Anda di halaman 1dari 16

PENERAPAN ASAS KESALAHAN SEBAGAI DASAR

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Haris Yudhianto
STKIP PGRI Trenggalek
Email : apa.katadata@gmail.com
Jalan Supriyadi No. 22 KP 66319 Trenggalek

Abstrak: Pada dasarnya hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas kesalahan dalam
mempertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana. Namun dalam
perkembangannya yang mengikuti perkembangan dunia (globalisasi), perkembangan
masyarakat dalam bidang teknologi (komputer), bidang ekonomi, bidang perdagangan
maupun bidang-bidang kehidupan yang lain maka memaksa semua negara di dunia untuk
juga selalu melakukan pembaruan dalam berbagai sektor bidang kehidupan termasuk
tentunya pembaruan dalam bidang hukum pidana. Dalam hukum pidana di negara-negara
modern, pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan kepada seseorang, meskipun
orang itu tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Bahkan di negara-negara yang menganut
sistem hukum kebiasaan (Common Law System) bukan hanya orang yang menjadi subyek
hukum dalam hukum pidana tetapi juga korporasi bisa menjadi subyek hukum dalam hukum
pidana, karenanya korporasi juga harus mempunyai pertanggungjawaban pidana apabila
melakukan kejahatan

Kata Kunci: Penerapan asas kesalahan, pertanggungjawaban, pidana korporasi

Abstract: Basically, Indonesian criminal law (KUHP) adheres to the principle of guilt in
responsible for someone who has committed a criminal act. But in its development that
follows the development of the world (globalization), the development of society in the field
of technology (computers), the field of economics, the field of trade and other areas of life
force all countries in the world to always make reforms in various sectors of life including of
course renewal in the field of criminal law. In criminal law in modern countries, criminal
liability can also be imposed on someone, even though the person has no fault at all. Even in
countries that adhere to the customary law system (Common Law System) not only people
who are subject to law in criminal law but also corporations can become legal subjects in
criminal law, therefore corporations must also have criminal liability when committing a
crime.

Keywords: Application of the guilt principle, accountability, corporate crime

PENDAHULUAN Reus) yang berkaitan dengan subyek atau


Hanafi (1999 ; 27) dalam hukum pelaku perbuatan pidana, dan mengenai
Pidana ada dua hal penting yang perlu kesalahan (dalam bahasa latin ajaran ini di
mendapat perhatian dalam proses kenal dengan sebutan mens-rea) yang
pemberian sanksi pidana, yaitu mengenai berkaitan dengan masalah per-
hal melakukan perbuatan pidana (Actus tanggungjawaban pidana.
197
Moeljatno (1987 ; 5) mengenai sebagai dasar pertanggungjawaban pidana
subyek atau pelaku perbuatan pidana secara korporasi, mengingat korporasi bukanlah
umum hukum pidana hanya mengakui manusia yang mempunyai hati, perasaan
orang sebagai pelaku, sedangkan mengenai dan kesalahan baik berupa kesengajaan
pertanggungjawaban pidana dianut asas maupun kealpaan.
kesalahan yang berbunyi “Tidak dipidana, Harus kita akui bahwa asas
jika tidak ada kesalahan”, dalam bahasa kesalahan merupakan asas yang sangat
Belanda “Green Straf Zonder Schuld”, fundamental dalam hukum pidana sehingga
dalam bahasa Jerman “Keine Straf Ohne asas itu sangat penting dan dianggap adil
Schuld”. Sedang dalam hukum pidana dalam mempertanggungjawabkan pelaku
Inggris asas ini dikenal dalam bahasa latin delik. Dikatakan demikian karena pidana
yang berbunyi “Actus Non Facit Reum, hanya dapat dijatuhkan kepada pelaku delik
Misis Mens Sit Rea” (An Act does not make yang mempunyai kesalahan dan yang
a person guilty, unless the mind is guilty). mampu bertanggungjawab.
Dan asas ini adalah asas yang ada dalam Dalam peraturan perundang-
hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam undangan diluar KUHP khususnya yang
anggapan masyarakat dan tidak kurang mengatur tentang kejahatan korporasi yang
mutlak berlakunya daripada asas yang diadopsi dari Negara-negara Anglo Saxon
tertulis dalam perundang-undangan. yang menganut sistem hukum (kebiasaan)
Jawa Pos (2009:29) Memperhatikan Common Law System, padahal KUHP kita
dampak negatif dari pembangunan dalam yang menganut sistem hukum sipil (Civiel
bidang ekonomi, keuangan dan Law System) belum mengakui korporasi
perdagangan tersebut, khususnya sebagai subyek hukum pidana, maka timbul
munculnya kejahatan yang dilakukan oleh pertanyaan bagamana penerapan asas
korporasi, wajar jika pusat perhatian kesalahan sebagai dasar per-
penegakan hukum di tujukan pada upaya tanggungjawaban pidana korporasi ?
penanggulangannya. Salah satu Berdasarkan uraian setiap alinea
penanggulangan yang masih diper- dalam latar belakang masalah tersebut di
masalahkan adalah penggunaan sarana atas, maka di ambil suatu masalah yang
hukum pidana. Permasalahan tersebut sesuai dengan judul penelitian yang di
adalah bagaimana penerapan asas kesalahan anggap sangat menarik yaitu :

198
Bagaimanakah terjadinya penerapan asas pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia.
kesalahan sebagai dasar per- Sedangkan badan hukum (recht persoon,
tanggungjawaban pidana korporasi ? corporation) yang dipengaruhi oleh
Dalam penulisan penelitian yang pemikiran Von Savigny dengan teori fiksi
berbentuk, penulis mempunyai tujuan yang (fiction theory.) Setiyono (2005 ; 62) hal ini
hendak dicapai yaitu : Untuk mengetahui berbeda dengan di Belanda, sejak tahun
dan menganalisis penerapan asas kesalahan 1976 korporasi sudah menjadi subyek
sebagai dasar pertanggungjawaban pidana tindak pidana dan di atur dalam ketentuan
korporasi. umum hukum pidana tak diakui dalam
Adapun manfaat yang diharapkan hukum pidana.
dari penelitian ini adalah: Dalam perkembangannya ada usaha
a. Teoritis : Memberikan sumbangan untuk menjadikan korporasi sebagai subyek
pemikiran pada hukum pidana hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya
terutama mengembangkan asas hak dan kewajiban yang melekat padanya.
kesalahan sebagai dasar Usaha tersebut di latar belakangi oleh fakta
pertanggungjawaban pidana bahwa tak jarang korporasi mendapat
korporasi. keuntungan yang banyak dari hasil
b. Praktis : sebagai bahan yang dapat kejahatan yang dilakukan oleh
digunakan untuk dijadikan pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian
pembaharuan hukum pidana yang di alami oleh masyarakat yang di
khususnya dalam peraturan sebabkan oleh tindakan pengurus-pengurus
perundang-undangan tentang korporasi. Oleh karenanya dianggap adil
kejahatan korporasi oleh pembuat kalau korporasi tidak dikenakan hak dan
kebijakan yaitu badan legieslatif kewajiban seperti halnya manusia.
maupun eksekutief. Kenyataan itulah yang kemudian
Pengaturan Korporasi sebagi Subyek memunculkan tahap-tahap perkembangan
Hukum Pidana korporasi sebagai subyek hukum dalam
Hamzah H. (1996 ; 30) Pada hukum pidana.
dasarnya dalam ketentuan umum KUHP Di Indonesia pengaturan korporasi
yang sampai saat ini digunakan, Indonesia sebagai subyek hukum pidana ditemukan
masih menganut bahwa suatu perbuatan dalam berbagai peraturan perundang-

199
undangan diluar KUHP yang secara khusus dapat dijatuhkan kepada korporasi biasanya
mencantumkan korporasi sebagai subyek berupa pidana denda atau pidana tindakan.
hukum pidana. Peraturan perundang- Seperti telah dikemukakan sebelumnya
undangan pertama kali yang menempatkan bahwa mengenai pertanggungjawaban
korporasi sebagai subyek hukum pidana pidana korporasi sama sekali tidak diatur
dan secara langsung dapat di dalam KUHP Indonesia yang menganut
pertanggungjawabkan secara pidana adalah Civiel Law System, untuk itu pengaturan
Undang-Undang Nomor 7/Drt tahun 1955 korpoasi sebagai subyek hukum pidana dan
tentang Pengusutan, Penuntutan dan pertanggungjawaban korporasi akan kita
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dengan lihat dari beberapa peraturan perundang-
demikian di Indonesia korporasi sejak tahun undangan tentang tindak pidana khusus
1955 diakui sebagai subyek hukum pidana yaitu khususnya dalam peraturan
terbatas pada perundang-undangan di luar perundang-undangan yang mengatur
KUHP, tetapi pada KUHP korporasi tentang kejahatan yang dilakukan oleh
sebagai subyek hukum pidana sampai saat korporasi. Untuk lebih jelasnya seperti bisa
ini belum diakui. kita lihat dari penafsiran rumusan pasal-
Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana pasal dalam beberapa peraturan perundang-
Korporasi dalam Peraturan Perundang- undangan
undangan.
Pada mulanya orang menolak untuk METODE PENELITIAN
mempertangungjawabkan korporasi dalam Pendekatan Masalah
perkara pidana. Alasannya korporasi tidak Penulisan ini menggunakan
mempunyai perasaan seperti manusia penelitian Yuridis Normatif dan penelitian
sehingga dia tidak mungkin melakukan komparatif. Penelitian Yuridis Normatif
kesalahan. Disamping itu pidana penjara lebih menekankan pada adanya sinkronisasi
tidak mungkin di terapkan terhadap dari beberapa doktrin yang dianut dalam
korporasi. Namun mengingat dampak hukum pidana. Sementara itu penelitian
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan komparatif bertujuan untuk melakukan
korporasi maka timbul pemikiran untuk studi perbandingan dengan hukum pidana
mempertanggungjawabkan korporasi dalam negara-negara lain, baik negara yang
perkara pidana. Tentu saja pidana yang menganut sistem hukum sipil (Civiel Law

