MTR
TANGGAL 9 JULI TAHUN 2020, TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI DALAM PENGELOLAAN DANA
PENYERTAAN MODAL PT PATUT PATUH PATJU
BAB I
Pendahluan
A. Latar Belakang
Penjelasan undang -undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi yang selanjutnya disebut UU Tipikor menyebutkan salah satu pertimbangan
rasio legis lahirnya undang-undang a quo adalah mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
1
keuangan negara atau perekonomian negara dalam bentuk apapun baik yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya yang berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik
di tingkat pusat maupun pada tingkat Pemerintah Daerah maupun yang berada
dalam penguasaan, pengurusan, Badan Usaha Milik Negara dan / atau Badan
Usaha Milik Daerah. Selain itu pula dalam Undang-undang a quo In Concreto
dirumuskan sedemikian rupa meliputi larangan terhadap perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau- korporasi secara "melawan hukum"
baik dalam pengertian formiil maupun materiil.
Suatu hal yang menarik untuk diulas terkait atas salah satu afrmasi hukum
kebijakan criminal negara ini. dimana pada uu tipikor ini mengatur secara rigid dan
ajek Korporasi sebagai salah satu subyek hukum dalam delik tindak pidana korupsi
2
1
Lihat Penjelasan UU 31/1999
2
Ibid
3
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 2.
4
Ibid hal 10
Adapun Racio deciendi yang menjadi pertimbangan hukum putusan majelis
pemeriksa perkara. dimana majelis menilai semua unsur Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat
(1) KUHP telah dipertimbangkan dan terpenuhi menurut hukum. 5 Berdasarkan
pemaparan di atas perlu di ketahui, Bagaimanakah Pengaturan Hukum
Kedudukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan
Bagaimanakah Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara Nomor 10/PId.Sus-
Tpk/2020/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus Korporasi
PT Patut Patuh Patju.
B. METODE
Pendekatan yang dilakukan didalam penelitian ini adalah pendekatan Hukum
normative yang menganggap hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
Peraturan Perundang-Undangan (law in books).dengan tujuan ingin menelaah
sinkronisasi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan hukum
pidana sebagaimana dikatakan Johnny Ibrahim, penelitian hukum normative adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan dari sisi normatifnya. Sisi normatif disini tidak sebatas pada peraturan
perundang-undangan.6Sifat penelitian dilakukan pembahasan secara deskriptif
analisis. Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh
suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta
yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan dalam Penulisan
ini7.Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis secara
cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu
membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan
permasalahan yang ada pada latar belakang penulisan
C. Pembahasan
1. Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korupsi
Untuk mendapatkan jawaban dalam isu hukum ini terkait atas pengaturan hukum
pada perkara tindak pidana yang menimpa anak khususnya maka padakesempatan
ini penulis akan menguraikan diantaranya :
1. Kebijakan Kriminal Dalam Sistim Pemidanaan Indonesia
1) Dalam sistim pemidanaan maka hal mendasar yang perlu dipahami adalah
arah kebijakan dari hukum yakni kebijakan kriminal, dikatakan oleh Muladi
dan Barda Nawawi, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan yang
merupakan bagian integral atau bagian utuh dari upaya perlindungan kepada
masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kejahteraan masyarakat
(social welfare) yang satu sama lainnya terkait dalam satu sistim pemidanaan
(criminal juctice system) dengan goal setting atau tujuan akhir dari kebijakan
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. 8
mengatakan politik hukum sendiri secara gramatikal berasal dari dua kata
5
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam file:///C:/Users/ASUS/Downloads/putusan_10_pid.sus-
tpk_2020_pn_mtr_20231021182303.pdf
6
Mukti Fajar dkk, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal 47
7
Muhaimin, 2020, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, Mataram NTB, Hal.125
8
Barda Nawari Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Citra Adiitya Bakti, Bandung,
Hal. 2
9
Sudarto,1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Hal. 38
yakni politik dan hukum , sebagaimana dikemukakan ahli, diantaranya
10
adalah:
1) Talcott Parsons mengatakan “Politik adalah aspek dari semua perbuatan
yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi tujuan - tujuan kolektif” ; ; 11
2) Peter Van Oerzen, “Politik adalah tindakan yang dijalankan menurut suatu
rencana tertentu, teroganisir dan terarah, yang secara tekun berusaha
menghasilkan,mempertahankan atau mengubah susunan
kemasyarakatan.” 12
Hal lainnya yang juga teramat crucial atau penting untuk diperhatikan dalam
perumusan delik pidana pada Undang - Undang diluar KUHP adalah rumusan
