan Korporasi secara Fungsional terbagi atas


yakni52:
a. Organisatoris;

49
Sally A Simpson dalam A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita 1983, hlm. 54.
50
Ibid
51
Ibid
52
Simanjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino : Bandung.1982.Hal.
b. Terkait dengan Bisnis;
c. Kurang Mendapat Perhatian;
d. Kompleksitas;
e. Penyebaran Tanggung Jawab (diffusion of responsibility);
f. Korban yang Meluas (diffusion of victimization);
g. Kesulitan Menentukan Pelaku dan Penuntutan;
h. Sanksi yang Lunak (Lenient Sanction);
i. Hukum Bermuka Dua;
j. Status Kejahatan Bermuka Dua
c. Bentuk-bentuk kejahatan Korporasi

1. Dalam bidang ekonomi: Joseph F. Sheley Defrauding Stockholder


mengatakan53 bentuk kejahatan ini salah satunya menipu pemegang
saham Contoh: Tidak melaporkan sebenarnya keuntungan perusahaan.
Defrauding the Public (menipu masyarakat), Property Crime Perbuatan
yang mengancam keselamatan harta benda atau kekayaan pribadi
seseorang atau negara;
2. Bidang Sosial Budaya:
1) Kejahatan terhadap Buruh;
2) Kejahatan HAKI;
3) Kejahatan Narkotik;
4) Menyangkut Masyarakat Luas;
5) Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup;
6) Kejahatan terhadap Konsumen
3. Tipologi Korban Kejahatan Koporasi ;
a. Korban tidak menyadari dirinya sebagai korban ( unaware victim);
b. Korban dari kejahatan korporasi bersifat abstrak (tidak nampak
sebagai korban);
c. Penyebaran korban yang meluas (The Diffusion of Victimization);
d. Korban berpartisipasi atau ada kaitannya dengan kejahatan
korporasi (Participative Victim).

Berdasarkan urian diatas terkait atas Penerapan Hukum atas Pertimbangan


Hukum Majelis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara NOMOR
10/PId.Sus-Tpk/2020/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus
Korporasi PT Patut Patuh Patju, Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara
tersebut diatas bahwa racio deciendi dari putusan tersebut didasari oleh
terpenuhinya semua unsur dakwaan primer yang diajukan Jaksa Penuntut
Umum yang pada pokoknya majleis hakim pemeriksa perkara menilai
perbuatan terdakwa selaku pimpinan korporasi Perseroan daerah PT Patut
Patuh Patju dilakukan dalam rangka memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi serta merugikan keuangan negara terkait atas
pengelolaan dana penyertaan modal dalam pembangunan Kantor Dinas
Pertanian Kabupaten Lombok Barat serta Putusan ini bila dianalisis dalam
sudut pandang kriminologi bahwa kejahatan korporasi merupakan bentuk
kejahatan luar biasa berdasarkan tipologi korban, karakteristik kejahatan,
tipologi serta bentuk kejahatan yang dilakukan yang berdampak sangat
luas dan merugikan perekonomian negara secara nyata, sehingga putusan
tersebut berkesesuain secara Filosofis, sosioolgis dan yuridis.

53
Muladi. Bunga Rampai Hukum PIdana, Bandung, 1992.hal 5
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab di atas maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Bahwa Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korupsi maka dapatlah disimpulkan, penempatan Korporasi selaku subyek
hukum dimaksudkan untuk melindungi perekonomian negara serta agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit sebagaimana
perkembangan jaman atas bentuk kejahatan konvesional yang tidak hanya
dilakukan personal pribadi namun dilakukan pula oleh korporasi, kemudian
terkait atas sistematika pemidanaan terhadap korporasi yang hanya dapat
dikenakan pidana denda saja, sedangkan tuntutan pemidanaan penjara
hanya dapat dikenakan pada pengurus korporasi. Dimana dalam sistematika
pemidanaan pada koporasi dilakukan dalam bentuk perwakilan pada pengurus
korporasi dalam hal ini pengurus sebagaimana pengertian pada undang-
undang nomor 31 tahun 1999 merupakan bentuk penerapan Prinsip
tanggungjawab Vicarious Liability dan Prinsip Tanggungjawab Indentification;
2. Bahwa selanjutnya Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara NOMOR
10/PId.Sus-Tpk/2020/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus
Korporasi PT Patut Patuh Patju, Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara
tersebut diatas bahwa racio deciendi dari putusan tersebut didasari oleh
terpenuhinya semua unsur dakwaan primer yang diajukan Jaksa Penuntut
Umum yang pada pokoknya majleis hakim pemeriksa perkara menilai
perbuatan terdakwa selaku pimpinan korporasi Perseroan daerah PT Patut
Patuh Patju dilakukan dalam rangka memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi serta merugikan keuangan negara terkait atas pengelolaan
dana penyertaan modal dalam pembangunan Kantor Dinas Pertanian
Kabupaten Lombok Barat serta Putusan ini bila dianalisis dalam sudut pandang
kriminologi bahwa kejahatan korporasi merupakan bentuk kejahatan luar biasa
berdasarkan tipologi korban, karakteristik kejahatan, tipologi serta bentuk
kejahatan yang dilakukan yang berdampak sangat luas dan merugikan
perekonomian negara secara nyata, sehingga putusan tersebut berkesesuain
secara Filosofis, sosioolgis dan yuridis.

