Anda di halaman 1dari 19

BAB III

PELAKU TINDAK PIDANA

A. Kompetensi Dasar dan Standar Kelulusan


1. Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan kuliah ini (pada akhir semester) mahasiswa dapat memahami,
menyebutkan dan menjelaskan serta menganalisis secara sistimatis tentang Manusia
Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
2. Indikator Kelulusan
Setelah mengikuti kuliah ini (pada akhir pertemuan ke-5 & 6) mahasiswa mampu
memahami, menjelaskan secara sistemik Manusia Sebagai Pelaku Tindak Pidana,
Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana juga ingin memahami kesengajaan dan
kealpaan pada korporasi serta alasan Penghapusan Pidana pada Korporasi
B. Manusia Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berlaku di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi yang memberlakukan Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) di wilayah
Hindia Belanda (Nederland Indie) pada 1918. KUHP Belanda yang dibuat tahun 1880 berasal
dari KUHP Prancis dibawah pemerintah Napoleon menjajah Belanda dalam upaya menguasai
Eropa. Negara-negara Eropa lain selain Belanda yang dijajah oleh Napoleon pada waktu itu
juga memberlakukan KUHP-nya berdasarkan KUHP Prancis.
KUHP Prancis kemudian melahirkan pula KUHP Belanda dan selanjutnya berdasarkan
asas konkordansi berlaku pula di Indonesia, telah dibuat berdasarkan pendirian bahwa hanya
manusia yang dapat melakukan tindak pidana (subjek tindak pidana). Hal itu dapat diketahui
dari frasa bij die yang digunakan dalam rumusan berbagai strafbaar feit (tindak pidana atau
delik) dalam Wetboek van Strafrecht. Frasa tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
dengan frasa barang siapa yang berarti “siapa pun”. Karena dalam Bahasa Indonesia kata
“siapa” merujuk kepada manusia, maka frasa “barangsiapa” atau “siapa pun” berarti “setiap
manusia”.
Pada saat ini ada pembuat undang-undang yang menggunakan istilah “barangsiapa”
bukan hanya untuk pengertian “setiap manusia” atau “setiap orang perorangan”, melainkan
juga untuk pengertian baik “setiap orang perorangan”, melainkan juga untuk pengertian baik
“setiap orang perorangan” (natural person) maupun “setiap korporasi”. Sebagai contoh adalah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang menggunakan istilah
“barangsiapa” untuk pelaku tindak pidana baik yang berupa “orang perseorangan” maupun
Korporasi”. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menggunakan istilah
“barangsiapa” dipakai untuk pengertian “orang perorangan” (manusia atau natural person)
maupun “Korporasi” (bukan untuk pengertian “orang perorangan” saja) hanya dapat
disimpulkan dari undang-undang itu sendiri. Kesimpulan yang demikian itu diambil karena
(sayang sekali) dalam pasal 1 dari undang-undang itu tidak diberikan pengertian atau definisi
mengenai apa yang dfimaksudkan dengan “barangsiapa”. Dalam beberapa Pasal dari
Undang-Undang Narkotika, ancaman pidana terhadap “barangsiapa” sebagai pelaku tindak
pidana ternyata dapat diancamkan pula kepada “korporasi” sebagai pelaku tindak pidana.
Dengan demikan, pengertian frasa “barangsiapa” selain berupa “manusia” juga berupa
“korporasi” sementara itu, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
tidak digunakan istilah “barangsiapa” tetapi digunakan kata “pihak” untuk pelaku tindak pidana,
seperti dalam pasal 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109. menurut Pasal 1 angka 23 undang-

10
undang tersebut, yang dimaksudkan dengan “pihak” adalah “orang perseorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.”
Di samping KUHP yang hanya ditujukan kepada manusia sebagai pelaku tindak pidana,
didalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, baik yang lama (HIR) maupun yang baru,
yaitu UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sekarang berlaku,
ternyata juga dapat dijumpai pengaturan untuk melakukan penuntutan terhadap manusia.
Dalam KUHAP tidak dijumpai peraturan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana selain manusia (yang bukan manusia), misalnya korporasi. 1 Dari pengertian siapa
yang dimaksudkan dengan “tersangka”, “terdakwa”, “rehabilitasi”, “pengaduan”, dan
“terpidana” sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 KUHAP dapat diketahui bahwa yang
dimaksudkan dengan pelaku tindak pidana hanyalah manusia. Marilah kita lihat bagaimana
KUHAP memberikan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
Semua pengertin tersebut di atas menunjukan kepada orang atau manusia dan tidak
kepada yang bukan manusia, misalnya korporasi.
Dengan rumusan berbagai delik dalam KUHAP seperti itu, maka hanya manusia yang
dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana ( criminal liability). Dengan kata lain,
hanya manusia yang dapat dipidana karena telah melakukan tindak pidana. Tegasnya, selain
manusia, misalnya hewan pemeliharaan milik seseorang, atau robot, atau korporasi, tidak
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Berdasarkan Pasal 59 KUHP, korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak dikenal.
Apabila pengurus korporasi melakukan tindakan pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili
atau dilakukan untuk rangka mewaklili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi,
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak
pidana itu. Korporasi tidak dibebani pertanggungjawaban pidana karena KUHP tidak mengenal
korporasi sebagai subjek tindak pidana. Jadi, subjek hukum dalam hukum pidana umum
sebagaimana diatur dalam KUHP adalah Manusia. Bunyi lengkap pasal 59 KUHP adalah
sebagai berikut :
Dalam hal-hal dimana pelanggran ditentukan pidannnya diancam kepadanya pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka tindak pidana
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakuka pelangguran tersebut.
1
Dalam Hukum perdata, suatu korporasi berbadan hukum dapat dapat digugat dandihukum oleh hakim
perdata untuk membayar ganti rugi kepada penggugat yang mengalami kerugian akibat perbutatan
melawan hukum oleh korporasi yang bebadan hukum itu.

11
Semangat yang ditujukan oleh bunyi pasal 59 KUHP tersebut adalah bahwa tindak pidana
tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai
konsekuensinya, pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun
pengurus melakukan perbuatan itu untuk dan atas nama korporasi, atau untuk kepentingan
korporasi, atau bertujuan untuk memberukan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi
pengurus.
Di dalam KUHP Indonesia, tidak terdapat satu pasal pun yang menentukan pelaku tindak
pidana yang bukan manusia. Dengan kata lain, tidak terdapat satu pasal pun dalam KUHP
yang menentukan tindak pidana dapat dilakukan oleh suatu korporasi. Dalam KUHP, selain
digunakan istilah ‘barangsiapa”, manusia sebagai pelaku tindak pidana juga dimunculkan
dalam berbagai istilah yang lain, misalnya “setiap orang” ( vide Pasal 2 dan Pasal 4 KUHP),
“warga negara Indonesia” (vide Pasal 5 KUHP), “pejabat” (atau pegawai)” (vide Pasal 7
KUHP), “dokter” (vide Pasal 287 KUHP), “orang yang telah cukup umur” (atau “orang dewasa”)
(vide pasal 292KUHP), “pengusaha” (vide Pasal 392 KUHP), dan “pengacara” (vide pasal 393
bis).
Sebagaimana dikatakan oleh Remmelink (2003:97) bahwa :
Meskipun demikian, pembuat Undang-Undang dalam merumuskan delik sering terpaksa turut
memperhitungkan kennyataan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui
organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luar (misalnya dalam hukun
administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan
sebagai badan hukum/korporasi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembuat
Undang-Undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka
berhadapan dengan situasi seperti itu.
Remmelink (2003:97) memberikan contoh asal 342 Sr. (Belanda), yang sama bunyinya
dengan Pasal 398 KUHP (Indonesia), yaitu :
Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau
perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam mkeadaan pailit atau yang diperintahkan
penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana paenjara 1 (satu) tahun 4 (empat)
bulan jika yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu, seluruh atau
sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan dast.
Dalam Perkembangan hukum pidana di Indonesia, ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP
telah memperluas pelaku tindak pidana, yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia tetapi juga
kepada korporasi. Perkembangan ini sejalan dengan perkembangan hukum pidana di negara-
negara lain. Hal itu dapat dilihat dari berbagai undang-undang yang dibuat sejak tahun 1951,
yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Darurat No. 17 Tahun 1951 tentang penimbunan
Barang-barang. RUU KUHP 2004 juga telah berpendirian korporasi sebagai subjek tindak
pidana. Pasal 44 RUU tersebut menentukan “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.
C. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dewasa ini sudah tidak ada permasalahan lagi,
sebab peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah mengatur hal tersebut.
Beberapa teori hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana dikemukakan teori dari Remelink , Teori dari Ter Heide, Teori
dari ‘t hart.

12
Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J.Remmelink, yang berpendapat bahwa hukum
pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan bersusila (redelijk zedelijk
wezen).2
Remmelink, memilih cara pendekatan atas hukum pidana yang bersifat “psikilogis”, maka
hampir tidak mungkin dapat dirumuskan aturan-aturan yang dapat dipergunakan sebagai
dasar untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal ini terjadi
karena denga pendekatan “psikologis” permasalahan dapat atau tidaknya badan hukum
dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka dogmatika huku pidana yang berlaku. Hal
ini juga menimbulkan permasalahan bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus
didasarkan pada unsur kehendak manusia. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila yang
harus dipidana adalah badan hukum. Dapat ditemukan penulis-penulis yang mencoba
menempatkan pemidanaan badan hukum, dalam konteks pendekatan hukum pidana yang
“psikologis” ini dengan cara ‘memanusiakan’ badan hukum. Namun demikian, usaha
memanusiakan badan hukum hanya mengakibatkan timbulnya konstruksi pemikiran yang
janggal.3
Upaya memanusiakan badan hukum telah dicoba melalui dua cara, yaitu:
1. Dengan cara mengkaitkan karakteristik atau sifat subjek hukum manusia yang
merupakan bagian dari badan hukum pada badan hukum. Penggunaan cara-cara
“konstruksi pengkaitan”, adalah untuk menjustifikasi perlakukan badan hukum sebagai
subjek hukum selalu dicari kaitannya dengan subjek hukum manusia (individu-individu)
yang menjadi bagian dari badan hukum. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan yang
individualisme terhadap badan hukum. Konstruksi tersebut juga didasarkan kepada
asumsi bahwa sifat atau karakteristik suatu kolektif pada akhirnya dapat dikembalikan
kepada sifat/karakteristik person individual. Dengan perkataan lain, manusialah yang
membentuk badan hukum. Lebih jauh lagi, mereka juga mengakui bahwa konstruksi
demikian sedikit banyak bersifat fiktif. Dengan cara mengkaitkan kondisi kejiwaan orang-
orang (subjek hukum manusia) yang membentuk badan hukum terhadap badan hukum
menjadi berlebihan dan dapat menyesatkan seolah-olah dalam menghukum badan
hukum, pidana yang dijatuhkan didasarkan atas kondisi kejiwaan manusia.
2. Cara kedua yang seringkali dgunakan untuk memanusiakan badfan hukum
adalah engan memandang badan hukum sebagai suatu Gesamtperson, yaitu suatu
mahluk supaya dengan sifat atau karakteristik manusiawi. Dengan cara ini, maka
membicarakan tentang “jiwa/psyche” badan hukum. Pengurus menjadi organ dari badan
hukum, serta organ-organ ini kemudian menjadi kepala dan tangan badan hukum. Bahaya
yang terkandung dari metafora ini adalah, cara ini tidak lagi merupakan sekedar suatu
gaya bahasa., namun dari perbandingan tersebut juga ditarik kesimpulan-kesimpulan
tertentu. Terutama didalam apa yang dikenal dengan “organler”, yaitu suatu teori tentang
subjektivitas badan hukum yang mulai berkembang pada aklhir abad lalu, usaha
memanusiakan badan hukum ini terjadi secara maksimal. Pendukung teori organ
memperlakukan badan hukum seolah-olah manusia super, suatu “realer Gesamptperson”
yang sama seperti subjek hukum manusia juga memiliki organ-organ (tubuh) untuk
bertindak dan juga memiliki ekhendak sendiri. Di dalam “organ-organ ini” (yaitu: badan
pengurus) terpusat “jiwa psyche” dari badan hukum, yaitu juga dinamakan “Gemeingeist”
Namundemikian saat ini cara memanusiakan badan hukum seperti di atas muncul sebagai
2
Allen, Michael J. ,Texbookon Criminal law, (great Britain, Blackstone Press Limited, 1977), Forth
Edition, hlm 216.
3
Ibid, 232

13
suatu gagasan yang agak niat Dasar pemikiran dari perbandingan demikian, mungkin
adalah pemikiran bahwa badan hukum harus mempunyai jiwa, oleh karena orang-orang
yang membentuk atau menjadi bagian badan hukum juga memiliki “psyche” dan
kehendak. Perumpamaan demikian didasarkan atas suatu kesalahan konstruksi berpikir
yang seringkali dinamakan “fallavy of composition” (pars prototo). Dengan kata lain “the
fallacy of supposing that what is true of parts of a whole must be true of the whole”.
Meskipun sekarang teori organ secara umum deianggap ketinggalan jaman, namun dalam
kepustakaan hukum pidan amsih banyak ditemui pandangan-pandangan yang
menunjukan kemiripan dengan ajaran diatas. Cara berpikir yang mendasarkan diri pada
teori organ tidaklah memuaskan : terdapat suatu perumpamaan bahwa badan hukum,
harus dianggap sebagai suatu kesatuan dengan organ-organnya. Memanusiakan badan
hukum dengan cara mengkaitkan dengan ajaran organ masih dapat diperdebatkan.
Oleh karena itu hampir tidak mungkin untuk memanusiakan badan hukum. Sehingga
penganut pendekatan “psikologis”, akan mengalami kesulitan yang berhubungan dengan
persoalan pemidanaan terhadapa badan hukum. 4
Sehubungan denga hal tersebut Remmelink, menyatakan :
“Harus saya akui bahwa saya mengalami kesulitan dalam menghadapi soal penetapan dapat
dipidanannya badan hukum di dalam hukum pidana komunal. Saya memandang hukum
pidana, bersalah atau dikenakan penghukuman, tidak mungkin dapat memainkan peranan
utama didalamnya.”5
Dalam pendekatan “psikologis” yang muncul adalah penetapan batasan minimum tentang
persyaratan penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian apabila
berpikir secara konsekuen, maka pemidanaan terhadap badan hukum menurut pandangan ini
tidak mungkin ditempatkan dalam kerangka dogmatika hukum pidana.
Pandangan Ter Heide, memilih pendekatan hukum pidana yang lebih bernuansa
“sosilogis”. Di Dalam Bukunya yang berjudul “Vrijheid, over de zin van de straf”, manyatakan
“bahwa terdapat suatu kecenderungan diman hukuj pidana semakin lama semakin dilepaskan
dari onteks manusia.” Karena hukum pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat
disimpulkan bahwa hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagai subjek
hukum dapat disimpangi. Alasan untuk memperlakukan badan hukum sebagai subjek huku
adalah berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut berperan dalam mengubah situasi
kemasyarakatan penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional) ,
yang mengimplikasikan bahwa badan hukum dapat dinyatakan bersalah unsur kesalahan
disini diartkan bertindak secara sistimatis). Berdasarkan hal ini Ter Heide, menarik kesimpulan
“bila hukum pidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu mengimplikasikan dapat
dipidananya badan hukum”. Berbeda dengan pendekatan :psikologis” dari Remmlink, maka di
dalam pendekatan ‘sosiologis’ Ter Heide, pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana,
dapat ditempatkan didalam keseluruhan sistem hukum pidana. Meskipun beliau tidak merinci
lebih lanjut tentang persyaratn penetapan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan,
cukup jelas didasarkan bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan
dengan memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangkutan. 6
Pandangan dari ‘t Hart, menyatakan bahwa hukum (pidana) harus dilihat sebagai suatu
bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang dikarakteristikan oleh aspek-aspek
instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini,
4
Ibid, 233 - 236
5
Ibid 236
6
Ibid, 237 - 238