tersebut harus berkesesuaian dengan genus Norm atau norma umum yang
ada dalam KUHP : 18
10
Mudzakkir, 2010, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik Hukum Pidana Dan Sistem Pemidanaan , Artikel
Kementrian Hukum dan HAM BPHN ( Badan Pembinaan hukum Nasional ), Jakarta Hal. 5
11
Ibid
12
Ibid
13
Eddy O.S. Hiariej,2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,Erlangga, Jakarta, Hal.55
14
Op.Cit Soedarto Hal.39 - 40
15
Ibid
16
Ibid
17
Op.Cit Barda Nawawi Arief II
18
Op.Cit Barda Nawawi Arif ,Hlm.I
1) Sifat dari perbuatan tersebut apakah melawan hukum atau masuk dalam
unsur tindak pidana;
2) Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan;
3) Sanksi, baik pidana maupun Tindakan lain yang dapat dijatuhkan beserta
asas-asas hukum pidana yang mendasarinya. 19
tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan tindak pidana.
Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum tersebut,
korporasi tidak dapat dikenakan pidana. Selain hal tersebut KUHP menganut asas
tiada pidana tanpa kesalahan. maka jelas dimaksudkan dalam Buku I ini bahwa
ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak diperuntukkan untuk korporasi. 21
Yang mana kemudian dalam perkembangannya dalam system pemidanaan
Indoenesia diketahui beberapa aturan tindak pidana di luar KUHP mengatur
tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana; seperti Undang-undang Darurat
No.7 Tahun 1965 tentang tindak pidana ekonomi, Undang-undang No.33 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan undang-undang lainnya.
Hal ini tidak lepas dalam perjalanannya munculnya fenomena kejahatan tidak
hanya dilakukan oleh orang pribadi namun juga dilakukan badan hukum atau
dalam bentuk korporasi korporasi selaku subyek hukum pemidanaan dalam
kancah internasional menjadi concent diskursus internasional. Hal ini terlihat
pada Pertemuan tingkat dunia dalam kongres ke empat PBB ( United Nations)
pada Tahun 1970 tentang pencegahan kejahatan di Genewa, yang mana salah
satu materi dibicarakan dalam pertemuan iti adalah perubahan bentuk dan
dimensi kejahatan yang salah satunya adalah dalam bentuk Crime and Bussines
yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui
19
S.R. Sianturi, 1986, Asas - Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, Hal. 211
20
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf
21
Ibid
kegiatan dalam bidang usaha (bussines) atau industri yang pada umumnya
dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai
kedudukan terpandang dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kejahatan ini
antara lain berhubungan dengan pencemaran lingkungan.Perlindungan
konsumen dan dalam bidang perbankan, disamping kejahatan-kejahatan lainnya
dimana dalam perkembangannya dikenal dengan “ organized crime; white collar
crime”22. pada studi ilmu kriminologi dan viktimologi diketahui beberapa batasan
pengertian kejahatan kaitannya dengan korporasi diantaranya adalah; 23
a. Crime for Corporation merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan
untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan untuk kepentingan individu
atau pelaku.Ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata-mata
hanya untuk keuntungan korporasi;
b. Crime Againt Corporation Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan
individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi ( employee crime)
terhadap korporasi tersebut, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh
pejabat atau karyawan dari korporasi itu sendiri;
c. Criminal Corporation Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan
kejahatan, kedudukan korporasi disini hanya sebagai sarana untuk
melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dari tujuan
jahatnya.24
Pembedaan diatas semakin menunjukkan ternyata kejahatan tidak hanya
dilakukan secara personal akan tetapi sudah begitu profesional dalam suatu
wadah organisasi. crime for corporation adalah merupakan suatu kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi dengan tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan
ekonomi, atas dasar motif ekonomi ini, maka korporasi sering melakukan
pelanggaran hukum. Tindak pidana kejahatan dewasa ini perkembangannya
tidak hanya dilakukan dari mereka yang memiliki penyakit sosial dan penyakit
pribadi.akan tetapi mereka juga dari kalangan pelaku bisnis yang terorganisir
dalam suatu korporasi, E.H. Sutherland menyatakan pada pokoknya bahwa studi
kriminologi kejahatan pada korporasi sama seperti perilaku subjek hukum lainnya
untuk lain dipelajari. dan patologi pribadi dan sosial tidak memainkan peranan
penting dalam penyebab kejahatan. Lebih jauh EH Sutherland mengatakan
25
Di dalam hukum perdata dikenal adanya dua subjek hukum yakni orang dan
badan hukum. Sementara hukum pidana mengalami perdebatan apakah badan
hukum termasuk dalam subjek hukum. Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal adanya badan hukum sebagai
subjek hukum pidana. KUHP hanya mengenal orang sebagai subjek hukum
pidana. Jadi perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum dalam KUHP tidak
termasuk dalam subjek hukum pidana.
Dalam ilmu hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda
meliputi “Persoon” dan “Rechtpersoon”. “Persoon” adalah manusia atau orang
yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya
hukum perdata. “Rechtpersoon” ialah badan hukum yang diberi kewenangan
22
B.N.Arif; Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994, Semarang.
hal.13.
23
H.Setiyono;, Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia ,
Penerbit Averroes Press, Malang,2002. hal. 16-18.
24
Ibid
25
E.H.Sutherland; 1977, Crime of Corporation, dalam Geis dan Meier. White Collar Crime, offences in Bussines, Politics, and the
Professions. The Free Press, New York.1977.Page. 79.
26
Ibid
oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk
dalam golongan “persoon”.
Di Indonesia, badan hukum dapat berupa: Perum, Persero, Perseroan Terbatas,
Yayasan dan Koperasi, serta Maskapai Andil Indonesia yang telah dihapus sejak
tanggal 7 Maret 1998. Di antara organisasi-organisasi tersebut, Perseroan
27
Terbatas (PT) adalah yang paling populer dan yang paling banyak digunakan
sebagai alat oleh para pengusaha untuk melakukan kegiatan di bidang ekonomi.
Landasan hukum bagi berdirinya sebuah PT, sebelumnya diatur oleh UU No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Dalam perkembangannya,
dirubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, pada Pasal 1 angka 1 disebutkan:” Perseroan Terbatas, yang
selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”.
Pengertian korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris “ Corporation” yang
berarti badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-undang
diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu
sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya. Istilah dalam
kamus Belanda untuk korporasi ialah “ corporatie” yang berarti perhimpunan,
perkumpulan atau persatuan.28 Oleh karena sasarannya adalah mencari
keuntungan bagi pemegang saham dan perusahaan itu sendiri, maka korporasi,
baik itu dalam bentuk PT. Persero maupun Perseroan Terbuka, selalu bersifat
ekspansif dan penuh dinamika dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang
demikian cepat. Salah satu ciri dari korporasi yang demikian adalah selalu
memerlukan investasi untuk menunjang ekspansi bisnis yang ditargetkan.
Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1) Teori Strict Liability
Secara garis konsep teori ini menekankan korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang saham, pengurus, agen,
wakil atau pegawainya. Di bidang hukum pidana, “ strict liability” berarti niat
jahat atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dalam kaitan dengan satu atau
lebih unsur yang mencerminkan sifat melawan hukum atau “ actus reus”,
meskipun niat, kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam
kaitan dengan unsurunsur tindak pidana yang lain. 29
Menurut prof. Barda Nawawi30, teori tersebut dapat disebut juga dengan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “ Strict
liability” Kerangka pemikiran ini merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai
subjek hukum, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang, maka subjek hukum
buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana. Hal yang penting dari
teori ini adalah subjek hukum harus bertanggungjawab terhadap akibat yang
timbul, tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaiannya. Pelanggaran
kewajiban atau kondisi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “ strict
liability offences”. Contoh dari rumusan Undang-undang yang menetapkan
sebagai suatu delik bagi korporasi adalah dalam hal:
a. korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin;
b. korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang
ditentukan dalam izin itu;
c. korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan di jalan
umum. 31
27
Op Cit Dalam file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf
28
Ibid
29
Ibid
30
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009) hal. 43.
31
Ruu Kuhp dalam https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf
2) Teori Vicarious Liability
Berdasarkan teori ini, menekankan sebagaimana prinsip hukum “ vicarious
liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan
gabungan atau kegiatan bersama. Doktrin tersebut secara tradisional merupakan
konsepsi yang muncul dari sistem hukum “common law”, yang disebut sebagai
“respondeat superior”, yaitu tanggung jawab sekunder yang muncul dari
“doctrine of agency”, dimana atasan bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh bawahannya. Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan
32
32
Teori Vicarius Liability dalam https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-liability
33
Peter Gillies, Criminal Law (The Law Book Co. 1990) Page 126.
34
Holywings Sebagai Korporasi Dapat Dimintain Pertanggungjawaban Pidana, Berikut Penjelasan Berdasarkan Teori Hukum dalam
https://mediafonna.id/2022/06/29/holywings-sebagai-korporasi-dapat-dimintain-pertanggungjawaban-pidana-berikut-penjelasan-
berdasarkan-teori-hukum/
atau korporasi, sebagai subjek yang dapat dikenakan pidana. Namun
demikian, dalam perkembangannya, korporasi kemudian menjadi subjek
hukum dalam rumusan ketentuan pidana. Berikut ini adalah contoh dimana
suatu undang-undang khusus, mengatur mengenai korporasi sebagai subjek
tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya
pengurusnya:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan);
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api);
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan
Apotek);
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian
Perburuhan);
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan
Tenaga Asing);
h. Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (UndangUndang Penerbangan);
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi;
berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan);
k. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);
l. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor
Perusahaan);
m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998).
Ketetapan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam bentuk
pertanggungjawaban pengurusnya juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal
46 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992: Dalam hal kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi. maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.” Dari rumusan pasal
tersebut, jelas bahwa para pengurus yang berwenang untuk memberikan
perintah kepada bawahannya dalam korporasi perbankan tersebut,yang
nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
5) Pertangggungjawaban Korporasi dalam Undang -undang Nomor 31 Tahun
1999
Pada pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 31 disebutkan Korporasi
merupakan “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” berdasarkan
rumusan materi muatan pada pasal tersebut maka secara deklaratif norma
tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
persekutuan orang maupun persekutuan harta kekayaan baik berbentuk
badan hukum maupun non badan hukum.shingga jelaslah secara ternag dan
jelas kata lunci koporasi adalah persekutuan. Selanjutnya dalam Undang-
undang a quo secara tegas diatur bentuk delik kejahatan korporasi yakni
pada :
a. Pasal 2 angka (1) disebutkan “ Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” kemudian ;
b. Pasal 3 menyebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Bila melihat rumusan materi muatan dalam pasal 2 angka (1) Jo pasal 3
Undang-undang a quo maka dapatlah dikatakan secara terang dan jelas
bahwa afirmasi hukum dalam pasal tersebut berifat imperative yang artinya
memerintahkan larangan bagi korporasi untuk melawan hukum abik secara
formiil maupun materiil dalam hal perbuatan menyalahgunakan kewenangan
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
menguntungkan diri dengan ancaman pidana, kemudian sistematika
pemidanaan bagi korporasi dalam undang undang a quo diatur pula pada
pasal 20 yang terdiri atas 7 ayat yakni :
Pasal 20
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan atau pengurusnya;
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama;
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain;
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan;
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor;
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Berdasarkan uraian diatas maka dapatlah dipahami secara terang dan jelas
bahwa skema pemidaan terhadap korporasi secaralangsung hanya dapat
dieknakan pidana denda, sedangkan dalam hal tuntutan pemidaan penjara
diwakili oleh pengurus, pengurus dimaksud sebagaimana penjelasan pasal 20
angka (1) adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi
yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pembahasan pada rumusan permasalahan pada point 1 maka
terkait atas Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Korupsi maka dapatlah disimpulkan, sistematika pemidanaan terhadap
korporasi dalam Undnag undang tipikor yang hanya dapat dikenakan pidana
denda saja, sedangkan tuntutan pemidanaan penjara hanya dapat dikenakan
pada pengurus korporasi. Dimana dalam sistematika pemidanaan pada
koporasi dilakukan dalam bentuk perwakilan pada pengurus korporasi dalam
hal ini pengurus sebagaimana pengertian pada undang-undang nomor 31
tahun 1999 yang merupakan bentuk penerapan Prinsip tanggungjawab
Vicarious Liability dan Prinsip Tanggungjawab Indentification.
2. Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam
Menjatuhkan Putusan pada Perkara NOMOR 10 / PId . Sus-Tpk / 2020 /
PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus Korporasi PT Patut
Patuh Patju.
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Berdasarkan
uraian perintah norma tersebut maka bagi hakim dalam mengeluarkan suatu
putusan wajib didasari oleh alasan dan dasar putusan serta menyebutkan pasal
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang mengaturnya bersifat
kasuitis. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu
juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat serta
memiliki metode penafsiran yang tepat dalam praktiknya. 35
35
Mukti Arto,2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet v , Pustaka Pelajar.Hal.140
2. Penyimpangan dalam pengelolaan penyertaan modal Pemda Lombok
Barat berupa tanah;
3. Bahwa berdasarkan fakta persidangan bahwa diketahui dari total
kerugian Negara di atas, terdakwa LALU AZRIL SOPANDI, SE. ada
melakukan pengeluaran uang yang dipandang berhubungan dengan
Pembangunan Bangunan Pengganti Kantor Dinas Pertanian Kabupaten
Lombok Barat yakni pengeluaran untuk sewa kantor sementara dinas
pertanian sebesar Rp. 90.000.000,- (Sembilan puluh juta rupiah) yang
patut kiranya dianggap sebagai pengeluaran yang sah yang harus
dikurangkan dari total kerugian Negara tersebut, sehingga total
kerugian Negara dalam pengelolaan penyerataan modal berupa tanah,
khususnya yang berkaitan dengan pembangunan kantor pengganti
Dinas Pertanian dan UPT. BPP menjadi Rp. 454.426.837,- diperoleh dari
(Rp. 544.426.836,56 – Rp. 90.000.000).;
4. Bahwa Terdakwa LALU AZRIL SOPIANDI juga mendapatkan kick back
dari Kades Grimak sebesar Rp. 250.000.000,- , Bahwa dengan
demikian, maka total kerugian Negara yang harus menjadi beban
terdakwa LALU AZRIL SOPANDI, SE. untuk mengembalikannya sebagai
uang pengganti yakni sebesar Rp. 641.126.837,- diperoleh dari (Rp.
186.700.000 + Rp. 454.426.837) ditambah dengan Rp. 250.000.000,-
sehingga menjadi Rp. 891.126.837;
c. Konstruksi atas Pasal Pasal terhadap Undang-Undang yang diterapkan
dalam perkara dimaksud, merupakan salah satu element dari
pertimbangan yuridis36 dalam artian pasal-pasal dalam Undang-Undang
tindak pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.
Kemudian penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa
telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal
Undang-Undang pada perkara didakwakan kepadanya.
C.1. Konstruksi Majelis Hakim Pemeriksa pada perkara ini sebagaimana
dakwan jaksa penuntut umum. bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta hukum tersebut Terdakwa
dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, Menimbang. bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum dengan dakwaan subsidaritas, yaitu :
Primair, melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1
Jo. Pasal 65 KUHP;
Subsidair, melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.20 tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1
Jo. Pasal 65 KUHP;
Menimbang, bahwa karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk
subsidaritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan
dakwaan primair Penuntut Umum dan apabila ternyata dakwaan primair
dinyatakan terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dibuktikan lagi,
namun sebaliknya apabila ternyata dakwaan primair tidak terbukti unsur-
unsurnya,Majelis akan mempertimbangkan dakwaan subsidair;
Menimbang, bahwa Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan
Undang-undang No.20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
36
Kiprah Mandiri B Side, 2014, Skripsi Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi
Kasus Putusan Nomor 99/Pid.B/2011/PN.Pare-Pare),Universitas Hasanudin, Makasar, Hal.25
Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut :
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan;
6. Beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan;
Berdasarkan analisis penulis maka konstruksi rumusan unsur dakwaan
primair seluruhnya telah terpenuhi dengan dasar pertimbangan unsur
pidana tambahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP telah
dipertimbangkan dan terpenuhi menurut hukum;
c.2. Pertimbangan Keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan
Menimbang, bahwa sebelum terdakwa dijatuhi pidana,terlebih dahulu
Majelis harus mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan
dan keadaan yang meringakan terdakwa (Pasal 197 ayat (1) butir f
KUHAP);
1. Keadaan-keadaan yang memberatkan:
Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah RI
yang sedang giat-giatnya memberantas Tindak Pidana Korupsi;
2. Keadaan-keadaan yang meringankan:
Terdakwa bersikap sopan selama persidangan - Terdakwa mempunyai
tanggungan keluarga;
A. Karaktersiktik Kejahatan
Kejahatan sudah dikenal sejak adanya peradaban manusia. Makin tinggi
peradaban, makin banyak aturan, dan makin banyak pula pelanggaran.
disebut bahwa kejahatan merupakan bayangan peradaban ( crime is a
shadow of civilization) kejahatan adalah bayangan peradaban. Kejahatan
membawa penderitaan dan kesengsaraan, mencucurkan darah dan air
mata. Pengedaran gelap narkotika telah menghancurkan harapan masa
depan berjuta-juta anak remaja. Kejahatan kerah putih menyebabkan
kerusakan alam dan lingkungan yang pada gilirannya menimbulkan banjir,
kekeringan yang berkepanjangan, dan akhirnya membawa akibat
hilangnya nyawa, rusaknya harta benda dan kerugian yang tak terhitung
banyaknya.40
Secara etimologis kejahatan merupakan suatu perbuatan manusia yang
mempunyai sifat jahat seperti orang membunuh, merampok, mencuri dan
lain sebagainya.Sutherland menekankan bahwa ciri pokok kejahatan
adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan
yang merugikan negara. Pada prinsipnya Kejahatan adalah suatu label
41
38
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, Menyingkap korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999,
hal ix.
39
Edwin h Sutherland dan Donald R. Cressey, Principles of Criminology, Sixth Edition, New York: Jp Lipponscott Company, 1960,
Page. 1.
40
Emilia susanti dan eko raharjo, Buku Ajar hukum dan Kriminologi, Aura Bandar Lampung, 2018, Hal.107
41
Topo Santoso dkk. 2001. “Kriminologi”. Rajagrafindo Perkasa, Jakarta. Hlm 14
42
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas ), Armco, Bandung, 1984. Hal 26
Menurut A. Gumilang kejahatan dapat di definisikan sebagai berikut: 43
1. Kejahatan dibedakan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara
sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
Ditinjau dari segi sosiologis. maka yang dimaksud dengan kejahatan
adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita
juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban;44
2. Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat atau tingkah laku
yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara,
hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya;45
3. Kejahatan sebagai perbuatan anti sosial yang memperoleh tantangan
dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan. 46
49
Sally A Simpson dalam A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita 1983, hlm. 54.
50
Ibid
51
Ibid
52
Simanjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino : Bandung.1982.Hal.