200
Sistem) maupun yang menganut sistem 2. Undang-undang Nomor 5 tahun
hukum kebiasaan (Common Law Sistem). 1999 tentang Larangan Praktek
Adapun penulisan penelitian ini Monopoli dan Persaingan Usaha
menggunakan metode deduktif, yaitu suatu Tidak Sehat.
metode pembahasan yang diawali dari 3. Undang-undang Nomor 8 tahun
masalah-masalah yang bersifat umum untuk 1999 tentang Perlindungan
kemudian menuju kepada masalah-masalah Konsumen.
yang bersifat khusus, yang merupakan 4. Undang-undang Nomor 20 tahun
suatu kesimpulan sebagai inti keseluruhan 2001 tentang Tindak Pidana
materinya. Metode deduktif, dikerjakan Korupsi.
untuk menyimpulkan pengetahuan- 5. Undang-undang Nomor 15 tahun
pengetahuan konkret mengenai kaidah yang 2002 tentang Tindak Pidana
benar dan tepat untuk diterapkan untuk Pencucian Uang.
menyelesaikan suatu permasalahan 6. Undang-undang yang berkaitan
(perkara) tertentu. langsung dengan judul dan
Sumber Bahan Hukum permasalahan.
Untuk memudahkan di dalam b. Sumber Bahan Hukum Sekunder
penulisan penelitian ini penulis mencari yang terdiri :
sumber bahan hukum yang diperlukan. Literatur-literatur, media massa,
Adapun sumber bahan hukum adalah sejenisnya yang secara langsung maupun
sumber darimana bahan hukum itu tidak, yang keseluruhannya dapat
diperoleh karena mengingat penelitian menunjang dalam penulisan penelitian guna
merupakan aktifitas ilmiah yang sistematis disajikan dan sekaligus dapat digunakan
terarah dan bertujuan untuk pengembangan sebagai landasan teori.
ilmu pengetahuan.Sumber bahan hukum ini c. Sumber Bahan Hukum Tersier yang
terdiri dari : terdiri dari : Peter Mahmud Marzuki
a. Sumber Bahan Hukum Primer, (2008 ; 141-142) Bahan Non Hukum
antara lain : yang terdiri dari Buku-buku Politik, dll.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pidana, Moeljatno, PT Bina Aksara, a. Menginventarisasi bahan hukum baik
Jakarta 1992 bahan hukum primer dan bahan hukum

201
sekunder yang relevan dengan masalah pendalamannya dikaitkan atau dilengkapi
sistem pertanggungjawaban pidana. dengan analisa komparatif. Dalam
b. Mengidentifikasi bahan hukum melalui penulisan penelitian ini digunakan metode
prosedur atau tata cara seleksi , memilih penelitian yang sesuai dengan ketentuan
dan memilah yang relevan dengan yang bersifat umum, ialah mengandung
substansi hukum yang diketengahkan kebenaran yang bersifat obyektif sehingga
Teknik Pengolahan Bahan Hukum penulisan tersebut merupakan pengetahuan
a. Mengklarifikasi bahan hukum, ilmiah yang kebenarannya dapat diuji oleh
khususnya bahan hukum primer agar siapapun yang berhak atau berkehendak
lebih mudah untuk memilahnya dan untuk mengujinya.
menyatukan sesuai dengan hakekat,
jenis dan sumber hukumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN
b. Melakukan sistematisasi bahan hukum Sistem Pertanggung jawaban Pidana
untuk mendeskripsikan dan berdasarkan Asas Kesalahan
menganalisis isi dan struktur bahan Berbicara pertanggungjawaban
hukum yang sekunder maupun bahan pidana (strafbaarheid) mau tidak mau harus
hukum tersier. didahului dengan pembicaraan tentang
Analisa Bahan Hukum perbuatan pidana (strafbaarfeit). Seseorang
Bambang Sunggono (2000 ; 30) tidak bisa di mintai pertanggungjawaban
adapun metode analisa yang digunakan pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan
dalam penelitian ini ialah Metode analisis perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika
kualitatif, dimana akan didapatkan tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab
informasi yang bersifat kualitatif untuk atas suatu perbuatan sedangkan ia tidak
mendapatkan gambaran yang jelas terutama melakukan perbuatan pidana itu.
terkait denga penelitian ini. Bahan hukum Dalam hukum pidana sistem
yang didapat di lapangan akan diuraikan pertanggungjawaban (liability) yang
dan dihubungkan dengan perundang- demikian inilah yang dikenal dengan ajaran
undangan yang berlaku dan ilmu hukum kesalahan. Bahwa ajaran kesalahan ini
Oleh karena itu analisis yang digunakan dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan
adalah analisis dengan sifat deskriptif mens rea, yaitu suatu doktrin yang
analistis dan kritis sedangkan untuk dilandaskan pada maxim Actus non facit

202
reum nisi mens sit rea yang berarti “suatu Doktrin mens rea klasik dan
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang pendapat Lord Denning harus diartikan
bersalah kecuali jika pikiran orang itu bahwa suatu perbuatan merupakan suatu
jahat” perbuatan pidana, terutama harus dilihat
Pertanggungjawaban pidana dapat apakah perbuatan tersebut secara moral
dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan salah, terlepas dari apakah perbuatan
dengan keadaan-keadaan mental dari tersebut dilarang oleh undang-undang atau
tersangka. Hubungan antara keadaan mental tidak. Dalam kenyataan tampaknya doktrin
itu dengan perbuatan yang dilakukan mens rea klasik dan pendapat Lord
sedemikian rupa sehingga orang itu dicela Denning masih sangat berpengaruh,
karenanya. Pertanggungjawaban pidana itu selanjutnya dikemukakan bahwa penafsiran
selalu berhubungan dengan kesalahan, baik terhadap hukum sepenuhnya terletak pada
dalam bentuk kesengajaan maupun dalam luas sempitnya penafsiran tentang : a)
bentuk kealpaan. apakah perbuatan tersebut benar telah
Roeslan Saleh (1983 ; 23) doktrin dilakukan tersangka ? ; b) apakah tersangka
mens rea secara klasik diartikan setiap dapat dipertanggungjawabkan secara
perkara pelanggaran hukum yang dilakukan moral?
disebabkan pada diri orang itu sudah Unsur demikian itu oleh hukum di
melekat sikap batin yang jahat (evil will). haruskan ada dalam pikiran seseorang
Oleh karenanya perbuatan tersebut untuk dapat mengatakan bahwa ia telah
dianggap merupakan dosa. Lord Denning, melakukan perbuatan pidana sehingga akan
seorang hakim terkemuka di Inggris terjamin bahwa tidak seorangpun akan
memberikan komentar atas doktrin mens dipidana tanpa ada syarat utama yang
rea, dengan mengatakan “In order that act disebut moral culpability. Penyebabnya
should be punishable it must be morraly adalah memang yang dimaksudkan hanya
blame-worthy. It must be a sin”. Pendapat memidana mereka yang telah dengan
Lord Denning masih menitikberatkan asas sengaja melakukan perbuatan-perbuatan
kesalahan pada pelaku kejahatan yang yang menurut moral salah dan menurut
hakekatnya sama dengan pandangan klasik undang-undang juga terlarang.
tersebut diatas. Berdasar uraian tersebut dapat
diterangkan bahwa asas kesalahan

203
merupakan asas yang sangat fundamental dengan undang-undang Nomor 4 tahun
dalam hukum pidana. Roeslan Saleh (1983 ; 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
23) adalah tidak adil apabila menjatuhkan Kekuasaan Kehakiman dan undang-undang
pidana kepada seseorang yang melanggar Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
ketentuan pidana, sebenarnya orang itu Undang-undang Hukum Acara Pidana.
tidak mempunyai kesalahan. Jadi doktrin Di dalam KUHP, dengan men-
mens rea itu disebut sebagai dasar dari cermati pasal-pasal yang ada didalamnya
hukum pidana. Dalam praktek bahkan walaupun tidak disebutkan secara eksplisit,
ditambahkan orang bahwa per- rumusan pasal-pasal tersebut pada dasarnya
tanggungjawaban pidana menjadi lenyap mensyaratkan adanya unsur kesalahan baik
jika ada salah satu dari keadaan-keadaan dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan
atau kondisi-kondisi yang dianggap karenanya kita dapat menyimpulkan bahwa
memaafkan. Menurut pendapat penulis KUHP menganut asas kesalahan. Di
itulah sebenarnya yang menjadi alasan samping itu juga adanya asas yang sudah
mendasar bagi negara-negara di dunia sangat dikenal dalam hukum pidana kita
khususnya negara-negara Eropa yaitu azas yang berbunyi “Tidak dipidana
Kontinental yang menganut sistem hukum jika tak ada kesalahan”. Dalam bahasa
Civiel Law System untuk mensyaratkan Belanda “Green straf zonder schuld”.
adanya kesalahan di dalam menjatuhkan Di dalam undang-undang Nomor 14
pidana kepada pelaku yang melanggar tahun 1970 yang di ubah dengan undang-
ketentuan hukum pidana. undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Hukum pidana Indonesia pada Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
dasarnya juga menganut asas kesalahan, hal Kehakiman, masalah kesalahan itu diatur
ini selain seperti dijelaskan diatas bahwa dalam pasal 6 ayat (2) dan pasal 8 yang
asas kesalahan adalah asas yang ketentuan selengkapnya sebagai berikut:
fundamental bagi negara-negara yang Pasal 6 ayat (2) Tiada seorang juapun dapat
menganut sistem hukum Civiel Law System dijatuhi pidana kecuali apabila Pengadilan,
yang tentunya termasuk KUHP Indonesia, karena alat pembuktian yang sah menurut
juga hal ini bisa dilihat di berbagai undang-undang mendapat keyakinan,
ketentuan undang-undang. Seperti undang- bahwa seorang yang dianggap bertanggung
undang Nomor 14 tahun 1970 yang di ubah

204
jawab telah bersalah atas perbuatan yang Bukti-bukti yang terdapat dalam
dituduhkan atas dirinya. ketentuan undang-undang tersebut diatas
Pasal 8 Setiap orang yang disangka, sudah dianggap cukup untuk menegaskan
ditangkap, ditahan, di tuntut dan atau di bahwa hukum pidana kita menganut asas
hadapkan di depan Pengadilan, wajib kesalahan didalam menerapkan per-
dianggap tidak bersalah sebelum adanya tanggungjawaban pidana kepada pelaku
putusan pengadilan yang menyatakan yang melanggar ketentuan hukum pidana.
kesalahanya dan memperoleh kekuatan Dalam hal ini Moeljatno (1981 ; 155)
hukum yang tetap. menyatakan orang tidak mungkin
Di dalam undang-undang Nomor 8 dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana)
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang kalau dia tidak melakukan perbuatan
Hukum Acara Pidana masalah kesalahan itu pidana. Akan tetapi meskipun melakukan
diatur dalam pasal 183, 191,193,197 ayat perbuatan pidana tidak selalu dia dapat
(1) huruf h yang ketentuan selengkapnya diberikan pidana.
sebagai berikut: Roeslan Saleh (1982 ; 75)Jadi,
Pasal 183 dipidana atau tidaknya orang yang
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melakukan perbuatan pidana bergantung
kepada seseorang kecuali apabila dengan pada soal, apakah dia dalam melakukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tidak. Apabila orang yang melakukan
tindak pidana benar-benar terjadi dan perbuatan pidana itu mempunyai kesalahan
bahwa terdakwalah yang bersalah maka tentu ia akan dipidana. Akan tetapi
melakukannya. apabila ia tidak mempunyai kesalahan,
Pasal 197 walaupun ia telah melakukan perbuatan
(1) Surat putusan pemidanaan memuat: yang terlarang, tercela dan melanggar
(h) Pernyataan kesalahan terdakwa, hukum, tentu ia tidak dapat dipidana. Asas
pernyataan telah terpenuhinya semua unsur kesalahan merupakan dasar dapat
dalam rumusan tindak pidana disertai dipidananya si pembuat.
dengan kualifikasi dan pemidanaan atau Dengan menganut asas kesalahan
tindakan yang dijatuhkan. didalam menjatuhkan pidana kepada pelaku
delik, Roeslan Saleh (1983:23) me-

205
misahkan antara perbuatan pidana dengan atau diketahui oleh pembuat ketika
pertanggungjawaban pidana, yang disebut melakukan perbuatan.
ajaran dualisme. Ajaran itu memandang Moeljatno lebih cenderung memilih
bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua atau sependapat dengan teori pengetahuan.
tahap yang perlu dilakukan. Pertama, hakim Alasannya karena dalam kehendak dengan
harus menanyakan apakah terdakwa telah sendirinya diliputi pengetahuan. Untuk
melakukan perbuatan yang dilarang oleh menghendaki sesuatu orang lebih dahulu
suatu aturan undang-undang dengan disertai sudah harus mempunyai gambaran (tahu,
ancaman pidana bagi barangsiapa yang mengetahui) tentang sesuatu itu. Akan
melanggar aturan itu ?. Kedua, apabila yang tetapi apa yang diketahui seseorang belum
pertama diatas menghasilkan suatu tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula
kesimpulan bahwa memang terdakwa telah kehendak merupakan arah, maksud atau
melakukan perbuatan yang dilarang oleh tujuan hal yang berhubungan dengan motif
suatu aturan undang-undang ditanyakan dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya
lebih lanjut apakah terdakwa tersebut dapat adalah bahwa untuk menentukan sesuatu
dipertanggungjawabkan atau tidak perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa :
mengenai perbuatannya itu ? a) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu
Dengan demikian antara perbuatan sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan
pidana (actus reus) dengan sikap batin tujuan yang hendak dicapai; b) antara motif,
terdakwa (mens rea) harus ada hubungan. perbuatan dan tujuan harus ada hubungan
Dengan kata lain tindakan pelaku kausal dalam batin terdakwa. Untuk
didasarkan atas sikap batinnya. Sikap batin memperjelas keterangan tersebut,
terdakwa itu dapat berupa kesengajaan Moeljatno (1981:172-173) menggambarkan
ataupun kealpaan. Mengenai pandangan dengan contoh kasus sebagai berikut:
tentang kesengajaan ada dua teori yang “Kalau dapat dibuktikan bahwa terdakwa
dianut, yaitu teori kehendak dan teori menganiaya seseorang karena orang itu
pengetahuan. Teori kehendak memandang beberapa hari yang lalu telah mengganggu
bahwa tiap bentuk kesengajaan itu hanyalah tunangannya, maka di situ ada motif dan
apa yang dikehendaki oleh pembuatnya. tujuan untuk penganiayaan, sehingga dapat
Sementara teori pengetahuan memandang ditentukan bahwa penganiayaan dilakukan
bahwa adalah apakah yang dibayangkan