14
satu sama lain, saling terkait dengan erat. Di dalam persoalan penegak hukum, maka yang
perlu diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang tidak
dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik pandangan ‘t Hart
tidak menutup kemungkinan ditempatkannya pemidanaan badan hhukum didalam sistem
hukum pidana. Jika bersama-sama dengan ‘t Hand berbicara tentang manusia di dalam
hukum pidana, maka manusia lebih diartikan sebagai keberadaan ‘yuridis” dari manusia
sebagai subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia sebagai
mahluk yang terdiri daridaging dan darah. Menurut ‘t Hart al ini akan memberikan ruang cukup
untuk juga menerima konstruksi persoalan lain selain dari maqnusia sebagai subjek hukum
diatas hukum (pidana) . Berkaitan engan hal diatas, ‘t Hart kemudian juga memperingatkan
bahwa teori dasar yang dikembangkan tidak berprestasi mampu memberikan jawaban siap
pakai untuk masalah yang ada saat ini. Namun demikian teorinya sangat berpengaruh
terhadap penentuan batas-batas (syarat) penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak
pidana. 7
Bilamana membandingkan pendekatan-pendekatan Remmelink, Ter Heid, dan ‘t Hart satu
sama lain, maka pada pandangan pertama tampak bahwa perbedaan terbesar berada
diantara hukum pidana yang “manusiawi” dari Remmelink dengan pandangan hukum pidana
yang terlepas dari konteks manusia/tidak manusiawi dari Ter Heid. Meskipun pandangan
Remmelink jauh berbeda dengan pendekatan Ter Heide, namun keduanya memiliki satu
persamaan, Kedua teori ini masing-masing berpretensi bahwa pendekatan yang di
dasarkannya kepada kenyataan kemasyarakatan. 8 Perbedaannya hanya pada penekanannya.
Ter Heide mendasarkan diri pada kenyataan status sosial. Pengertian hukum pidana, seperti
pelaku tindak pidana di dalam pandangan Ter Heide telah dilepas dari konteks yuridis, maka
hukum pidana tidak lagi dapat memberikan perlindungan. Di lihat dari sudut pandang
penamaan, bahwa manusia merupakan subjek hukum. Dari sudut pandang kedudukan sosial,
tidak ditemukan perbedaan mendasar antara keduanya. Karena itu dari sudut pandang yuridis
tidak perlu ada perbedaan antara manusia dan korporasi. Mnamun Demikian, pendekatan
yang dilakukan Ter Heide tidak menjelaskan atas dasar apa pemidanaan badan hukum dapat
dibenarkan. Badan hukum dapt dipidana karena dinyatakan demikian, sebab secara sosial
memang harus demikian.9
Atas pandangan keduanya tersebut diatas ‘ t Hart, yaitu kemungkinan dipidananya badan
hukum pada sudut pandang mereka masing-masing tentang “kenyataan kemasyarakatan”
(yang dimata mereka merupakan cerminan inti kebenaran/kenyataan) , maka ‘ t Hart menolak
dengan keras cara pencerminan tersebut, karena didalam pandangan tersebut karakter
konstruktif-interprelatif pengertian hukum ternyata telah diabaikan, dalam arti tidak diberikan
alternatif bagi pandangan-pandangan lain tentang kenyataan. Hal yang menarik dari
pandangan ‘t Hart, bahwa pendekatan yang dilakukan dilandaskan pada suatu sistem terbuka
yang pada dasarnya tetap yuridis. Di dalam pendekatan ini tidak diajukan suatu pemecahan
tertentu yang bersifat baku, yang didaskan pada suatu fisi tentang kenyataan suatu
kemasyarakatan. Melalui pendekatan ini masih tersedia ruang bagi alternatif pandangan yang
berbeda. Sebab pandangan dari ‘t hard, menyatakan bahwa hukum (pidana) dapat dilihat
sebagai suatu bentuk pengejawantahan kekuasaan yang disalurkan dengan cara tertentu.
Perwujudan kekuasaan melalui hukum ini diwarnai oleh aspek-aspek tujuan rasional,
instrumentalitas dan aspek perlindungan, kritik kekuasaan. Dalam pencarian batas-batas
7
Ibid, 238 - 239
8
Ibid, 240
9
Ibid, 241 - 242

15
penetapan badan hukum sebagai pelaku (tindak pidana) yang terpenting adalah menemukan
keseimbangan antara berbagai aspek yang disebut di atas10. Untuk menemukan
keseimbangan tersebut tidaklah mudah, sebab salah satu masalah yang timbul adalah
ketidakjelasan bentuk aspek perlindungan hukum (pidana) yang dapat diberikan kepada badan
hukum. Sejauh manakah persyaratan pemidanaan untuk subjek hukum manusia dapat
diberlakukan untuk badan hukum? Dengan kata lain apakah atas kesalahan dan asas legalitas
berlaku untuk dasar pemidanaan terhadap korporasi/badan hukum?
Apabila korporasi dapat mempunyai kesalahan, apakah asas tiada pidana tanpa kesalahan
dapat diterapkan terhadap korporasi/badan hukum?. Khusus untuk asas legalitas yang
tujuannya adalah untuk mendapatkan perlindungan dari pelaksanaan kekuasaan negara yang
tidak terbatas yang pada awalnya berlaku untuk subjek hukum berupa manusia, apakah dapat
diberikan pula untuk subjek hukum berupa badan hukum atau korporasi?
Asas tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) dalam hukum pidana lazim
dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela.
Akan tetapi dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa
adanya perbuatan yang tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan pada pelakunya. Asas
kesalahan adalah merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian
fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting
dalam hukum pidana. Tetapi harus disadari bahwa ini tidak mengenai keharusan menurut
Undang-undang yang empiris, tetapi tentang asas normatif. Dari semua syarat-syarat dapat
dipidananya, inilah yang paling langsung berhubungan dengan pidana. Sementara itu, asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” tidak boleh dibalik menjadi “tiada kesalahan tanpa pidana”. 11
Arti yang tepat dari kesalahan dalam adagium “tiada pidana tanpa kesalahan”
Pertama-tama harus diperhatikan bahwa kesalahan selalu hanya mengenai perbuatan
yang tidak patut : melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan. Dinjau secara seksama kesalahan memandang
hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan
itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan orang ini tidak
hanya tidak patut secara objektif, tetapi dapat juga dicelakan kepadanya. Dapatlah lalu
dikatakan bahwa celaan atau dapat dicelakan itu merupakan inti dari pengertian kesalahan
tersebut?
Jika diteliti, dapat dicelanya itu bukan inti, tetapi akibat dari kesalahan. Namun karena
relasi perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa celaan, maka orang dapat (dan lazimnya
memang emikian) menamakan kesalahanitu sebagai “dapat dicela”.
Kalau dirangkumkan akan menjadi emikian : tiada pidana tanpa kesalahan berarti bahwa untuk
pemidanaan tidaka hanya disyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak patut secara
objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidaka patut itu dapat dicelakan padanya. 12
Berdasarkan hal tersebut diatas, jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak
ada dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana. Yang menjadi
permasalahannya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila sesuatu korporasi
dituntut untuk sesuatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga badan hukum tidak terdapat
dalam jiwa manusia (menselijke psyche) dan unsur-unsur psychis (de psychische
bestanddelen) dapat duikatakan memiliki kesalahan ?

10
Ibid, 242
11
Schaffmeister, dkk, Hukum Pidana. Editor Penerjemah: J.E.Sahetapy. Liberty, Yogyakarta. 1995:82
12
Ibid, 84-85

16
Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang
dikemukakannya. Yaitu : badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan atau
kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat
individuil, karena hal itu mengenai badan sebagai suatu kolektifitet. Dapatlah kiranya
kesalahan itu disebut kesalahan kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan pada
pengurusnya. Selain dari itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan
dan karena harus menanggungnya dengan kekayaannya. Karena ia misalnya menerima
keuntungan yang terlarang. Hukuan densda yang setimpal dengan pelanggaran dan
pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin
hal itu melampaui kemampuannya. 13
Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada korporasi
menyatakan : bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota dapat dianggap
sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan
kesalahan ringan dan setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulkan akan
dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.
Dengan demikian Suprapto, van Bemmelen maupun Remmelink, mengakui bahwa
korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut
diambil dari para pengurus atau anggota direksi. Dengan konstruksi demikian maka menurut
penulis bahwa dalam hal ini asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tetap berlaku, sepanjang
dilakukan oleh pengurus / (baca orang).
Sehubungan dengan asas kesalahan pada korporasi, khususnya menyangkut
pertanggungjawaban korporasi dapat dikemukakan suatu ilustrasi yang cukup menarik
dibidang tindak pidana ekonomi yang menimbulkan perbedaan pendapat antara Suprapto dan
Roeslan Saleh. Kasusnya sebagai berikut :
“seseorang manajer dari suatu perusahaan menjual suatu jenis barang dengan harga
yang lebih tinggi daripada harga tertinggi yang diperkenankan pada pemerintah. Menaikkan
harga terlarang itu tidak sepengetahuan direktur P.T. dan jika ia mengetahuinya tentu akan
menggagalkannya.”14
Menanggapi kasus tersebut, khususnya pertanggungjawaban pidana terhadap badan
hukum, Suprapto pada intinya berpendapat bahwa tidaklah mungkin badan hukum
dipertanggungjawabkan juga atas perbuatan orang lain (manajer) yang dilakukan dengan
sengaja. Hal itu tidak mungkin karena pada badan tadi tidak ada unsur kesengajaan. Jadi
menurut Suprapto walaupun sebenarnya delik ekonomi itu (yaitu dengan sengaja menaikan
harga terlarang) dilakukan oleh manager yang ada “hubungan kerja” dengan P.T. sebagai
badan hukum, seperti disebut dalam pasal 15 ayat (2) UU TPE, namun tetap badan hukum
tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila tidak ada unsur kesengajaan sebagai salah satu
unsur kesalahan. Tidak adanya unsur kesengajaan pada P.T. (badan hukum) itu
dikonstruksikan pada tidak adanya kesengajaan pada diri direktur P.T.
Pendapat deemikian dilanjutkan pula dalam hal si pelaku adalah orang yang tidak ada
hubungan kerja dengan badan hukum tersebut tetapi berdasar “hubungan lain” , misalnya
orang yang mewakili P.T. dalam penjualan barang-barangnya yang hanya mendapat komisi
(commissie agent). Suprapto menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “Jika badan termasuk
harus pula bertanggungjawab atas perbuatan seseorang yang melakukan perwakilan untuknya

13
Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau Dalam Rangka Pembangunan Nasional. Disertasi, Jakarta,
1963:37
14
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana… op cit, hlm 151.

17
seperti tersebut diatas, dapatlah dimengerti bahwa terlalu jauh diperluasnya
pertanggungjawaban.”
Berdasarkan hal tersebut di atas Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa menurut
Suprapto untuk dapat dipertanggungjawabkannya suatu badan hukum, prinsip atau asas
kesalahan tetap tidak dapat ditinggalkan. 15
Bagaimanakah pendapat Roeslan Saleh?. Terhadap kasus diatas, beliau meninjaunya
dari konsepsi dualistis yang memisahkan “perbuatan pidana” dengan “pertanggungjawaban
pidana”. Mengenai masalah perbuatannya yaitu apakah badan hukum itu dapat dikatakan
telah melakukan delik ekonomi, oleh beliau dibahas dibawah judul “tentang penyertaan”.
Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidananys dibahas di bawah judul “tentang
kesalahan”. Mengenai perbuatannya, Roeslan Saleh berpendirian bahwa badan hukum (P.T.)
itu telah melakukan tindak pidana ekonomi sehingga dapat dituntut. Dasar tuntutannya bukan
karena pasal-pasal “penyertaan” ex pasal 55 dan 56 KUHP, tetapi justru karena ketentuan
dalam pasal 15 ayat (2) UU TPE itu sendiri. Mengenai pertanggungjawaban pidananya, tidak
diperoleh jawaban yang pasti karena hanya dinyatakan sebagai berikut :
“kiranya mengenai dapat dipertanggungjawabkannya direktur dan selanjutnya pemidanaan
telah jelas, yaitu bahwa direktur itu tidak mungkin dipertanggungjawabkan karena dia tidak
melakukan (turut serta melakukan) perbuatan pidana itu dan..........................lain halnya
dengan badan hukum, seperti telah diterapkan diatas, segala sesuatunya itu adalah karena
telah ditentukan demikian oleh aturan-aturan, i.c. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi.”
Menurut Barda Nawawi Arief, sehubungan dengan hal tersebut di atas menyatakan :
ketidakpastian tersebut terletak pada kata-kata “lain halnya” yang dihubungkan dengan kalimat
di atasnya “kiranya.... telah jelas”, yaitu apakah “lain halnya” untuk badan hukum itu di
hubungkan dengan “tidak mingkin dipertanggungjawabkannya direktur dan selanjutnya
memidananya” atau dihubungkan dengan “karena dia (direktur) tidak melakukan perbuatan
pidana. Apabila dihubungkan dengan yang pertama, berarti badan hukum itu dapat
dipertanggungjawabkan dan selanjutnya dipidana, tetapi apabila dihubungkan dengan yang
kedua berarti hanya akan menegaskan pendapat yang terdahulu bahwa badan hukum itu
dapat dituntut karena telah melakukan tindak pidana.
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatkan, perkataan “lain halnya” itu kiranya
dihubungkan dengan kemungkinan yang pertama, karena uraian beliau itu ada dibawah judul
“tentang kesalahan”. Apabila hal ini benar, maka jelas ada pandangan baru dari Roeslan Saleh
dalam hal pertanggungjawaban badan hukum yang berbeda dengan pendapat Soeprapto di
atas. Pandangan baru atau katakanlah pandangan yang agak berlainan itu ialah bahwa
khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum, asas kesalahan tidak mutlak
berlaku.
Sebenarnya apa yang dinyatakan sebagai pandangan baru diatas tidaklah asing
didalam doktrin tentang pertanggungjawaban pidana ialah keharusan adannya kesalahan,
yang di negara-negara Anglo Saxon di kenal asas mens rea. Namun demikian syarat umum
adanya kesalahan itu doktrin yang dianut dibeberapa negara dikecualikan untuk tindak pidana
tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan “ strict liability :dan “vicarious liability”. 16
Di Jerman juga berkembang suatu teori, untuk memidana badan hukum tanpa
masyarakat kesalahan, yang berasal dari Schunemann. Menurut Schunemann ,badan hukum
15
Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan …, op cit hlm 109. Periksa Pula Muladi dan Barda Nawawi
Arief, teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung, Alumni, 1992), Edisi Revisi, hlm 139.
16
Ibid, hlm 109, 110, Lihat Pula Muladi dan Barda Nawawi arief, ibid, hlm 140, 141.

18
tidak mungkin dinyatakan bersalah. Namun pemidanaan terhadap badan hukum dapat
dilakukan. Menurut pandangannya Schuldgrundsatz dapat digantikan oleh prinsip legitimasi
lainnya yaitu apa yang dinamakan Rechtsguternotstand. Rechtsguternotstand mempunyai
pengertian “yaitu bilamana ada kemungkinan objek-objek hukum penting tertentu terancam
dan perlindungannya hanya dapat diberikan dengan cara menjatuhkan pidana pada badan
hukum”.
“Jika penjatuhan pidana hendak didasarkan pada suatu Rechtsguternutstand, maka
menurut Schunemann, masih hars dipenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat-syarat yang
penting adalah sebagai berikut :
a. Pidana harus punya daya kerja preventif.
b. Kepentingan daya kerja preventif harus lebih besar dibanding kepentingan integritas
finansial dari perusahaan.
c. Tidak mungkin untuk menghukum subjek hukum manusia karena dalam kenyataan
tindak pidana dilakukan dalam suatu ikatan parusahaan. 17
Point a dan b merupakan ukuran asas proporsionalitas 18 sedangkan poin c merupakan
ukuran yang berlandasan asas subsidaritas. 19
Kritik terhadap teori Schumann; didalam teorinya aspek instrumentalitas hukum pidana
terlalu dimutlakan dan dipisahkan dari aspek perlindungan, karena keduanya direduksi
menjadi sekedar bagian dari unsur tujuan. Hal ini tampak paling jelas dari interprestasi
Schunemann atas syarat proporsionalitas dimana tujuan pemidanaan merupakan faktor
pernting yang mmewarnai pandangannya. Namun juga dalam interprestasi Schunemann
tentang syarat subsidaritas, pertimbangan-pertimbangan instrumentalis turut mewarnai
pandangannya itu, Kesimpulan yang ingin dimunculkan tampaknya harus dimungkinkan untuk
menjatuhkan pidana pada seseorang. Bila subjek hukum manusia tidak dapat dipidana, maka
alternatifnya adalah menjatuhkan pidana atas badan hukum. 20
Didalam praktek peradilan di Negeri Belanda, untuk menentukan korporasi/badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana didasarkan kepada arrest hukum perdata”kleuterschool Babbel”
(Taman Kanak-kanak Babbel) , yang menyataka bahwa perbuatan dari perorangan/orang
pribadi dapat dibebankan kepada korporasi/badan hukum, apabila perbuatan-perbuatan
tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum. 21
Pada masa sekarang pendapat tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana
didasarkan kepada ijzerdraad-arrest (putusan kawat berduri) berdasarkan putusan H.R. 23-2-
1954, N.J. 1954, N.R. 378 di Negara Belanda.
“Manager sekaligus kepala bagian belanja sebuah perusahaan ekspor pada tahun 1952
hendak memperoleh izin ekspor dan atau devisa untuk mengekspor sejumlah partai kawat
yang dilapisi seng ke Finlandia. Untuk keperluan itu ia mengisi formulir-formulir yang
dialamtkan kepada dinas impor dan ekspor pusat di s’gravenhage dengan menerangkan
bahwa barang tersebut berasal dari Negeri Belanda, walaupun barang-barang itu di impor dari
17
Faure, M.G., J.C. Oudijk, D. Schaffmeister, Kekhawatiran Masa Kini … op cit, hlm 244, 245,246.
18
Asas Proporsionalitas, harus ada keseimbangan antara kerugian uyang digambarkan dengan batas-batas
yag diberikan oleh asas toleransi, dan dengan reaksi atau pidana yang diberikan, lihat Marjono
reksodiputro, Meninjau RUU Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Konteks
Perlindungan HAM, dalam Jurnal Keadilan Vol. 2 No. 2, tahun 2002, hlm 15.
19
Asas Subsidaritas, sebelum perbuatan dinyatakann sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah
kepentingan hokum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi engan cara lain;
hokum pidana hanya ultimum remidium, Mardjono Reksodiputro, Ibid.
20
Ibid, hlm 246
21
Schaffmeister, D, N.Keijer, E. PH. Sutorius, op cit, hlm 279.

19
Belgia dengan membayar memakai valuta Belgia. Di hadapan pengadilan pemilik perusahaan
yang pemiliknya memang tunggal, bahwa dialah sebagai pemilik perusahaan itu
bertanggungjawab mengenai apa yang telah dilakukan oleh manager ekspor sekaligus kepala
belanjannya (kepala pemasaran), pada tahun 1952 telah diserahi kekuasaan penuh. Karena
dia telah menyerahkan kepadannya untuk mengurusi masalah ekspor dan untuk meminta izin
ekspor dan devisa. “22
Pengadilan rendahan menjatuhkan pidana bagi pengusaha tersebut, dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa dalam suatu perusahaan dengan pemilik tunggal,
apabila bawahannya melakukan suatu perbuatan yang masih dalam hubungan kerja, sebagai
akibat dari perintah umum, dalam suasana perusahaan itu harus dianggap sebagai dilakukan
oleh pemilik perusahaan yang merupakan milik tunggal tersebut.
Pada tingkat banding pengadilan menjatuhkan pidana pada si pemilik perusahaan.
Adapun pertimbangannya menyatakan bahwa apabila hukum pidana dalam bidang ekonomi
sering mempergunakan istilah kolektif, hampir selalu orang-orang melakukan perbuatan
secara tidak langsung. Akan tetapi seringkali melalui seseorang atau lebih perantara.
Sehingga mengakibatkan yang dianggap sebagai pleger dari perbuatan-perbuatan yang
terlarang tersebut ialah pemilik perusahaan. Walaupun pemilik perusahaan itu tidak
mengetahui terjadinya perbuatan-perbuatan terlarang tersebut, yang sesungguhnya ia tidak
memberi perintah secara khusus kepada bawahannya.
Pada tingkat kasasi H.R. menilai pertimbangan hakim/pengadilan rendahan dan
pengadilan tinggi tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil. Bagi H.R. perbuatan-perbuatan
bawahannya tersebut hanya dapat ditetapkan sebagai perilaku terdakwa, apabila terdakwa
dapat mengatur apakah perbuatan itu akan terjadiatau tidak dan perbuatan-perbuatan itu
termasuk perbuatan-perbuatan yang terjadi menurut perkembangan selanjutnya oleh terdakwa
diterima atau biasa diterima. Sebagai dasar dari pertimbangan tersebut menurut H.R. bahwa
dalam hukum pidana Belanda seseorang pribadi tidak pernah dianggap mempunyai maksud
dan tujuan tertentu apabila keadaan kejiwaannya tidak hadir secara pribadi. Perbuatan
pegawai hanya dianggap sebagai perbuatan pemilik perusahaan dengan pemilik tunggal, jika
pemilik itu dapat mengaturnya, walaupun tidak terjadi dan kecuali perbuatan itu termasuk yang
sedemikian rupa diterima oleh dia atau biasa diterima oleh dia.
Berdasarkan “ijzerdraad arrest”, H.R. berpendapat bahwa segala kesalahan yang terjadi
dalam suatu perusahaan, dapat dianggap sebagai resiko dari pengusaha, sebagai kelanjutan
yang normal dalam melakukanpekerjaan dari suatu organisasi. 23
Berdasarkan putusan H.R. tersebut di atas dapat diambil dua kriteria untuk menetapkan
tanggungjawab pemilik perusahaan sebagai pemilik tunggal terhadap suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh bawahannya.
Kriteria tersebut adalah :
1. Terdakwa dapat mengatur apakah perbuatan-perbuatan tersebut terjadi atau tidak;
2. Perbuatan-perbuatan itu termasuk perbuatan-perbuatan yang terjadi menurut
perkembangan selanjutnya oleh terdakwa diterima atau biasa diterima.
Kriteria tersebut apabila dikaitkan dengan korporasi/badan hukum, maka konstruksinya
adalah :
Badan hukum baru dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila badan
tersebut :
22
SchaffMeister, D, Hal Perbuatan dan Peran Serta, Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana Angkatan I,
Kerjasama Indonesia Belanda , tanggal 16-28 Agustus 1987 di Semarang, (Semarang, 1987) , hlm 35, 36.
23
Muladi dan Dwidja Priyatno, pertanggungjawaban … op cit, hlm 98-100.