b. Terkait dengan Bisnis;
c. Kurang Mendapat Perhatian;
d. Kompleksitas;
e. Penyebaran Tanggung Jawab (diffusion of responsibility);
f. Korban yang Meluas (diffusion of victimization);
g. Kesulitan Menentukan Pelaku dan Penuntutan;
h. Sanksi yang Lunak (Lenient Sanction);
i. Hukum Bermuka Dua;
j. Status Kejahatan Bermuka Dua
c. Bentuk-bentuk kejahatan Korporasi
53
Muladi. Bunga Rampai Hukum PIdana, Bandung, 1992.hal 5
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab di atas maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Bahwa Pengaturan hukum kedudukan korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korupsi maka dapatlah disimpulkan, penempatan Korporasi selaku subyek
hukum dimaksudkan untuk melindungi perekonomian negara serta agar dapat
menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit sebagaimana
perkembangan jaman atas bentuk kejahatan konvesional yang tidak hanya
dilakukan personal pribadi namun dilakukan pula oleh korporasi, kemudian
terkait atas sistematika pemidanaan terhadap korporasi yang hanya dapat
dikenakan pidana denda saja, sedangkan tuntutan pemidanaan penjara
hanya dapat dikenakan pada pengurus korporasi. Dimana dalam sistematika
pemidanaan pada koporasi dilakukan dalam bentuk perwakilan pada pengurus
korporasi dalam hal ini pengurus sebagaimana pengertian pada undang-
undang nomor 31 tahun 1999 merupakan bentuk penerapan Prinsip
tanggungjawab Vicarious Liability dan Prinsip Tanggungjawab Indentification;
2. Bahwa selanjutnya Penerapan Hukum atas Pertimbangan Hukum Majelis
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara NOMOR
10/PId.Sus-Tpk/2020/PN.Mtr tanggal 9 juli tahun 2020 terhadap Pengurus
Korporasi PT Patut Patuh Patju, Dalam Menjatuhkan Putusan pada Perkara
tersebut diatas bahwa racio deciendi dari putusan tersebut didasari oleh
terpenuhinya semua unsur dakwaan primer yang diajukan Jaksa Penuntut
Umum yang pada pokoknya majleis hakim pemeriksa perkara menilai
perbuatan terdakwa selaku pimpinan korporasi Perseroan daerah PT Patut
Patuh Patju dilakukan dalam rangka memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi serta merugikan keuangan negara terkait atas pengelolaan
dana penyertaan modal dalam pembangunan Kantor Dinas Pertanian
Kabupaten Lombok Barat serta Putusan ini bila dianalisis dalam sudut pandang
kriminologi bahwa kejahatan korporasi merupakan bentuk kejahatan luar biasa
berdasarkan tipologi korban, karakteristik kejahatan, tipologi serta bentuk
kejahatan yang dilakukan yang berdampak sangat luas dan merugikan
perekonomian negara secara nyata, sehingga putusan tersebut berkesesuain
secara Filosofis, sosioolgis dan yuridis.
2. Saran
1. Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini saran yang hendak penulis
sampaikan Perlu adanya suatu pengkajian kembali mengenai sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi
terlebih Korporasi public termasuk perseroan daerah maka dalam ini haruslah
koporasi ini diposisikan sebagai pengampu pertanggungjawaban pidana secara
langsung atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi publik. Dengan
tujuan menempatkan korporasi publik, sebagai pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan secara langsung dalam tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi publik, disamping pejabat senior atau pemimpin dari korporasi
publik. Disamping itu, jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
publik diharapkan berorientasi pada kepentingan korban, yaitu berupa
pemulihan hak korban yang telah.terlanggar.
2. Selanjutnya untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dalam hal ini
termasuk juga yang dilakukan oleh korporasi, hendaknya aparat penegak
hukum tidak hanya bertindak dengan mengandalkan undang-undang
pemberantasan korupsi saja melainkan haruslah diimbangi dengan cara-cara
atau kebijakan lain yang mendukung usaha pemberantasan korupsi
diantaranya, melakukan penelitian dan seminar lebih lanjut terkait dengan
perkembangan konsep mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
publik dengan pemidanaan yang berorientasi pada kepentingan korban dan
negara dalam rangka pembaharuan hukum pidana korupsi khususnya atas
pertanggungfjawaban pidana korupsi korporasi.
Daftar Pustaka
Buku
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet v,Pustaka
Pelajar, 2004
B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino :
Bandung.1982
Cressey R Donald dan Sutherland H Edwin, Principles of Criminology, Sixth
Edition, New York: Jp Lipponscott Company, 1960
Fajar Mukti dkk, 2017, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris ,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Gillies Peter, Criminal Law
(The Law Book Co. 1990)
Gumilang A. Kriminalistik.
Bandung. Angkasa. 1993
Hiariej O.S. Eddy, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana,Erlangga, Jakarta, 2009
Meier dan Geis. White Collar Crime, offences in Bussines, Politics, and the
Professions. The Free Press, New York.1977
Internet
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/putusan_10_pid.sus-
tpk_2020_pn_mtr_20231021182303.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/43-Article%20Text-80-2-10-20210209.pdf
https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-
liability