206
dengan kesengajaan. Ia memang ini adalah sangat mendekati nilai keadilan
menghendaki perbuatan tersebut”. didalam menjatuhkan pidana karena sesuai
Dari penggambaran diatas menurut dengan tingkat kesalahan terdakwa.
pendapat penulis dijelaskan bahwa Bentuk kesalahan kedua yaitu
pembuktian terhadap teori kehendak itu kealpaan yang menunjukkan bahwa
tidak mudah dan memakan banyak waktu terdakwa tidak bermaksud melanggar
dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan larangan undang-undang, tetapi ia tidak
diterima sebagai pengetahuan, pembuktian mengindahkan larangan itu. Ia alpa, teledor,
lebih singkat karena hanya berhubungan lalai dalam melakukan perbuatan tersebut.
dengan unsur-unsur perbuatan yang Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang
dilakukan saja. Tidak ada hubungan kausal mengindahkan larangan sehingga ia tidak
antara motif dengan perbuatan. Hanya berhati-hati dalam melakukan sesuatu
berhubungan dengan pertanyaan apakah perbuatan yang obyektif kausal
terdakwa mengetahui, menginsafi atau menimbulkan keadaan yang dilarang.
mengerti perbuatannya, yaitu kelakuan baik Di dalam perkembanganya asas
yang dilakukan maupun akibat dan kesalahan itu tidak dapat lagi dipakai
keadaan-keadaan yang menyertainya. sebagai satu-satunya asas dalam
Di dalam perkembangannya secara mempertanggungjawabkan seseorang yang
teoritis bentuk kesalahan berupa melakukan perbuatan pidana. Akibat
kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga kemajuan bidang ekonomi, teknologi
corak, yaitu kesengajaan sebagai kepastian, (komputer) serta pengaruh globalisasi maka
kesengajaan sebagai kemungkinan dan muncullah perkembangan sistem
dolus eventualis (apa boleh buat). pertanggungjawaban pidana dalam bentuk
Perkembangan pemikiran dalam teori itu yang lain, yaitu penyimpangan asas
ternyata juga diikuti oleh praktek kesalahan terhadap perbuatan pidana
pengadilan di Indonesia. Didalam tertentu utamanya terhadap korporasi,
putusannya hakim menjatuhkan putusan karena apabila hanya pengurus yang di
tidak semata-mata kesengajaan sebagai pidana karena kejahatan yang dilakukan
sebuah kepastian, tetapi juga mengikuti oleh korporasi sedang hasil kejahatan itu
corak-corak yang lain. Menurut pendapat sedemikian besar (banyak) nilainya maka
penulis praktek pengadilan yang semacam terasa tidak adil apabila pengurus yang

207
menjalani pidananya tetapi korporasinya mengenai tolok ukur penerimaan sistem
masih tetap eksis dan menikmati hasil pertanggungawaban pidana menyimpang
kejahatan yang telah dilakukan oleh dari asas kesalahan di Indonesia, yaitu
korporasi tersebut. upaya penulis untuk menggambarkan
Penerapan Asas Kesalahan Sebagai penerimaan sistem pertanggungjawaban
Dasar Pertanggungjawaban Pidana pidana dalam hukum positif kita dari waktu
Uraian dalam penelitian ini akan ke waktu, khususnya suatu hasil analisis
menganalisis dan menjawab permasalahan yang menunjukkan adanya kecenderungan
tentang bagaimanakah terjadinya untuk proses pembaruan sistem
penerapan asas kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana dari KUHP
pertanggungjawaban pidana korporasi. Indonesia yang hanya mengakui manusia
Untuk mejawab permasalahan tersebut sebagai subyek hukum pidana dan asas
maka penulis akan menganalisis kesalahan sebagai pertanggungjawaban
permasalahan tersebut menjadi tiga bagian, pidana menuju perkembangan baru yang
dengan pertimbangan agar dapat dijelaskan terjadi dalam peraturan perundang-
lewat paparan analisis mengenai penerapan undangan yang mengatur tentang kejahatan
asas kesalahan sebagai dasar korporasi yaitu mengakui korporasi sebagai
pertanggungjawaban pidana melalui subyek hukum pidana dan menunjukkan
ketentuan peraturan perundang-undangan adanya kecenderungan penyimpangan asas
yang berlaku di Indonesia. kesalahan sebagai pertanggungjawaban
Pembagian menjadi tiga bagian pidana korporasi.
paparan analisis itu akan diuraikan sebagai Penerimaan Sistem Pertanggungjawaban
berikut : Pertama mengenai penerapan asas Pidana Menyimpang dari Asas
kesalahan sebagai dasar Kesalahan di Indonesia
pertanggungjawaban pidana dalam tindak Berdasar uraian dalam pembahasan
pidana yang diatur KUHP. Kedua mengenai tentang penerapan asas kesalahan sebagai
penerapan asas kesalahan sebagai dasar dasar pertanggungjawaban pidana korporasi
pertanggungjawaban pidana dalam tindak di atas dapat diambil keterangan bahwa
pidana yang di atur undang- undang tentang telah terjadi kecenderungan dalam
kejahatan korporasi. Selanjutnya bagian peraturan perundang-undangan tentang
akhir dari bab III ini akan menguraikan

