Anda di halaman 1dari 11

EKSEKUSI DALAM PENYELESAIAN

PERKARA PERDATA

Oleh:
FAHRIYANI ANANDA
NIM 11000118130571
UPAYA HUKUM PERKARA PERDATA (F)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
1. PENDAHULUAN
Di dalam ruang lingkup hukum perdata di mana seorang yang merasa dirugikan di dalam
suatu sengketa dapat mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Tuntutan hak adalah
tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan kepada
pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (tindakan menghakimi sendiri). Hukum Acara
Perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta
memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. 1

Hukum Acara Perdata diatur berbagai cara mempertahankan hak- hak warga negara
dengan perantaraan pengadilan atau di hadapan hakim. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal
adanya istilah upaya hukum, yaitu upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. 2 Suatu
putusan hakim tidaklah tertutup kemungkinan menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya
di kemudian hari. Hal itu terjadi bila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan hak-hak dan
kepentingannya dengan dijalankannya putusan sehingga pihak ketiga yang dirugikan tadi
mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri. Pihak ketiga disini bukan salah satu
pihak yang terlibat atau tersangkut dalam perkara semula, melainkan pihak yang sama sekali
di luar pokok sengketa semula.

Apabila seseorang atau badan hukum tidak mengajukan upaya hukum atau perlawanan
sehingga putusan perdata tersebut sudah dapat ditetapkan memiliki kekuatan hukum tetap
atau biasa disebut dengan inkracht van gewijsde yang dimana putusan pengadilan tingkat
pertama yang tidak diajukan upaya hukum atau perlawanan maka tidak diberi kesempatan
lagi untuk mengajukan perlawanan. Sehingga jika perkara perdata tersebut sudah diputus
maka pihak yang dikalahkan harus melaksanakan putusan pengadilan. Akan tetapi, terkadang
pihak yang dikalahkan tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Di dalam peraturan
perundang-undangan tidak diatur jangka waktu jika putusan akan dilaksanakan secara
sukarela oleh pihak yang kalah. Pihak yang menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan
untuk memaksakan eksekusi putusan. Eksekusi dalam perkara perdata merupakan suatu

1
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998)
2
Retnowulan dan Iskandar O Kartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni,
1997)
tindakan yang berkelanjutan dari keseluruhan proses acara perdata. Eksekusi dalam suatu
perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara sebagai
tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah.

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat
menghukum haruslah diterima oleh para pihak, karena para pihak telah diberi kesempatan
untuk melakukan upaya hukum baik upaya perlawanan, banding, maupun kasasi dari para
pihak. Selain itu, dimungkinkan juga para pihak tidak melakukan upaya hukum tersebut,
yang berarti mereka telah menerimanya. Konsekuensinya, khususnya pihak yang terkalahkan
harus melaksanakan atau merealisasikan putusan tersebut dengan secara sukarela, maka
dapat dilakukan secara paksa dengan cara eksekusi.

Pada dasarnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah
tersebut bersedia mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindak eksekusi harus
disingkirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela
dengan menjalankan putusan secara eksekusi.3 Dari pendapat para ahli tersebut pada
prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu
putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum seperti verzet, banding
dan kasasi yang dapat dilaksanakan putusannya dengan eksekusi apabila pihak yang
dikalahkan tidak bersedia untuk melaksanakan putusan dengan sukarela.

2. RUMUSAN MASALAH
Jika diuraikan dari penjelasan di atas, maka permasalahan yang menjadi pembahasan
dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
A. Apa pelaksanaan eksekusi dalam penyelesaian perkara perdata?
B. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi?

3. PEMBAHASAN
3.1 Apa pelaksanaan eksekusi dalam penyelesaian perkara perdata?
3
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 21-
22
Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim (ten
uitvoer legging van vonnissen). Menurut M. Yahya Harahap, pengertian eksekusi adalah
pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak
yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela.4

R. Subekti mengatakan bahwa eksekusi merupakan upaya dari pihak yang dimenangkan
dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum,
memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.5 Selanjutnya Subekti
juga mengartikan eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengandung arti bahwa pihak yang
dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu
harus dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kekuatan hukum ini
dimaksudkan pada Polisi, kalau perlu Polisi Militer (angkatan bersenjata).6

Sudikno Mertokusumo juga mengatakan, pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi ada
hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. 7 Adapun dasar-dasar hukum
eksekusi yaitu:

A. Pasal 195 sampai Pasal 208 dan 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan 258
R.Bg.
B. Pasal 225 HIR/ Pasal 259 R.Bg yang mengatur eksekusi tentang putusan pengadilan
yang menghukum tergugat untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
C. Pasal 180 HIR/ Pasal 191 R.Bg yang mengatur pelaksanaan putusan secara serta
merta (uitvoerbaar bij voorraad).
D. Pasal 1198 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan
yang tetap melekat di atas benda hipotik ditangan siapa benda itu berada.
E. Peraturan Lelang Nomor 189 Tahun 1908.

