Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN/ RESUME

Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang sangat, dan lebih membahayakan,


selain kejahatan yang bersifat konvensional, sehingga harus diketahui dan dipahami oleh
seluruh masyarakat, termasuk bagi kalangan mahasiswa.Kejahatan korporasi selalu
bersentuhan diberikan pemahaman awal ini potret kejahatan selain konvensional, bahkan
dinilai lebih dahsyat dan membahayakan.

Pada dasarnyanya, kejahatan korporasi akan berdampak keterpurukan bagi bangsa. Karena,
kejahatan korporasi memiliki sifat mengakomolasi keuntungan-keuntungan yang lebih besar.

Bahkan, sangat kental adanya back up dibalik kejahatan atau sering disebut kekuatan dibalik
layar/ dekengan yang sangat kuat.

Selain itu juga menggambarkan dengan jelas tentang kejahatan korporasi yang sudah
mengakar kuat bahkan sangat sulit untuk ditumpas, bahkan sistem kejahatan mengakar kuat
sehingga sering lepas dari jerat hukum.

Aburizal bakrie tercatat sebagai penyumbang dana kampanye pasangan calon Susilo
Bambang yudhoyono dan yusuf kalla, walaupun menurut penilaian yusuf kalla, bahwa
pengusaha memiliki hak dana kampanye bagi calon presiden dan wakil presiden, sepanjang
jumlahnya tidak melanggar ketentuan dalam undang-undang pemilu. Akan tetapi pernyataan
tersebut tidak sesuai dengan data laporan dana kampanye yang disampaikannya kepada
komisi pemilihan umum (KPU). Karena berdasarkan penelitian Indonisian Corruption Watch
(ICW), bahwa nama aburizaal bakrie ataupun nama salah satu perusahaan tidak pernah
tercatat sebagai penyumbang dana kampanye untuk pasangan Bambang Susilo Yudhoyono
dan yusuf kalla. Dalam konteks yang demikian itu, menurut koodinator Divisi korupsi politik
ICW Adanan Topan Husodo, kemungkinan nama aburizal bakrie tidak dilaporkan sebagai
donator SBY-JK karena sumbangannya melebihi batas undang-undang “tidak munkin
sumbangan aburizal bakrie dibawah Rp 5 juta ,sangat tidak masuk akal” lebih lanjut
dikemukakan pemberian sumbangan yang melebihi ketentuan undang-undang tersebut
menurut Adnan sangat berbahaya, karena bisa jadi Negara dikendalikan oleh mereka terhadap
calon presiden atau partai tertentu.

Dalam konteks yang demikian, dengan kaitannya tragedi Lumpur Sidoarjo mulai dari izin
pengeboran hingga keluarnya peraturan presiden nomer 14 tahun 2007 tentang badan
penanggulangan Lumpur Sidoarjo tanpak ada keberpihakan pemerintah kepada prusahaan
aburizal bakrie.hal itu dapat dilihat ketentuan peraturan presiden tersebut

Ini contoh kejahatan korporasi yang simple saja. Seorang pemimpin atau pejabat ketika
mencalon sudah mendapatkan dukungan dan aliran dana dari pihak tertentu, maka ketika dia
meajabat, sudah pasti dia akan sangat mudah diatur, dintervensi, demi meraup keuntungan
besar. Inilah yang namanya kejahatan korporasi.

Deskripsi untuk perkembangan kejahatan korporasi, suatu kejahatan hanya dipahami dan
dipersepsi sebatas pada kejahatan konvensional. Namun dengan munculnya teori yang
diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland di hadapan American Sosiological Society tahun
1939, yang disebut dengan white-collar crime telah menambah perbendaharaan tentang
perkembangan suatu kejahatan, termasuk kejahatan korporasi. Namun demikian, bukan
berarti pemahaman masyarakat terhadap kejahatan korporasi sudah berkembang seiring
dengan perkembangan kejahatan korporasi itu sendiri. Namun masih banyak masyarakat
yang menganggap bahwa kejahatan yang sebenarnya adalah kejahatan konvensional seperti
perkosaan, penipuan, pembunuhan, dan lain sebagainya, dan bukan kejahatan korporasi.
Ditambah lagi, berita di berbagai media massa yang lebih menonjolkan jenis-jenis kejahatan
konvensional dibandingkan kejahatan korporasi.

PERKEMBANGAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA

Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan semakin
kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Namun saat ini terdapat ketidakjelasan
mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas apa saja yang bisa
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu, pengaturan mengenai
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih sangat minim, terutama
mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus (subjek manusia)
ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi.

Keadaan ini mengakibatkan sangat sedikit kasus hukum yang menjadikan korporasi dapat
dituntut atas perilakunya yang bertentangan dengan ketentuan hukum. Perilaku tersebut
mengandung sanksi pidana dan ada kecenderungan untuk melihat korporasi dan personal
pengendali(directing mind) korporasi sebagai subjek hukum yang sama, sehingga mereka
dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya (interchangeable) dalam hal penuntutan dan
penjatuhan sanksi pidana.

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya diakui dalam Undang-
undang tindak pidana khusus (diluar KUHP), sedangkan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) korporasi tidak diakui sebagai subjek hukum. Hal tersebut dapat
dilihat dari pendapat E. Utrecht (Edi Yunara, 2005 ;12) berkaitan dengan badan hukum
(korporasi) dalam KUHP, E. Utrecht menyatakan:

Pasal 59 KUHP, yang mengandung ancaman hukuman terhadap pengurus dan korporasi
suatu badan hukum (rechtpersoon) (korporasi dan yayasan) karena disangka (diduga) telah
melakukan suatu delik, hanya berlaku dalam hal pelanggaran saja.

Lebih lanjut E. Utrecht :

Yang dihukum menurut Pasal 59 KUHPidana ialah komisaris atau anggota pengurus suatu
badan hukum orangnya satu perusahaan publik satu. Tidak dikatakan bahwa Pasal 59 KUHP
tercantum suatu tanggung jawab kolektif komisaris atau anggota pengurus suatu badan
hukum (JONKERS Handboek, 19). 

Perkembangan hukum pidana yang mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana
sampai sekarang masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang
tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

1.   Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat


pada persona alamiah.

2.  Bahwa yang merupakan tingkah laku materiel, yang merupakan syarat dapat dipidananya
beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri
barang, menganiaya orang, perkosaan, dan sebagainya).

3.     Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat
dikenakan pada korporasi.

4.  Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa
pada orang yang tidak bersalah.
5.     Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa
yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya
harus dituntut dan dipidana.

Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan
hal-hal sebagai berikut:

Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-
delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan
pemidanaan korporasi dan pengurus, atau pengurus saja.Dalam kehidupan sosial-ekonomi,
korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula.

Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyrakat, yaitu melindungi masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau
hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia,
maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan
menentang dapat dipidananya korporasi.

Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan


pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991 :
31-32).

Terlepas dari pro dan kontra terhadap pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak
pidana, Oemar Seno Adji (Setiyono, 2005 : 11) berpendapat “ kemungkinan adanya
pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan, didasarkan tidak saja atas pertimbangan-
pertimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar teoritis dapat dibenarkan.”

Senada dengan hal tersebut di atas Sutan Remy Sjahdeini (2006 : 57), meyatakan:

Saya berpihak kepada mereka yang mendukung pendapat bahwa korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana sekalipun korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri,
tetapi melalui orang atau orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan
korporasi.

