Disusun Oleh :
SEBELAS MARET
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi adalah isu krusial dalam dunia penegakan hukum. Sepanjang tahun 2022,
menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi tercatat 149 kasus korupsi di Indonesia. Terjadi
peningkatan sebesar 34,23%. Pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya seorang individu atau
dikenal dengan istilah persoon, namun juga korporasi atau dikenal sebagai recht persoon dalam
hukum pidana. Dalam kasus yang melibatkan korporasi, selama ini pemidanaan hanya berfokus
pada pengurus korporasi. Pengaruh paradigma yang dianut Aparat Penegak Hukum mungkin
masih dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non
potest” yang dianut pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Pada KUHP
lama yang saat ini masih berlaku sebelum diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, paradigma yang terbangun adalah badan hukum
tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut peraturan saat ini, suatu korporasi melakukan
tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi. Pelaku
tindak pidana adalah manusia alamiah (natuurlijke persoon). Pasal 59 KUHP merupakan bukti
masih dominannya paradigma pemidanaan terhadap pengurus korporasi di Indonesia, yaitu :
Padahal pengaturan terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur secara
khusus di UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang tersebut sudah sangat
jelas dan dapat memberikan landasan hukum untuk bisa memperkarakan korporasi sebagai
subjek hukum. Hal ini salah satunya tercermin pada pasal 1 angka 3 yang menyebutkan definisi
unsur setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Oleh karena itu, pandangan
pemidanaan yang hanya terfokus pada pengurus saja, hal ini mengakibatkan kendala dalam
pengembalian kerugian keuangan negara. Penulis meneliti bagaiman pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif hukum pidana Indonesia saat ini menurut undang-
undang yang berlaku maupun peraturan khusus yang mengaturnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi
menurut perspektif hukum pidana di Indonesia?
2. Analisis kasus tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
kasus korupsi
2. Mengetahui kondisi penegakan hukum di Indonesia terhadap kasus tindak pidana korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam bidang perdata
sebagai badan hukum atau dalam Bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Beberapa bentuk
korporasi yaitu Perum, Persero, Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi. Menurut UU No. 8
tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang & UU Tindak Pidana Korupsi, korporasi
dapat berbentuk badan hukum dan badan yang bukan badan hukum. Pengertian korporasi lebih
ditekankan pada adanya sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki pimpinan serta
melakukan perbuatan-perbuatan hukum.
KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Salah satu indikasi yang dipakai
adalah adanya Pasal 59 dalam buku I KUHP yang menyatakan
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus,
anggota salah satu pengurus, atau komisari, mak hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus
atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya”
Jadi, dalam pasal tersebut tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan
tindak pidana. Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum tersebut,
korporasi tidak dapat dikenakan pidana.
Selain hal tersebut KUHP menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan. Ini
sebagimana dimaksudkan dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Jadi yang diutamakan dalam
pasal ini adalah jiwanya. Sementara korporasi tidak mempunyai jiwa. Hanya manusia yang
mempunyai jiwa. Pasal 44 dan Pasal 59 terdapat dalam buku I ketentuan umum, maka jelas
dimaksudkan dalam Buku I ini bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak diperuntukkan
untuk korporasi. Namun dalam kenyataannya korporasi juga melakukan tindak pidana. Tidak
diaturnya hukum acara tentang korporasi dalam KUHAP merupakan suatu kendala dalam
menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana korporasi
harus dikenakanakan pertanggungjawaban pidananya.
Beberapa aturan tindak pidana di luar KUHP mengatur tentang korporasi sebagai subjek
hukum pidana; seperti Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1965 tentang tindak pidana
ekonomi, Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan undang-undang
lainnya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korporasi sebagai subjek
tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya, yaitu :
a. Undang~Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan);
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (UndangUndang Senjata Api);
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek);
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (UndangUndang Penyelesaian Perburuhan);
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing);
h. Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan);
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi berubah
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan);
k. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);
l. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan).
m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998).
Selain itu, terdapat peraturan khusus yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun
2016 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus dengan Pelaku Korporasi. Dengan
diterbitkannya Perma tersebut, maka tidak ada keraguan lagi bagi para penegak hukum untuk
menindak korporasi agar bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang telah dilakukan. Tidak
ada lagi kendala teknis dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam menentukan
terpenuhinya syarat formil dan materiel suatu surat dakwaan terhadap korporasi. Para penyidik,
penuntut umum, dan hakim memiliki dasar hukum dan pedoman yang kuat, dalam menegakkan
hukum pidana terhadap korporasi.
A. Kesimpulan
• Bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang
pengadaan barang dan jasa sektor konstruksi dapat diwujudkan dengan menggunakan
teori pemidanaan korporasi seperti: teori vicarious liability, teori identifikasi, strict
liability, teori Corporate Organs, dan teori doctrine of delegation, untuk menjerat
korporasi dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya.
• Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 20 ayat (2). Dari bunyi Pasal
20 ayat (2) tersebut bahwa dalam membebankan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menganut ajaran Identifikasi (doctrine of Identification). Ajaran identifikasi
ditunjukan pada kalimat “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20
ayat (2)).
• Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin No. 04/ Pid. Sus/2011/PT. BJM
tanggal 9 Juni 2011 oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin jo. Putusan No. 04/PID.
SUS/2011/PT. BJM tanggal 10 Agustus 2011 oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin
yang telah berkekuatan hukum tetap bisa menjadi dasar untuk memutus perkara yang
sama dan bisa ditingkatkan menjadi yurisprudensi apabila dipakai untuk memutus
perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi.
B. Saran
• Dalam menangani tindak pidana korupsi yang dalam hal ini termasuk yang dilakukan
oleh korporasi, aparat penegak hukum tidak hanya harus bertindak berdasarkan
undang-undang anti korupsi, tetapi juga harus mengimbanginya dengan cara atau
kebijakan lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Bagi aparat penegak
hukum, dengan perkembangan hukum pidana yang mengidentifikasi korporasi
sebagai subjek kejahatan, maka aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk
mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang korporasi yang melakukan
kejahatan.
• Dengan adanya Putusan No. 812/Pid. Sus/2011/ PN. BJM tanggal 9 Juni
2011 oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin jo. Putusan No. 04/PID. SUS/2011/PT.
BJM tanggal 10 Agustus 2011 oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin, bisa menjadi
pedoman terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi kepada aparat penegak
hukum kita mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim, KPK.
DAFTAR PUSTAKA
Rodliyah, Any Suryani dan Lalu Husni. “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Kompilasi Hukum
Volume, Volume 5 No. 1, Juni 2020.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana
Khusus dengan Pelaku Korporasi
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.33 Tahun
1999 tentang
UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang
Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor. (2013). Diakses melalui http://www.
hukumonline. com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor.