Anda di halaman 1dari 51

HAKIKAT PEMIDANAAN KORPORASI DALAM PENEGAKAN

HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

The Essence Of Corporate Criminalization In Law Enforcement Of The


Criminal Justice System In Indonesia

Hadi Supriyanto
DAS SEIN
 Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP disebabkan
karena subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi
biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut
asas ”sociates delinquere non potest” (Pasal 59 KUHP) dimana badan hukum dianggap
tidak dapat melakukan tindak pidana.
 Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting, seiring dengan semakin
kompleks dan majunya kehidupan masyarakat, tidak jarang pula demi tujuan korporasi
yakni mendapatkan keuntungan, “perbuatan/perilaku” korporasi sering kali
menyimpang dan berhadapan dengan hukum, seperti halnya di bidang lingkungan
hidup, perdagangan, jasa bahkan dalam permasalahan tindak pidana korupsi, namun
karena ketidakjelasan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan
entitas apa saja yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, menjadikan
hal tersebut menjadi persoalan tersendiri yang mengakibatkan sedikitnya kasus pidana
korporasi yang berhasil disidangkan.
 Pengaturan mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi masih sangat minim, terutama mengenai pemisahan
pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus (subjek manusia)
ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi.
 Disisi lain, penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi semestinya pula
harus didasarkan pada asas “geen straf zonder schuldz”, tidak ada
pemidanaan tanpa adanya “kesalahan” yang secara formil telah
diformulasikan dalam norma hukum positif (nullum delictum nulla
poena sine pravea lege poenali), hal ini didasari pertimbangan
bahwasanya negara kita adalah negara hukum yang berupaya untuk
menjalankan kekuasaannya dengan tidak melanggar hukum itu sendiri,
agar tidak terjadi “abused of power”.
 Bahwasanya tujuan hukum ditinjau dari nilai dasarnya adalah upaya
untuk mewujudkan keadilan, nilai intrumentalnya adalah kepastian dan
dalam ruang praktis hukum itu haruslah bermanfaat. Berkaitan atas
tujuan hukum tersebut, pemidanaan korporasi seyogyanya adalah upaya
merealisasikan nilai-nilai dari tujuan hukum itu sendiri.
 Dalam ruang “abstracto” keinginan negara untuk merealisasikan tujuan
hukum khususnya dalam pemidanaan korporasi telah diatur diluar
kodefikasi KUHP dalam sebaran aturan perundang-undangan yang
mengatur perihal pertanggungjawaban hukum korporasi, dalam ruang
“concreto” KUHAP sebagai pondasi administrasi penegakan hukum
pidana belum memberi ruang sepenuhnya tentang pertanggungjawaban
korporasi sebagai subjek hukum pidana.
DAS SOLLEN

 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945


 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
 UU No. 1 Tahun 1995 Jo UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
 Peraturan jaksa Agung RI No. PER-028/A/JA/2014 tentang pedoman Penanganan
Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah hakikat pertanggungjawaban korporasi dalam


hukum pidana?
2. Bagaimanakah pengaturan sanksi pidana terhadap korporasi
diberlakukan dalam sistem peradilan pidana?
3. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana
korporasi dalam sistem peradilan pidana?
TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui hakikat pertanggungjawaban


korporasi dalam lingkup hukum pidana
2. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap
korporasi dalam sistem peradilan pidana
3. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap
tindak pidana korporasi dalam sistem peradilan
pidana
KEGUNAAN PENELITIAN
 Kegunaan penelitian bagi kalangan teoretisi hukum; hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam rangka pengembangan teori-teori ilmu
hukum yang kontemporer. Sekaligus dapat menjadi in-put yang di dalamnya
terkandung nilaI-nilai konseptual, guna menyusun dan/atau membentuk suatu pola
baru dalam rangka penegakan hukum bagi korporasi sebagai subjek hukum.
 Kegunaan penelitian bagi kalangan Pemerintah; hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan untuk dipertimbangkan dalam setiap pengambilan kebijakan. Hal ini
dimaksudkan, agar kebijakan yang diambil oleh Pemerintah sedapat mungkin tidak
membuka peluang terjadinya kesalahan terhadap penjatuhan sanksi terhadap
korporasi.
 Kegunaan penelitian bagi praktisi hukum; hasil penelitian ini diharapkan dapat
membuka cakrawala pemikiran guna menemukan solusi pemecahan permasalahan yang
selama ini dihadapi dalam hal pemidanaan terhadap korporasi, sekurang-kurangnya
hasil penelitian ini, dapat dijadikan acuan guna menemukan konsep yang lebih aktual
dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum.
Kajian Pustaka
Albert Venn Dicey menggagas bentuk negara hukum pada 1885, Lewat bukunya
“Introduction to The Study of The Law of The Constitution”. Dicey mengatakan bahwa
ada tiga ciri negara hukum, yaitu adanya supremasi hukum (supremacy of law) dalam arti
tidak boleh ada kesewenang‐wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum, adanya kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the
law) baik bagi rakyat biasa maupun pejabat, dan adanya penegasan serta perlindungan
hak‐hak manusia melalui konstitusi (constitution based on individual rights and enforced
by the courts) dan keputusan‐ keputusan pengadilan.
Indonesia adalah negara hukum, dimana dalam Konstitusi kita, pada pasal 1 ayat (3)
menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam sistem pemerintahan yang dianut didasarkan
atas hukum yang berlaku.
Grand Theorie
Agar pemaknaan hakikat pemidanaan korporasi dalam penelitian ini dapat
diperoleh, maka berikut pijakan teoritis (grand theorie) yang digunakan :

Hakikat Pemidanaan
Kkorporasi
Keadilan
Keadilan memiliki preferensi umum dan khusus. Dalam preferensi umum dikatakan bahwa orang
yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang
tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-
abiding) dan fair.
Dalam preferensi yang khusus, keadilan bermakna sebagai perbaikan (rectification). Perbaikan
muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela.
Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik
tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi
keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan.
Teori Keadilan
John Rawls : Equal Right ; Economic Equality
Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan
merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur
berfikir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat
tentang Equal Liberty Principles dan juga Economic Equality.
Dalam Equal Right setiap individu memiliki hak yang setara dengan kebebasan dasar paling luas
yang sama dengan kebebasan yang sama untuk yang lain (each person is to have an equal right to
the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other). Prinsip yang pertama
ini dikenal sebagai the greatest equal liberty principle.
Economic Equality. ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga
keduanya (a) cukup diharapkan untuk menjadi keuntungan semua individu, dan (b) melekat
pada posisi dan jabatan terbuka untuk semua (social and economic inequality are to be arranged
so that are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to position
and offices open to all). Keduanya dikenal sebagai the difference principle dan the equal
opportunity principle.
Penegakan Hukum
Oleh karenanya penegakan hukum di Indonesia harus berada dalam bingkai
hukum itu sendiri, sehingga dimaknai bahwasanya penegakan hukum mesti
patuh terhadap hukum itu sendiri.
Penegakan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses dilakukannya upaya
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman subjek hukum dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Secara teoritis Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana
menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :
Penegakan Hukum
Joseph Goldstein ( Total, Full and Actual Enforcement )

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang
dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum
pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara
ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya
dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht
delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total
tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak
hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.
3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a
realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu,
personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual
enforcement.
Efektifitas Hukum

Efektifitas penegakan hukum berkaitan erat dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu
efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu
sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk
ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa
hukum tersebut adalah efektif.
Menurut pandangan dari sisi normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan yang pasti
menerapkan hukum terhadap suatu kejadian yang dapat diibaratkan menarik garis lurus
antara dua titik. Dalam ilmu hukum ini cara seperti ini disebut sebagai model mesin
otomat dan pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Di sini
hukum dilihat dari variable yang jelas dan pasti dan terlihat sederhana. Pandangan dari
sisi normatif memang sangat sederhana dikarenanakan pandangan ini hanya menerapkan
sanksi apabila terjadi pelanggaran hukum dan penegakannya sesuai dengan peranturan
atau undang-undang yang megatur sanksi pelanggaran tersebut. Menurut soerjono
soekanto agar upaya hukum berjalan dengan baik dan sempurna, maka paling sedikit
harus ada empat faktor yang harus dipenuhi:
Efektifitas Hukum
(Soerjono Soekanto)
Menurut soerjono soekanto agar upaya hukum berjalan
dengan baik dan sempurna, maka paling sedikit harus ada
empat faktor yang harus dipenuhi:
a) Kaidah hukum atau peraturan hukum itu sendiri.
b) Petugas yang menerapkan atau menegakan.
c) Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung
pelaksaan kaedah hukum.
d) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan
tersebut
Middle Theorie

Agar pemaknaan tentang sanksi pidana terhadap korporasi dalam sistem


peradilan pidana dapat diperoleh dengan baik maka berikut ini landasan
teoritis yang digunakan :

Teori Pemidanaan
Sanksi Pidana Korporasi dalam Sistem
Peradilan Pidana
Teori Sistem Peradilan
Pidana
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan
antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi
kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan
menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat
menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System).
Sistem Peradilan Pidana

Istilah sistem peradilan pidana, atau Criminal justice System


pertama kali digagas oleh Frank Remington pada tahun 1958
sebagai suatu “rekayasa” administrasi peradilan dengan
menggunakan pendekatan sistem.
Sistem peradilan pidana banyak dipengaruhi oleh sistem hukum
yang dominan (civil law-anglo saxon) yang berlaku di suatu
negara tertentu, termasuk Indonesia.
Berikut tinjauan sistem peradilan pidana yang dijadikan sebagai
dasar kajian pustaka dalam penelitian ini.
Crime Control Model (CCM)
 Didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan sebagai fungsi
yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan Pidana. Menurut Crime Control Model, tujuan dari
Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menekan kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan
sanksi pidana terhadap terdakwa dihukum.
 Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime Control Model menyatakan bahwa perhatian utama
harulah ditujukan pada efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi mencakup kecepatan,
ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan
harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu
dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak
lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
 Herbert L. Packer dikemukakan bahwa, doktrin yang digunakan oleh crime control model adalah apa
yang dikenal dengan nama presumption of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin ini, maka crime
control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan
terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan
pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa dan hakim) harus semaksimal mungkin meskipun harus
mengorbankan Hak Asasi Manusia.
 Sehingga, Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta
administrative, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang tersangka
dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead guilty).
Due Process Model (DPM)
 Menurut Due Process Model, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani
terdakwa pidana secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi.
 Due Process Model jauh lebih skeptis terhadap proses investigasi administrasi dan kapasitas
untuk membuat penilaian yang akurat bersalah tanpa pengawasan yudisial. Due proses
model menghargai hak-hak individu dan martabat dalam menghadapi kekuasaan negara, bukan
hanya penindasan terhadap kejahatan.
 Menurut John Griffith, due process model tampak sangat berbeda dengan crime control model,
sistem due process model berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep
pembatasan kekuasaan resmi. Oleh karena itu, due proses model menolak informal administrasi
pencarian fakta, dan preferensi ajudikasi yang mengambil posisi berseberangan dengan proses
formal. Di dalam due process model, tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus tersebut
disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan terdakwa telah
memiliki kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap dirinya.
 Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka untuk
menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang harus melalui suatu persidangan
(preasumption of innocence)
Family Model
 Family Model adalah suatu Sistem Peradilan Pidana yang dipelopori oleh John Griffith, dimana
beliau menegaskan sebagai berikut:
 “a defendant is not seen as an opponent but as an erring member of the family, whom the
parent might reprove but ought no to reject”
 (Terjemahan bebas : pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musuh masyarakat tetapi
dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna pengendalian kontrol pribadinya
tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan).
 Menurut John Griffith, bahwa Herbert L. Packer tidak memberikan dua model sistem peradilan
pidana, namun hanya satu model, yaitu battle model. Hal tersebut didasarkan kepada ideologi
yang dianut oleh crime control model dan due process model adalah “to put a suspected
criminal in jail”.
 Sehingga John Griffith mencoba mengajukan ideologi alternatif dalam memandang si petindak.
Bahwa seorang petindak, harus di treatment dengan rasa kasih sayang dan cinta kasih. Agar
muncul perasaan, bahwa ia (si petindak) merupakan bagian dari ‘keluarga’ yang sedang
dinasehati.
Operational Theorie
Untuk mendapatkan jawaban tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi dalam
sistem peradilan pidana, maka digunakan operational theorie sebagai berikut :

(1)
Teori Badan Hukum
Penegakan hukum terhadap tindak
pidana korporasi dalam sistem
peradilan pidana
(2)
Teori Pertanggungjawaban
pidana korporasi
Teori Badan Hukum
Secara etimologi kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,
Jerman: corporation) berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.
Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia: badan), yang
berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian,
corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain
perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan
perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi
menurut alam
R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum (rechtpersoon) ialah
suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti
orang pribadi.
Teori Fiksi
Friedrich Carl Von Savigny

Badan hukum merupakan suatu abstraksi, bukan merupakan hal yang


konkret. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi
suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberikan hak-hak
kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak
berkuasa (wilsmacht). Badan hukum semata-mata hanyalah buatan
pemerintah atau negara.
Teori Organ
Otto von Gierke
Menurutnya, badan hukum seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-
benar dalam pergaulan hukum, yaitu eine leiblichgeistige lebensein heit, badan
hukum itu menjadi suatu ‘verbandpersoblich keit’(Kepribadian yang terkait)
yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat
atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau
pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan
perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak
tersebut ditulis di atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan adalah
kehendak dari badan hukum.
Teori Lear van het ambtelijk vermogen
Holder dan Binder
Teori ini dipelopori oleh Holder dan Binder. Ajaran tentang harta
kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya (ambtelijk
vermogen) : suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Penganut
ajaran ini menyatakan : tidak mungkin memiliki hak jika tidak dapat
melakukan hak itu. Dengan lain perkataan, tanpa daya berkehendak
(wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini
konsekuensi yang terluas dari teori yang menitikberatkan pada daya
kehendak. Untuk badan hukum, yang berkehendak ialah para pengurus.
Maka pada badan hukum, semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam
kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu
disebut ambtelijk vermogen.
Teori Kekayaan Bersama
Rudolf von Jhering
 Teori ini disebut juga propriete collective theorie
(Planiol), gezemenlijke vermongenstheorie (Molengraaff), Gezamenlijke eige
ndomstheorie, teori kepunyaan kolektif
(Utrecht), collectiviteitstheorie dan bestemmingstheorie.
 Teori mengganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan
badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.
 Menurut teori ini, badan hukum bukan abstraksi dan bukan organism. Pada
hakikatnya hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban
anggota bersama-sama. Harta kekayaan badan itu adalah milik (eigendom)
bersama seluruh anggota. Para anggota yang terhimpun adalah suatu kesatuan
dan pembentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu badan
hukum adalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum
itu sesuatu yang abstrak.
Teori Kekayaan Bertujuan
A. Brinz dan Van der Heijden
Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-
hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut,
manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya
(onpersoonlijk/subjectloos). Di sini yang penting bukan siapakah badan hukum
itu, tetapi kekayaan itu diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori
ini, tidak peduli manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu merupakan hak-
hak yang normal atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut.
Teori Kenyataan Yuridis
Gierke, E.M. Meijers, dan Paul Scholten
Menurut teori ini, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil
walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Ia
menyebut teori ini, teori kenyataan yang sederhana (eenvoudige realiteit,
sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan
hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi
menurut teori ini, badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan
manusia dan lain-lain perikatan (verbentenis/hubungan hukum). Ini semua riil
untuk hukum.
Teori pertanggungjawaban pidana korporasi
Identification Theorie :
 Identification theory atau direct corporate criminal liability merupakan
salah satu doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang berasal
dari negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan Amerika.
 Doktrin ini bertumpu pada asumsi bahwa semua tindakan legal maupun
ilegal yang dilakukan oleh high level manager atau direktur
diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi.
Pertanggungjawaban yang ketat / Strict
Liability
Dalam doktrin strict liability dikemukakan adanya prinsip tanggungjawab
tanpa harus membuktikan adanya kesalahan, tidak perlu penting untuk
mempermasalahkan apakah kenyataannya ada kesalahan atau tidak.
Menurut doktrin ini, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk
tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan
(mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan sebagai “liability
without fault” pertanggungjawaban tanpa kesalahan
Tanggung jawab pengganti / Vicarious Liability