20
a. Berwenang untuk melakukannya terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan; dan
b. Tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada umumnya dan diterima atau
biasanya diterima secara demikian oleh badan hukum. 24
Rolling, juga mengajukan kriteria tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan
delik fungsional. Menurut Rolling “bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku
tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang, yan pertanggungjawabannya dibebankan
atas badan hukum, dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan atau pencapaian tujuan-
tujuan badan hukum tersebut.
Menurut Rolling tugas da tujuan resmi dari badan hukum sebagaimana yang tercantum
dalam anggaran dasar/akta pendiriannya. Persoalannya apakah badan hukum dapat
melakukan perbuatan kriminal harus dikaitkan dengan tujuan sebagaimana terwujud dalam
fungsi kemasyarakatan yang dimunculkannya. Hal tersebut akan menimbulkan kesulitan,
apabila yang diperiksa adalah anggaran dasar yang resmi, maka akan memudahkan badan
hukum yang “nakal” untuk menghindar dari jangkauan hukum. Sebab tidak mungkin badan
hukum yang akan melakukan tindak pidana mencantumkan secara resmi, tujuan yamg
sesungguhnya dari organisasinya dalam suatu anggaran dasar yang resmi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas yang dimaksud dengan delik fungsional adalah
delik-delik yang berasal dari lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-
syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan yang
terarah/ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.
Contoh delik-delik fungsional adalah :
1. Delik-delik pelanggaran atas syarat-syarat yang terkait dengan pemberian izin/lisensi
yang merupakan perbuatan yang dilarang.
2. Ketentuan-ketentuan tidak dipenuhinya kewajiban laporan atau registrasi dinyatakan
sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
3. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap fungsionaris/pejabat tertentu dibebankan
kewajiban ‘memaafkan; suatu hal atau untuk bekerjasama.
Sanks yang dijatuhkan dalam delik fungsional bersifat reparatoir, dengan tujuan utama adalah
mengembalikan kedalam keadaan semula atau perbaikan dari keadaan yang ‘onrechtmatig’
(melawan hukum)
Apabila ditelaah lebih lanjut sebenarnya delik fungsiona didalam kepustakaan sering
diartikan berbeda-beda. Hal ini menyulitkan pemahaman yang tepat tentang pengertian yang
sebenarnya dari delik tersebut.Adapun beberapa pengertian tersebut dapat dikemukakan :
1. Beberapa penulis menggunakan istilah delik fungsional sebagai kebalikan dari delik yang
bersifat terlalu fisik, sehingga tidak mungkin dilakukan oleh badan hukum. Sebagai contoh
Torringa menyatakan bahwa delik seperti pembunuhan berencana (moord) bersifat terlalu
fisik untuk dapat digolongkan sebagai delik fungsional.
2. Istilah delik fungsional juga digunakan sebagai kebalikan dari delik-delik dimana “unsur-
unsur dari delik dipenuhi secara sempurna oleh badan hukum, tanpa perlu mereferensikan
kembali tindakan faktual subjek hukum manusia kepada badan hukum’. Menurut Torringa
kaena dalam delik-delik yang berupa terjadinya suatu tindakan/keadaan terlarang secara
terus-menerus tidak perlu ada suatu ada suatu kontruksi pertanggungjawaban, maka delik
demikian merupakan delik tidak fungsional. Tidak fungsional disini punya arti lain daripada
yang diuraikan dibawah no. 1 diatas. Disini persoalannya bukan delik-delik mana yang
tidak dapat/mungkin dilakukan badan hukum, namun dalam hal apa/bagaimana suatu

24
Faure, M.G. , J.C. Oudijk, D. Scaffmeisteir, Kekhawatiran Masa Kini …op cit hlm 262.

21
badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku suatu tindak pidana yang dalam dirinya
sendiri dapat mungkin untuk dilakukan oleh badan hukum. ‘Tidak Fungsional” tidak berarti
bahwa kemungkinan untuk secara fungsional diperlakukan sebagai pelaku tidak ada, akan
tetapi justru berarti bahwa badan hukum hampir secara otomatis diperlakukan sebagai
plaku, bilamana tindak pidana dilakukan/terjadi.
3. Menurut Fokkens, istilah “delik fungsional” diartikan dengan cara yang lain lagi. Delik
fungsional yang ia maksudkan adalah delik-delik yang tergolong ke dalam hukum pidana
administratif (ordenuingsstrafrecht) dimana termuat berbagai persyaratn tentang cara
bagaimana beberapa fungsi ekonomi boleh dijalankan, misalkan ketentua mengenai
penetapan harga (jual), peraturan dimana termuat persyaratan mutu minimal yang harus
dipenuhi produk-produk tertentu. Dalam delik-delik fungsional seperti itu, Fokkens akan
engan cepat mengasumsikan bahwa badan hukum dapat diperlakuka sebagai tindak
pidana yang dapat dilakukan badan hukum dipersyaratkan adanya tindakan, memberi
perinta/menyuruh melakukan atau persetujuandari salah satu organ atau fungsionaris
yang sederajat.
Apabila dikaji kembali ternyata pengertian delik fungsional terrsebut, lebih sesuai dengan
paparan sebelumnya yaitu pengertian dalam point nomor 3 (tiga) di atas.
Kriteria-kriteria tersebut diatas di negeri Belanda, juga masih ditambahkan kriteria “lalu
lintas bermasyarakat” (Maatschapelijkverkeerscriterium) yang mempunyai arti bahwa tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum dilihat dari susut dalam lintas
pergaulan masyarakat, harus diklihat sebagai perbuatan dari badan hukum tersebut. , kriteria
ini hanya dapat dipergunakan untuk mendukung kriteria badan hukum sebagai pelaku tindak
pidana berdasarkan ijzerdrad criteria dan kriteria dari Rolling.
Kriteria-kriteria yang sudah disebutkan diatas, khususnya dalam membicarakan masalah
korporasi/badan hukum sebagai pelaku tindak pidana Mardjono Reksodiputro, menyatakan
pula bahwa, cara berfikir dalam dalam hukum perdatadapat diambil alih kedalam hukum
pidana. Menurut beliau pada mulanya dalam hukum perdata juga terjadi perbedaan pendapat
apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatig
handelen). Namun, melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (billijkheid) sebagai
dasar utama, maka ilmu hukum perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat
dianggap bersalah merupakan perbuatan melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian. Ajaran ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh
pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam
bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau
kewenangan badan hukum bersangkutan. Dengan demikian, maka badan hukum juga tidak
dapat melepaskan diri dari kesalahan yang dilakukan oleh pengurus. Kesengajaan (dolus)
atau kelalaian (culpa) dari pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari
badan hukum sendiri. Cara berpikir dalam hukum perdata ini dapat diambil alih ke dalam
hukum pidana.
Dalam Ilmu hukum pidana Indonesia gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering
dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysiek dader). Dalam
literatur ilmu hukum pidana sekarang, diingatkan bahwa dalam lingkungan siosial ekonomi
seorang pembuat tidaklah perlu selalu melakukan perbuatan tindak pidana itu secara fisik.
Dapat saja perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawainya. Karena perbuatan korporasi selalu
diwujudkan melalui perbuatan manusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari
perbuatan manusia ini menjadi perbuatan korporasi, dapat dilakukan apabila perbuatan
tersebut dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang

22
bersangkutan. Ini yang dikenal dalam pustaka hukum pidana sebagai “pelaku fungsional”
(functionele dader). Dengan konstruksi yang dipinjam dari hukum perdata di atas, ditambah
dengan ajaran mengenai “pelaku fungsional”, maka bagi penegak hukum di Indonesia
seharusnya tidak ada permasalahan hukum lagi untuk mengajukan suatu korporasi sebagai
tersangka dan terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sejauh hal itu dibenarkan
oleh undang-undang tindak pidana ekonomi). Cukuplah kalau dapat dibuktikan bahwa
perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku
sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan. Kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus
dianggap sebagai kesalahan korporasi.
Cara berpikir dalam hukum perdata seperti diatas juga dapat diambil alih dalam hukum
pidana, dalam hal apabila dapat menggambarkan pertanggungjawaban yang berdampingan
antara badan hukum pidana, dalam hal apabila dapat menggambarkan pertanggungjawaban
yang berdampingan antara badan hukum dengan manusia-manusia pribadi yang duduk dalam
organ. Menurut R.Ali Rido pertanggungjawaban badan hukum itu ada, jika organ itu bertindak
sedemikian dalam batas-batas suasana formal dari wewenangnya, tetapi organ dalam
menyelenggarakan tugasnya yang mengikat badan hukum, organ dapat melaukan kesalahan-
kesalahan pribadi yang merugikan badan hukum dan merupakan perbuatan melanggar
hukum yang mewajibkan mereka untuk mengganti kerugian secara pribadi pula. Jadi organ
yang melakukan perbuatan masih dalam batas-batas wewenangnya, disamping
pertanggungjawaban badan hukum, organ secara pribadi mungkin saja harus
bertanggungjawab sendiri atas perbuatan melanggar hukum.
Sekarang timbul persoalan, bila organ dapat dikatakan adanya kesalahan pribadi?
Paul Scholten memecahkan persoalan ini dengan secara negatif. Kesalahan pribadi itu
tidak ada :
1. Apabila perbuatan melanggar hukum itu merupakan suatu pelanggaran dari norma,
yang hanya ditujukan kepada badan hukum.
2. Apabila perbuatan melanggar hukum itu merupakan pelanggaran atas hak suatu
obyek hukum lain da pelanggaran itu justru terjadi pada waktu melaksanakan atau
mempertahankan hak-hak dari bandan hukum.
3. Apabila organ bertindak atas pemerintah jabatan yang mengikat (dari organ yang lebih
tinggi, umpamanya rapat umum anggota).
4. Apabila tindakannya bersifat perbuatan melanggar hukum itu unsur-unsurnya terdapat
pada badan hukum, tetapi tidak pada organ secara pribadi.
Dalam keseluruhannya perbuatan organ badan hukum dapat dibagi dalam beberapa kategori,
yaitu:
a. perbuatan organ yang dilakukan dalam batas-batas wewenangnya, badan hukum
terikat dan bertanggungjawab;
b. perbuatan organ di luar wewenangnya tetapi kemudian disahkan oleh organ yang
lebih tinggi atau perbuatan itu menguntungkan badan hukum. Dalam hal ini badan hukum
terikat.
c. Perbuatan organ di luar wewenangnya, dengan pihak ketiga beritikad baik yang
berakibat merugikan, badan hukum tidak terikat. Mereka secara pribadi bertanggungjawab
tanggung menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga.
d. Tindakan organ yang merupakan perbuatan melanggar hukum dalam batas-batas
wewenangnya badan hukum terikat dan bertanggungjawab.