Kemudian menurut M. Yahya Harahap, terdapat asas-asas eksekusi yaitu:


4
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 20
5
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta: 1989). h. 128
6
Ibid, h. 13
7
Sudikno Mertokusumo, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1995), h.20
A. Menjalankan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
B. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
C. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir.
D. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.
E. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

Apabila ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum,
maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yaitu:
A. Eksekusi membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR)
Eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.
Seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang apabila seseorang tidak dengan
sukarela memenuhi isi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang,
maka jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilaksanakan sita jaminan maka sita jaminan
itu setelah dinyatakan sah dan berharga secara otomatis menjadi sita eksekutorial.
Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan,
sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah
dengan semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Sita eksekutorial
ada dua yakni:
1) Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan
2) Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya
tidak ada sita jaminan
- Tata cara eksekusi membayar sejumlah uang
1) Surat permohonan eksekusi dari pihak yang dimenangkan ditujukan kepada ketua
pengadilan yang memutus perkara dimaksud
2) Aanmaning (peringatan)

Teguran dari ketua pengadilan kepada pihak yang kalah untuk segera
melaksanakan isi putusan maksimal delapan hari sejak aanmaning dilakukan
(pasal 196 HIR/ 207 (2) R.Bg)

3) Penetapan sita eksekusi, jika sebelumnya belum pernah dilaksanakan sita


jaminan.
4) Pelaksanaan sita eksekusi oleh panitera/ juru sita
5) Pelaksanaan lelang oleh kantor lelang

B. Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR)


Seseorang dihukum melaksanakan suatu perbuatan, yang maksud dari Pasal 225 HIR
yaitu sebagai berikut: Jika seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak
melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka bolehlah pihak
yang dimenangkan dalam putusan hakim itu meminta kepada pengadilan dengan
pertolongan ketuanya, baik dengan surat maupun lisan supaya kepentingan yang akan
didapatnya, jika keputusan itu diturut, dinilai dengan uang yang banyaknya harus
diberitahukannya dengan pasti, jika penilaian itu dengan lisan, maka hal itu harus dicatat.
- Tata cara eksekusi melaksanakan suatu perbuatan
1) Surat permohonan eksekusi, agar isi putusan tersebut diganti dengan membayar
sejumlah uang
2) Ketua pengadilan memanggil termohon eksekusi untuk pemeriksaan persidangan
guna menilai besarnya penggantian uang
3) Mengubah amar putusan lama dengan baru berupa penghukuman membayar
sejumlah uang
4) Aanmaning (peringatan)
5) Proses lelang didahului dengan sita eksekusi
6) Pelaksanaan lelang oleh kantor lelang

C. Eksekusi Riil (Pasal 1033 RV)


Eksekusil riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan
sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu
perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Eksekusi riil ini
dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa
memerlukan lelang. Disamping jenis eksekusi riil yang telah disebutkan ada
eksekutorial verkoop yakni eksekusi riil terhadap barang yang dijual lelang atas
pembayaran hutang.
- Tata cara eksekusi riil
1) Surat permohonan eksekusi, dari pihak yang dimenangkan ditujukan kepada ketua
pengadilan yang memutus perkara dimaksud
2) Aanmaning (peringatan)

Teguran dari ketua pengadilan kepada pihak yang kalah untuk segera
melaksanakan isi putusan maksimal delapan hari sejak aanmaning dilakukan
(pasal 196 HIR/ 207 (2) R.Bg)

3) Ketua pengadilan membuat surat penetapan yang isinya memerintahkan kepada


panitera/juru sita untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan amar putusan
4) Surat pemberitahuan akan dilaksanakan eksekusi kepada pemohon eksekusi,
termohon eksekusi, kepala desa, camat dan kepolisian
5) Eksekusi dilaksanakan ditempat objek eksekusi
6) Membuat berita acara eksekusi
7) Memberitahukan isi berita acara eksekusi (pasal 197 (5) HIR/ 209 (4) R.Bg

Adapun berita acara eksekusi yang harus memuat hal-hal sebagai berikut:
A. Jenis-jenis barang yang dieksekusi
B. Letak, ukuran, dan luas barang tetap yang akan dieksekusi
C. Hadir atau tidaknya pihak yang dieksekusi
D. Penegasan dan keterangan pengawasan barang
E. Penjelasan non-bavinding bagi yang tidak sesuai dengan amar putusan
F. Penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi dijalankan
G. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan eksekusi
H. Berita acara eksekusi ditandatangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang
saksi, kepala desa atau lurah setempat, dan tereksekusi

3.2 Bagaimana kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi?


Pelaksanaan eksekusi yang sukses, mengakhiri rangkaian penyelesaian perkara perdata
melalui pengadilan. Pihak yang menang (pemohon eksekusi) akan mendapatkan haknya
sebagaimana ditentukan oleh putusan pengadilan dengan di laksanakannya eksekusi.
Putusan akan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak ada banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama, putusan verstek yang tidak diikuti perlawanan (verzet),
putusan perdamaian, putusan banding yang tidak diikuti kasasi, dan putusan kasasi.
“Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dieksekusi, tanpa
eksekusi perkara dianggap belum selesai.” Eksekusi merupakan kewajiban yang masih harus
dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita
dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tersebut menyatakan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan. Selain aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tersebut, ketentuan eksekusi juga diatur dan dijelaskan dalam Pasal 195-208 HIR
dan Pasal 224-225 HIR (Pasal 206-240 RBG dan Pasal 258 RBG).

Eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) seringkali dianggap sebagai langkah terakhir penyelesaian suatu sengketa di
pengadilan, di mana pihak yang menang berharap dengan dilaksanakannya eksekusi tersebut,
maka dia akan mendapatkan haknya sebagaimana ditentukan oleh putusan pengadilan.
Praktiknya pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tidak semudah yang dibayangkan. Ada
beberapa perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),
namun mengalami kendala dalam pelaksanaan eksekusinya.
A. Kendala secara umum yang biasa ditemui dalam pelaksanaan eksekusi:
1) Adanya pengerahan massa di lokasi eksekusi sehingga petugas tidak sanggup
mengamankan situasi
2)  Obyek eksekusi tidak ditemukan secara jelas di lapangan karena batas-batas obyek
sengketa berbeda dengan batas-batas yang ada di amar putusan
3)  Meskipun amar putusan bersifat condemnatoir tetapi tidak pasti tentang jumlah
volume maupun ukurannya secara rinci mengenai obyek eksekusi sehingga sulit
dilaksanakan, seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang mulai kapan sampai kapan
dan jumlahnya berapa tidak jelas di amar putusannya
B. Kendala secara khusus yang biasa ditemui dalam pelaksanaan eksekusi:
1) Ketidakhadiran pihak yang kalah pada tahap pemberian teguran (aanmaning) atau
bahkan pada saat eksekusi dijalankan. Hal ini dikarenakan kehadiran pihak yang
kalah dapat memperlancar proses eksekusi. Ketidakhadiran pihak yang kalah ini, baik
pada waktu diadakan teguran maupun pada waktu dijalankannya eksekusi
2) Dikabulkannya permohonan penundaan eksekusi karena alasan kemanusiaan. Dalam
hal ini pihak yang kalah mengajukan permohonan penundaan eksekusi karena alasan
kemanusiaan, misalnya sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi
pengosongan tanah dan bangunan rumah HGB, pihak yang kalah tidak mau pergi
karena belum ada tempat tinggal, termasuk dalam hal ini adalah masalah penentuan
besaran uang pesangon sebagaimana yang diminta oleh pihak termohon guna
memindahkan benda-benda yang ada di dalam rumah ke tempat lain
3) Hambatan komunikasi dengan pihak tereksekusi dalam menentukan besaran uang
pesangon. Hal ini dikarenakan pihak tereksekusi tidak ada kabar sama sekali dan
tidak dapat dihubungi sehingga kesulitan dalam pemberian uang pesangon
sebagaimana yang telah disepakati

4. PENUTUP
A. Simpulan
Pelaksanaan eksekusi dalam penyelesaian perkara perdata timbul apabila putusan
perkara telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau biasa disebut dengan inkracht van
gewijsde dan pihak yang dikalahkan tidak bersedia untuk melaksanakan putusan
pengadilan secara sukarela. Proses pelaksanaan eksekusi dimulai dengan pengajuan
permohonan eksekusi dan diakhiri dengan pelaksanaan eksekusi. Kemudian, pelaksanaan
eksekusi dalam perkara perdata memiliki suatu resiko yang tinggi sebab mengeksekusi
obyek perkara adalah merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh pihak tergugat kepada
pemohon eksekusi.
Mengeksekusi berarti memaksa pihak tereksekusi untuk mengosongkan atau
menyerahkan obyek sengketa kepada pihak pemohon eksekusi. Apabila tereksekusi tetap
bertahan diatas obyek sengketa dalam arti tidak mau menyerahkan kepada pemohon
eksekusi, maka dapat mengakibatkan ditangguhnya pelaksanaan eksekusi. Sebab salah
satu kendalanya terhadap pelaksanaan eksekusi terjadi penundaan di pengadilan adalah
meyangkut keamanan, dimana pihak yang tereksekusi mengadakan perlawanan.
B. Saran
Saran yang dapat dikemukakan dalam makalah ini yaitu agar tujuan dari eksekusi
tercapai sehingga dapat memperoleh hak dan kepastian hukum, maka perlawanan pihak
ketiga apalagi perlawanan pihak termohon eksekusi yang sengaja menunda eksekusi,
seharusnya eksekusi tersebut tetap dilaksanakan. Kemudian, perlunya dibuat aturan
hukum pelaksanaan eksekusi yang baru dan lebih lengkap lagi, sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisah-pisah seperti sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty


Retnowulan Susianto dan Iskandar O Kartawinata. 1997. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Alumni
M. Yahya Harahap. 2007. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika
Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta
Sudikno Mertokusumo. 1995. Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan
Kredit. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai