Oleh:
Dosen pembimbing :
FAKULTAS HUKUM
SURABAYA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Korporasi...................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................8
i
BAB I
PENDAHULUAN
Karena di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum, dan
merupakan unsur yang terpisah dan berbeda satu sama lain. Seseorang dinyatakan
telah melanggar hukum pidana apabila perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dan
undang yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada dasarnya asas legalitas
“non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas
legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain
is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Korporasi
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum
pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain,
khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa
Belanda disebut rechtperson atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person
atau legal body.1
Arti badan hukum atau korporasi bisa diketahui dari jawaban atas pertanyaan,
“apakah subjek hukum itu?” pegertian subjek hukum pada pokoknya adalah
manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat,
yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang
kedua inilah yang dinamakan badan hukum (Ali, 1991:18).
2. Bentuk-bentuk Korporasi
Dari penggolongan tersebut, maka bentuk-bentuk korporasi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 2
iii
2. Korporasi Privat Korporasi yang didirikan untuk kepentingan
privat/pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan, industri, dan
perdagangan. Korporasi privat ini sahamnya dapat dijual kepada
masyarakat, maka ditambah dengan istilah go public.
3. Korporasi Publik Quasi Korporasi yang melayani kepentingan umum
(Public Service). Contoh, PT Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik
Negara, Pertamina, Perusahaan Air Minum.
Korporasi Publik Quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani
kepentingan umum (public services). Berbeda dengan pengertian korporasi
dalam hukum perdata, hukum pidana menambahkan yang "bukan badan
hukum" yang belum ada dalam hukum perdata.
3. Konsep Korporasi
iv
dengan "matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila
“matinya” korporasi itu diakui oleh hukum”.3 Istilah korporasi dalam hukum
Indonesia atau biasa disebut Perseroan Perdata hanya dikenal dalam Hukum
Perdata. Dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan
bahwa Korporasi dapat didefinisikan sebagai: “Perseroan perdata adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu
ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari
perseroan itu dibagi di antara mereka.” Berdasarkan penjelasan ini, maka
korporasi sejak awal telah dikenal dalam hukum perdata dan telah didudukan
sebagai subyek hukum. Terdapat dua macam Subyek Hukum dalam pengertian
hukum perdata adalah:
3
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.
v
Badan hukum itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya pada
manusia. Badan hukum kehilangan daya berfikir, kehendaknya, dan tidak
5
mempunyai “centraal-bewustzijn” , karena itu ia tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan perantaraan orang-
orang biasa (natuurlijke personen), akan tetapi orang yang bertindak itu tidak
bertindak untuk dirinya, atau untuk dirinya saja, melainkan untuk dan atas
pertanggung-gugat badan hukum.6
Upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga Negara dan
penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan
menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
4
Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 12.
5
Central bewustzijn merupakan kesadaran pusat.
6
Ali Rido, Op.Cit, hlm. 17.
vi
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi
setiap warga Negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menyelenggarakan kesehatan
kepada masyarakat maka di tiap kecamatan dibangun instansi pemerintah sebagai
unit penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat, yakni Pusat Kesehatan
Masyarakat atau yang biasa disebut Puskesmas. Peraturan menteri kesehatan
republik Indonesia nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya pembangunan
kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk:
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
2. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
3. hidup dalam lingkungan sehat; dan
4. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
5. kelompok dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
hlm.2
vii
2. Soetan. K. Malikoel Adil dalam Muladi dan Dwidja Priyatno,
1991.
Pers, Jakarta.
4. Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,
hlm. 12.
viii