23
e. Tindakan organ yang merupakan perbuatan melanggar hukum di luar wewenangnya,
badan hukum tidak terikat. Organ secara pribadi bertanggungjawab tanggung
menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga
f. Tindakan organ yang merupakan perbuatan melanggar hukum dalam batas-batas
wewenangnya, tetapi ada kesalahan pribadi dari organ, badan hukum tetap terikat.
Namun, disamping pertanggungjawaban badan hukum, mereka secara pribadi
bertanggungjawab pula. Badan hukum yang telah membayar ganti kerugian kepada pihak
ketiga, berhak menuntut kembali kepada organ secara pribadi;
g. Perbuatan organ dalam batas-batas wewenangnya yang bertindak lalai (melalaikan
kewajiban) atau kurang hati-hati yang menimbulkan kerugian bagi badan hukum, badan
hukum tetap terikat. Di samping badan hukum ada pertanggungjawaban pribadi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan berdasarkan landasan teori-teori yang ada, serta
kriteria-kriteria suatu badan hukum / korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana, sudah
tentu timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya. Apakah
kesalahan terdapat pada korporasi sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan dalam
korporasi maka timbul suatu pertanyaan yaitu apakah korporasi dapat mempunyai
kesengajaan atau kelalaian?
Untuk itu penulis akan membahas tentang masalah kesengajaan dan kealpaan pada korporasi
1. kesengajaan dan kealpaan pada korporasi
apabila suatu badan hukum dituntut telah melakukan suatu tindak pidana baik yang
dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan pertanyaan akan timbul, apakah dan
bagaimanakah badan hukum / korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan (menselijke
psyche), dan unsur-unsur psychis (de psychische bestanddellen), dapat memenuhi unsur-
unsur kesengajaan atau “opzet” dan kealpaan?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan mengemukakan pendapat
beberapa sarjana di negeri Belanda menurut D. Schaffmeister, sangat sulit untuk
menentukan kapan suatu badan hukum terdapat apa yang disebut dengan kesengajaan.
Selanjutnya beliau mengatakan “kesengajaan pada badan hukum pertama-tama berbeda,
apabila kesengajaan itu pada kenyataannya terletak dalam politik perusahaan, atau
berada dalam keadaan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu”.
Torringa dalam hubungan ini mengatakan adanya suatu macam “suasana kewajiban”
(psychisch klimaat) yang dapat berlaku dalam suatu badan hukum. Hal ini mengingatkan
kepada suatu perseroan tertutup dengan pimpinan kembar (Koppelbazen B.V), yang
“didirikan untuk melakukan kekacauan” ( op belazeren is ingericht). Juga dapat terjadi pada
perusahaan pengangkutan di mana berlaku pemikiran bahwa perusahaan tidak dapat
berjalan tanpa melanggar undang-undang “waktu penggunaan kendaraan” ( rijtijdenwet).
Oleh karena itu dengan melihat kenyataan tersebut maka perusahaan tidak dapat
menjalankan perusahaannya.
Menurut D. Schaffmeister, kejadian-kejadian tersebut harus diselesaikan dengan
kontruksi pertanggungjawaban ( toerekenings constructie), kesengajaan dari perorangan
(natuurlijk persoon) yang bertindak atas nama perserikatan / badan usaha ( corporatie), di
mana dapat menimbulkan kesengajaan dari badan hukum tersebut. Dalam kejadian ini
kesengajaan lebih sedikit diwarnai “secara obyektif” ( zakelijk) dari pada yang disebut
sebelumnya, di mana tidak dimaksudkan adanya pertanggungjawaban ( toerekening), akan
tetapi kesengajaan “mandiri” (zelfstandige opzet) dalam badan hukum.
Menurut Arrest Bijenkorf (H.R.14 maret 1950 N.J. 1952, 656), menyatakan bahwa
kesengajaan dari suatu organ badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan kepada badan

24
hukum. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu kesengajaan dari seorang bawahan bahkan dari
orang ketiga (sebagai contoh mungkin orang “luar” yang oleh seorang stroman
“disembunyikan”), dapat mengakibatkan kesengajaan badan hukum. Kepada badan
hukum.
Sedangkan menurut Remmelink, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian
besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika
mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringa dari setiap orang
yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan
besar dari korporasi itu sendiri.
Hal yang senada diungkapkan pula oleh Suprapto antara lain menyatakan, jika
hukum memperkenankan badan-badan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai orang-
orang, dengan melalui alat-alatnya, maka dapatlah dimengerti, bahwa pada badan-badan
bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang
yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena hal itu mengenai
badan sebagai kolektivitet, dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang
dibebankan kepada pengurusnya.
Dalam praktetk terdapat kemungkinan bahwa badan hukum bertindak alpa,
sedangkan perorangan mempunyai kesengajaan, misalnya jika seorang pengawas
(opzichter) dari suatu perusahaan, guna mengisi kantongnya sendiri (om de eigen beurs te
spekken), menghubungi suatu perusahaan kebersihan sampah yang tidak dapat
dipercaya, sedeangkan si badan hukum sama sekali tidak mengawasi pelaksanaan
kebersihan sampah tersebut.
Sedangkan bila suatu perusahaan dipimpin oleh empat orang, yang mempunyai
kekuasaan yang sama, HR dalam arrestnya yaitu Nut-Arrest (H.R. 16 Juni 1981 N.J.
1981/586) mempertimbangkan :
Di dalam pergaulan masyarakat, dianggap secara bersama-sama memberikan
pimpinan secara nyata, yang ditujukan bukan untuk dirinya sendiri, akan tetapi secara
bersama-sama di dalam suatu hubungan organisatoris dan bersekutu dengan orang-orang
lain secara musyawarah bersama sesuai dengan perjanjian dan perjanjian yang mereka
buat bersama, sehingga perbuatan yang satu dapat diperhitungkan terhadap yang lainnya,
sehingga tidak menjadi persoalan siapa diantara mereka berempat yang secara nyata
melakukan tindaka tersebut sehingga menjadi perbuatan yang terlarang dari suatu badan
hukum, maka dipertanggungjawabkan terhadap mereka yang telah memberikan pimpinan
yang nyata.
Menurut D. Scahaffmeister bahwa arrest tersebut diatas “memberikan pengertian
yang lebih sempit kepada mereka yang telah memimpin secara nyata perbuatan terlarang
tersebut”, sehingga dalam hal ini tidak perlu dipergunakan kontruksi turut serta melakukan,
apabila seseorang dituntut bersama-sama orang lain melakukan pimpinan.
Sedangkan dalam hal kelalaian, Schaffmeister menganggap bahwa terdapat hal
yang sama dengan kesengajaan, dengan catatan bahwa melalui cara memenuhi tugas
pemeliharaan, kelalaian lebih banyak dapat dipertanggungjawabkan pada korporasi.
Bagaimana tentang badan hukum publik apabila melakukan suatu tindak pidana
dapat dipertanggungjawabkan? Batasan tentang badan hukum publik, badan hukum itu
dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, jika badan hyukum tersebut dapat
mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang
lain, yang tidak tergabung di dalam badan hukum tersebut.Jadi kriterianya dicari pada
wewenang pada badan hukum, misalnya Propinsi Jawa Barat mempunyai wewenang

