Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA


KORUPSI
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah tindak pidana korupsi

Dosen Pengampu : Dr. Rehnalemken Ginting S.H, M.H.

Disusun Oleh :

Fachri Nur Rizal E0020173

Gefbi Nopitasari E0020204

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI

SEBELAS MARET

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi adalah isu krusial dalam dunia penegakan hukum. Sepanjang tahun 2022,
menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi tercatat 149 kasus korupsi di Indonesia. Terjadi
peningkatan sebesar 34,23%. Pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya seorang individu atau
dikenal dengan istilah persoon, namun juga korporasi atau dikenal sebagai recht persoon dalam
hukum pidana. Dalam kasus yang melibatkan korporasi, selama ini pemidanaan hanya berfokus
pada pengurus korporasi. Pengaruh paradigma yang dianut Aparat Penegak Hukum mungkin
masih dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non
potest” yang dianut pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Pada KUHP
lama yang saat ini masih berlaku sebelum diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, paradigma yang terbangun adalah badan hukum
tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut peraturan saat ini, suatu korporasi melakukan
tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi. Pelaku
tindak pidana adalah manusia alamiah (natuurlijke persoon). Pasal 59 KUHP merupakan bukti
masih dominannya paradigma pemidanaan terhadap pengurus korporasi di Indonesia, yaitu :

“Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus,


anggota- anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota
badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran
tidak dipidana”

Padahal pengaturan terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur secara
khusus di UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang tersebut sudah sangat
jelas dan dapat memberikan landasan hukum untuk bisa memperkarakan korporasi sebagai
subjek hukum. Hal ini salah satunya tercermin pada pasal 1 angka 3 yang menyebutkan definisi
unsur setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Oleh karena itu, pandangan
pemidanaan yang hanya terfokus pada pengurus saja, hal ini mengakibatkan kendala dalam
pengembalian kerugian keuangan negara. Penulis meneliti bagaiman pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif hukum pidana Indonesia saat ini menurut undang-
undang yang berlaku maupun peraturan khusus yang mengaturnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi
menurut perspektif hukum pidana di Indonesia?
2. Analisis kasus tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
kasus korupsi
2. Mengetahui kondisi penegakan hukum di Indonesia terhadap kasus tindak pidana korupsi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana


korupsi
Istilah dalam kamus Belanda untuk korporasi ialah “corpora’tie” yang berarti
perhimpunan, perkumpulan atau persatuan. Dalam Kamus World Book 1999, disebutkan bahwa
korporasi adalah sekelompok orang yang mendapat kewenangan untuk bertindak sebagai orang
pribadi. Selain itu, korporasi dapat pula diberi pengertian sebagai sekelompok orang yang diberi
kewenangan untuk bertindak sebagai individu dalam kaitan dengan tujuan-tujuan bisnis. Dalam
bahasa Inggris disebut dengan “Corporation”. Menurut David J. Rachman dalam bukunya
“Business Today 6’th Edition”, secara umum korporasi memiliki lima ciri penting, yaitu:
1. merupakan subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus;
2. memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas;
3. memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu;
4. dimiliki oleh pemegang saham;
5. tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham
yang dimilikinya.

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam bidang perdata
sebagai badan hukum atau dalam Bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Beberapa bentuk
korporasi yaitu Perum, Persero, Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi. Menurut UU No. 8
tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang & UU Tindak Pidana Korupsi, korporasi
dapat berbentuk badan hukum dan badan yang bukan badan hukum. Pengertian korporasi lebih
ditekankan pada adanya sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki pimpinan serta
melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

Masalah pertanggungjawaban korporasi masih menjadi perdebatan walaupun


beberapa perundang-undangan di luar KUHP sudah mencantumkan korporasi sebagai subjek
tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi.
Penanganan perkara korupsi diatur dalam undang-undang khusus. Terkait korupsi yang
pelakunya adalah korporasi, peraturan Mahkamah Agung turut mengaturnya secara khusus.
Dalam hukum pidana terdapat beberapa teori mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
yaitu:
1. Teori Strict Liability (tanggung jawab mutlak) yaitu pertanggungjawaban pidana yang harus
dilakukan tanpa harus dibuktikan kesalahannya;
2. Teori Vicarious Liability (pertanggungjawaban pengganti) yaitu suatu pertanggungjawaban
pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain;
3. Teori Doctrine of Delegation yaitu teori yang menjadi dasar pembenar untuk membebankan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pegawai korporasi, dengan adanya pendelegasian
wewenang kepada seseorang untuk mewakili kepentingan perusahaan;
4. Teori Identifikasi yaitu teori yang digunakan untuk memberikan pembenaran
pertanggungjawaban pidana korporasi, meskipun pada kenyataannya korporasi bukanlah
sesuatu yang berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki
kalbu, artinya korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang
yang memiliki hubungan erat dengan korporasi;
5. Teori Corporate Organs, yaitu teori menunjuk pada orang-orang yang menjalankan
kewenangan dan pengendalian dalam badan hukum, dengan kata lain, orang yang
mengarahkan dan bertanggung jawab atas segala gerak-gerik badan hukum, orang yang
menetapkan kebijakan korporasi, dan orang yang menjadi otak dan pusat syaraf dari
korporasi tersebut, dengan demikian otak dari korporasi merupakan organ penting dari
korporasi sehingga bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi.

KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Salah satu indikasi yang dipakai
adalah adanya Pasal 59 dalam buku I KUHP yang menyatakan
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus,
anggota salah satu pengurus, atau komisari, mak hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus
atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi di luar tanggungannya”

Jadi, dalam pasal tersebut tidak mengancamkan pidana kepada orang yang tidak melakukan
tindak pidana. Artinya walaupun dia melakukan itu untuk korporasi atau badan hukum tersebut,
korporasi tidak dapat dikenakan pidana.
Selain hal tersebut KUHP menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan. Ini
sebagimana dimaksudkan dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Jadi yang diutamakan dalam
pasal ini adalah jiwanya. Sementara korporasi tidak mempunyai jiwa. Hanya manusia yang
mempunyai jiwa. Pasal 44 dan Pasal 59 terdapat dalam buku I ketentuan umum, maka jelas
dimaksudkan dalam Buku I ini bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak diperuntukkan
untuk korporasi. Namun dalam kenyataannya korporasi juga melakukan tindak pidana. Tidak
diaturnya hukum acara tentang korporasi dalam KUHAP merupakan suatu kendala dalam
menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana korporasi
harus dikenakanakan pertanggungjawaban pidananya.

Beberapa aturan tindak pidana di luar KUHP mengatur tentang korporasi sebagai subjek
hukum pidana; seperti Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1965 tentang tindak pidana
ekonomi, Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan undang-undang
lainnya. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai korporasi sebagai subjek
tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya, yaitu :
a. Undang~Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja);
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan);
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (UndangUndang Senjata Api);
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek);
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (UndangUndang Penyelesaian Perburuhan);
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing);
h. Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan);
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi berubah
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan);
k. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal);
l. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan).
m. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Perbankan; diganti Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998).

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pertanggungjawaban


pidana korporasi diatur dalam Pasal 20 ayat (2). Dari bunyi Pasal 20 ayat (2) tersebut bahwa
dalam membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran Identifikasi (doctrine of Identification).
Ajaran identifikasi ditunjukan pada kalimat “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal
20 ayat (2)). Undang-undang ini hanya memberikan ketentuan tindak pidana korupsi yang
dilakukan korporasi jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, namun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai
apa yang dimaksud dengan ‘hubungan kerja’ ataupun ‘hubungan lain’. Pertanggungjawaban
korporasi dalam kasus tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 20 UU Tipikor
yang menjabarkan 7 bentuk pertanggungjawaban korupsi korporasi :
1. Pertama, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka jika tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya.
2. Kedua, tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Ketiga, dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi
terus diwakili oleh pengurus.
4. Keempat, pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Kelima, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan.
6. Keenam, dalam tuntutan pidana yang dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut
disampaikan ke pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat dimana
pengurus berkantor.
7. Ketujuh, pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.

Selain itu, terdapat peraturan khusus yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun
2016 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus dengan Pelaku Korporasi. Dengan
diterbitkannya Perma tersebut, maka tidak ada keraguan lagi bagi para penegak hukum untuk
menindak korporasi agar bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang telah dilakukan. Tidak
ada lagi kendala teknis dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam menentukan
terpenuhinya syarat formil dan materiel suatu surat dakwaan terhadap korporasi. Para penyidik,
penuntut umum, dan hakim memiliki dasar hukum dan pedoman yang kuat, dalam menegakkan
hukum pidana terhadap korporasi.

B. Contoh kasus korupsi di Indonesia


Banyak kasus korupsi yang melibatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Baik
sebelum era reformasi maupun sesudah masa reformasi. Pertama adalah kasus PT DGI dengan
Tindak Pidana Korporasi dalam pekerjaan proyek Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit
Infeksi dan Periwisata Unviersitas Udayana pada Tahun Anggaran 2009-2010 PT DGI diduga
merugikan keuangan negara Rp 25 miliar dari proyek senilai Rp 138 miliar itu. “korporasi dapat
digunakan sebagai sarana menyembunyikan kejahatan atau memperoleh keuntungan tindak
pidana. Diantaranya dugaan penyimpangan rekayasa penyusunan harga perkiraan sementara,
tender yang dimenangkan oleh PT DGI, hingga aliran dana ke korporasi. Dalam pembangunan
proyek tersebut, pemerintah harus membayar biaya lebih tinggi dari harga yang seharusnya.
Sehingga mengakibatkan kerugian negara. PT DGI ini memberikan uang Rp 4,34 miliar kepada
Nazaruddin agar PT DGI menjadi pemenang dalam pengadaan proyek pembangunan Wisma
Atlet dan Gedung Serbaguna Sumatera Selatan.
Kedua, kasus PT Giri Jaladhi Wana yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara
korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010 sesuai putusan
Pengadilan Tinggi Banjarmasin (Hukumonline, 2013). Penetapan PT Giri Jaladhi Wana sebagai
tersangka berawal dari putusan inkracht empat terdakwa sebelumnya. Keempat terdakwa itu
adalah Direktur Utama PT Giri, Stephanus Widagdo, Direktur PT Giri Jaladhi Wana Bonafacius
Tjiptomo Subekti, mantan Walikota Banjarmasin Midfai Yabani, dan Kepala Dinas Pasar Kota
Banjarmasin Edwan Nizar. PT Giri Jaladhi Wana dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin No. 04/PID. SUS/2011/PT. BJM tanggal 10 Agustus
2011. Majelis banding yang diketuai Mas’ud Halim menganggap PT Giri Jaladhi Wana bersalah
melakukan korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Tipikor jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP. Majelis berpendapat Kontrak Bagi Tempat Usaha Pembangunan Pasar
Induk Antasari Kota Banjarmasin yang ditandatangani Stephanus selaku Direktur Utama,
sebagai tindakan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi serta untuk memberikan manfaat
bagi korporasi tersebut yaitu PT Giri Jaladhi Wana.
Dalam putusan kasasi No. 936. K/Pid. Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009, Stephanus telah
dijatuhi hukuman penjara 6 tahun penjara serta serta membayar uang pengganti Rp6, 3 miliar,
maka masih ada kekurangan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari Rp1, 3 miliar. Selisih
itu yang harus dibayarkan PT Giri Jaladhi Wana.
Dakwaan primer: melanggar Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001,
jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP yang bila dihubungkan dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
(a) Setiap orang termasuk korporasi;
(b) dengan melawan hukum;
(c) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
(d) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
(e) perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut.
Subsidair: melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo. Pasal 64
ayat 1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
a. setiap orang termasuk korporasi;
b. menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
c. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan
atau kedudukannya;
d. dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; dan
e. perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut.

Hakim menggunakan delik melawan hukum untuk melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Pasal 2 UUTPK ini mencantumkan kata dapat yang bersifat tidak absolut
adanya unsur kerugian negara yaitu dibuktikan dengan adanya unsur memperkaya atau
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, dengan sendirinya unsur
memperkaya atau menguntungkan tidak akan memiliki makna apa yang diperkaya atau
diuntungkan karena tindakan administrasi yang bersifat melawan hukum, melainkan apa yang
diperkaya atau diuntungkan adalah berkaitan dengan kerugian negara yang dilakukan secara
melawan hukum.
Menurut penulis keputusan hakim untuk menetapkan tindakan PT. Giri Jaladhi Wana
sebagai tindak pidana berlanjut sudah tepat dikarenakan sejak Perjanjian Kerja Sama mulai dari
Tahun 1998 sampai dengan Tahun 2007 tidak pernah membayar uang pengelolaan kepada Kas
Daerah Pemerintah Kota Banjarmasin, dan menurut laporan keuangan Pengelolaan Pasar Sentra
Antasari telah terkumpul dana Rp. 7. 650. 143. 645 (Tujuh Milyar Enam Ratus Lima Puluh Tiga
Ribu Enam Ratus Empat puluh Lima Rupiah). (Terdakwa) oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin
dengan putusannya tanggal 18 Desember 2009 nomor: 908/Pid. B/2008/PN. Bjm. telah
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan
berlanjut, serta dijatuhi pidana penjara selama 6 (Enam) tahun dan membayar uang pengganti
sebesar Rp. 6. 332. 361. 516. - (Enam milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh
satu ribu lima ratus enam belas rupiah) putusan tersebut telah dikuatkan oleh pengadilan tinggi
kalimantan selatan di Banjarmasin tanggal 24 februari 2009, nomor: 02/ Pid. Sus/2009 tanggal
25 Mei 2009 yang menolak permohonan kasasi dari terdakwa, sehingga putusan perkara tersebut
telah berkekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan demikian masih ada kekurangan/ selisih
kehilangan uang hasil pengelolaan Pasar sebesar Rp. 1. 317. 782. 129 (Satu milyar tiga ratus
tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan rupiah).
Putusan ini bisa menjadi dasar untuk memutus perkara yang sama dan bisa ditingkatkan
menjadi yurisprudensi apabila dipakai untuk memutus perkara yang sama terhadap pemidanaan
kepada korporasi. Hal ini didasarkan sesuai dengan penelitian BPHN tahun 1995 yang
menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi apabila putusan
hakim tersebut itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut (Kamil dan Fauzan, 2004):
(1) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-
undangannya;
(2) Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; (3)
Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
(3) Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
(4) Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
• Bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang
pengadaan barang dan jasa sektor konstruksi dapat diwujudkan dengan menggunakan
teori pemidanaan korporasi seperti: teori vicarious liability, teori identifikasi, strict
liability, teori Corporate Organs, dan teori doctrine of delegation, untuk menjerat
korporasi dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya.
• Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 20 ayat (2). Dari bunyi Pasal
20 ayat (2) tersebut bahwa dalam membebankan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menganut ajaran Identifikasi (doctrine of Identification). Ajaran identifikasi
ditunjukan pada kalimat “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20
ayat (2)).
• Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin No. 04/ Pid. Sus/2011/PT. BJM
tanggal 9 Juni 2011 oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin jo. Putusan No. 04/PID.
SUS/2011/PT. BJM tanggal 10 Agustus 2011 oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin
yang telah berkekuatan hukum tetap bisa menjadi dasar untuk memutus perkara yang
sama dan bisa ditingkatkan menjadi yurisprudensi apabila dipakai untuk memutus
perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi.

B. Saran

• Dalam menangani tindak pidana korupsi yang dalam hal ini termasuk yang dilakukan
oleh korporasi, aparat penegak hukum tidak hanya harus bertindak berdasarkan
undang-undang anti korupsi, tetapi juga harus mengimbanginya dengan cara atau
kebijakan lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi. Bagi aparat penegak
hukum, dengan perkembangan hukum pidana yang mengidentifikasi korporasi
sebagai subjek kejahatan, maka aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk
mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang korporasi yang melakukan
kejahatan.

• Perlu adanya suatu pengkajian kembali mengenai sistem pertanggungjawaban


pidana terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi, sebab meskipun bukti-bukti
cukup untuk melakukan penuntutan, tetapi pada saat pemidanaan korporasi tidak
dapat dijatuhi pidana atau penjara, dan hanya dihukum denda atau pencabutan
izinnya, hal ini tentunya tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

• Dengan adanya Putusan No. 812/Pid. Sus/2011/ PN. BJM tanggal 9 Juni
2011 oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin jo. Putusan No. 04/PID. SUS/2011/PT.
BJM tanggal 10 Agustus 2011 oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin, bisa menjadi
pedoman terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi kepada aparat penegak
hukum kita mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim, KPK.
DAFTAR PUSTAKA

Rodliyah, Any Suryani dan Lalu Husni. “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Corporate Crime) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”. Jurnal Kompilasi Hukum
Volume, Volume 5 No. 1, Juni 2020.

Kamil, H. Ahmad dan M. Fauzan. (2004). Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta:


Kencana.

Butarbutar, R. (2017). “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi


Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Bidang Konstruksi”. Jurnal Penelitian Hukum
Legalitas, 9(1), 51. https://doi.org/10.31479/jphl.v9i1.31

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana
Khusus dengan Pelaku Korporasi

Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.33 Tahun
1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi Korporasi dan Bentuk Pertanggungjawaban Pidananya. (2022). Diakses melalui


https://www.hukumonline.com/berita/a/korupsi-korporasi-lt61dcc1ac7d662?page=all,

Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor. (2013). Diakses melalui http://www.
hukumonline. com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor.

Anda mungkin juga menyukai