208
kejahatan korporasi yang mengarah ke pelanggaran peraturan dalam konteks yang
penyimpangan asas kesalahan dimaksud. menyangkut kepentingan umum. Tetapi
Terjadinya penyimpangan asas tidak untuk kejahatan mala in se yaitu
kesalahan itu dimungkinkan karena kejahatan yang dilakukan karena pelaku
penegakan hukum terhadap kejahatan memang mempunyai sifat jahat seperti jenis
tertentu dengan berdasar pada asas kejahatan perkosaan, pembunuhan dan lain
kesalahan mengalami kesulitan dan sebagainya. Pendapat kedua yang tidak
hambatan yang cukup berarti dalam rangka setuju beralasan bahwa penyimpangan asas
penanggulangan kejahatan yang semakin kesalahan dirasakan tidak adil dan
tinggi dan kompleks baik dari segi kuantitas bertentangan dengan hak asasi seseorang
ataupun segi kualitas. Salah satu hambatan yang disangka melakukan perbuatan
adalah pembuktian adanya kesalahan itu pidana.
bagi aparat penegak hukum tidak mudah Sehubungan dengan perkembangan
dan terjadinya penyimpangan peradilan, sistem pertanggungjawaban pidana di
apalagi terhadap kejahatan-kejahatan Indonesia yang di tandai dengan adanya
berdimensi baru yang melibatkan teknologi kecenderungan untuk menerima
tinggi dan di lakukan oleh perusahaan- penyimpangan asas kesalahan sebagai dasar
perusahaan trans-nasional. pertanggangjawaban pidana korporasi
Dalam usaha mengatasi per- terhadap perbuatan-perbuatan pidana
kembangan permasalahan hukum itu tertentu.1 Berikutnya muncul pertanyaan
sebagian ahli hukum berpendapat untuk apakah terjadinya perkembangan sistem
diadakan pengecualian / penyimpangan pertanggungjawaban pidana yang demikian
terhadap asas kesalahan. Pendapat seperti itu dapat diterima di Indonesia ?
itu ternyata telah menimbulkan beda Selanjutnya alasan apa yang menjadi tolok
pendapat, yang setuju berpendapat bahwa ukur penerimaan sistem per-
kejahatan yang diterapkan dengan tanggungjawaban pidana menyimpang dari
penyimpangan asas kesalahan itu dibatasi asas kesalahan di Indonesia ? untuk
pada kejahatan-kejahatan tertentu, yakni menjawab pertanyaan tersebut maka akan
kejahatan yang tergolong mala prohibita dikemukakan alasan teoritis yang menjadi
yaitu kejahatan yang sifatnya ringan dan tolok ukur penerimaan tersebut, yaitu
biasanya kejahatan itu berkaitan dengan

209
masing-masing terhadap konsep Enterprise yang terjadi dalam masyarakat yang
Liability, Direct Liability, Strict Liability demikian pesat. Landasan hukum lainya
dan Vicarious Liability. yaitu kalau kita lihat dalam konsep RUU
Untuk mengetahui alasan KUHP tahun 2004 ternyata penyimpangan
penerimaan konsep Enterprise Liability asas kesalahan tersebut sudah diterima
Direct Liability, Strict Liability dan dalam konsep KUHP baru, berarti melihat
Vicarious Liability di Indonesia, ada hukum pidana dalam perspektif ius
baiknya melihat kenyataan bahwa beberapa constituendum telah diakui adanya
undang-undang tentang kejahatan korporasi penyimpangan asas kesalahan.
yang dalam pasal-pasalnya memberikan Alasan selanjutnya dihubungkan
ketentuan yang menyimpang dari asas dengan dasar negara Pancasila apakah
kesalahan pada saat ini telah diterima oleh bertentangan atau tidak ? Ternyata salah
masyarakat sebagai suatu hal yang wajar, satu prinsip dasar dalam falsafah Pancasila
lumrah dan memang seharusnya ada, adalah keseimbangan antara kepentingan
artinya sebagai norma hukum sampai saat umum dan kepentingan pribadi. Pada
ini dalam masyarakat Indonesia telah dasarnya asas penyimpangan terhadap asas
menerima dan mengakui sebagai suatu kesalahan adalah merupakan suatu hal yang
norma yang harus ditaati. bertentangan dengan asas kesalahan, karena
Selanjutnya apakah ada dasar prinsipnya seseorang yang dituduh
hukumnya ? Ternyata Pasal 103 KUHP melakukan perbuatan pidana harus
menentukan : “Ketentuan-ketentuan dalam dibuktikan kesalahannya. Sehingga dari
Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini uraian tersebut adanya tarik menarik antara
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang kepentingan terdakwa (yang merupakan
oleh ketentuan perundang-undangan kepentingan pribadi) dengan kepentingan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali publik (umum). Artinya apabila asas
oleh undang-undang ditentukan lain”. Jadi kesalahan tidak dipertahankan (terjadi
jelas bahwa pasal 103 KUHP adalah dasar penyimpangan asas kesalahan) maka
hukum bahwa penyimpangan yang terjadi kepentingan publik yang di dahulukan,
oleh ketentuan-ketentuan diluar KUHP namun pada sisi yang lain kepentingan
dibolehkan selama dibutuhkan dalam terdakwa (pribadi) dikorbankan. Demikian
menghadapi perkembangan-perekembangan juga sebaliknya. Dengan demikian apabila