25
membuat keputusa dan ketetapan serta peraturan yang mengikat orang-orang yang
menjadi Penduduk Jawa Barat, maka Propinsi Jawa Barat, maka Propinsi Jawa Barat
adalah badan hukum publik. Di samping itu dapat dipergunakan kriteria berdasarkan
terjadinya dan lapangan pekerjaan tersebut untuk kepentingan umum, maka badan hukum
tersebut adalah badan hukum publik. Di samping itu dapat dipergunakan kriteria
berdasarkan terjadinya dan lapangan pekerjaan dari badan hukum tersebut untuk
kepentingan umum, maka badan hukum tersebut adalah badan hukum publik. Akan tetapi
jika untuk kepentingan perseorangan adalah badan hukum perdata. Contoh, Bank
Indonesia didirikan dan diadakan oleh undang-undang dan bekerja untuk kepentingan
umum, karena bekerja untuk mengatur sirkulasi uang di Indonesia, maka kesimpulannya
Bank Indonesia adalah badan hukum publik.
Di Negeri Belanda berdasarkan rumusan Pasal 51 W. V. S. Belanda tidak
menutup kemungkinan penutupan terhadap badan hukum publik, seperti Propinsi, Kota
Praja, Kantor Dana Pensiun Sipil, Jawatan Kepengairan. Akan tetapi didalam praktek
jarang terjadi penuntutan pidana terhadap badan hukum publik. Badan hukum publik dapat
dituntut secara hukum pidana, apabila badan hukum publik terlibat dalam percaturan
pasaran ekonomi (het economisch markverkeer), atau telah terjadi privatisasi tugas-tugas
dari penguasa. Apabila suatu badan hukum publik melakukan tugasnya sebagai penguasa
maka badan hukum tersebut apabila melakukan suatu tindak pidana maka badan hukum
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal tersebut dapat dilihat dari
pertimbangan Hoge Read dalam “Tilburgse verkeers drempel arrest” karena perbuatan
yang dituduhkan terhadap Kota Praja Tilburg mencakup tugas sebagai penguasa, yaitu
untuk memelihara keamanan jalan-jalan umum walaupun melanggarpasal 427 W.v.S.
Belanda.
Schaffmeister sehubungan dengan hal tersebut diatas memberikan suatu contoh
yaitu misalnya perusahaan pemerintah yang melakukan pengambilan sampah, tidak dapat
dituntu karena sejak lama perusahaan swasta sudah terlibat dalam tugas kebersihan kota
dan dalam bidang ini makin lama makin banyak tugas yang disediakan untuk kehidupan
perusahaan swasta.
Di Indonesia badan hukum publik disamping negara ada yang berbentuk B.U.M.N.
(Badan Usaha Milik Negara) sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 9 Tahun
1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1969 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan
(PERSERO), Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum
(Perum).Disamping badan-badan Negara Propinsi, atau daerah tingkat II/Kota merupakan
badan hukum publik. Apabila Badan Hukum tersebut melakukan suatu tindak pidana
apakah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Menurut hemat penulis apabila
badan hukum publik tersebut sepanjang melakukan perbuatan yang dilakukan di bidang
lalu-lintas perekonomian atau telah terjadi privatisasi dalam melakukan kegiatan sehari-
hari, yang tidak menyangkut kedudukan badan hukum tersebut sebagai pengusa, maka
badan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dipidana.
Apabila melakukan suatu tindak pidana tetapi bertindak dengan kapasitas sebagai
penguasa dengan tujuan untuk memelihara kepentingan umum/masyarakat, apabila
melakukan suatu tindak pidana badan hukum tersebut tidak dapat dipidana dan
dipertanggungjawabkan secara pidana.

26
Sebagai catatan dewasa ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak murni lagi
masuk ke dalam badan hukum publik, hal ini disebabkan pengertian BUMN adalah :
a. badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki Negara.
b. Badan Usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki
negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN yaitu :
1) BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah;
2) BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya;
3) BUMN yang merupakan Badan Usaha Patungan dengan Swasta Nasional/Asing
dimana negara memiliki saham mayoritas minimal 51 %.
(lihat Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor :740/KMK.
00/1989, tanggal 28 Januari 1989)
Apabila dikaji lebih lanjut ternyata banyak BUMN yang telah mengalami
privatisasi, dan apabila ini terjadi maka badan hukum tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Alasan Penghapusan Pidana pada Korporasi
Sebagaimana halnya orang, badan hukum atau korporasi dapat mempunyai dasar untuk
menghapuskan pidana, sebagai konmsekuensi diterimanya asas kesalahan pada
korporasi.
Korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada dasarnya harus diakui korporasi dapat
menunjukan pada alaan-alasan penghapus pidana, yang berkaitan dengan segala
kejiwaan tertentu. Seperti keadaan sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) maupun pembelaan yang
melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP). Kedua alasan ini mensyaratkan adanya
suatukeadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri amnusia.
Sesuai dengan sifat kemandirian ( persoonlijk) alasan-alasan penghapus pidana
harus dicari pada korporasi itu sendiri. Sehingga mungkin sekali terjadi pada diri
seseorang terdapat alasan penghapus pidana tetapi tidak demikian halnya pada korporasi,
sekalipun perbuatan orang terrsebut telah dianggap sebagai perbuatan korporasi.
Sebagai Contoh dapat dikemukakan :
“Seorang supir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut Narkotika karena jiwa
keluarganya terancam. Sementara itu perusahaan pengangkutan tempat sopir itu bekerja,
atas dasar pertimbangan untuk memperoleh keuntungan telah membiarkan/mengijinkan
mengangkut Narkotika tersebut. Pada hal perusahaan tersebut sesungguhnya mampu
untuk mencegah perbuatan pengangkutan Narkotika tanpa perlu mengorbankan
kepentingan sopir sebagai pegawainya.
Dalam contoh diatas, pada diri sopir terdapat situasi “overmacht” sedangkan korporasi
tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. Berbeda halnya apabila
perusahaan tersebut telah membiarkan/mengijinkan Pengangkutan Narkotika atas
pertimbangan untuk melindungi kepentingan pegawainya(sopir) dan perusahaan tersebut
tidak mempu untuk mencegah pengangkutan narkotika tadi.
Maka dalam hal ini keadaan “overmacht” pada diri pegawainya sesungguhnya
telah diambil alih oleh perusahaan sehingga keadaan “overmacht” pada diri sopir
merupakan “overmavht” pada diri korporasi.
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam menentukan ada
atau tuidak adanya alasan penghapus pidana pada korporasi tidak selalu dapat dicari
secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi
suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan.

27
Torringa berpendapat bahwa dari alasan-alasan penghapusa kesalahan
(Schulduitsluitingsgronden), sebenarnya hanya “avas” ( afwezigheid van alle schuld ) yang
dapat diterima sebagai akibat dari kesesatan yang dapat dimaafkan ( verontschuldingbare
dwaling). Alasan penghapusma an kesalahan, sangat bersifat pribadi ( manusiawi) kalau
dipergunakan untuk tindakan badan hukum, kecuali kalau menyangkut suatu badan
hukum dengan hanya seorang direktur, beberapa pemegang saham yang juga merangkap
sebagai pelaksana. Menurut Schafftmeister dalil tersebut tidak dapat diterima begitu saja.
Beliau memberikan contoh misalnya perkumpulan untuk melindungi anak yangh belum
dilahirkan (het ongeboren kind) dapat menunjuk pada keadaan darurat psychis
(psychische overmacht) pada waktu mendiami klinik abortus.
Di Negeri Belanda sering sebuah badan hukum menunjukan pada suatu alsan
penghapusan pidana khususnya yang menyangkut alasan penghapusan kesalahan
(Schulduitsluitings gronden) selalu menyadarkan kepada “avas”.

28

Anda mungkin juga menyukai