2. Saran
1. Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini saran yang hendak penulis
sampaikan Perlu adanya suatu pengkajian kembali mengenai sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi
terlebih Korporasi public termasuk perseroan daerah maka dalam ini haruslah
koporasi ini diposisikan sebagai pengampu pertanggungjawaban pidana secara
langsung atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi publik. Dengan
tujuan menempatkan korporasi publik, sebagai pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan secara langsung dalam tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi publik, disamping pejabat senior atau pemimpin dari korporasi
publik. Disamping itu, jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
publik diharapkan berorientasi pada kepentingan korban, yaitu berupa
pemulihan hak korban yang telah.terlanggar.
2. Selanjutnya untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dalam hal ini
termasuk juga yang dilakukan oleh korporasi, hendaknya aparat penegak
hukum tidak hanya bertindak dengan mengandalkan undang-undang
pemberantasan korupsi saja melainkan haruslah diimbangi dengan cara-cara
atau kebijakan lain yang mendukung usaha pemberantasan korupsi
diantaranya, melakukan penelitian dan seminar lebih lanjut terkait dengan
perkembangan konsep mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
publik dengan pemidanaan yang berorientasi pada kepentingan korban dan
negara dalam rangka pembaharuan hukum pidana korupsi khususnya atas
pertanggungfjawaban pidana korupsi korporasi.
Daftar Pustaka
Buku

Abidin A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana


Jakarta, Pradnya Paramita 1983,
Arif B.N.; Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994, Semarang

Arief Nawawi Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Barda,
Penanggulangan Kejahatan, Citra Adiitya Bakti, Bandung. 2001

(___________________), Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang,


Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet v,Pustaka
Pelajar, 2004
B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino :
Bandung.1982
Cressey R Donald dan Sutherland H Edwin, Principles of Criminology, Sixth
Edition, New York: Jp Lipponscott Company, 1960
Fajar Mukti dkk, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris ,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Gillies Peter, Criminal Law
(The Law Book Co. 1990)
Gumilang A. Kriminalistik.
Bandung. Angkasa. 1993
Hiariej O.S. Eddy, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana,Erlangga, Jakarta, 2009

Kusumah W Mulyana., Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar


Ringkas), Armco, Bandung, 1984

Meier dan Geis. White Collar Crime, offences in Bussines, Politics, and the
Professions. The Free Press, New York.1977

Muladi. Bunga Rampai Hukum Pidana,


Bandung, 1992.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University


Press, Mataram NTB,2020
Raharjo Eko dan Susanti Emilia, Buku Ajar Hukum Dan Kriminologi, Aura
Bandar LampunG, 2018

Sudarto,1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung,


Alumni
Sianturi.,S.R. 1986, Asas - Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta
Sayuti M, dan Hamid Suandi Edi, Menyingkap korupsi, Kolusi, Nepotisme di
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999

Santoso Topo dkk. “Kriminologi”.


Rajagrafindo Perkasa, Jakarta. 2001

Setiyono H; Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan


Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Penerbit Averroes Press, Malang,2002
Setiyono, Kejahatan Korporasi,
Bayumedia Publishing, Malang, 2009

Jurnal, Artikel, Karya Ilmiah

Mudzakkir, 2010, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik Hukum


Pidana Dan Sistem Pemidanaan, Artikel Kementrian Hukum
dan HAM BPHN ( Badan Pembinaan hukum Nasional ),
Jakarta;
Side B, Mandiri Kiprah 2014, Skripsi Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hukum
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat
(Studi Kasus Putusan Nomor 99/Pid.B/2011/PN.Pare-
Pare),Universitas Hasanudin, Makasar
Silfiyah Indra, DKK,2021, Peran Kriminologi Sebagai Ilmu Bantu Hukum
Pidana (Studi Kasus Pembunuhan Cakung), COURT
REVIEW Jurnal Penelitian Hukum Commmunity of research
Laboratory Surabaya

Internet
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/putusan_10_pid.sus-
tpk_2020_pn_mtr_20231021182303.pdf

file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf

https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-
liability

Anda mungkin juga menyukai