210
penyimpangan asas kesalahan diterima di pertanggungjawaban pidana korporasi,
Indonesia maka asas ini sesuai dan tidak diperlukan usaha yang cukup keras
bertentangan dengan falsafah dan ideologi khususnya bagi pemerintah dan para ahli
Pancasila karena kepentingan umum yang hukum dalam mengintrodusir dan
didahulukan dan bukan kepentingan pribadi menjelaskan penyimpangan asas kesalahan
yang dahulukan. dalam pertanggungjawaban pidana
Berdasar uraian tersebut diatas maka korporasi, maupun masalah penerapan asas
nampak bahwa ada alasan dan dasar hukum kesalahan sebagai dasar per-
yang dapat dijadikan tolok ukur penerimaan tanggungjawaban pidana korporasi kepada
sistem pertanggungjawaban pidana masyarakat luas khususnya kepada para
menyimpang dari asas kesalahan di penegak hukum. Agar cita-cita Indonesia
Indonesia. sebagai negara hukum dapat segera
terwujud dan tercapai keadilan bagi seluruh
SIMPULAN masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian dari keseluruhan
pemaparan penelitian ini, dapatlah diambil DAFTAR PUSTAKA
suatu kesimpulan sebagai berikut: Ali, Machrus. 2008 Kejahatan Korporasi
Kajian Relevansi Tindakan bagi
Pertanggungjawaban pidana korporasi asas
Penanggulangan Kejahatan
kesalahan tidak mutlak berlaku. Korporasi korporasi, Arti Bumi Intaran,
Yogyakarta.
tetap dapat mempunyai kesalahan dengan
Arief, Barda Nawawi. , 2002. Sari kuliah
konstruksi kesalahan pengurus atau anggota Perbandingan Hukum Pidana, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta
direksi (functioneel daderschap). Atau
Atmasasmita, Romli, 2000. Perbandingan
dengan mendasarkan adagium res ipsa Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung.
loquitur (fakta sudah berbicara sendiri).
Asshidiqi, Jimly. 1995. Pembaharuan
Juga bisa dengan Teori Identifikasi Hukum Pidana Indonesia, Angkasa,
Bandung.
digunakan sebagai dasar menerapkan
Farid, A. Zainal Abidin. 1962. Asas-asas
kesalahan pada korporasi sebagaimana Hukum Pidana dan Beberapa
Pengupasan tentang Delik-Delik
tercantum dalam pasal 45 konsep KUHP
Khusus, Prapantja, Jakarta.
tahun 2004 Hanafi, 2000. Kejahatan Korporasi,
Fakultas Hukum Universitas Islam
Bahwa dalam upaya penerapan asas
Indonesia, Yogyakarta.
kesalahan sebagai dasar Hetrik, Hamzah. 1996, Asas
Pertanggungjawaban Korporasi
211
dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Hukum Pidana , Aksara Baru,
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005. Penelitian Sahetapy, J.E. 1994. Kejahatan Korporasi.
Hukum, Prenada Media, Jakarta. Eresco, Bandung.
Moeljatno, 1981. Perbuatan Pidana dan Setiyono, 1999. Perkembangan Pengaturan
Pertanggungjawaban dalam Hukum Korporasi sebagai Subyek Tindak
Pidana. Universitas Gadjah Mada, Pidana, Pandecta Malang.
Yogyakarta. ________________, 2004. Kejahatan
________________, dan Dwidja Priyatna, Korporasi Analisa Viktimologi dan
1991. Pertanggungjawaban Pertnggungjawaban Korporasi
Korporasi dalam Hukum Pidana, dalam Hukum Pidana Indonesia,
Sekolah Tinggi Hukum, Bandung. Pandecta Malang.
Priyatna, Dwija. 2004. Kebijakan Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1995.
Legieslatief Tentang Sistem Penelitian Hukum Normatif Suatu
Pertanggungjawaban Korporasi di Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Indonesia CV Utomo Bandung Persada, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, W.J.S. Poerwadarminta, 1954, Kamus
Alumni Bandung. Umum Bahasa Indonesia,
Saleh, Roeslan., 1983, Perbuatan Pidana Perpustakaan Perguruan
dan Pertanggungjawaban Pidana : Kementerian P.P.Dan K, Jakarta.
Dua Pengertian Dasar dalam

212

Anda mungkin juga menyukai