Vicarious liability merupakan ajaran yang berasal dari hukum perdata


dalam Common Law system, yaitu doctrine of respondeat superior dimana
dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa berlaku adagium “qui facit per alium facit per
se”, yang berarti sesorang yang berbuat melalui orang lain dianggap
sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri. Dalam hal ini majikan
bertanggung jawab bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh karyawannya sepanjang kesalahan tersebut dilakukan
dalam rangka pekerjaannya.
Diagram
Konseptual
Hipotesis
1. Secara Filosofis, Hakikat pemidanaan korporasi adalah upaya hukum untuk mewujudkan
kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum, didasarkan atas asas kesamaan di hadapan
hukum;
2. Secara yuridis pertanggungjawaban pidana korporasi itu didasarkan pada Undang-Undang yang
mengatur perihal pertanggungjawaban pidana korporasi pada rumusan yang tunggal yaitu
pidana pokok berupa denda, hal ini didasari oleh kenyataan bahwa korporasi merupakan
subjek hukum hasil rekayasa manusia;
3. Penegakan Hukum terhadap tindak pidana korporasi dilakukan dalam pengertian :
a. Normatif yakni penegakan didasarkan pada aturan perundangan-undangan yang berkaitan
dengan pertanggungjawaban pidana korporasi;
b. Administratif yakni penegakan hukum yang berupakan sinkronisasi antara aparat penegak
hukum dalam bingkai criminal justice system dalam menilai bentuk pertanggungjawaban
pidana korporasi tersebut didasarkan atas bentuk tuntutan yang didakwakan, dan;
c. Sosial, penegakan hukum dalam dimensi sosial adalah, upaya lembaga peradilan untuk
mewujudkan makna keadilan hukum di tengah masyarakat, berupa dampak dari perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tersebut telah menyebabkan banyak pelaku usaha tidak dapat
melaksanakan aktifitasnya dalam berjualan, dalam dimensi ini penegakan hukum harus
dapat mengubah perilaku manusia, law as a tool of social engineering.
Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau dapat
dikatakan memiliki persamaan dengan penelitian doktrinal (doctrinal research).
Jenis penelitian ini sengaja pula dipilih didasarkan atas topik penelitian yang berupaya untuk
mendapatkan jawaban atas pembenaran penerapan hukum didasarkan pada konsep dan doktrin
hukum, dimana hal tersebut ditandai bahwasanya ilmu hukum dipahami sebagai ilmu tentang
kaidah (norma), merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai sistem kaidah-kaidah dengan
dogmatik hukum atau sistem hukum sehingga dapat dipahami dengan jelas hukum sebagai Ilmu
kaidah.
Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang ditangani, dan pendekatan kasus (The Case Approach) yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan
isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembahasan
1. Hakikat Pertanggungjawaban Korporasi
Penjatuhan pidana korporasi didasarkan pada asas nullum delictum nulla poena
pravea sine lege, dimana secara legalitas penjatuhan pidana itu telah diatur dalam UU
yang mengatur perihal pertanggungjawaban korporasi, disisi lain, geen straf zonder
schuld, adanya unsur kesalahan, bahwa didasarkan pada das sein, unsur kesalahan dari
korporasi adalah wujud subjek hukum pidana (diatur dalam UU diluar KUHP), ia
beraktifitas dengan manusia sebagai organnya ( fungsi teori organ), sehingga korporasi
secara jelas ia memangku hak sekaligus kewajiban. Dalam konteks das sollen,
korporasi sesungguhnya merupakan rekayasa manusia dalam hal mencapai tujuan
secara bersama (teori kekayaan bersama), Pada hakikatnya hak dan kewajiban badan
hukum (korporasi) adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama, sehingga
kesalahan anggota korporasi dapat diatribusi menjadi pertanggungjawaban korporasi
(dengan bantuan teori strict dan vicarious liability).
Dalam KUHAP, ditegaskan dalam penjelasan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum
(rechstaat), oleh karena itu perlakuan atas subjek hukum adalah sama.