Demikian pula menurut Ter Heide (D. Scraffmeister, 1994 : 241) yang pengertian pelaku
tindak pidana dilepas dari konteks yuridis, Ter Heide menyatakan :
Jika kita mengikuti metode dari Wittgenstein, yakni analisis bahasa, maka tampak bahwa
tidak hanya ’Adam’ yang dapat melakukan kejahatan dan membuat sesuatu, bahwa tidak
hanya karena kesalahan ’Adam’ suatu situasi tertentu tercipta. Hal yang sama berlaku juga
bagi korporasi. Di dalam bahasa, korporasi muncul sebagai suatu kesatuan yang dikenal dari
etiket sosialnya, yakni nama dengan mana ia diminta dengan pertanggungjawaban, dituntut
dalam sidang-sidang peradilan, dan juga dinyatakan dapat dipersalahkan. Dilihat dari sudut
pandang penamaan, bahkan ’manusia’ juga merupakan subyek hukum. Dari sudut pandang
kedudukan sosial, tidak ditemukan perbedaan mendasar keduanya. Karena itu juga dari sudut
pandang yuridis tidak perlu ada perbedaan antara ’manusia’ dan korporasi.

Dari beberapa pendapat di atas maka korporasi (rechtspersoon) sebagai subjek hukum tindak
pidana yang sama halnya dengan manusia (naturlijkke persoon), maka tentunya pengaturan
pidana dan pemidanaan sangat berbeda selaku pelaku tindak pidana yakni korporasi tidak
dapat dijatuhi pidana mati, seumur hidup, penjara, kurungan, akan tetapi dapat dijatuhi pidana
denda sebagai pidana pokok dan pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan (Andi
Abu Ayyub Saleh, tanpa tahun (1) : 3).

Meninjau Kedudukan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Masalahnya di Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini
secara khusus baru diakui dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP.

Contoh Kasus : Mengutip dari “ JAKARTA, GRESNEWS “

Masih ingat kasus kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan dan wilayah perkebunan
sawit lainnya yang kerap terjadi ketika memasuki musim kemarau setiap tahunnya? Kasus
kebakaran hutan di daerah Sumatera beberapa bulan silam yang diindikasikan melibatkan
beberapa perusahaan membuka kemungkinan korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Pada kasus kebakaran hutan yang terjadi empat tahun silam, PT Kallista Alam diproses
secara hukum sebagai pelaku pembakaran hutan dan dinyatakan bersalah. Perkara kebakaran
hutan yang melibatkan PT Kallista Alam sudah mencapai tahap kasasi yang diputus 28
Agustus 2015 silam. Dalam putusannya PT Kallista Alam dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Masalahnya di Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini secara
khusus baru diakui dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP.
Karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia masih menganut
pandangan societas delinquere non potestyaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak
pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut
dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.

Ditambah lagi dalam KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana
ialah natuurlijke person atau manusia. Maka dari itulah KUHP belum mengakomodir
kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Adapun beberapa Undang-Undang yang
sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Berbeda dengan KUHP yang belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek
hukum pidana maka dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP)
sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini dapat
diketahui dari ketentuan Pasal 48 R-KUHP yang mengatur "Korporasi merupakan subjek
tindak pidana".

Namun pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana konsep R-KUHP masih memiliki
kekurangan karena menggunakan doktrin identifikasi sebagai dasar pertanggungjawaban
pidana. Kritik terhadap doktrin tersebut adalah doktrin tersebut dianggap sebagai legal barrier
to potential corporate criminal liability. Batasan tersebut dikarenakan doktrin identifikasi
mensyaratkan adanya tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan yang tinggi
dalam suatu korporasi agar korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Tentunya ini menjadi hambatan dalam menarik pertanggungjawaban korporasi yang
dilakukan oleh pelaku lapangan seperti pada tindak pidana pembalakan liar maupun
kebakaran hutan.

Ketua Presidium Peguyuban Pekerja Universitas Indonesia (UI) Andri G Wibisana


mengusulkan pertanggungjawaban korporasi dalam R-KUHP sebaiknya tidak menggunakan
doktrin identifikasi namun menggunakan dua doktrin lainnya. Yakni doktrin strict liability,
dalam hukum pidana doktrin ini mengesampingkan unsur kesalahan atau unsur mens
rea dalam petanggungjawaban pidana. Maknanya korporasi bertanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan oleh pekerjanya tanpa mempedulikan apakah korporasi sudah
mencegah atau mengambil langkah untuk merespon tindak pidana tersebut atau tidak.

Doktrin lainnya adalah qualified vicarious liability, yaitu korporasi bertanggungjawab hanya


jika korporasi gagal untuk mengambil langkah yang layak guna mencegah tindak pidana.

Andri mengatakan untuk doktrin kedua korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan
pemimpin korporasi, selain itu, korporasi bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri atau
tindak pidana yang dilakukannya sendiri. "Perusahaan tidak bisa lepas tangan terhadap
pelaku atau pihak yang diperintahkan untuk melakukan pembakaran lahan yang
menyebabkan kebakaran kebun atau hutan," kata Andri kepada gresnews.com, usai diskusi
bertema Mengkonstruksikan Keadilan Ekologis dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam melalui reformasi KUHP, Kamis (19/5) di The Icon, Morissey Hotel, Menteng,
Jakarta, yang menjelaskan tindakan hukuman dalam menindak pelaku atau orangnya maupun
pihak korporasi juga harus bersifat adil dan transparan. Menurutnya korporasi juga
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pekerjanya, tanpa melihat
status atau kedudukan orang tersebut di dalam korporasi. Termasuk juga bila tindak
pidananya dilakukan oleh pelaku di dalam (ruang lingkup kewenangannya lingkup
kewenangan/kerja).

"Misalnya seperti di Amerika Serikat (AS) tindak pidana yang bertentangan dengan
program/kebijakan perusahaan tidak selalu berarti bahwa perbuatan tersebut berada di luar
lingkup kerja," .

Selain itu juga korporasi bisa dikenai tindak pidana bila terbukti pelaku melakukan sesuatu
yang menguntungkan korporasi (for the benefit of the corporation). Pada umumnya, dianggap
terbukti apabila setidaknya sebagian tujuan dari pelaku adalah untuk menguntungkan
korporasi. "Contohnya, saja seperti di Inggris (beberapa kasus awal). Korporasi bahkan tetap
bertanggungjawab ketika korporasi adalah korban dari perbuatan pelaku,".

UNTUK PEMBERIAN SANKSI TEGAS

Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)


Minhur Satyaprabu mengatakan, pihak perusahaan korporasi juga harus diberikan sanksi
tegas dan hukuman bagi pelakunya, karena pertanggungjawaban korporasi. "Diharapkan
pemerintah bisa bersikap tegas bagi korporasi yang melakukan pembakaran hutan," kata
Munhur di tempat yang sama.

Seperti diketahui, hingga kini pemerintah masih kesulitan menghukum para pelaku pembakar
kebun dan hutan termasuk korporasi yang melakukannya. Sanksi yang diberikan pemerintah
hanya sebatas sanksi administratif yang tak menimbulkan efek jera.

Misalnya ketika terjadi kebakaran hutan tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan mengumumkan inisial 23 nama perusahaan yang sudah diberikan sanksi akibat
terbukti menyebabkan kebakaran hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Sementara itu,
33 perusahaan lainnya hingga saat ini masih dalam proses penyidikan kementerian.

Bentuk sanksi yang diberikan masih seputar sanksi administrasi saja. Kementerian
memberikan sanksi pencabutan izin terhadap 3 perusahaan, pembekuan izin terhadap 16
perusahaan, dan paksaan pemerintah untuk menguasai lahan terhadap 4 perusahaan.

Sementara yang bergulir ke pengadilan seperti PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang menjadi
tergugat penyebab kebakaran hutan di Sumatera Selatan bebas dari semua tuntutan. Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Palembang Parlas Nababan menolak seluruhnya gugatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap BMH yang beroperasi di Ogan
Komering Ilir (OKI), Rabu (30/12).

Sebelumnya, perusahaan ini diduga menjadi dalang dari kebakaran hutan yang menimbulkan
korban jiwa akibat kabut asap. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pun
menggugat dengan menuntut ganti rugi sebesar Rp2.687.102.500.000. Kemudian,
Kementerian LHK meminta dilakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang
terbakar dengan biaya sebesar Rp5.299.502.500.000. Gugatan tersebut dilakukan berdasar
adanya kebakaran lahan pada tahun 2014 di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT
BMH.

Anda mungkin juga menyukai