Dengan memperlakukan korporasi sama (dalam kenyataan yuridis) dengan subjek hukum alamiah
(manusia) maka hakikat pemidanaan terhadap korporasi adalah :
untuk mewujudkan keadilan, yang nilai intrumentalnya adalah kepastian dan dalam ruang praktis
(in concreto) itu bermanfaat.
2. Pengaturan sanksi pidana terhadap korporasi
Pertanggungjawaban atas sanksi pidana pada korporasi menganut model :
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang
bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
3) Korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggungjawab.

Hal ini berkaitan langsung dengan perkembangan diterimanya korporasi sebagai subjek
hukum pidana. Pada model pertanggungjawaban pidana yang pertama, pengurus korporasi
yang bertindak sebagai pembuat dan pengurus korporasi juga yang bertanggungjawab.
Pada tahap pertama ini, kepada pengurus korporasi ini dibebankan kewajiban-kewajiban
tertentu, meski kewajiban tersebut sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Apabila
pengurus tidak memenuhi kewajiban tersebut maka ia akan dipidana (Vide Pasal 169, 398
dan 399 KUHP).
Pada model pertanggungjawaban pidana korporasi yang kedua, korporasi
sebagai subjek hukum sudah dikenal, sehingga korporasi sudah diakui
mampu untuk melakukan perbuatan pidana, akan tetapi
pertanggungjawabannya masih dibebankan kepada pengurus. bahwa
pengurus atau pemimpin dari korporasi bertanggungjawab atas perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, yang dianggap
sebagai tindakan dari korporasi, terlepas ia mengetahuinya atau tidak. Hal
ini dikarenakan adanya kewajiban yang melekat pada diri pengurus atau
pemimpin tersebut
Pada model pertanggungjawaban pidana korporasi yang ketiga ini, kedudukan korporasi sebagai subjek
hukum dapat dikatakan sudah diakui sepenuhnya. model pertanggungjawaban pidana ini dapat kita
jumpai dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955. Hal ini diatur pada Pasal 15
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yang mengatur mengenai :
“(1) Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan,
suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan
hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak
pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,
maupun terhadap kedua-duanya”.
Juga dapat kita temukan dalam, pasal 20 ayat (1) dan (2) UU NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI :
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Model Pertanggungjawaban pidana korporasi ini dapat kita jumpai dalam Perma No. 13 tahun 2016
tentang ata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, yang mensyaratkan tentang syarat
materil dan formil.
Ketentuan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perma No. 13
Tahun 2016
Pengaturan sanksi pidana korporasi di Indonesia berkaitan langsung kepada pola atau model
pertanggungjawaban korporasi, didasarkan pada syarat materiil dan syarat formil.
Syarat materiil pidana korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) Perma No. 13 tahun
2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, adalah jika :
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak
pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan,
mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang
berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Syarat formil pertanggung jawaban pidana korporasi adalah sebagai
mana wujud surat dakwaan pada pasal 12 ayat (1) dan (2) Perma No. 13
tahun 2016 :
Sanksi pidana terhadap korporasi adalah berupa pidana Pokok dan/atau pidana tambahan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Perma No. 13 tahun 2016 :

Hal ini dapat dijelaskan karena korporasi hanyalah rekayasa manusia, sehingga pidana yang bersifat
biologis adalah hal yang tidak mungkin dapat dilakukan.
Tanggungjawab pidana korporasi dapat juga kita jumpai pada UU No. 31 tahun1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 20 :
3. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Korporasi
Setidaknya ada 2 (dua) Kasus Pidana Korporasi yang telah disidangkan dan menghasilkan putusan,
yakni :
1. PT Giri dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin
No.04/PID.SUS/2011/PT.BJM tanggal 10 Agustus 2011
a. Latar Kasus: PT. GJW merupakan badan hukum yang menjalankan usaha dibidang
perdagangan, industri, agrobisnis, pembangunan dan design interior. Pada tahun 2010
PT. GJW didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum atas pelanggaran Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal
18 Jo. Pasal 20 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
b. Pendekatan: Hakim mempertimbangkan pengembangan dari Pasal 20 UU Tipikor
sehingga dimasukan juga pendapat ahli serta pemeriksaan bahwa selain adanya
hubungan kerja serta dilakukan oleh orang yang memiliki posisi, kegiatan tersebut juga
sesuai dengan tujuan korporasi serta untuk manfaat bagi korporasi.
c. Sanksi: Denda Rp. 1.317.782.129,00 serta pidana tambahan penutupan sementara
selama 6 (enam) Bulan
2. PT Kalista Alam dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh
No. 80/PDT-LH/2018/PT.BNA
a. Latar Kasus: PT. Kallista Alam sebagai badan hukum diwakili oleh Subianto Rusid
yang merupakan Direktur PT. Kallista Alam. Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut
Umum mendakwa terdakwa PT. Kallista Alam sebagai korporasi telah melakukan
pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf (h) yang
dilakukan secara berlanjut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 116
ayat (1) huruf (a), Pasal 118, Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan jo pasal 64 ayat (1) KUH
Pidana.
b. Pendekatan: Hakim menggunakan pendekatan kesengajaan dengan kemungkinan
bahwa tindakan tidak menyiapkan sarana dan prasarana menyebabkan terjadinya
kebakaran. Selain itu, pertanggungjawaban pengurus tidak menghapus
pertanggungjawaban korporasi. Pendekatan yang dilakukan adalah power and
acceptance* sesuai penjelasan UU PPLH
c. menolak kasasi sehingga menguatkan putusan Pengadilan Tinggi dan menjatuhkan
pidana denda 3 Milyar serta menghapus pidana tambahan rehabilitasi lahan karena
sudah diputuskan dalam putusan perdata.
*
Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi
untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para
pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk
memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima
(accepted) oleh korporasi tersebut.
Kesimpulan
1. Hakikat pemidanaan korporasi adalah untuk mewujudkan tujuan dari hukum yakni
mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
2. Sanksi pidana terhadap korporasi berupa pidana pokok denda, karena korporasi adalah subjek
hukum rekayasa manusia, yang tidak dapat menjalani hukuman selayaknya subjek hukum
alamiah.
3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi harus didasarkan pada syarat materiil dan
formil, asas “geen straf zonder schuld” dan “nullum delictum nulla poena sine pravea lege
poenali”, keduanya menjadi dasar penentuan pertanggungjawaban korporasi. Tentang
bagaimana pertanggungjawaban korporasi itu dimintakan, doktrin strict dan vicarious liability
dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi atas “mens rea dan actus reus”, yang
diatribusi dari pengurus koperasi.
Saran
1. Karena KUHP sebagai dasar penegakan hukum materil belum mengatur sepenuhnya perihal
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka dengan adanya Perma
No.13 Tahun 2016 menjadi solusi penanganan tindak pidana terhadap korporasi.
2. Penegakan hukum tindak pidana korporasi sudah sepatutnya mempertimbangkan penggunaan
instrumen sanksi lainnya, karena sanksi pidana bersifat ultimum remedium, mengingat banyak
pihak yang berkaitan langsung dengan korporasi, yang mungkin saja tidak bersalah, seperti
tenaga kerja dan rekanan korporasi itu sendiri yang semestinya pula menjadi dasar
pertimbangan.
3. Revisi atas KUHP menjadi krusial dan urgensial, mengingat atas keterbatasannya menjangkau
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Sekian dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai